Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

suciasdhanAvatar border
TS
suciasdhan
Cinta Bersemi di Kedai Serabi
Kumpulan Cerita Romantis Bikin Baper

Cinta Bersemi di Kedai Serabi

Sumber: gambar di sini

Sepagi ini kedai Mak Otih sudah penuh sesak. Serabi buatan Mak Otih memang yang paling terkenal di desa Cipedes ini. Penganan yang terbuat dari campuran tepung terigu yang gurih dan air kelapa, banyak diburu oleh warga desa ini dan menjadi alternatif pilihan untuk sarapan. Cara memasaknya yang masih tradisional—menggunakan wajan yang terbuat dari tanah liat serta kayu bakar di bawahnya untuk mematangkan serabinya—membuat serabi ini memiliki rasa dan aroma yang khas. Varian serabinya hanya dua macam, yaitu topping oncom sangrai untuk rasa asin, dan serabi disiram kuah gula merah atau kinca untuk yang rasa manis. Bahkan, untuk serabi topping oncom bisa ditambahkan telur agar rasanya semakin gurih.

Sopi mengamati tangan Mak Otih yang menyendok adonan serabi ke dalam wajan tanah liat dengan cekatan. Adonan yang masih cair itu kemudian ditaburi oncom sangrai. Asap mengepul dari sana. Aroma serabi yang hampir matang membuat gadis itu menelan saliva berulang kali. Perutnya semakin keroncongan. Terbayang di mulutnya rasa legit kuah kinca bercampur dengan kue serabi yang gurih, lezat rasanya.

Empat orang pemuda iseng mulai melirik nakal ke arah Sopi yang terlihat cantik. Salah satu dari mereka mulai menggodanya.

"Hai, Neng geulis, sendirian aja nih. Boleh Akang temenin?"

"Akang mah mau langsung kenalan aja, boleh enggak?" Seorang pemuda lainnya mulai mendekati Sopi. Sementara dua pemuda yang lainnya hanya tertawa-tawa.

Sopi mulai jengah dengan gangguan dari keempat pemuda itu. Bahkan salah satunya yang tadi minta kenalan mulai berani mencolek lengannya. Segera saja Sopi menepis tangan jahil pemuda jangkung berambut keriting itu. Memangnya aku ini sabun colek apa? pikir Sopi, kesal.

"Widih, si Eneng meuni sombong ih. Belum tahu ya kita ini siapa? Kita teh F4, tapi bukan pemeran di drama Meteor Garden ya. Saya Firman, itu Fikri, Farid, dan Ferdi." Pemuda berkaus biru donker berlogo salah satu superhero terkenal di dunia, menunjuk ke arah ketiga temannya sambil ikut mendekat ke arah Sopi.

Sopi masih membisu, dalam hati ia geram dengan tingkah para pemuda itu. Perempuan di kedai ini kan banyak, kenapa hanya aku yang diperlakukan seperti ini? gumamnya.

Melihat gadis itu beranjak dari tempat duduknya, hendak berlalu dari kedai, keempat pemuda itu malah semakin gencar menggodanya.

"Mau ke mana Neng? Buru-buru amat. Kita kan belum saling mengenal. Tukeran nomor hp aja belum, udah mau pergi. Rumahnya di mana sih? Akang antar ya. Tenang, dijamin aman, selamat sampai tujuan." Pemuda berkaus hitam bergambar logo band Linkin Park mengejar Sopi dan menggenggam tangan gadis itu.

Sopi berusaha melepaskan diri, tetapi genggaman tangan pemuda itu malah semakin kuat. Ia meringis kesakitan. Keempat pemuda itu tertawa puas.

"Heii, kalian! Lepaskan gadis itu. Belum tahu ya kalau dia itu pacar saya? Seenaknya main antar pacar orang. Yuk, Neng Akang antar." Suara seorang lelaki tampan berdandan ala Kabayan berhasil menghalau keempat pemuda itu. Mereka pun menjauh dari Sopi. Setelah berpamitan pada Emaknya yang tengah membalikkan serabi dari wadah, pemuda itu pun berjalan beriringan dengan sang gadis.

"Yuk, Neng. Enggak usah takut, saya mah bukan lelaki cunihin seperti mereka. Kalau mau jahil ke perempuan, saya selalu ingat sama Emak. Gimana kalau Emak juga digodain kayak gitu? Saya pasti marah besar," ucap lelaki itu setelah agak menjauh dari kedai.

