![sriwijayapuisis](https://s.kaskus.id/user/avatar/2019/02/25/avatar10528792_8.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
sriwijayapuisis
Kumpulan Puisi untuk Ibu
Cahaya Surga
![Kumpulan Puisi untuk Ibu](https://s.kaskus.id/images/2019/06/26/10528792_201906261125450947.jpg)
Ilustrasi gambar google.com
![Kumpulan Puisi untuk Ibu](https://s.kaskus.id/images/2019/06/26/10528792_201906261125450947.jpg)
Ilustrasi gambar google.com
Dalam gelap ananda merayap
Tersandung adalah obat perih
Ketika cahayamu tak lagi menyinari
Duniaku seolah tak berarti
Lentera yang selalu terpancar
Kini padam tanpa hembusan angin
Malammalam menjadi dingin
Tiada sentuh hangat dari jemarimu yang lelah
Kepada siapa surga kan terharap
Bila kasihmu bak lenyap
Suaramu mendayu pilu
Merintih di penghujung waktu tanpa adaku
Oh ibu, ananda kian tersayat sembilu
Melihatmu kian jauh dari dekapanku
Sedang kasihmu tiada pernah pupus
Menyinari dunia layaknya cahaya surga
Mungkinkah ananda bisa menjamah kakimu dan bersujud
Melebur segala salah khilaf diri
Sedang cintamu serupa peri
Tak pinta balas meski tersakiti
Matesih 2019
Perempuan diujung Senja
Iris choklat itu tak mampu kupandang
Meski sekejap untuk mengenang
Aku takut dan segan
Bilakah iris itu menatap kegetiran
Di ufuk barat langkahnya kian cepat
Membenamkan kaki pada langit semburat jingga
Wajahnya kian terpancar merona
Ada seribu bahasa tersimpa di balik iris coklatnya
Ia terdiam dalam sepi
Meresapi hawa jahat jua cahaya keputihan
Ia bersidekap dengan masa yang lewat
Melerai kenangan ketika senja bertandang
Kaki ringkihnya seolah menjerit di keheningan
Pada ujung waktu yang tak sempat terucapkan
Bila ia datang dengan ketabahan paling lapang
Memeluk ufuk yang menjauh pergi
Dari bukit turun ke lembah-lembah yang subur
Di ujung senja ia bertafakur
Mungkin esok irisnya tiada lagi memancar
Seperti hari yang melukis senja diujung harap
Batinnya kuat memukul gamang
Adakah waktu berpulang tenang
Saat dedaun muda mulai melebar mayang
Matesih, 2019
Selendang Kasih Bunda
Matahariku telah bersinar Bunda
Saat fajar tenggelam mengerikan embun
Lembut sentuhannya menghangatkan kulitku
Tapi apakah rasa itu sama
Saat kecupan hangatmu membelai mesra
Ketika hangat sentuhmu menentramkan jiwa
Gemuruh di dada seolah mengoyak batin
Bak debur ombak menyapu samudera
Aku seolah karam di bibir pantai
Renjana telah memasung belantara jiwa tanpa belas kasih
Tersyukur pilu di tepi keramaian insan
Bagai mati dalam kenangan
Merangkul muara kasih sayang
Oh Bunda, butiran kasihmu melena
Hanyutkan aku dalam lautan kasih abadi
Kini aku merindu sentuh hangat senjamu
Bunda … arus zaman telah aku lewati
Bersama selendang yang kauikat di pinggang ini
Warnanya kian memudar, bersama kecupanmu yang jarang kurasakan
Bunda … sentuh kasihmu tiada terganti, dalam lelapku merangkai mimpi
Selendang sutramu berkibar
Melambai pada senja yang hampir termakan gulita
Oh Bunda, aku merasa kalah
Tak dapat menyuguhkan lautan kasih seperti yang kauberi
Garam asin air lautan seolah hambar
Kala senandung tentangmu berdendang
Butiran tirta menerobos keluar
Meremas hatiku tanpa cela
Aku jatuh berselendang kasih bunda
Membungkus tirai yang tak lagi sama
Dalam sayu pandang ini melena
Pada bayangmu yang jauh di mata
Aku rindu memeluk sang bunda
Matesih, 26 Juni 2019
Oleh: Sriwijaya
Potret Tua
Senja
Getir terasa
Buram pandang mata
Saat melihat potret tua
Rindu membuncah kalbu
Menghalangi jarak pandangku
Hujan jatuh perlahan
Teringat masa silam
Raut wajahmu ayu
Tersenyum simpul berkarisma
Menawan sejuta hikayat cinta
Setiap masa yang ada
Hati terasa pilu
Tersiram butiran haru
Saat potret tua terpandang
Rindu menyergap datang
Hendak memeluk dalam dekapan sayang
Malang! Tinggal kenangan
Karena dia telah pergi
Memenuhi panggilan Ilahi
Ibu … i love you
Matesih, 21 April 2019
Oleh: Sriwijaya
Rembulan Senja
Seraut wajah hadir di pelupuk mata
Memasung rintik pilu di kedalaman jiwa
Dekap erat ilusi diri
Memotong guratan suci di palung hati
Jatuh sudah bergemintang bintang
Pada rembulan yang melamun bimbang
Gemuruh ombak menyapu pandang
Menawan semburat jingga di langit
kelam
Kulihat ia mematung ragu
Pada bulan bercahaya ayu
Teduh pandang itu
Meremang bersama waktu, lalu ….
