Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

sriwijayapuisisAvatar border
TS
sriwijayapuisis
Cerpen True Story Sriwijaya
Jangan Panggil Aku Guru
Cerpen True Story Sriwijaya
Ilustrasi: Pintarest

Taukah kamu apa itu menyebalkan? Menyebalkan adalah saat dirimu belum siap kembali, tapi seolah ada medan magnet yang menarik untuk datang. Ketika memutuskan untuk melupakan, nyatanya terperosok ke dalam jurang untuk terus teringat dan mengingat setiap peristiwa yang ingin dilupakan. 

Seperti saat ini, aku kembali dengan kebekuan hati berselimut senyum palsu di atas panasnya bara api. Namun, sapa hangat itu meredamkan bara. Ternyata keberadaanku masih diharap dan dinanti begitulah pikirku saat itu. Saat seorang teman maya tetiba meng inbox dan bertanya benar tidak jika akunku kembali aktif lagi. 

'Sudah on? Jangan off lagi, ya?! Nanti, Aku tidak punya guru,' ucapnya.

Aku mengerutkan dahi sambil berpikir untuk menjawab pertanyaannya.

'Iya nih! Udah on. Jangan panggil aku guru, ya?! Aku bukanlah seorang guru. Lagian, esok hp mu disita pihak pondok, kan? Karena ketahuan menyimpan ponsel, jadi ucapkan bay-bay sementara waktu,' kilahku menghela napas dalam-dalam. Ada sebongkah sesak di dada ini saat kata guru terlontar di seberang sana. 

Ah! Kata itu bagai racun saja, pun diri ini merasa tak pantas di panggil demikian. Bagi seorang yang miskin ilmu ini, mana cocok kata itu ditujukan padaku, lagi pula filosofi guru mengandung makna teramat dalam. Tak ada dalam diriku, pantaskah bila aku disebut guru? 

'Iya juga, sih! Esok hp ini sudah disita pihak pondok. Makanya tadi aku pamit out dari grup serta menjelaskan alasanku out dari sana. Jika tidak mau dipanggil guru, terus maunya dipanggil apa? Bunda, kakak, atau mak.'

Celoteh remaja itu membuatku mengeryitkan dahi sambil menahan tawa.

Dialah Roji remaja yang tinggal di Semarang tapi menempuh pendidikan di Kudus sambil nyantri. Dari cerita anak itu, Roji memang sering berpindah tempat tinggal sedari kecil, entah apa alasannya aku kurang tahu pun segan jika harus mengusik privasi orang. Sesuatu yang tak aku suka memang, yaitu mencari tahu kehidupan orang lain.

'Panggil biasa aja. Bunda oke. Kakak, boleh juga, asal jangan mak. He he he,' balasku sambil nyengir kuda.

'Baiklah,' jawabnya agak lesu, seolah ada nada kecewa dalam katanya.

Namun, aku percaya anak tersebut mengerti maksudku pun kami memang belum kenal terlalu lama, jarang berkomunikasi secara pribadi hanya sering cicit cuit di grup yang sama. Dan itu membuatku agak terkejut saat tiba-tiba di inbox olehnya.

Entah, remaja tersebut orang keberapa yang memanggilku demikian. Namun, panggilan itu sungguh tak pernah aku suka. Tahu kenapa? Karena faktanya aku bukan seorang guru atau menyandang profesi tersebut. 

Selain itu, aku hanya manusia biasa yang memiliki seujung kuku ilmu. Teramat jauh dari kata guru yang notabennya berwawasan luas dan sudah tentu memiliki segudang pengetahuan.

Sisi lain aku mengerti kenapa Roji memanggilku begitu, teringat saat pertama kali kami berkenalan ia sering bertanya mengenai tulisan. Bagaimana caranya agar bisa menulis, mencari ide juga mengembangkan apa yang ada dalam pikiran untuk dijadikan sebuah tulisan.  

Aku tak mengajari ia teknik menulis karena itu bukan ranaku pun sendiri masih belajar tentang hal itu. Aku hanya memberikan dia dorongan motivasi dan mengarahkannya saja. Siapa aku yang berani mengkritik tulisan orang lain yang jauh di atasku tulisannya. Aku hanya manusia miskin ilmu pun merasa tak layak jika harus memberi krisan pada orang lain. Terkesan naif memang. Faktanya aku sekarang sering memberikan krisan bagi mereka yang membutuhkan di balik layar. Lucu, ya? Dan aneh. Entahlah! Seperti ada medan magnet yang menarikku untuk berada di sana. Walau sejatinya harus aku akui masih suka pilih-pilih dalam memberikan krisan.

Sebalik itu semua, ada pergulatan batin yang aku alami saat mengkritik tulisan orang. Pertama minder merasa ilmu masih seujung kuku tapi sudah berani memberi komentar pada postingan orang lain.

Kedua --- Ah … ini jadi perdebatan panjang pada diri sendiri saat seorang senior meminta aku memberi saran tulisannya. Beliau adalah seorang guru agama dan sudah banyak jam terbang dalam hal menulis cerita baik fiksi pun non fiksi, sedangkan aku apa? Hanya remahan rengginang yang melempem saat terkena setitik air. 

Alih-alih menolak memberi masukan secara halus karena merasa minder, beliau malah memberi wejangan padaku. Ia bilang," Sedikit ilmu asal bermanfaat bagi orang lain, itu lebih berarti daripada segudang ilmu yang didapat tapi dibungkus untuk diri sendiri." Kata-kata itu sampai sekarang masih terngiang-ngiang di benakku walau harus aku akui, diri ini masih pilih-pilih dalam berbagi ilmu dengan yang lain.