Dalam hati, Sopi memuji ucapan pemuda di sampingnya yang sangat santun dan hormat memperlakukan ibunya. Yang jadi istrinya, sudah pasti akan diperlakukan dengan baik juga. Sopi malu sendiri, dan buru-buru menepis pikiran yang baru saja terlintas di benaknya. Mereka berjalan berdampingan. Keduanya sama-sama merasa canggung, tak ada yang berani membuka percakapan. Hanya sesekali mereka saling beradu pandang, kemudian sama-sama tersenyum dan menunduk, malu. Hingga tiba di tempat tujuan pun, mereka masih diam seribu bahasa.

Sementara itu, Pak Asep yang sedari tadi merasakan perasaannya tak enak, selalu terbayang wajah putri cantiknya. Rasa kuatir menggelayuti pikirannya, takut sesuatu menimpa Sopi. Sesekali ia menatap ke arah jalan, mencari sosok yang membuat hatinya gelisah. Tidak berapa lama, ia melihat gadis itu. Namun, ia tidak sendirian, seorang pemuda jangkung terlihat berjalan di sampingnya.

"Hei, pemuda, siapa kamu? Kenapa tampang anakku seperti ketakutan begitu? Hmm, mau macam-macam ya sama anak Jawara Pencak Silat ini? Hayu lah, Bapak mah enggak takut. Kita tandang di lapang sebelah!" Pak Asep sudah pasang kuda-kuda, bersiap untuk menyerang sosok yang terlihat sebagai ancaman bagi putri tersayangnya. Sopi dan Aden pun bengong.

Dengan kekuatan penuh, Pak Asep bersiap melayangkan pukulan ke arah pemuda tampan yang sedang berdiri di samping putrinya.

“Daddy—Daddy, calm down.” Sopi menghalangi serangan ayahnya dengan menggenggam tangan pria paruh baya itu yang sudah bulat terkepal dengan sempurna.

“Minggir, Sopi. Biar dia merasakan bogem mentah Bapak. Walau Bapakmu ini sudah tua, tapi Bapak masih kuat. Ayo sini, pemuda, lawan!” Pak Asep menghempaskan tangan Sopi yang menghalanginya.

“Pak Asep? Ini benar Pak Asep kan? Alhamdulillah, akhirnya kita ketemu juga.” Aden mencium punggung tangan pria di hadapannya yang napasnya masih tak beraturan. Emosi memenuhi rongga dadanya. Kedua matanya memelotot ke arah pemuda itu.

“Apa-apaan kamu? Diajak tanding malah cium tangan? Nyalimu ciut, Jang?” Pak Asep menghempaskan tangan Aden dengan kasar.

“Bapak lupa ya? Ini teh Aden, putranya Mak Otih. Dulu waktu SD Aden kan belajar pencak silat dari Bapak. Wah senangnya masih bisa berjumpa dengan guru bela diri favorit Aden.”

Mendengar penuturan pemuda yang berdiri di hadapannya, perlahan-lahan emosi Pak Asep menurun. “Jadi, ini Aden? Masya Allah, meuni kasep. Maafkan Bapak yang terlalu kuatir dengan keselamatan putri Bapak satu-satunya. Maklum, sejak Ibunya meninggal, hanya dia yang Bapak miliki di dunia ini. Bapak enggak mungkin lupa, hanya tadi mah pangling aja, sampai-sampai enggak ngenalin. Kamu kan yang pernah ngompol, ketakutan karena Bapak bentak, hahaha. Terus kamu itu terkenal paling cengeng di antara murid-murid Bapak yang lain. Kesenggol sedikit saja nangis kejer.” Pak Asep menepuk-nepuk pundak bekas murid pencak silatnya itu.

Aden tersipu malu sambil melirik gadis cantik di sampingnya yang sedang bengong menyaksikan percakapan antara dirinya dan Pak Asep. “Jadi, Eneng ini teh putrinya Bapak?” lanjutnya.

“Iya, ini namanya Sopi, anak Bapak. Hayu atuh masuk, kita ngobrol-ngobrol di dalam. Sopi suguhkan makanan sama minuman.”