Titik nadir berdenyut syahdu
Melantunkan puisi racu
Rembulan senja memandang pilu
Indah sinarnya sayu
Ah, rembulan senjaku kini tak lagi memuja
Pada alam bernuansa jingga
Ia telah mendekap malam
Bersama sejuta kenangan
Di gubuk tua itu, sejarah cerita telah berlalu
Merakit mimpi salju dengannya rembulan senjaku
Kini rindu akan masa indah itu
Bermuara kasih ibu
Matesih, 26 Juni 2019
Oleh: Sriwijaya
Salam untuk Sang Pelita
Lambaian tanganmu meruntuhkan hati ini
Kulihat embun kaca kian buram
Halangi pandang kian dalam
Mentari seolah tersenyum kecut ke arahku
Saat kaki ini melangkah maju
Berat terasakan
Debar dadaku tak terarah
Meninggalkan jejak di bilik netramu
Sesak menghimpit kalbu
Namun aku terus maju menyeberangi lautan kasih sayangmu
Salam ibu aku mengembara
Mengikuti era yang berbeda
Pada zaman yang semakin tua
Melintasi jarak dan masa
Restumu kubawa serta
Melekat dalam benak kepala
Salam untuk sang pelita hati, atas kerinduan ini
Lambaian tanganmu akan kukenang
Sebagai batu loncatan, menuju masa depan
Sampai waktu jadi pemersatu, menyatukan kita dalam temu
Ingin aku memelukmu syahdu
Rangkul aku kembali ibu dalam kasihmu
Aku rindu mengecup kening tua itu
Matesih, 21 April 2019
Oleh: Sriwijaya
Melihat
Aku hanya bisa mendengar
Ketika virus datang menyerang
Gerogoti tubuh ringkihmu
Pilu
Aku hanya bisa melihat
Ketika senja menghiasi paras ayumu
Menguliti kelopak mata ini
Nyeri riang bernyanyi
Memperolok diri
Mengapa bukan aku yang menjadi balutan lukamu
Saat tubuh itu termakan virus dunia
Menua
Matesih, 25-6-2019
Oleh: Sriwijaya
Maafkan Aku Ibu
Duhai kau yang tersebut pelita hati
Guru kala kaki belum menapak bumi
Petuah bijakmu bagai lagu riang gembira
Saat telinga ini masih menuli dari dunia
Celoteh manjamu adalah senandung lelapku
Kidung asmaradhana di kelopak mata
Kini kautelah menua
Meringkih dalam balutan senja
Wahai kaupelita hati aku malu
Samudera asmara kauberi
Tanpa pinta balas jasa
Tapi apa yang aku beri dimasa senjamu
Hanya ratapan pilu berdinding senyum palsu
Aku tahu pahatan luka mengoyak batin
Hingga derai jatuh tanpa arah
Kau tersedu di ranjang tua
Meruntuh hati membalut lara
Mengapa buah hatimu terluka
Sedang awan masih mengelambu di langit
Tanpa datangkan hujan dimasa gersang
Oh ibu, maafkan aku
Tak bisa membalas jasamu
Hanya pilu buah lelaku insan
Menoreh sayatan buah hatimu
Dan kau yang meruntuh pilu atas luka hatiku
Matesih, 26 Juni 2019
Oleh: Sriwijaya
Terima Kasih Kunjangannya![Big Kiss emoticon-Big Kiss](https://s.kaskus.id/images/smilies/smilies_fdbkvxytxtgi.gif)
![Big Kiss emoticon-Big Kiss](https://s.kaskus.id/images/smilies/smilies_fdbkvxytxtgi.gif)
![Kumpulan Puisi untuk Ibu](https://s.kaskus.id/images/2020/07/16/10528792_202007160423540830.jpg)
Tersandung adalah obat perih
Ketika cahayamu tak lagi menyinari
Duniaku seolah tak berarti
Lentera yang selalu terpancar
Kini padam tanpa hembusan angin
Malammalam menjadi dingin
Tiada sentuh hangat dari jemarimu yang lelah
Kepada siapa surga kan terharap
Bila kasihmu bak lenyap
Suaramu mendayu pilu
Merintih di penghujung waktu tanpa adaku
Oh ibu, ananda kian tersayat sembilu
Melihatmu kian jauh dari dekapanku
Sedang kasihmu tiada pernah pupus
Menyinari dunia layaknya cahaya surga
