- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten
NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 07:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
59K
Kutip
1.2K
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#69
Jilid 3 [Part 51]
Spoiler for :
MATAHARI telah miring ke barat, hutan Tambakbaya semakin lama semakin bertambah tipis. Pepohonan tidak lagi selebat dan liar seperti daerah pedalaman. Sementara itu terasa debaran jantung yang aneh dalam dada Rara Wilis. Telah lebih sepuluh tahun ia tak berjumpa dengan kakeknya. Sekarang, ia ingin mencarinya di daerah yang tak dikenalnya.
Sebentar kemudian mereka telah sampai pada perbatasan hutan. Di depan mereka tinggallah beberapa grumbul kecil yang tidak begitu berarti.
Mendengar ucapan Mahesa Jenar, Rara Wilis yang berjalan di depan jadi terhenti. Beberapa macam perasaan bercampur aduk di otaknya. Sekali ia menarik nafas panjang. Alangkah lega hatinya setelah hutan yang lebat itu dapat dilewatinya.
Tetapi sementara itu lalu kemana ia mesti pergi?
Sekali dua kali ia menoleh kepada Mahesa Jenar. Wajahnya yang cerah itu menjadi agak suram oleh kebimbangan hatinya. Mahesa Jenar dapat menangkap perasaan Rara Wilis.
Rara Wilis menggelengkan kepalanya. Memang ia sama sekali tak mengerti arah tempat tinggal kakeknya. Ia hanya mendengar, bahwa kakek itu tinggal di daerah Pliridan.
Mahesa Jenar juga menjadi agak bimbang. Ia beberapa tahun yang lalu pernah mengenal daerah ini. Tetapi apa yang dilihatnya sekarang, ternyata mengalami banyak perubahan.
Di wajah Rara Wilis masih saja membayang kebimbangan hatinya, bahkan kebimbangan itu kemudian berubah menjadi suatu ketakutan. Bagaimanakah kalau ia tak dapat menemui kakeknya? Pastilah, bahwa Mahesa Jenar tak akan dapat terus-menerus menemaninya. Melihat perubahan wajah Rara Wilis, Mahesa Jenar pun menangkap perasaannya, karena itu ia mencoba menghiburnya.
Tetapi akibat perkataan itu adalah sebaliknya dari yang diharapkan. Karenanya Mahesa Jenar menjadi terkejut sekali ketika dilihatnya Rara Wilis malahan meneteskan air mata. Meskipun sudah ditahan sekuat-kuatnya.
Sekarang Mahesa Jenar yang kebingungan. Sekali lagi ia merasa demikian tumpulnya perasaannya. Ia pernah mengalami suasana yang bersamaan, meskipun keadaannya berbeda. Yaitu pada waktu ia berhadapan dengan Nyai Wirasaba. Pada saat itu juga ia menjadi kebingungan dan tidak mengerti apa yang harus dikerjakan.
Sekarang Rara Wilis itu pun menangis di hadapannya tanpa sebab. Justru pada saat ia berusaha untuk menghiburnya. Karena itu perasaannya menjadi tidak enak sekali.
Tetapi setelah ia mempunyai sebuah pengalaman yang tak menyenangkan, ia tidak lagi mau menebak-nebak. Maka terlintaslah dalam pikirannya, bahwa jalan yang terbaik adalah menanyakan sebabnya, kenapa Rara Wilis menangis. Mendapat pikiran yang demikian, Mahesa Jenar menjadi agak lega sedikit. Dan dengan hati-hati sekali ia mencoba bertanya.
Rara Wilis tidak segera menjawab. Ia melangkah beberapa kali ke samping, dan kemudian menjatuhkan dirinya duduk di rumput-rumput liar. Dari matanya masih saja terurai tetesan-tetesan airmata. Baru setelah beberapa saat, ia menjawab dengan kata-kata yang tersekat-sekat.
Mahesa Jenar menjadi semakin menebak-nebak tentang keadaan gadis aneh itu. Rupanya banyak rahasia yang menyelubungi dirinya, sehingga ia terpaksa menempuh perjalanan yang sedemikian berbahayanya.
Mata Rara Wilis yang bulat tetapi sayu itu memandang Mahesa Jenar, seperti mata kanak-kanak yang minta perlindungan. Mahesa Jenar menjadi semakin tidak mengerti apa yang harus dilakukan. Di luar kesadarannya ia pun ikut serta duduk diatas rumput-rumput liar.
Setelah diam sejenak, Rara Wilis memulai ceritanya.