Sopi beranjak menuju dapur menyiapkan suguhan untuk sang tamu. Sementara itu Aden dan sang Ayah sudah duduk di kursi ruang tamu. Sesekali, Pak Asep melirik Aden yang mencuri pandang ke arah Sopi. Sepertinya pemuda itu tertarik pada putrinya. Sebuah senyuman tersungging di bibir lelaki paruh baya itu. Sementara Aden, yang kepergok sedang curi-curi pandang, jadi salah tingkah. Hatinya mengakui perempuan itu memang cantik, hanya dandanannya saja yang menurutnya terlalu berlebihan alias menor. Andai gadis itu berdandan sederhana, aura kecantikannya akan terpancar alami. Tidak berapa lama, Sopi muncul dengan baki berisi dua gelas teh manis dan beberapa stoples berisi kue kering juga makanan ringan.

“Ayo—ayo dimakan, Den,” tawar Pak Asep setelah Sopi menaruh semua bawaannya di atas meja.

“Eh iya, ngomong-ngomong serabi pesanan Bapak mana?” Kali ini pandangan mata pria itu beralih pada Sopi.

“My mood is going down, Daddy. So maafkan Sovia yang tak jadi membelinya.”
Aden menatap heran gadis yang duduk di samping Pak Asep. Buset, bukan hanya dandanannya yang lain, cara bicaranya juga aneh, gumamnya.

“Kok bisa?” Kening Pak Asep berkerut. Tak mengerti dengan kalimat yang diucapkan putrinya barusan. Sejurus kemudian, lelaki itu manggut-manggut menyimak cerita putrinya.

“Duh, Den. Maafkan Bapak yang sudah menuduhmu yang bukan-bukan. Terima kasih telah menyelamatkan putri Bapak." Sudah waktunya Sopi punya pendamping hidup, yang akan melindunginya dari marabahaya, gumam Pak Asep dalam hati sambil menatap lekat-lekat Aden yang sedang mencuri pandang ke arah wajah Sopi. Untung saja, pemuda ini baik hati, jadi dia tetap membiarkan Aden memandang wajah Sopi sampai puas. Kalau pemuda culas yang melakukannya, pasti sudah dia gibas tanpa ampun sampai kapok.
***
“Daddy, ini kopinya.”

“Terima kasih, Sopi.” Gadis cantik itu mengangguk dan beranjak hendak menuju kamarnya.

“Sopi, mau ke mana? Sini duduk dulu sebentar, Bapak mau bicara.”

“Daddy, Sovia mau ke kamar, belum beres merapihkan alis.”

“Bentar doang kok. Enggak nyampe lima belas menit.” Pak Asep menyeruput kopinya. “Sopi, kopi buatan kamu mengingatkan Bapak sama almarhumah Ibumu. Racikannya sama-sama enak. Rasa kopi dan gulanya seimbang, pas.”
Sopi tersenyum melihat Ayahnya yang begitu penuh penghayatan menyeruput kopinya, terlihat sekali pria paruh baya itu menikmati setiap tegukan cairan hitam itu yang masuk ke kerongkongannya.

“Jadi begini, Geulis. Kamu sekarang sudah besar. Kuliah pun sudah selesai.” Pak Asep menatap wajah putri tersayangnya sebelum ia melanjutkan bicara. Pria itu tampak memutar otak mencari kalimat yang pas untuk menyampaikan maksudnya pada Sopi. “Sudah saatnya Bapak melepasmu, Sopi,” lanjutnya.

“Maksud Daddy?” Sopi tercengang mendengar ucapan lanjutan dari Ayahnya. Dahinya berkerut, tak paham dengan arah pembicaraan sang Ayah.

“Begini, Neng. Maksud Bapak—kamu—sudah waktunya kamu punya pendamping hidup.”

“What? Jadi maksud Daddy Sovia harus segera married? Menikah begitu? No, Daddy!”

“Dengar dulu Sopi. Bapak sudah pikirkan matang-matang hal ini. Bapak ....”

“Tapi, Daddy. Sovia enggak mau berpisah dari Daddy.” Sopi mulai terisak.

“Jangan nangis atuh, Neng. Bapak kan jadi ikut sedih. Setelah menikah nanti Sopi boleh kok tinggal di sini. Lagian calon kamu juga tinggalnya deket-deket sini kok.” Pak Asep mengelus lembut punggung putri tercintanya itu.