Bukan karena tak mau berbagi ilmu tapi batin seolah perang dengan logika. Satu sisi diriku berpikir positif mungkin krisanku bisa bermanfaat bagi orang lain, tapi dalam lain keadaan ada saja yang memandang negatif karena sepak terjang di dunia literasi yang masih abu-abu. Tak seperti kawan lain, terlihat hasilnya juga jalan kepenulisan mereka yang sudah mencetak nama.  

Selain itu, orang-orang di sekitar membicarakanku dari belakang perihal kritikan kepada mereka. Ketika mengetahui apa yang diucapkan mengenai diri ini, itu sangat menyakitkan jendral. Sungguh! Jika ada pilihan, aku lebih memilih mereka berbicara tentang diriku dari depan dari pada lewat belakang. 

Pun saat menjalin keakraban pada sesama teman di salah satu grup puisi WA, aku tak mengerti mengapa mereka berpikir jika yang sering berinteraksi denganku memiliki keakraban secara intens, padahal kami hanya berinteraksi via grup saja jika lewat japri---- aku terbilang orang yang jika tak ada perlunya tak mau ngechat seseorang.

Walau tak jarang yang sudah mengenalku mereka sering ngechat secara pribadi denganku, meski hanya untuk sebuah krisan tulisan saling bertanya kabar atau bersenda gurau semata. Semua tak masalah, aku bisa menerima selama masih dalam batas kewajaran. 

Satu hal yang mereka catat dari dalam diriku ini, aku sering memanggil mereka dengan panggilan khas seperti; rara ayu, babang tak tamvan, babang tersayangnya akoh, akang kasep, say, ayang beib dan beberapa panggilan lainnya. Bahkan salah satu di antara mereka hafal jika tidak menggunakan panggilan tersebut yang menjawab chatnya bukanlah diriku tapi orang lain.

Seperti saat itu, ketika aku sedang kecewa berat hingga bertindak tengil ngerjain salah satu tema maya, karena kesal bin jengkel atas sikapnya yang keterlaluan dan nyaris fatal (jangan ditiru, ya!). Aku bilang jika hp kuhilang dan membalas chat orang tersebut seolah-olah isinya dari orang lain dengan nada ketus dan kasar.

Menggunakan nada sindiran dan ejekan aku memuaskan diri membalas perbuatannya padaku dengan cara berpura-pura menjadi orang lain. Mirisnya orang itu mudah sekali percaya, meski diawal tak sempat percaya dengan kata-kataku. Kata-kataku seolah ditelan mentah-mentah olehnya, tapi bisa jadi karena nada chat yang menyakinkan akhirnya ia percaya juga.

Setelah menjahilinya tetiba rasa tak tega hinggap dalam dadaku. Rasa bersalah, kasihan menghias benak ini, tapi jika ingat akan perbuatannya yang nyaris fatal aku benci padanya. Ah! Maya--- sadismu melebihi dunia nyata.

'Ah, aku tega sekali sama anak orang,' gumamku pada diri sendiri. 

Aku berharap tidak diganggu lagi olehnya setelah dijahili, tetapi kenyataan berbanding terbalik dengan harapan. Hingga salah satu teman lainnya meng inbox ku dan bertanya untuk memastikan jika ini benar-benar diriku bukan orang lain.

'Apa kabar? Gi apa, nih!' tanyanya basa basi mengawali obrolan.

Kaget. Tak ada angin pun hujan lelaki itu mendadak meng inbox diriku. Padahal, sebelumnya nyaris tak pernah kecuali ada keperluan mendesak mengenai grup.

'Santai, Bang,' jawabku sekenanya.

Aku menerka-nerka keadaan. Berpikir keras merasa mencium gelagat yang tak wajar.

'Apa benar hp mu, hilang?' tanyanya lagi yang membuat mataku terperanjat setengah tak percaya dari mana ia bisa tahu, pikirku saat itu.

Tebakan langsung tertuju pada satu orang yaitu dia. Manusia nyebelin yang aku kerjain tadi, seperti busur yang melesat mengenai sasarannya tebakanku pasti tidak salah. Yakinku pada diri sendiri.

'Nggak, Bang. Abang dapat kabar hoaks dari mana.'

'Dari si M, katanya hpmu hilang. Tolong dong panggil aku dengan panggilan khasmu."

Sejenak aku berpikir kenapa tiba-tiba ia mau dipanggil dengan sebutan itu. Padahal, itu panggilan khusus di grup saja. Dengan gurau aku berusaha meledeknya untuk mencari tahu ada apa gerangan.

'Hai ... tumben? Ada apa ,nih! Hmmm. Wah … mimpi apa nih aku semalam, tiba-tiba di chat Bang Oe,' candaku pura-pura tidak tahu.

"Nggak. Aku kangen aja ma kamu,' guraunya sambil berusaha menyakinkanku. Namun, dia tidak tahu jika aku sudah bisa menebak arah pembicaraannya akan berakhir dimana.

'Jangan kangen, Bang! Rindu itu berat . Biar Dilan aja,' jawabku sambil memberikan emot nyengir memperlihatkan gigi.

'He he he. Seperti biasa kamu suka hiperbolis.'

'Itulah aku.' Kupasang emot so cool padanya sambil terus berusaha mengulur waktu agar dia semakin ragu.