Rara Wilis berhenti sejenak. Alisnya tampak berkerut. Ia mencoba mengingat kembali peristiwa-peristiwa yang pernah berlaku.
Lagi-lagi Rara Wilis berhenti sejenak.
Rara Wilis mengakhiri ceriteranya dengan sedu-sedan yang seperti meledak dari rongga dadanya.
Mahesa Jenar mendengarkan ceritera Rara Wilis itu dengan penuh haru. Rupanya kegersangan hati gadis itulah yang mendorongnya untuk menempuh jalan yang sangat berbahaya, mencari kakeknya, sekadar untuk dapat menyangkutkan cinta serta harapannya. Mungkin ia mengharapkan kakeknya suka kembali ke kampung halaman, untuk bersama-sama hidup dalam suasana yang hanya dapat dikenangnya kembali.
Tetapi meskipun Mahesa Jenar dapat ikut serta sepenuhnya merasakan betapa keringnya hidup tanpa sangkutan cinta, namun ia tidak dapat berbuat suatu untuk menenangkan hati gadis cantik itu. Oleh karenanya ia menjadi gelisah sendiri. Perlahan-lahan ia berdiri lalu berjalan mondar-mandir tanpa tujuan.
Sementara itu, matahari telah hampir menyelesaikan perjalanannya yang sunyi mengarungi langit. Cahayanya yang masih ketinggalan, tampak gemerlapan di atas punggung-punggung bukit.
Mahesa Jenar masih saja berjalan mondar-mandir dengan gelisahnya. Dalam hatinya berkecamuk perasaan heran yang tiada habis-habisnya. Bagaimana mungkin seorang ayah dapat melupakan putrinya, hanya karena seorang perempuan yang tak dikenal asal-usulnya, sehingga ia telah melepaskan hari depan gadisnya serta hari depan garis keturunannya?
Beberapa saat kemudian, ketika Rara Wilis telah menjadi agak tenang, Mahesa Jenar pun segera mempersilahkannya untuk berjalan kembali. Sebab bagaimanapun Mahesa Jenar masih mengharapkan untuk dapat menjumpai seseorang di daerah ini.
Sebentar kemudian mereka telah sampai pada perbatasan hutan. Di depan mereka tinggallah beberapa grumbul kecil yang tidak begitu berarti.
Quote:
“Inilah daerah Pliridan,” gumam Mahesa Jenar hampir kepada dirinya sendiri.
Mendengar ucapan Mahesa Jenar, Rara Wilis yang berjalan di depan jadi terhenti. Beberapa macam perasaan bercampur aduk di otaknya. Sekali ia menarik nafas panjang. Alangkah lega hatinya setelah hutan yang lebat itu dapat dilewatinya.
Tetapi sementara itu lalu kemana ia mesti pergi?
Sekali dua kali ia menoleh kepada Mahesa Jenar. Wajahnya yang cerah itu menjadi agak suram oleh kebimbangan hatinya. Mahesa Jenar dapat menangkap perasaan Rara Wilis.
Quote:
“Rara Wilis, dapatkah kau menunjukkan di daerah manakah kira-kira kakekmu tinggal?” tanya Mahesa Jenar.
Rara Wilis menggelengkan kepalanya. Memang ia sama sekali tak mengerti arah tempat tinggal kakeknya. Ia hanya mendengar, bahwa kakek itu tinggal di daerah Pliridan.
Mahesa Jenar juga menjadi agak bimbang. Ia beberapa tahun yang lalu pernah mengenal daerah ini. Tetapi apa yang dilihatnya sekarang, ternyata mengalami banyak perubahan.
Quote:
“Tuan,” kata Rara Wilis dengan penuh keragu-raguan,
“Aku sama sekali tidak membayangkan kalau demikianlah keadaan daerah Pliridan. Menurut gambaran angan-anganku. Pliridan adalah sebuah desa yang dilingkungi oleh persawahan dan ladang. Tetapi ternyata daerah ini hanyalah padang rumput yang diselingi oleh gerumbul-gerumbul liar.”
“Tetapi aku kira tidaklah demikian seluruhnya, Rara Wilis. Beberapa tahun yang lalu, desa-desa seperti yang kau bayangkan itu memang pernah ada. Entahlah kenapa sekarang keadaan itu berubah. Meskipun demikian aku yakin, bahwa di sekitar daerah ini masih juga didiami orang. Karena itu baiklah kita coba mencarinya.”