“Memangnya siapa orangnya, Daddy?” tanya Sopi, heran. Keningnya berkerut, seolah mencari siapa sosok pemuda yang tinggal di dekat sini. Ia menggelengkan kepalanya, nihil. Tak satu pun wajah lelaki yang bisa terbayang di benaknya.

“Kamu mau kan Bapak nikahkan sama Aden?” Pak Asep malah balik bertanya.
Sopi terperanjat mendengar Ayahnya menyebut nama itu. “What? Daddy enggak salah jodohin Sovia sama dia? Orangnya ganteng sih, tapi dandanannya persis seperti si Kabayan. Jangan-jangan dia juga pemalas, sama seperti Kabayan itu.”

“Sopi, kamu ingat waktu dia melindungi kamu dari pemuda-pemuda yang mengganggu?” Sopi mengangguk. “Nah, Bapak rasa dia bisa menjaga kamu dengan baik. Kesan pertama melihat dia, Bapak yakin dia anak yang baik, tidak seperti kebanyakan pemuda lainnya.”

Sopi tertegun. Pak Asep membiarkan gadis itu hanya diam saja, mungkin putrinya sedang mencoba meresapi semua ucapannya. Hanya helaan napas gadis cantik itu yang sesekali terdengar.
Setelah hening beberapa saat, tak lama kemudian, Sopi pun buka suara, “Baiklah, Daddy, beri Sovia waktu untuk berpikir.” Gadis itu menyeret langkahnya menuju kamar, meninggalkan Pak Asep yang di hatinya tengah berharap sang putri mau menerima rencana perjodohan ini.
Satu jam berlalu. Namun, tak ada tanda-tanda Sopi keluar dari kamarnya. Pak Asep pun merasa heran. Ia mulai mengetuk pintu kamar Sopi.

“Sopi, Neng, sarapan yuk.” Tak ada sahutan. “Geulis, Bapak udah bikinin telor ceplok kesukaan kamu. Kita makan bareng yuk.” Tetap tak ada sahutan. “Sopi, lagi apa di dalam? Masih dandan atau lanjutin mimpi? Masa baru juga bangun udah tidur lagi.”

Karena tak terdengar juga sahutan dari Sopi, Pak Asep membuka pintu kamar yang ternyata tak dikunci oleh pemiliknya. Namun, betapa kagetnya Pak Asep saat ia tak menemukan putrinya di dalam kamar itu. Ia mendapati jendela kamar putrinya terbuka lebar.

“Sopi? Kamu di mana, Nak? Ini mah ngajak Bapak main petak umpet ya?” Pak Asep mulai berkeliling ke seluruh ruangan, tetapi tetap saja ia tak menemukan putrinya. “Duh, Sopi. Kamu teh ke mana atuh? Bapak jadi kuatir.” Pak Asep memutuskan kembali ke kamar Sopi, siapa tahu di sana dia bisa menemukan petunjuk. Netra Pak Asep jatuh pada secarik kertas di atas nakas yang berisi tulisan tangan Sopi.

Daddy, maaf, Sovia gak bermaksud bikin Daddy cemas. Sovia hanya kesal mendengar rencana Daddy. Biarlah Sovia bertemu jodoh Sovia dengan sendirinya. Dan Sovia akan menikah setelah benar-benar merasa siap. Don’t worry Daddy, saat Daddy membaca surat ini, Sovia sudah berada di rumah Grandma.

Setelah membaca surat itu, Pak Asep yang sedari tadi pikirannya kalut, kini merasa lega. Bergegas lelaki itu melangkah ke luar hendak menyusul Sopi ke rumah Mak Onah. Wanita itu tampak sedang menjemur pakaian di halaman rumahnya. Ia merasa heran saat dari kejauhan tampak putranya sedang berlari tergopoh-gopoh menghampirinya. Wanita itu pun menyuruh putranya masuk dan menyodorkan segelas air putih yang langsung diteguk habis oleh Pak Asep.

“Heh, nyari apaan kamu teh? Tuh minum udah Emak ambilin. Kalau cemilan mah kebetulan lagi kosong.” Mak Onah memandang heran putranya yang mengedarkan pandangan ke seluruh sudut rumahnya.

“Mak, Sopi ada di sini?” Kembali Pak Asep mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan di rumah Emaknya.

Kening Mak Onah berkerut, heran dengan pertanyaan putranya. “Kalian kan tinggal serumah, kok nanya Sopi ke Emak?”
“Jadi, Sopi enggak ada di sini?” Pak Asep malah balik bertanya. Wajahnya mulai terlihat panik. Ia pun bangkit dari duduknya.