Mungkinkah ananda bisa menjamah kakimu dan bersujud
Melebur segala salah khilaf diri
Sedang cintamu serupa peri
Tak pinta balas meski tersakiti
Matesih 2019
Perempuan diujung Senja
Iris choklat itu tak mampu kupandang
Meski sekejap untuk mengenang
Aku takut dan segan
Bilakah iris itu menatap kegetiran
Di ufuk barat langkahnya kian cepat
Membenamkan kaki pada langit semburat jingga
Wajahnya kian terpancar merona
Ada seribu bahasa tersimpa di balik iris coklatnya
Ia terdiam dalam sepi
Meresapi hawa jahat jua cahaya keputihan
Ia bersidekap dengan masa yang lewat
Melerai kenangan ketika senja bertandang
Kaki ringkihnya seolah menjerit di keheningan
Pada ujung waktu yang tak sempat terucapkan
Bila ia datang dengan ketabahan paling lapang
Memeluk ufuk yang menjauh pergi
Dari bukit turun ke lembah-lembah yang subur
Di ujung senja ia bertafakur
Mungkin esok irisnya tiada lagi memancar
Seperti hari yang melukis senja diujung harap
Batinnya kuat memukul gamang
Adakah waktu berpulang tenang
Saat dedaun muda mulai melebar mayang
Matesih, 2019
Selendang Kasih Bunda
Matahariku telah bersinar Bunda
Saat fajar tenggelam mengerikan embun
Lembut sentuhannya menghangatkan kulitku
Tapi apakah rasa itu sama
Saat kecupan hangatmu membelai mesra
Ketika hangat sentuhmu menentramkan jiwa
Gemuruh di dada seolah mengoyak batin
Bak debur ombak menyapu samudera
Aku seolah karam di bibir pantai
Renjana telah memasung belantara jiwa tanpa belas kasih
Tersyukur pilu di tepi keramaian insan
Bagai mati dalam kenangan
Merangkul muara kasih sayang
Oh Bunda, butiran kasihmu melena
Hanyutkan aku dalam lautan kasih abadi
Kini aku merindu sentuh hangat senjamu
Bunda … arus zaman telah aku lewati
Bersama selendang yang kauikat di pinggang ini
Warnanya kian memudar, bersama kecupanmu yang jarang kurasakan
Bunda … sentuh kasihmu tiada terganti, dalam lelapku merangkai mimpi
Selendang sutramu berkibar
Melambai pada senja yang hampir termakan gulita
Oh Bunda, aku merasa kalah
Tak dapat menyuguhkan lautan kasih seperti yang kauberi
Garam asin air lautan seolah hambar
Kala senandung tentangmu berdendang
Butiran tirta menerobos keluar
Meremas hatiku tanpa cela
Aku jatuh berselendang kasih bunda
Membungkus tirai yang tak lagi sama
Dalam sayu pandang ini melena
Pada bayangmu yang jauh di mata
Aku rindu memeluk sang bunda
Matesih, 26 Juni 2019
Oleh: Sriwijaya
Potret Tua
Senja
Getir terasa
Buram pandang mata
Saat melihat potret tua
Rindu membuncah kalbu
Menghalangi jarak pandangku
Hujan jatuh perlahan
Teringat masa silam
Raut wajahmu ayu
Tersenyum simpul berkarisma
Menawan sejuta hikayat cinta
Setiap masa yang ada
Hati terasa pilu
Tersiram butiran haru
Saat potret tua terpandang
Rindu menyergap datang
Hendak memeluk dalam dekapan sayang
Malang! Tinggal kenangan
Karena dia telah pergi
Memenuhi panggilan Ilahi
Ibu … i love you
Matesih, 21 April 2019
Oleh: Sriwijaya
Rembulan Senja
Seraut wajah hadir di pelupuk mata
Memasung rintik pilu di kedalaman jiwa
Dekap erat ilusi diri
Memotong guratan suci di palung hati
Jatuh sudah bergemintang bintang
Pada rembulan yang melamun bimbang
Gemuruh ombak menyapu pandang
Menawan semburat jingga di langit
kelam
Kulihat ia mematung ragu
Pada bulan bercahaya ayu
Teduh pandang itu
Meremang bersama waktu, lalu ….