'Ayo dong panggil aku dengan panggilan khasmu. Aku pengen denger, nih!' kilahnya mencari alasan. Namun, aku tahu dan bisa menebak jika memang ada yang tak beres di sana.

Aku terus mencoba menjawab dengan gurauan untuk semakin mengusik keraguannya. Akhirnya sampailah pada puncak obrolan. Aku menyebut nama panggilan tersebut setelah ia berkali-kali mendesak. Kemudian ia berucap.

'Hampir saja kamu aku outkan dari grup jika nggak mau nyebutin panggilan itu. Sekarang aku yakin jika ini benar-benar dirimu bukan orang lain.'

Aku nyengir kuda sambil garuk-garuk kepala. Sepenting itukah arti sebuah nama panggilan? Padahal nama panggilan itu buat seru-seruan di grup saja tak ada arti special pun maksud lainnya.

Guna mengusir rasa ingin tahu, aku memberanikan diri untuk bertanya lebih jauh padanya.

'Lha, memangnya kenapa Bang dengan nama panggilannya. Babang tak tamvan nggak suka, ya? Aku panggil begitu. Maaf.'

Dalam rasa penasaran yang entah, degup jantungku tak karuan detaknya. Khawatir, cemas, takut salah-salah kata dalam bertanya memenuhi benakku saat itu. Kini, aku bisa bernapas lega saat jawabannya mengejutkan. Jauh dari kecemasan yang dikhawatirkan.

'Bukan begitu, justru karena panggilan itu aku jadi tahu yang chat denganku ini beneran kamu atau bukan. Nama itu adalah ciri khasmu di grup kami. Karena yang manggil aku dengan sebutan babang tak tamvan cuma kamu doang, nggak ada yang lain.'

Terperaga mendapati jawaban seperti itu. Mataku nyaris tak berkedip membaca balasan chat darinya.

Kini, aku mengerti kenapa ia terkesan mendesak agar aku memanggilnya sama seperti di grup, rupaya itu alasannya. Ya. Bisa jadi ia merasa bertanggung jawab atas keikutsertaan ku dalam menjaga keamanan grup. Mengingat jika dirinya yang telah menyeret diri ini ke dalam grup tersebut.

'Bagus Babang tak tamvan, berarti nggak mudah percaya dengan kabar yang beredar di luaran sana sebelum mencari tahu kebenarannya terlebih dahulu. Pertahankan kepemimpinan yang seperti itu,' ucapku memujinya sambil memberikan emot cap jempol satu.

Ia memberikan emot nyengir dan tertawa, kemudian menjelaskan secara detail padaku mengenai kabar yang barusan ia dapat.

Ah, lagi-lagi dia bikin kisruh aja. Seharian ini aku menerima inbox an rata-rata bertanya benar tidak jika hp ku hilang, dari cara mereka bertanya sudah bisa dipastikan jika memang benar dia orang yang menyebarluaskan berita tersebut.

Entah apa maunya itu orang. Tingkahnya membuatku geleng-geleng kepala sambil mengelus dada.

***


'Mbak, ajari aku menulis puisi.'

Lagi satu inbox masuk mengejutkanku.

'Aku nggak bisa ngajarin, tapi mengarahkan aku bisanya.'

'Wes, opo ae jenenge. Pokoknya ajarin diriku.'

Aku membalasnya dengan emot ketawa. Dalam hati bergumam, 'ini orang maksa banget keknya. Hmmm.'

'Jadi, gimana Mbak?! Mau apa nggak."

'Udah aku bilang. Aku gak bisa ngajarin bisaku ngarahin. Ayo kita belajar nulis bareng aja.'

'Pokoknya ajarin. Titik.'

'Ai, kok maksa, sih!'

'Nggak mau tahu. Pokoknya ajarin! Please.'

Aku membalas chatnya dengan emot menepuk jidat dilanjutkan menggunakan stickers berpikir.

Setelah menimbang masak-masak pertimbangan, aku putuskan mengiyakan kemauannya.

Seiring berjalannya waktu ia mulai terasah kemampuannya walau tak jarang kami harus berargumen mempertahankan prinsip dan keyakinan masing-masing. Tulisannya mulai tertata meski dengan perombakan sana sini.

Ia memang gigih belajar tapi berwatak keras dalam hal prinsip. Tak segan wataknya itu diungkapkan secara gamblang padaku sambil meminta maaf karena sering ngeyel saat diberikan masukan.

Suatu hari tetiba ia kembali menginbox diriku.

'Makasih guru. Berkatmu tulisanku tertata. Jangan kapok ngajarin aku, ya?! Meski akunya bandel saat dibilangin.'

Dengan gurau aku balas emotnya dengan kasar.

'Dasar lho ….'

Ia nyengir kuda dan membalasnya dengan canda. Kemudian aku memberi ia wejangan.

'Jangan panggil aku guru. Sudah berapa kali aku bilang. Jangan panggil dengan sebutan itu. Aku bukan guru. Titik,' jawabku panjang kali lebar.

'Bagiku, kau guruku. Dan akan tetap aku panggil begitu.'

'Hd. Ngeyel.' 

Emot tanduk muncul sampai ngeluarin asap memenuhi chatnya tapi tidak digubris sama sekali membuatku terheran-heran.

'Sekali Kau panggil guru lagi, aku tak mau mengajarimu,' rajukku pasang emot kesal dan marah.

'Jangan dong! Aku belum bisa bener-bener nulis, nih! Iya deh iya. Guru .…'

Asem! Ini anak malah ngeledek.