“Mau ke mana, Sep? Ada apa sebenarnya?” Asep menyerahkan surat yang ditulis Sopi kepada Mak Onah. Sejurus kemudian wanita itu membacanya dengan saksama. Raut wajahnya tampak serius.

“Seharusnya sudah sejam yang lalu dia tiba di sini,” ucap Mak Onah pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri.

“Duh, Sopi teh ke mana atuh ya, Mak?” Hati Pak Asep semakin diliputi rasa kuatir. Peluh mulai bercucuran di pelipisnya. Raut wajah Mak Onah pun sama-sama tegang, ikut merasakan kegelisahan yang sedang melanda putranya.

“Makanya, ini kan bukan zaman Siti Nurbaya. Kamu teh meuni seenaknya jodoh-jodohin Sopi.”

Pak Asep menyesali tindakannya, hingga membuat gadis itu pergi dari rumah. Kini entah di mana putrinya berada. Tak berapa lama, ia pun pamit untuk mencari putri kesayangannya. Namun, Mak Onah yang juga merasa sangat kuatir akan keberadaan cucunya, minta untuk ikut mencari. Akhirnya, mereka berdua berjalan menyusuri desa, berharap menemukan sosok cantik yang sangat dicintai.

“Sep, ngapain kamu bawa Emak ke kedai ini? Kamu belum sarapan? Kenapa tadi enggak makan di rumah Emak atuh?!” Mak Onah tampak kesal saat putranya membawa dia ke kedai serabi milik orang yang sangat dibencinya. Dulu, Mak Otih pernah berusaha merebut sang suami. Untunglah almarhum suaminya itu setia, sehingga tidak tergoda sedikit pun. Matanya menerawang, senyumnya terkembang ketika membayangkan sosok gagah perkasa sang suami yang mirip Gatotkaca.

Pak Asep memandang heran Mak Onah yang memasang muka cemberut. Sungguh, ia tak mengerti mengapa Ibunya begitu membenci Mak Otih dan sama sekali tak mau makam kue serabi yang terkenal lezat ini.

“Assalamuaalaikum, Mak. Aden ada?” Pak Asep mencium takzim punggung tangan Mak Otih. Mak Onah memalingkan wajah melihatnya. Sebal.

“Waalaikumsalam, ada, sebentar ya, Den, Aden, ada yang nyari nih!” teriak Mak Otih. Tidak berapa lama, Aden pun keluar.

“Eh, Pak Asep, ada apa Pak?” Aden mencium tangan Pak Asep, kemudian ia hendak mencium punggung tangan Mak Onah, namun Neneknya Sopi itu tak membalas uluran tangan pemuda ganteng itu.

“Sep, Emak mah pulang aja ya, panas lama-lama berada di sini. Kabari Emak kalau Sopi sudah ditemukan.” Mak Onah melangkahkan kakinya lebar-lebar, bergegas meninggalkan kedai itu, diiringi tatapan bengong Pak Asep dan pandangan heran Aden juga Mak Otih.
“Maafin Emak saya, ya. Beliau lagi sakit gigi, jadinya agak sensitif begitu.” Pak Asep mencoba mencari alasan atas sikap Mak Onah.

Aden memandang heran ke wajah mantan guru pencak silatnya yang kelihatan tegang itu. Pak Asep menceritakan tentang kepergian Sopi dari rumah yang katanya mau minggat ke rumah Nenek, tetapi gadis itu tak diketahui ke mana rimbanya. Setelah pamit pada Mak Otih, mereka berdua pun berangkat menyusuri setiap sudut desa mencari keberadaan gadis cantik itu.
***
“Duh, Den, kita harus cari ke mana lagi ya? Belum terlihat tanda-tanda keberadaan Sopi. Kamu di mana atuh Geulis? Baik-baik aja kan di sana?” Pak Asep terlihat sangat cemas. Wajahnya membiaskan kelelahan. Namun, ia tepiskan rasa itu. Kuatir akan keadaan putrinya lebih besar dibandingkan apapun juga.

“Sabar, Pak, kita belum menyusuri seluruh ruas jalan desa ini. Udah Zuhur, Pak. Kita salat dulu di masjid itu yuk, sambil memanjatkan doa buat Neng Sopi juga.” Aden menunjuk sebuah mesjid besar yang terletak di ujung gang.