“Aku sama sekali tidak membayangkan kalau demikianlah keadaan daerah Pliridan. Menurut gambaran angan-anganku. Pliridan adalah sebuah desa yang dilingkungi oleh persawahan dan ladang. Tetapi ternyata daerah ini hanyalah padang rumput yang diselingi oleh gerumbul-gerumbul liar.”
“Tetapi aku kira tidaklah demikian seluruhnya, Rara Wilis. Beberapa tahun yang lalu, desa-desa seperti yang kau bayangkan itu memang pernah ada. Entahlah kenapa sekarang keadaan itu berubah. Meskipun demikian aku yakin, bahwa di sekitar daerah ini masih juga didiami orang. Karena itu baiklah kita coba mencarinya.”
Di wajah Rara Wilis masih saja membayang kebimbangan hatinya, bahkan kebimbangan itu kemudian berubah menjadi suatu ketakutan. Bagaimanakah kalau ia tak dapat menemui kakeknya? Pastilah, bahwa Mahesa Jenar tak akan dapat terus-menerus menemaninya. Melihat perubahan wajah Rara Wilis, Mahesa Jenar pun menangkap perasaannya, karena itu ia mencoba menghiburnya.
Quote:
“Rara Wilis, tak usah kau merasa takut. Aku masih mempunyai perasaan kuat, bahwa di sini masih didiami orang. Seandainya tidak demikian, maka aku bersedia mengantar kau pulang ke rumah ayahmu.”
Tetapi akibat perkataan itu adalah sebaliknya dari yang diharapkan. Karenanya Mahesa Jenar menjadi terkejut sekali ketika dilihatnya Rara Wilis malahan meneteskan air mata. Meskipun sudah ditahan sekuat-kuatnya.
Sekarang Mahesa Jenar yang kebingungan. Sekali lagi ia merasa demikian tumpulnya perasaannya. Ia pernah mengalami suasana yang bersamaan, meskipun keadaannya berbeda. Yaitu pada waktu ia berhadapan dengan Nyai Wirasaba. Pada saat itu juga ia menjadi kebingungan dan tidak mengerti apa yang harus dikerjakan.
Sekarang Rara Wilis itu pun menangis di hadapannya tanpa sebab. Justru pada saat ia berusaha untuk menghiburnya. Karena itu perasaannya menjadi tidak enak sekali.
Tetapi setelah ia mempunyai sebuah pengalaman yang tak menyenangkan, ia tidak lagi mau menebak-nebak. Maka terlintaslah dalam pikirannya, bahwa jalan yang terbaik adalah menanyakan sebabnya, kenapa Rara Wilis menangis. Mendapat pikiran yang demikian, Mahesa Jenar menjadi agak lega sedikit. Dan dengan hati-hati sekali ia mencoba bertanya.
Quote:
“Rara Wilis, aku telah mencoba untuk menenangkan hatimu, tetapi justru akibatnya adalah sebaliknya. Karena itu, dapatkah aku menanyakan, apakah sebabnya kau menangis?”
Rara Wilis tidak segera menjawab. Ia melangkah beberapa kali ke samping, dan kemudian menjatuhkan dirinya duduk di rumput-rumput liar. Dari matanya masih saja terurai tetesan-tetesan airmata. Baru setelah beberapa saat, ia menjawab dengan kata-kata yang tersekat-sekat.
Quote:
“Tuan, aku merasa bersyukur, bahwa aku dapat berjumpa dengan seorang yang demikian baik hati seperti Tuan. Karena itu tak adalah jalan bagiku untuk menyatakan terima kasihku yang tak terhingga. Tetapi sangatlah menyesal Tuan …, bahwa kalau aku tak dapat menemukan kakekku, aku tak dapat kembali kepada ayahku. Meskipun ayahku dahulu tergolong orang yang berada, tetapi tak adalah tempat bagiku di sana.”
Mahesa Jenar menjadi semakin menebak-nebak tentang keadaan gadis aneh itu. Rupanya banyak rahasia yang menyelubungi dirinya, sehingga ia terpaksa menempuh perjalanan yang sedemikian berbahayanya.
Quote:
“Rara Wilis,” tanya Mahesa Jenar kemudian,
“aku bukanlah ingin terlalu banyak mengetahui tentang dirimu, tetapi bagiku kau adalah seorang gadis yang diselubungi oleh kabut rahasia yang kelam.”
“Mungkin Tuan benar,” jawab Rara Wilis,
“Tetapi buat tuan tidaklah sepantasnya kalau aku menyembunyikan sesuatu rahasia.”