Antara menahan geli dan kesal akhirnya aku membalas chatnya dengan stikers tanduk hip hop keluar asap.

'Wah, bu guru terlalu cinta ma aku,' balasnya sambil memberikan emot nyengir kuda.

'Bocah gemblung,' balasku.

'Karenamu.'

Aku nyengir sambil menahan geli membaca balasanya.

Akhirnya kami tertawa, bercanda ria membahas hal yang tidak penting dan konyol.

Sebenarnya, aku memang segan jika disuruh memberi krisan, hanya saja saat melihat kalimat tidak pada tempatnya ambigu atau semacamnya nurani ini terketuk untuk membetulkan. Sayangnya, aku sendiri tak lebih baik dari yang dikrisan. Tulisanku masih ancur-ancuran banyak typo, kalimat tak efektif dsbg.

Selain itu, masih banyak kekurangan sana sini dalam pembenahan. Parahnya lagi, saat aku meminta krisan balik mereka seolah tidak mau, mungkin segan, sengaja menghindar atau memang begitu adanya, manalah tahu. Yang jelas itulah yang sering terjadi padaku. Untuk itulah aku jadi segan sendiri saat diminta untuk mengkritisi karya orang. Bukan karena tidak mau tapi merasa kerdil ilmu.

Pernah ketika aku meminta saran dari senior, ia berkilah sudah ada orang lain yang memberi saran. Memang benar demikian, tapi aku berharap ia mau memberikan sedikit saja arahan agar tulisanku lebih bagus lagi. Apa mau dikata jika harapan tak sesuai dengan kenyataan, ya … begitulah akhirnya. Kecewa. Ditambah saat teringat awal-awal aku belajar nulis sering minta krisan pada senior tapi ya--- begitulah nada jawabannya, bukan ranaku memberi kritik. Maaf. Sudah ada Yang krisan. Udah bagus, kok! Dan entah apa lagi alasan mereka saat dimintai berbagi ilmu.

Sering mendengar kalimat penolakkan aku jadi bosan, serasa ingin nulis ancur-ancuran seperti ceker ayam melanggar ketentuan PUEBI dan KBBI  biar para komentator keluar dan membantai tulisanku dengan sadis. Namun, kembali harus mengelus dada dengan kata sabar. Aku urungkan niat tersebut karena merasa itu bukanlah diriku. Pansos demi mencuri perhatian komentator? Ah! Licik sekali, pikirku saat itu.  

Benar kata sebuah petuah bijak, ilmu itu mahal. Mengemis pun belum tentu bisa mendapatkannya, apalagi hanya sekedar meminta tolong.

Nyesek sudah pasti tapi si fakir ilmu ini berpikir positif saja, jika satu tangan tak bisa mengulurkan bantuan maka akan ada tangan lain yang siap mengulurkan jemarinya ke arah kita. Itulah hal yang aku yakini sampai sekarang dan itu memang terbukti telah terjadi.

Anggap saja menanam benih di tempat lain pada waktu tertentu akan ada panen yang menghampiri. Dan jujur aku lebih suka berada di belakang layar daripada menampakkan diri di depan. Karena aku yakin akan tiba masa dimana tanpa menunjukkan diri akan terlihat sendiri. Naif, ya? Pemikiran yang kerdil. Mungkin dan bisa jadi demikian.

Jadi, jangan panggil aku guru, karena aku bukan seorang guru pun tak ingin jadi guru kecuali untuk buah hatiku. Pun aku tak ingin ada kata guru menjadi sebagai penyekat antar sesama teman baik di grup maupun di luaran sana. Tak mau ada kata guru murid senior junior atau hal apapun yang menjadi celah sebagai penyekat.

Aku lebih senang jika berada di suatu tempat baik komunitas atau lainnya dengan sistem berdiri sama tinggi duduk sama rendah. Belajar bersama, saling bahu membahu, yang bisa ngajarin yang belum bisa. Jika ada salah yang lain membenarkan bagi yang lupa ada yang mengingatkan. Menurutku itu lebih bisa mengeratkan tali persaudaraan diantara sesama anggota. Jangan sampai karena adanya perbedaan diantara sesama menjadi sekat.

Tamat
Diubah oleh sriwijayapuisis 29-06-2020 03:49
makola
abahekhubytsany
adnanami
adnanami dan 20 lainnya memberi reputasi
21
5.6K
162
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
sriwijayapuisisAvatar border
TS
sriwijayapuisis
#89
Caramel
Cerpen True Story Sriwijaya
Ilustrasi:Pintarest

Cinta adalah perbuatan. Kata-kata dan tulisan indah adalah omong kosong.

Tere Liye


"Lo, punya masalah apa sih ama gue? Tega-teganya lo lakuin ini semua. Dasar gak punya hati."

Aku melempar keranjang berisi aneka macam cemilan itu ke arah Jeksen. Wajahnya merah padam dengan tatapan sinis serta senyum simpul tersungging di sudut bibirnya. Bomat dah! Usai melemparkan keranjang itu ke arahnya, aku berbalik badan pergi.  

Muak. Ingin rasanya membalas lebih dari itu, andai saja tak ingat nasehat orang tua bila kejahatan tidak harus dibalas dengan kejahatan. Mereka belum tahu aja siapa gue sebenarnya. Bila tahu, pasti tidak berani menyentuh seujung kuku pun.

Dasar badung. Kurang kerjaan. Bisanya mencari masalah saja. Kuluapkan segala kekesalan dengan bicara sendiri sambil terus berjalan menjauhi mereka.