Pak Asep mengangguk lemah. Tidak berapa lama, mereka berdua sudah berbaur dengan orang-orang, khusyuk menunaikan salat Zuhur berjamaah di mesjid itu serta memanjatkan doa untuk Sopi.

“Den, kita istirahat sebentar di sini.” Pak Asep menenggak air mineral di dalam botol, kemudian ia menyodorkan satu botol lagi pada Aden. “Nih, minum dulu, Den.”

“Terima kasih, Pak. Oh, ya, boleh Aden tanya-tanya tentang Neng Geulis?” ucap Aden dengan nada ragu dan malu-malu.

“Tentu saja, biar lebih tahu tentang calon istrimu.” Pak Asep memandang wajah pemuda calon menantunya itu, yang raut wajahnya sedang tampak merah jambu itu.

Pipi Aden bersemu merah, hatinya berdesir aneh. “Pak, ngomong-ngomong sejak kapan Ibunya Neng Sopi meninggal?”

“Ibunya meninggal saat melahirkan dia. Makanya Bapak selalu berusaha membahagiakan dia, kasihan sejak kecil dia enggak merasakan kasih sayang seorang Ibu.” Netra Pak Asep berkaca-kaca. Sekelebat bayang wajah sang istri muncul di pelupuk matanya.

Aden manggut-manggut, “Lantas, Pak—maaf sebelumnya kalau Aden lancang, tetapi Aden penasaran sama dandanan juga gaya bicara Neng Geulis yang—maaf, terlihat aneh.”

“Hahaha, iya dia memang unik. Logat bicaranya dan dandanannya seperti itu sejak lulus kuliah jurusan sastra Inggris. Bapak juga enggak tahu dia dapat pengaruh dari mana.” Pak Asep tergelak membayangkan style dandanan dan gaya bicara putri semata wayangnya itu.
Oh, pantesan atuh si Eneng teh begitu. Sekali lagi Aden manggut-manggut.

“Makanya, Den, kalau memang kalian ditakdirkan berjodoh, Bapak titip Sopi ya. Selama ini Bapak belum maksimal membimbing dia, terutama dalam hal agamanya. Tolong, bimbing dia untuk lebih mengenal Islam.” Pak Asep menepuk-nepuk pundak Aden.

Aden mengangguk. “Pak, udah enggak capek kan? Kita lanjutkan mencari Neng Sopi yuk.”

Pak Asep mengangguk, kemudian dua laki-laki itu beranjak dari teras mesjid. Berdua mereka melangkah meninggalkan mesjid, melanjutkan pencarian.
***
Baca cerpen lainnya di sini:
[Link DISINI[URL=]link di sini[/URL]

Cinta Bersemi di Kedai Serabi
Diubah oleh suciasdhan 30-06-2020 02:33
lianasari993
firdainayah
novianalinda
novianalinda dan 79 lainnya memberi reputasi
80
13.8K
634
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
suciasdhanAvatar border
TS
suciasdhan
#200
Jodoh di Bulan Ramadhan
Kupinta Dirimu di Sepertiga Malam

Cinta Bersemi di Kedai Serabi

Cinta Bersemi di Kedai Serabi

Sumber gambar: Klik

Ramadhan, bulan nan penuh berkah dan ampunan, hadirnya selalu dinantikan, kepergiannya menyisakan kerinduan yang mendalam serta harapan untuk berjumpa kembali dengan Ramadhan berikutnya. Ramadhan, bulan terkabulnya do’a, harapan, dan keinginan
***
Juni 2018

“Duh, telat lagi nih ngajar,” gumam Dewi dengan penuh penyesalan, salahnya sehabis sahur dan shalat subuh dia ketiduran. Sesekali ia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.

Brukk

Saking terburu-buru, baru saja ia menabrak seseorang karena tidak memperhatikan langkahnya. Ia pun terjatuh.

“Maaf, saya nggak sengaja.” Dewi mencoba bangkit sambil merapikan jilbabnya yang agak sedikit miring. Jantungnya berdegup saat menyaksikan lelaki di hadapannya. Lelaki itu tinggi, tubuhnya atletis, sempat tercium aroma parfumnya yang maskulin saat bertabrakan tadi, kalau diperhatikan dengan saksama, raut wajahnya hampir mirip dengan Adam Levine, vokalis Maroon 5.