Titik nadir berdenyut syahdu
Melantunkan puisi racu
Rembulan senja memandang pilu
Indah sinarnya sayu
Ah, rembulan senjaku kini tak lagi memuja
Pada alam bernuansa jingga
Ia telah mendekap malam
Bersama sejuta kenangan
Di gubuk tua itu, sejarah cerita telah berlalu
Merakit mimpi salju dengannya rembulan senjaku
Kini rindu akan masa indah itu
Bermuara kasih ibu
Matesih, 26 Juni 2019
Oleh: Sriwijaya
Salam untuk Sang Pelita
Lambaian tanganmu meruntuhkan hati ini
Kulihat embun kaca kian buram
Halangi pandang kian dalam
Mentari seolah tersenyum kecut ke arahku
Saat kaki ini melangkah maju
Berat terasakan
Debar dadaku tak terarah
Meninggalkan jejak di bilik netramu
Sesak menghimpit kalbu
Namun aku terus maju menyeberangi lautan kasih sayangmu
Salam ibu aku mengembara
Mengikuti era yang berbeda
Pada zaman yang semakin tua
Melintasi jarak dan masa
Restumu kubawa serta
Melekat dalam benak kepala
Salam untuk sang pelita hati, atas kerinduan ini
Lambaian tanganmu akan kukenang
Sebagai batu loncatan, menuju masa depan
Sampai waktu jadi pemersatu, menyatukan kita dalam temu
Ingin aku memelukmu syahdu
Rangkul aku kembali ibu dalam kasihmu
Aku rindu mengecup kening tua itu
Matesih, 21 April 2019
Oleh: Sriwijaya
Melihat
Aku hanya bisa mendengar
Ketika virus datang menyerang
Gerogoti tubuh ringkihmu
Pilu
Aku hanya bisa melihat
Ketika senja menghiasi paras ayumu
Menguliti kelopak mata ini
Nyeri riang bernyanyi
Memperolok diri
Mengapa bukan aku yang menjadi balutan lukamu
Saat tubuh itu termakan virus dunia
Menua
Matesih, 25-6-2019
Oleh: Sriwijaya
Maafkan Aku Ibu
Duhai kau yang tersebut pelita hati
Guru kala kaki belum menapak bumi
Petuah bijakmu bagai lagu riang gembira
Saat telinga ini masih menuli dari dunia
Celoteh manjamu adalah senandung lelapku
Kidung asmaradhana di kelopak mata
Kini kautelah menua
Meringkih dalam balutan senja
Wahai kaupelita hati aku malu
Samudera asmara kauberi
Tanpa pinta balas jasa
Tapi apa yang aku beri dimasa senjamu
Hanya ratapan pilu berdinding senyum palsu
Aku tahu pahatan luka mengoyak batin
Hingga derai jatuh tanpa arah
Kau tersedu di ranjang tua
Meruntuh hati membalut lara
Mengapa buah hatimu terluka
Sedang awan masih mengelambu di langit
Tanpa datangkan hujan dimasa gersang
Oh ibu, maafkan aku
Tak bisa membalas jasamu
Hanya pilu buah lelaku insan
Menoreh sayatan buah hatimu
Dan kau yang meruntuh pilu atas luka hatiku
Matesih, 26 Juni 2019
Oleh: Sriwijaya
Terima Kasih Kunjangannya
![Big Kiss emoticon-Big Kiss](https://s.kaskus.id/images/smilies/smilies_fdbkvxytxtgi.gif)
![Big Kiss emoticon-Big Kiss](https://s.kaskus.id/images/smilies/smilies_fdbkvxytxtgi.gif)
![Kumpulan Puisi untuk Ibu](https://s.kaskus.id/images/2020/07/16/10528792_202007160423540830.jpg)
Quote:
Diubah oleh sriwijayapuisis 09-04-2021 04:14
![dahyun98](https://s.kaskus.id/user/avatar/2020/04/21/avatar10846517_2.gif)
![laylasyah](https://s.kaskus.id/user/avatar/2020/03/23/avatar10829872_9.gif)
![dalledalminto](https://s.kaskus.id/user/avatar/2019/03/29/avatar10561255_2.gif)
dalledalminto dan 36 lainnya memberi reputasi
37
16.3K
400
![Guest](https://s.kaskus.id/user/avatar/default.png)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