Hai, namaku Caramel. Lengkapnya Putri Vionita Caramel Sanjaya. Aku kelas sembilan SMA negeri ternama di kotaku. Menyukai olahraga dan gemar mendengarkan lagu. Satu lagi aku suka melukis. Terutama mengekspresikan perasaan lewat gambar seperti perasaanku kepadamu. Iya, kamu yang suka membuatku berpikir. Adakah aku di hatimu. Eyaaah

Caramel ini mengira jika hidup itu sempurna. Teramat sempurna untuk anak yang lahir dari keluarga berpunya. Seperti tidak memiliki kesulitan hidup yang berarti, kecuali setelah pindah sekolah.

Pengalaman buruk mulai aku dapat dari sana. Bully, dikucilkan teman sebaya dan beberapa kejadian naas lainnya menimpaku. Semua teman menjauh kecuali satu orang dialah Anggi sahabat masa kecil.

Anggi satu-satunya kawan yang paling mengerti diri ini juga tahu siapa Caramel. Walaupun demikian, Anggi tetap tutup mulut menjaga rahasia Caramel agar tetap aman. Ku acungkan empat jempol pada Anggi, ia memang pintar menjaga rahasia.

Kejadian buruk kian memperparah keadaan ketika geng yang terkenal di sekolah baru berulah. Mereka sering membullyku. Awalnya aku mengira itu cara mereka menyambut siswa baru alias sekedar bercanda. Nyatanya, itu terus berlanjut hingga sekarang. Bukan di tempat belajar saja, mereka membully hingga ke luar sekolah.

***

Sore itu, seperti biasa aku berjualan bunga, mengantar orderan ke pembeli dengan menaiki sepeda. Tidak disangka, perjalanan saat pulang bertemu geng Asbak, kumpulan cowok terkeren di sekolah (menurut para murid), tapi bagiku mereka hanya sampah mata.

Sok keren, padahal mines. Gak banget dah pokoknya. Selain gaya yang sok cool, mereka sombong, angkuh dan gak punya hati. Sering menindas siswa-siswa lain untuk menjadikannya sebagai babu. Menyebalkan.

Apapun kata-kata geng asbak wajib dituruti jika ada penolakan, mereka tidak segan membuat si pembangkang kapok, dan sudah dipastikan hidup si penolak bakalan naas saat di sekolah.

Dari semua kumpulan cowok keren itu ada satu yang agakberbeda menurut gue dialah Jeksen. Tampan, tinggi, manis, cuek, dan tentu saja songgong. Namun, di balik sikap angkuhnya itu terkadang ia so sweet juga.

Anehnya, ia sering membantuku mengantarkan pesanan bunga. Terkadang memborong dagangan yang sengaja aku jual secara keliling. Entah apa motif dibalik sikap baiknya, aku gak tahu dan bomat! Yang penting jualan laris manis dan dapat uang.

Namun, sikap manisnya itu tidak bertahan lama saat kepergok geng asbak. Suatu hari, pernah Jeksen sedang membantuku menjual bunga, tapi ketika bertemu gengnya di jalan sikapnya berubah drastis. Ia seolah menjadi orang asing berlagak tak peduli dan meninggalkanku begitu saja di tengah jalan kemudian bergabung dengan geng asbak.

Pernah juga ia merusak kendaraan kesayanganku, sepeda. Dipatahkannya rangkaian besi itu hingga menjadi rongsokan, membuang ke tepi jalan dan meninggalkannya begitu saja. Sadis.

Namun, sela beberapa hari ia menemuiku dan membawakan sepeda baru. Anehnya. Ia mengajakku berkeliling menaiki kendaraan ramah lingkungan itu. Kami pun terlibat obrolan santai, membicarakan banyak hal saling melempar senyum dan bercanda lepas seolah tanpa beban. 

Saat itu aku merasa dunia ini indah tenang dan damai. Bersama, aku merasa ia menjadi sosok lain tidak seperti saat dengan geng asbaknya. Entahlah. Selain sikapnya yang ramah, baik juga sweet aku masih tak mengerti kenapa ia menjadi orang lain di depan teman-teman.

Gegana. Perasaan ini kian tak karuan bila memikirkan segala hal tentang Jeksen. Perhatiannya di belakang sikap angkuh Jeksen, juga pancaran matanya seolah memberi petunjuk lain kepadaku. Apakah mungkin? Ah, mana ada. Terlalu dini untuk menyimpulkan pun menebak-nebak. Itu pasti hanya pikiranku saja. Jika pun demikian aku harus melakukan sesuatu untuk membuat dia sadar agar mau menjadi diri sendiri tanpa malu menunjukkan jati diri yang sebenarnya.

Oh ya, aku lupa memberi tahu. Walau terlahir dari anak orang kaya, aku lebih suka hidup sederhana. Bukanya sok atau apa, hanya saja, bagiku harta tak bisa menjamin kehidupan orang untuk bahagia. Jika hal sederhana adalah sumber bahagia, kenapa tidak dilakukan is simple, kan? Dan aku bahagia menjalani hidup layaknya orang biasa.

***

Byuuur!

Siraman chat warna membasahi seragamku saat masuk kelas. Kesal. Aku tatap wajah-wajah seluruh ruangan satu persatu. Mereka tertawa ria, ada yang menutup wajahnya menghindar, beberapa gerombolan anak berbisik-bisik sambil cekikikan meledek.

Amarahku kian memuncak ketika Dodi salah satu personil geng Asbak menghampiri melemparkan telur dan tepung. Lengkap sudah derita.