“aku bukanlah ingin terlalu banyak mengetahui tentang dirimu, tetapi bagiku kau adalah seorang gadis yang diselubungi oleh kabut rahasia yang kelam.”
“Mungkin Tuan benar,” jawab Rara Wilis,
“Tetapi buat tuan tidaklah sepantasnya kalau aku menyembunyikan sesuatu rahasia.”
Mata Rara Wilis yang bulat tetapi sayu itu memandang Mahesa Jenar, seperti mata kanak-kanak yang minta perlindungan. Mahesa Jenar menjadi semakin tidak mengerti apa yang harus dilakukan. Di luar kesadarannya ia pun ikut serta duduk diatas rumput-rumput liar.
Setelah diam sejenak, Rara Wilis memulai ceritanya.
Quote:
“Tuan, ayahku adalah seorang yang banyak mempunyai pengaruh di daerah Pegunungan Kidul. Meskipun daerah itu tandus dan kering, tetapi ayahku mempunyai peternakan yang cukup, sehingga dapatlah ia digolongkan orang berada. Tetapi ibuku adalah keturunan orang yang miskin. Kakekku semasa masih tinggal di Pegunungan Kidul, tidaklah lebih dari seorang buruh yang bekerja dengan upah yang sangat kecil. Meskipun demikian kakek termasuk orang yang tidak mau menjadi beban orang lain. Sepuluh tahun yang lalu kakek yang merasa kehidupannya semakin hari semakin sulit, terpaksa pergi meninggalkan kampung halaman. Memang sebelum itupun kakek adalah seorang perantau. Mungkin ini disebabkan oleh kehidupannya yang sulit, sehingga pada saat-saat tertentu, yaitu pada saat paceklik, kakek pergi meninggalkan kampung untuk beberapa bulan. Tetapi sejak 10 tahun yang lalu, kakek tidak kembali pulang.”
RARA WILIS pun bercerita bahwa pada masa kanak-kanak,
“apabila kakek berada di rumah, selalu digendongnya kemana ia pergi. Kepergiannya tidak terlalu lama mempengaruhi perasaanku. Sebab ayah dan ibuku selalu memanjakan aku. Tetapi akhir-akhir ini terjadilah peristiwa-peristiwa yang merusak kehidupan damai itu. Beberapa tahun yang lalu, di kampung halamanku, datanglah seorang perempuan dari Bagelen. Kelakuannya tidaklah seperti lazimnya perempuan-perempuan di daerah kami. Di daerah kami banyak pendekar yang ternama, termasuk ayahku yang bernama Ki Panutan. Tetapi tidaklah biasa seorang perempuan jadi pendekar. Berbeda halnya dengan perempuan pendatang itu. Ternyata ia adalah seorang pendekar perempuan, yang tidak diduga-duga. Ia pun telah dapat mengalahkan beberapa pendekar ternama di daerah kami.”
RARA WILIS pun bercerita bahwa pada masa kanak-kanak,
“apabila kakek berada di rumah, selalu digendongnya kemana ia pergi. Kepergiannya tidak terlalu lama mempengaruhi perasaanku. Sebab ayah dan ibuku selalu memanjakan aku. Tetapi akhir-akhir ini terjadilah peristiwa-peristiwa yang merusak kehidupan damai itu. Beberapa tahun yang lalu, di kampung halamanku, datanglah seorang perempuan dari Bagelen. Kelakuannya tidaklah seperti lazimnya perempuan-perempuan di daerah kami. Di daerah kami banyak pendekar yang ternama, termasuk ayahku yang bernama Ki Panutan. Tetapi tidaklah biasa seorang perempuan jadi pendekar. Berbeda halnya dengan perempuan pendatang itu. Ternyata ia adalah seorang pendekar perempuan, yang tidak diduga-duga. Ia pun telah dapat mengalahkan beberapa pendekar ternama di daerah kami.”
Rara Wilis berhenti sejenak. Alisnya tampak berkerut. Ia mencoba mengingat kembali peristiwa-peristiwa yang pernah berlaku.
Quote:
“Tuan …,” sambungnya beberapa saat kemudian.
“Keanehan perempuan itu tidak saja pada kependekarannya, tetapi juga pada tingkah lakunya. Kadang-kadang ia bersikap garang dan kasar seperti halnya pendekar laki-laki di daerah kami. Tetapi kadang-kadang ia menjadi lunak dan mesra, penuh sifat halus seorang wanita.”
Rara Wilis kembali berhenti bercerita sejenak.