“Maaf saya juga nggak sengaja. Nggak ada yang terluka, 'kan?”

Dewi hanya mampu menggeleng. Entah mengapa lidahnya terasa kelu untuk mengurai kata-kata. Dengan tergesa ia melangkah pergi menjauh dari lelaki itu, berusaha menutupi kegugupannya.

“Wi, tumben, nih, kesiangan. Pasti habis sahur tidur lagi terus kebablasan, ya?”

“Iya nih, Ra, gara-gara lanjutin mimpi, aku jadi telat.”

Zarra tertawa saat menyadari jilbab sahabatnya itu berantakan. “Kesiangan, sih, kesiangan. Masa guru dandanannya berantakan gitu. Malu dong, sama murid-muridnya, mana hari ini mau kedatangan putra ketua yayasan. Rencananya, sih, mau ngantor di sini.”

“Jangan ketawa dulu, aku di rumah udah dandan syantik loh, jadi begini itu karena ....”

Baru saja Dewi akan melanjutkan ceritanya, kedua mata gadis cantik itu dibuat terbelalak menyaksikan pemandangan di hadapannya.

“Loh, kamu yang tadi tabrakan sama aku di parkiran, 'kan?”

“Kamu ..., perempuan yang tadi terjatuh karena tabrakan sama aku? Wah, dunia ternyata sempit, ya, hehehe," ucapnya sembari tertawa renyah.

“Iya. Ngomong-ngomong, ngapain kamu disini? Mau ngelamar kerja, ya? Sayang sekali di sekolah ini sudah penuh, nggak ada lowongan.” Dengan percaya dirinya Dewi menjelaskan, tak mau terlihat salah tingkah. Namun, aneh, desir di hatinya tak juga hilang.

“Sssstt, Wi. Itu, kan, Pak Duta Modjo, putra ketua yayasan kita.”

Dewi terlonjak kaget mendengar bisikan Zarra sahabatnya. Malu. Saat ini wajahnya pasti merah padam. Sapaan diantara mereka pun berubah, yang semula “aku” menjadi “saya”. Canggung.

“Maaf, Pak. Saya benar-benar nggak tahu kalau Bapak ....”

“Tak apa-apa, lagian kita, kan, belum berkenalan. Kamu guru sekaligus bendahara sekolah, 'kan? Saya tunggu di ruangan, ya. Ada yang mau didiskusikan.”

Duh gusti, mimpi apa semalam? Malu aku.

Meledaklah tawa Zarra menyaksikan Dewi yang tengah terpaku sambil salah tingkah sekaligus gelisah.

“Buruan menghadap sana. Dia masih single loh, siapa tahu jodoh,” goda Zarra menyikut lengan sahabatnya yang masih berdiri mematung.
***
“Wi, belum pulang?”

“Eh, Bapak. Belum Pak, lagi nunggu taksi," jawab Dewi singkat, berusaha terlihat tenang padahal ia sangat gugup, tak mampu menatap sosok di hadapannya, hanya melihat ke arah jalanan saja, menyaksikan lalu-lalang beberapa kendaraan yang lewat.

“Saya antar pulang, ya,” tawar lelaki di hadapannya, tulus.

“Nggak usah Pak. Merepotkan.”

“Sudah hampir maghrib, Wi, jalanan macet. Susah loh mendapatkan taksi, saya antar, ya,” tawarnya sekali lagi.

Duh si Adam Levine ini kok maksa?

Akhirnya, runtuhlah pertahanan Dewi, sehingga ia menerima tawaran itu. Lagi pula, sedari tadi, dia belum juga mendapat taksi.

“Wi, rumahmu di daerah mana?” tanya Duta setelah mereka berada di dalam pajero sport biru miliknya.

“Di Antapani Pak." Dewi masih terlihat kikuk. Bahkan, sejak tadi kedua telapak tangannya dingin. Dia masih menatap lurus ke depan, tak mampu menatap lawan bicaranya.

“Jangan panggil Bapak, panggil nama saja, biar lebih akrab.”

Dewi hanya terdiam, debar jantungnya kian kentara. Setelah beberapa lama, tibalah mereka di sebuah komplek perumahan di bilangan Antapani.

“Sudah Pak, turun disini saja, itu rumah saya yang bercat putih. Terima kasih, ya, Pak atas tumpangannya." Dewi bergegas turun dari mobil tanpa menoleh ke arah Duta yang sedang memandangnya heran.