"Ini baru awal. Jangan lo kira bisa bebas dari kami," ancamnya.

Aku tersenyum kecut dengan terus menatapnya tajam. Tangan ini mengepal.

Oke sob. Gue ikuti apa mau lo.

Aku langsung ke luar kelas menuju toilet, mengambil air dan memberikannya warna. Aku tenteng ember berisi air sambil terus berjalan tanpa menghiraukan tatapan siswa-siswa yang heran melihat keadaan ini.

Di depan kelas, aku berhenti sejenak menghela napas dalam-dalam. Merasa sudah yakin, aku masuk menghampiri geng asbak.

Byurrr!

Seketika seragam mereka berganti warna. Aku tersenyum puas. Kemudian, balik badan menjauh. Langkah terhenti ketika seseorang sedang memegang pergelangan tangan. Aku balik badan untuk melihatnya dan ternyata dia, Jeksen.

Pemuda itu menarik paksa tanganku mencegah agar tak pergi. Ia menatap tajam sambil menyunggingkan senyum tipis di bibirnya. Dahiku berkenyit, was-was bila mendapat balasan. 

Namun, beberapa menit berlalu ia hanya memandangku. Entah apa arti dari tatapannya itu, aku tak tahu. Bomat! Yang penting aku sudah membalas perbuatan mereka.

Aku mencoba melepaskan diri dari genggaman Jeksen. Semakin lama, ia kian kuat mencengkeram tangan ini dan terus menatap tajam. Meski ia tak berkata apa-apa, tetap saja aku merasa ngeri, tatapannya bagai elang yang sedang mengintai mangsa, jantungku seakan mau copot dibuatnya, kemudian mendadak ia melepaskan begitu saja. Aneh. Tidak pikir panjang aku langsung berlari ke luar. 

***

Semakin lama sikap Jeksen makin tak menentu, membuatku dilanda dilema. Satu sisi baik saat tak ada temannya, sisi lain berubah seperti drakula memburu mangsa jika sedang bersama geng asbak. Aneh. Otakku seolah tak bisa menerima sikap Jeksen. Bagiku, ia cowok yang dingin, kaku seperti kulkas cuek dan angkuh tapi mengapa aku merasa ia pandai menyembunyikan rasa. Ah, aku jadi bingung bila memikirkannya.

Kamis. Langit mulai menggelap, bergegas aku membereskan toko bunga dan segera menutupnya. Aku tak boleh pulang terlambat jika itu terjadi bisa gawat, ortu akan marah besar. Mana jarak antara toko dan rumah jauh sekali. 

Usai menutup toko aku menuju jalan raya celigak celiguk mencari kendaraan umum. Sialnya tak ada kendaraan umum lewat. Tak habis akal aku mencoba mencari taksi online tapi tak dapat juga. Kesal, akhirnya aku berjalan lebih jauh lagi sambil berharap ada kendaraan umum lewat.

Di tengah perjalanan aku bertemu geng asbak, 'Gawat. Kenapa harus ketemu mereka, sih!' Aku bersikap biasa sambil menata debar yang semakin berdetak kencang. Untuk mengurangi kegugupan aku pasang headset di telinga sambil mengirim pesan pada seseorang.

Sela beberapa menit aku mendapatkan balasan, untunglah ia bersedia datang menjemput.

Geng asbak semakin dekat dan saat kita berpapasan, aku menunduk tak berani menatap mereka. Langkahku seakan mati gaya, aku tercengang menghentikan langkah didepan mereka. Jeksen menatapku seperti biasanya, senyum sinis serta arti dari matanya itu sungguh membuatku kalut bingung tak tahu harus berbuat apa. Ia pun mengambil ponsel dan headsetku menaruhnya di telinga.

Ia membuka gawai itu menekan nekan layar pipih tersebut, wajahnya mendadak berubah beberapa detik setelahnya. Sementara Doni dan dua teman lainnya spontan mengambil ponsel itu dari Jeksen. 

Aku mendongakkan pandangan memberanikan diri melihat tampang mereka. Doni langsung mengambil paksa ransel, aku berusaha mencegah tapi sia-sia. Refleks dua temannya memegangi kedua tangan ini membuatku tak bisa berkutik untuk melawan.

Doni mengeluarkan semua isi ransel itu, ia mengambil sebuah buku dan menyobeknya di depan mata. Aku mengepalkan tangan, geram. Berontak melepaskan diri, sayangnya kedua tema Doni semakin kuat menggenggam tanganku. Dari arah tak disangka-sangka sebuah teriakan mengejutkan kami.

Mereka serentak menoleh ke arah suara, dari kejauhan terlihat sosok tinggi besar berjaket tebal menuju ke arah kami, 'Indra.' Pemuda itu langsung melepaskan cengkraman geng asbak dariku, lalu memukul mereka satu persatu.

Kaget. Aku mundur beberapa langkah, Indra melayangkan tinju ke arah Doni, tak terima pemuda itu membalasnya. Bangku hantam terjadi. Aku terdiam terpaku menyaksikan peristiwa itu tanpa bisa berbuat apa-apa. 

Gawat.  Indra kalah jumlah dengan asbak.

Melihat pertikaian tak seimbang aku mengambil inisiatif menengahi. Indra mendapatkan pukulan bertubi-tubi, dikepung oleh asbak, aku maju ke tengah perkelahian menghentikan pukulan mereka, dan saat Jeksen  hendak memukul wajah Indra, nekat aku pasang badan melindungi Indra.