“Rupanya gabungan dari kedua sifat-sifat itulah yang telah memecahkan kebahagiaan rumah-tangga kami. Sebab ternyata hubungan perempuan itu dengan ayahku semakin hari semakin rapat. Ibuku adalah perempuan lugu, yang hanya dapat bekerja di dapur dan meladeni seorang suami seperti apa yang dilakukan perempuan-perempuan lain di desa kami. Ibuku tidaklah dapat memberi saran, nasihat atau apapun semacam itu kepada ayahku sebagai seorang pendekar. Juga ibuku tidak pandai merayu hati laki-laki. Dan karena itulah maka semakin dekat ayahku dengan perempuan pendatang itu, semakin jauh ia dari ibuku. Rupanya hal itu dapat dilihat oleh penduduk di daerah kami, sehingga menimbulkan suasana yang kurang menyenangkan. Tetapi lebih daripada itu, ayah pun perangainya seakan-akan berubah. Ia pun kemudian mempunyai kebiasaan-kebiasaan aneh. Minum minuman keras dan hal-hal kasar lainnya. Kepadaku pun ayah menjadi semakin jauh pula.”
“Keanehan perempuan itu tidak saja pada kependekarannya, tetapi juga pada tingkah lakunya. Kadang-kadang ia bersikap garang dan kasar seperti halnya pendekar laki-laki di daerah kami. Tetapi kadang-kadang ia menjadi lunak dan mesra, penuh sifat halus seorang wanita.”
Rara Wilis kembali berhenti bercerita sejenak.
“Rupanya gabungan dari kedua sifat-sifat itulah yang telah memecahkan kebahagiaan rumah-tangga kami. Sebab ternyata hubungan perempuan itu dengan ayahku semakin hari semakin rapat. Ibuku adalah perempuan lugu, yang hanya dapat bekerja di dapur dan meladeni seorang suami seperti apa yang dilakukan perempuan-perempuan lain di desa kami. Ibuku tidaklah dapat memberi saran, nasihat atau apapun semacam itu kepada ayahku sebagai seorang pendekar. Juga ibuku tidak pandai merayu hati laki-laki. Dan karena itulah maka semakin dekat ayahku dengan perempuan pendatang itu, semakin jauh ia dari ibuku. Rupanya hal itu dapat dilihat oleh penduduk di daerah kami, sehingga menimbulkan suasana yang kurang menyenangkan. Tetapi lebih daripada itu, ayah pun perangainya seakan-akan berubah. Ia pun kemudian mempunyai kebiasaan-kebiasaan aneh. Minum minuman keras dan hal-hal kasar lainnya. Kepadaku pun ayah menjadi semakin jauh pula.”
Lagi-lagi Rara Wilis berhenti sejenak.
Quote:
“Alangkah benciku kepada perempuan itu, seperti ia juga sangat benci kepadaku. Bahkan ia selalu menyakitiku tanpa ada pembelaan dari ayah, apalagi ibu yang hanya dapat memelukku dan menangisi. Waktu itu, tak banyak yang dapat aku ketahui, selain pada suatu hari datanglah beberapa orang pendekar terkenal, yang dulu adalah sahabat-sahabat ayahku. Tanpa kuketahui sebab-sebabnya, mereka bertempur melawan ayahku serta perempuan pendatang itu. Rupanya ayahku memang seorang pendekar pilihan dan perempuan itu pun tak kalah garangnya. Sehingga meskipun ayah dan perempuan itu dikerubut, tetapi dapat juga memberi perlawanan yang berarti. Ibuku sendiri waktu itu tak dapat berbuat lain, kecuali memelukku dan menangis sejadi-jadinya di belakang dapur rumah kami. ”
Quote:
“Akhirnya …,” lanjut Rara Wilis,
“bagaimanapun kuatnya ayahku serta perempuan pendatang itu, namun tidaklah dapat menahan arus kemarahan pendekar-pendekar ternama di dareh kami yang demikian banyak jumlahnya. Sehingga sejak itu, ayahku pergi dengan perempuan pendatang itu, dan tidak pernah kembali. Sejak itu pula ibu selalu menanggung kesedihan yang tak terhingga, meskipun anehnya, tetangga-tetangga bersikap baik sekali. Bahkan para pendekar yang mengerubut ayahku, bersikap manis sekali kepada ibuku. Bahkan istri-istri mereka selalu berusaha untuk dapat bercakap-cakap dan menghibur ibuku. Tetapi rupanya ibuku lebih suka mengurung dirinya serta membenamkan diri dalam duka.” Kata Rara Wilis,
“bagaimanapun kuatnya ayahku serta perempuan pendatang itu, namun tidaklah dapat menahan arus kemarahan pendekar-pendekar ternama di dareh kami yang demikian banyak jumlahnya. Sehingga sejak itu, ayahku pergi dengan perempuan pendatang itu, dan tidak pernah kembali. Sejak itu pula ibu selalu menanggung kesedihan yang tak terhingga, meskipun anehnya, tetangga-tetangga bersikap baik sekali. Bahkan para pendekar yang mengerubut ayahku, bersikap manis sekali kepada ibuku. Bahkan istri-istri mereka selalu berusaha untuk dapat bercakap-cakap dan menghibur ibuku. Tetapi rupanya ibuku lebih suka mengurung dirinya serta membenamkan diri dalam duka.” Kata Rara Wilis,
Quote:
“beberapa tahun kemudian membayanglah puncak kesedihan yang bakal terjadi. Ibuku sakit. Semakin lama sakit itu semakin keras dan seolah-olah sudah terasa, bahwa sakit itu tak akan dapat diobati. Ternak kami yang sekian banyaknya, kekayaan kami, tidak dapat membendung arus kematian yang semakin lama semakin deras bergulung-gulung menghantam tebing-tebing kehidupan ibuku.