“Saya mampir sebentar, ya.”

Dewi terbelalak, tak menyangka dengan kalimat yang meluncur dari mulut Duta barusan.

“Mau ngapain, Pak?” Hanya itu yang mampu terucap. Terbayang di benak Dewi kehebohan ibunya nanti jika melihat sosok Duta.

“Mau batalin puasa. Boleh, kan, saya minta ta’jilnya sedikit? Saya nggak rakus, kok, nggak bakalan saya habiskan, hehehe,” canda Duta mencoba mencairkan suasana.

Dewi tak bisa menolak. Dengan gontai ia melangkah menuju rumah. Setelah mengucapkan salam, perlahan ia membuka pintu.

“Wi, ini toh calonnya kamu? Cakep bener, kenapa nggak dikenalin dari dulu, sih?” Ibu menyalami Duta.

Benar, kan, dugaan Dewi, ibunya pasti heboh. “Bukan Bu, ini Pak ...”

“Ah kamu ini suka pura-pura, deh. Kenalkan, Nak, saya Een, ibunya Dewi."

“Saya Duta Modjo, Bu, staf yayasan di sekolah Dewi mengajar." Duta mencium takzim punggung tangan Ibu.

"Udah adzan, nih. Nak Duta, buka di sini aja, ya. Kebetulan Ibu buat kolak pisang lumayan banyak. Nggak akan habis kalau dimakan berdua sama Dewi. Yuk."

Duta membalas dengan anggukan sembari mengekori Dewi dan Ibunya ke meja makan.

Dewi benar-benar merasa malu. Sudah dua kali hal yang memalukan dialaminya bersama Duta. Kini, dia benar-benar tak sanggup menatap wajah putra ketua yayasan itu. Bahkan, untuk sekedar curi-curi pandang pun, tak berani. Dia hanya mengaduk-aduk mangkuk berisi kolak pisang di hadapannya dan sama sekali tak menikmati buka puasanya kali ini.

“Kirain kamu beneran bakal nikah akhir tahun ini, Wi. Keduluan lagi, deh, sama Lastri, anaknya Bu RW. Habis lebaran ini dia mau nikah,” ucap Ibu lemah setelah Duta pulang.

Dengan mata berkaca-kaca, ia masuk ke kamar, mengunci diri. Hal yang selalu dilakukan saat ia merasa tak berdaya. Masih sempat ia mendengar perkataan ibunya sebelum masuk kamar, ia menghela napas dengan berat.

Dalam tahajudnya, ia tumpahkan segala keresahan hati pada sang Khalik. Aneh, tidak seperti tahajud-tahajud sebelumnya. Malam ini, setiap mata Dewi terpejam, mengapa selalu muncul wajah Duta. Bayangannya semakin jelas, seolah enggan hilang, walau Dewi berusaha menghalaunya, beriringan dengan do’a yang tengah ia panjatkan.
***
Desember 2018

Hotel mewah ini menjadi saksi, atas izin Allah, bersatulah dua insan dalam sebuah ikatan yang agung dan suci.

Dewi Adeliana, S.Pd dan Duta Modjo, M.M tengah bersanding di pelaminan bak raja dan ratu sehari.

Akhir tahun ini, terkabul sudah do’a-do’a yang selalu ia lafadzkan sejak bulan Ramadhan. Tercapai sudah keinginan ibunya untuk meminta ia segera menikah, mengingat usianya yang sudah menginjak kepala tiga. Terjawab sudah pertanyaan orang- orang sekitar dan sanak saudara tentang jodohnya.

Ramadhan tahun depan, mungkin akan dibanjiri pertanyaan seputar momongan. Dewi tak akan selemah dulu saat ditanya mengenai jodohnya, karena ia merasa kuat menjalani hari-hari ke depan bersama belahan jiwa yang sudah sekian lama ia nantikan. Ia tak akan resah dengan masalah, karena ia punya Allah yang Maha Hebat, pengabul do’a-do’anya, tempat ia meminta dan mengadu segala gundah di hati.

Baca cerpen lainnya: Klik

#BelajarBersamaBisa
#BBB
Diubah oleh suciasdhan 03-08-2020 06:25
miftakhana
embunsuci
betiatina
betiatina dan 15 lainnya memberi reputasi
16
Tutup