Tinju pemuda itu berhenti tepat di depan wajah ini dengan mata tertutup aku menahan rasa takut luar biasa untuk menghentikan pertengkaran mereka.

Gila. Akalku seolah tak waras karena berani nekat di tengah pertikaian.

Beruntung, Jeksen menghentikan pukulannya dan berbalik arah menjauhi kami di susul oleh kawan-kawannya sementara aku dan Indra menuju arah lain, pulang.

***

Suatu hari, tanpa sengaja aku berpapasan dengan  geng asbak lagi. Was-was pasti akan ada kejadian tragis menimpa. Mengingat jika mereka suka membully di luar sekolah juga. Sepertinya Dewi Keberuntungan tengah berpihak, mereka lewat begitu saja. Lega. Akhirnya---

Namun, tak seindah angan. Ekspektasiku salah kaprah. Berpikir hari sudah aman tanpa ada lagi bully, nyatanya mereka malah kian gencar mengerjaiku.

Oke. Mereka telah mengibarkan bendera perang. Kalian jual gue beli. Selama ini aku diam. Menerima perlakuan tak manusiawi kalian, sekarang tidak lagi. Jika aku tak bisa membuat kalian berhenti membully orang lain, nama gue bukan Cara. 

 Aku mulai menyusun rencana untuk membalas segala perbuatan asbak. Tidak kuhiraukan lagi petuah orang tua yang selama ini menggema di telinga. Muak. Aku tak akan membiarkan mereka melanglang buana menindas orang di sekolah. Bila mereka tega gue tidak punya hati. Enak aja selama ini mereka bersenang-senang diatas penderitaanku. Awas aja! Tunggu pembalasanku.

Akupun mulai membalas bully mereka satu persatu tanpa jera. Tak ada lagi rasa takut atau minder. Mereka memulai gue yang mengakhiri. Anehnya Jeksen tersenyum simpul saat kubalas kejahatan mereka. Sering ia geram menahan amarah karena pembalasan tak kalah kejamnya.

Setan dalam hati ini seolah tertawa puas. Berjingkrak-jingkrak sambil berkata, 'Inilah Cara sebenarnya.'


***

[Car, bulan depan ada pensi. Lo datang, kan?]

Satu pesan masuk melalui Whatsapp. Secepat kilat kutekan ponsel untuk membukanya.

[Lihat tar ya, say! Gue males ke acara begituan.]

[Nggak mau tahu, lo harus datang. Awas aja jika gak.]

Lagi-lagi pesan dari Anggi bikin aku neg, males buat nanggepin. Bagaimana tidak. Selalu saja sahabatku itu maksain kemauannya, padahal dia tahu aku tipikal orang yang gak suka hura-hura. 

[Lo, wajib datang. Ini acara rangkap sekaligus acara ultah teman kelas kita] Satu pesan kembali aku terima dari Anggi. 

Waterpark? Ultah? Siapa? Penasaran aku chat bales Anggi.

[Siapa yang ultah, Gi?]

[Datang aja, ntar lo juga tahu. Oh ya, pakai baju yang bagus jangan kayak anak desa. Lo, malu-maluin gue aja, katanya anak orang kaya, tapi kok penampilannya begitu. Lo, menurunkan derajat anak tajir aja] 

Asem! Itu mulut atau gilingan cabai, sih! Pedes amat. Mana gue dibilang anak desa lagi. Semengerikan itukah penampilan gue selama ini? OMG.Lo, lihat aja ntar Gi. Gue bales lo. Belum tahu, ya? Siapa Cara.


Acara pensi itu pun dimulai. Hari ini aku gunakan dres selutut dengan warna gelap mengkilap, bling pakai kata cling. Kacamata panda selama ini yang gue gunain sebagai aksesoris semata sengaja aku lepas.

Rambut dikeritingkan gantung biar terkesan trendy aja, tak lupa kuhias wajah yang polos ini dengan mek up, padahal aslinya gue gak suka berdandan. Bagiku itu ribet ngabisin waktu, aku lebih suka gaya simple tapi tetap meninggalkan kesan bagi yang melihat.

Apa daya, kali ini aku harus menuruti kemauan sahabatku itu. Lagi pula aku ingin tahu semenarik apa sih pesta itu, hingga Anggi ngotot menyuruhku untuk hadir. Hmmm. 

Ragu, aku melangkah pelan memasuki area pensi. Terlihat setiap jenjang kaki ini berjalan, banyak mata menatap heran seolah-olah mereka baru melihat alien mendarat di bumi.

Omgiih! Canggung sekali. Sungguh gue gak suka suasana seperti ini. Emang gue makhluk aneh apa. Menyebalkan.

Pandanganku menelisik tempat yang terlewati, tapi Anggi tak ada, 'Kemana dia. Di saat begini Anggi justru tak ada. Rese.' Terlihat di depan sana geng Asbak sedang berkumpul. 'Oh no, jangan lagi. Semoga mereka gak berulah kali ini. Gue udah dandan necis jika kena bully, bakal sia-sia gue dandan malam ini.'

Awalnya terlihat horor saat lewat di samping mereka. Jantung berasa mau copot aja. Dag dig dug duer, untung gak meledak. Ternyata diluar dugaan, mereka acuh tak acuh, baguslah. Paling tidak gue aman kali ini.