![sriwijayapuisis](https://s.kaskus.id/user/avatar/2019/02/25/avatar10528792_8.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
sriwijayapuisis
#339
Kepada Penyair Bangsaku
Juli Kelabu
![Kumpulan Puisi untuk Ibu](https://s.kaskus.id/b/images/2020/07/19/10528792_202007190450030365.png)
Google
Juli mengembun bulu-bulu mataku
Katamu, "tak ada yang lebih tabah seperti hujan di bulan juni
Seolah merangkai kesendirian di bawah tangisan hujan
Melerai makna di bawah tetesannya
Engkau juga pernah berinsyarat
Suatu hari nanti sajak-sajakmu tinggal kenangan
Tinggal rangkaian kata semata
Namun, tak akan membiarkanya sendiri
Meresapi tiap bait-bait di sana
Kini, aku tahu
Engkau adalah penantian
Sajak-sajak indah dalam sejarah peradaban
Karena engkau aku merunduk kata
Terdiam dalam sepi berpita
Entah. Masikah kutemukan yang lain
Sebagai pengantimu dalam embun butaku
Ketika sosokmu tak lagi menghiasi angan
Atau memang aku yang enggan berpaling
Meniadakan namamu di bukit-bukit kisah
Bukankah puisi hanya perasan darah
Bait-bait nurani yang terangkai pasi
Goresan duka cita dalam kenangan
Layaknya daundaun yang terkoyak sang angin
Jatuh dan terhempas
Kadang hilang tanpa bekas
Di ufuk barat senja telah menanti
Hadirmu dalam dekapan Langit
Buih cinta seolah memutih darah
Melangitkan pinta di awan-awan kelabu
Kini, aku tak tahu harus apa
Mencarimu dalam warna apa
Mengenangmu ataukah melupa
Sedang di sana ada mega menggantung tabah
Melangit harapan jua doa
Semoga semoga semoga
Terkuburlah khilaf dan dosadosa
Kata amin menggema di mana-mana
Matesih, 19 Juli 2020
Lelaki Ujung Hari
Hanya dengan tubuh puisi jiwamu hidup abadi
Namamu harum menghiasi jagat ini
Hanya dengan berpuisi
Kau selami bait-bait mati seolah menghidupkannya kembali
Setipis ilalang sesantai jerami tertiup angin
Seperti bisikan camar di ujung hari, maka
Aku biarkan engkau lewat jalan ini
Menaiki awan-awan beku
Meninggalkan jejak kenangan cinta dan rindu
Bila semburat matahari esok terpancar
Biarkan aku hidup untuk mengenang
Saat lelaki ujung hari telah berkawan
Menaiki kuda berpacu dengan waktu
Ia telah hidup di bilah-bilah jantung dunia
Menjejal segala cela ranggasnya alam dengan tinta harapan
Dan kini ia abadi dalam pikiran
Tabahkan hati yang mulai meranggrang
Di bukit sunyi ini
Aku berujar kata, adakah esok hari akan sama
Ketika lelaki ujung hari telah terbenam layaknya sang surya
Atau mungkin waktu akan meniadakan putih dalam hitam
Serupa buih di lautan menguap tanpa kabar
Sidodadi, minggu 19-7-2020
12:44
Mengenangmu
Setipis kapas keabadian tercipta
Senjatamu telah tertancap dalam sukma
Kini, engkau terbujur kaku dalam doadoa
Memutuskan segala urusan dunia
Kembali pada Si Empu pemilik kehidupan sejati
Taukah engkau
Baitbait itu tinggal kenangan
Sejarah yang tak lengkang oleh masa
Sajak-sajak yang dulu tertera
Kini, seakan kata tak berpunya, tuan
Kehilangan nama dari yang bernama
Kehilangan jiwa dalam roh-roh rangkainnya
Entahlah
Pilu, membasuh juli ia adalah layang abu
Tinta hitam ungu yang tersebut duka
Luapkan sesak dada di benak kepala
Jua seuntas kalimat yang memiliki arti
Dari lambang berlambang aksara
Dialah penyair bangsa yang telah tutup usia