Maka setelah beberapa tahun kemudian dari kepergian ayahku, ibuku menutup mata, serta meninggalkan keris yang Tuan namakan Sigar Penjalin itu kepadaku, sebagai suatu bukti bahwa aku adalah keturunan Ki Santanu dari Pegunungan Kidul. Jadi sama sekali bukan Ki Ageng Pandan Alas dari Wanasaba. Maka akupun akhirnya merasa, bahwa aku tidak dapat hidup tanpa ada satu pun yang aku cintai. Meskipun aku mendapat warisan yang cukup banyak, tetapi semuanya itu tak berarti bagi hidupku yang kering.”
Maka setelah beberapa tahun kemudian dari kepergian ayahku, ibuku menutup mata, serta meninggalkan keris yang Tuan namakan Sigar Penjalin itu kepadaku, sebagai suatu bukti bahwa aku adalah keturunan Ki Santanu dari Pegunungan Kidul. Jadi sama sekali bukan Ki Ageng Pandan Alas dari Wanasaba. Maka akupun akhirnya merasa, bahwa aku tidak dapat hidup tanpa ada satu pun yang aku cintai. Meskipun aku mendapat warisan yang cukup banyak, tetapi semuanya itu tak berarti bagi hidupku yang kering.”
Rara Wilis mengakhiri ceriteranya dengan sedu-sedan yang seperti meledak dari rongga dadanya.
Mahesa Jenar mendengarkan ceritera Rara Wilis itu dengan penuh haru. Rupanya kegersangan hati gadis itulah yang mendorongnya untuk menempuh jalan yang sangat berbahaya, mencari kakeknya, sekadar untuk dapat menyangkutkan cinta serta harapannya. Mungkin ia mengharapkan kakeknya suka kembali ke kampung halaman, untuk bersama-sama hidup dalam suasana yang hanya dapat dikenangnya kembali.
Tetapi meskipun Mahesa Jenar dapat ikut serta sepenuhnya merasakan betapa keringnya hidup tanpa sangkutan cinta, namun ia tidak dapat berbuat suatu untuk menenangkan hati gadis cantik itu. Oleh karenanya ia menjadi gelisah sendiri. Perlahan-lahan ia berdiri lalu berjalan mondar-mandir tanpa tujuan.
Sementara itu, matahari telah hampir menyelesaikan perjalanannya yang sunyi mengarungi langit. Cahayanya yang masih ketinggalan, tampak gemerlapan di atas punggung-punggung bukit.
Mahesa Jenar masih saja berjalan mondar-mandir dengan gelisahnya. Dalam hatinya berkecamuk perasaan heran yang tiada habis-habisnya. Bagaimana mungkin seorang ayah dapat melupakan putrinya, hanya karena seorang perempuan yang tak dikenal asal-usulnya, sehingga ia telah melepaskan hari depan gadisnya serta hari depan garis keturunannya?
Beberapa saat kemudian, ketika Rara Wilis telah menjadi agak tenang, Mahesa Jenar pun segera mempersilahkannya untuk berjalan kembali. Sebab bagaimanapun Mahesa Jenar masih mengharapkan untuk dapat menjumpai seseorang di daerah ini.
fakhrie... dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Kutip
Balas