Aku bersikap bomat terus berkeliling mencari sosok Anggi, tetap saja tak menemukannya. 'Kemana makhluk imut itu. Ditelan bumi, kah?' Frustasi. Kakiku mulai lelah berjalan terus. Lalu, kuputuskan untuk duduk beristirahat sejenak. Berharap sahabat akan datang dengan sendirinya.

Lama-lama bosan juga duduk sendirian tanpa kawan. Kucoba untuk menghubunginya tapi tidak bisa. Ah, sial. Kenapa hp nya mati. Apa dia sengaja membiarkan aku sendirian? 

Akhirnya, aku memutuskan untuk out dari acara tersebut. Arah ke luar pesta harus melewati kolam renang. Sebel. Kenapa harus lewat sana lagi dan bertemu asbak.

Aneh, jika mengadakan pensi di tempat seperti ini. Dari dekor hingga tata ruang acara mirip sebuah pesta di bintang lima dengan kilau cahaya yang mewah terkesan pribadi bukan acara sekolah saja. 

Namun, aku merasa janggal dengan acara ini. Pertama, tak ada Anggi yang bersikukuh memintaku untuk datang, kedua asbak geng nampak acuh tak acuh atas kehadiranku, berbanding terbalik dengan biasanya.

Ketika batang hidung ini muncul mereka secepat kilat mengatur strategi untuk menjahili, terakhir aku merasa ada yang mengawasi sedari tadi, atau hanya perasaanku saja yang parno berada di keramaian sendirian. Benarkah? Masak iya, sih! 

Aku terus melangkah menghapus pikiran negatif dari benak, mendadak seseorang menabrakku dari samping. Terkejut aku gagal mengatur keseimbangan dan tercebur dalam kolam yang berada tepat di sisiku.

Terdengar suara tawa menggema dari luar sana. Dari dalam samar terlihat banyak orang mengelilingi pinggiran kolam. 'Ini pasti disengaja,' pikirku.

Beberapa menit kemudian aku muncul ke permukaan, seperti dugaan asbak geng tengah terbahak-bahak melihatku basah kuyup. 

Lalu, aku menenggelamkan diri kembali ke dasar, berpikir cerdik bagaimana caranya bisa membalas tawa mereka. Sebuah ide pun terlintas di benakku.

Lima menit aku muncul kembali ke permukaan. Tanganku terangkat ke atas, aku berteriak minta tolong. Berharap akan ada yang sudi mengulurkan tangannya, membantu.

Tak ada respon, tubuh ini kembali terbenam ke dalam kolam. Berulang kali muncul dan tenggelam lagi begitu berulang hingga aku tak kuasa bertahan dan terjatuh di titik dasar.

Kurasakan persendian mulai mati rasa, tubuh menjadi lemas, bayangan di sekitar pun mulai memburam menghilang satu persatu.

Detik-detik terakhir aku menangkap sekilas bayangan mendekat, mencoba untuk menggapai. Aku membuka mata perlahan untuk memastikan siapa orangnya dan benar itu dia, cowok tengil yang angkuh tapi sweet di lain waktu. 

Terasa ia mulai mendekat dan semakin dekat, saat pergelangannya hendak memegang tangan, spontan aku muncul ke permukaan. Semua mata yang melihat tampak shock mendapati diriku yang lolos dari maut tanpa bantuan. 

Ada wajah kecewa terpancar dari manusia-manusia tak berhati tersebut yang memilih untuk tertawa, bersikap tak peduli daripada menyelamatkan satu nyawa ini.

Aku tersenyum sinis memandang puas ke arah mereka. 'Kalian pikir gue bodoh apa? Sudah aku bilang jangan panggil aku Cara bila tak bisa membungkam mulut kalian,' umpatku dalam hati. 

Jeksen muncul ke permukaan, ia sama terkejutnya dengan mereka di atas. Namun, ada yang beda Jeksen justru tersenyum simpul melihatku. Aneh tapi nyata. Segitunya ia niat nolong sampai rela menyeburkan diri di kolam.

Aku tak peduli dan segera naik ke atas melangkahkan kaki, pergi meninggalkan mereka. Sebelum ke luar aku memutar arah berjalan di balik kerumunan dan mendorong satu persatu personil asbak ke kolam dari belakang mereka. 

Sukses. Asbak geng kena getahnya. Aku tersenyum simpul melihat mereka basah kuyup. Rasain pembalasan Cara.

Keesok hari, Anggi datang dengan wajah melas untuk meminta maaf, karena tak jadi datang ke pesta. Aku mengacuhkannya. Jujur gue kesel merasa dikibuli Anggi. Tetapi bagaimanapun ia adalah sahabat jadi kumaafkan meski masih ada dongkol dalam dada.

Di lain waktu mendadak Jeksen datang dengan teman-temannya. Mereka kompak meminta maaf padaku dan berjanji akan menghapus bully dari daftar sekolah.

Waduh, apa cuma segitu aja nyali mereka dalam bully? Apa kalian pikir aku percaya? Tentu saja tidak. Namun, perkataan itu bukan sekedar isapan jempol belaka, hal tersebut benar-benar terbukti.

Sekarang tak ada lagi bully dan yang mengejutkan Jeksen berteman dengan Indra. Teman akrabku di sekolahan yang dulu.  Entah sedari kapan ia menjadi akrab dengan Indra atau memang sudah saling mengenal sebelumnya. Apakah ini awal yang baik? Semoga.

Namun,  aku khawatir bila rahasia tentangku terbongkar melewati Indra. Semoga saja cowok itu bisa terus bungkam seperti Anggi. 

Tamat
embunsuci
riwidy
makola
makola dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Tutup