Matesih, 19 Juli 2020
12: 57
![Kumpulan Puisi untuk Ibu](https://s.kaskus.id/images/2020/07/19/10528792_202007190450030365.png)
Juli mengembun bulu-bulu mataku
Katamu, "tak ada yang lebih tabah seperti hujan di bulan juni
Seolah merangkai kesendirian di bawah tangisan hujan
Melerai makna di bawah tetesannya
Engkau juga pernah berinsyarat
Suatu hari nanti sajak-sajakmu tinggal kenangan
Tinggal rangkaian kata semata
Namun, tak akan membiarkanya sendiri
Meresapi tiap bait-bait di sana
Kini, aku tahu
Engkau adalah penantian
Sajak-sajak indah dalam sejarah peradaban
Karena engkau aku merunduk kata
Terdiam dalam sepi berpita
Entah. Masikah kutemukan yang lain
Sebagai pengantimu dalam embun butaku
Ketika sosokmu tak lagi menghiasi angan
Atau memang aku yang enggan berpaling
Meniadakan namamu di bukit-bukit kisah
Bukankah puisi hanya perasan darah
Bait-bait nurani yang terangkai pasi
Goresan duka cita dalam kenangan
Layaknya daundaun yang terkoyak sang angin
Jatuh dan terhempas
Kadang hilang tanpa bekas
Di ufuk barat senja telah menanti
Hadirmu dalam dekapan Langit
Buih cinta seolah memutih darah
Melangitkan pinta di awan-awan kelabu
Kini, aku tak tahu harus apa
Mencarimu dalam warna apa
Mengenangmu ataukah melupa
Sedang di sana ada mega menggantung tabah
Melangit harapan jua doa
Semoga semoga semoga
Terkuburlah khilaf dan dosadosa
Kata amin menggema di mana-mana
Matesih, 19 Juli 2020
Lelaki Ujung Hari
Hanya dengan tubuh puisi jiwamu hidup abadi
Namamu harum menghiasi jagat ini
Hanya dengan berpuisi
Kau selami bait-bait mati seolah menghidupkannya kembali
Setipis ilalang sesantai jerami tertiup angin
Seperti bisikan camar di ujung hari, maka
Aku biarkan engkau lewat jalan ini
Menaiki awan-awan beku
Meninggalkan jejak kenangan cinta dan rindu
Bila semburat matahari esok terpancar
Biarkan aku hidup untuk mengenang
Saat lelaki ujung hari telah berkawan
Menaiki kuda berpacu dengan waktu
Ia telah hidup di bilah-bilah jantung dunia
Menjejal segala cela ranggasnya alam dengan tinta harapan
Dan kini ia abadi dalam pikiran
Tabahkan hati yang mulai meranggrang
Di bukit sunyi ini
Aku berujar kata, adakah esok hari akan sama
Ketika lelaki ujung hari telah terbenam layaknya sang surya
Atau mungkin waktu akan meniadakan putih dalam hitam
Serupa buih di lautan menguap tanpa kabar
Sidodadi, minggu 19-7-2020
12:44
Mengenangmu
Setipis kapas keabadian tercipta
Senjatamu telah tertancap dalam sukma
Kini, engkau terbujur kaku dalam doadoa
Memutuskan segala urusan dunia
Kembali pada Si Empu pemilik kehidupan sejati
Taukah engkau
Baitbait itu tinggal kenangan
Sejarah yang tak lengkang oleh masa
Sajak-sajak yang dulu tertera
Kini, seakan kata tak berpunya, tuan
Kehilangan nama dari yang bernama
Kehilangan jiwa dalam roh-roh rangkainnya
Entahlah
Pilu, membasuh juli ia adalah layang abu
Tinta hitam ungu yang tersebut duka
Luapkan sesak dada di benak kepala
Jua seuntas kalimat yang memiliki arti
Dari lambang berlambang aksara
Dialah penyair bangsa yang telah tutup usia
Matesih, 19 Juli 2020
12: 57
![erina79purba](https://s.kaskus.id/user/avatar/2019/02/19/avatar10522863_2.gif)
erina79purba memberi reputasi
1
Tutup