Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

Sleipnir9Avatar border
TS
Sleipnir9
Saat Negara Dituding Sepelekan Kasus Novel...


KOMPAS.com - Tuntutan satu tahun penjara yang dilayangkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap dua terdakwa penyiram air keras Novel Baswedan mendapatkan reaksi beragam di tengah masyarakat.

Banyak yang menilai tuntutan JPU tersebut terlalu ringan, dan membandingkan kasus tersebut dengan kasus penyiraman air keras di sejumlah daerah lain.

Semisal kasus di PN Denpasar yang dituntut 3,5 tahun, kasus di PN Bengkulu yang dituntut 10 tahun hingga kasus di PN Pekalongan yang dituntut 10 tahun, seperti diungkapkan oleh Anggota Komisi III DPR RI Habiburokhman seperti diberitakan Kompas.com (12/6/2020).

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai tuntutan terdakwa pelaku penyiraman Novel yakni Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis tersebut terlalu ringan dan menunjukkan separuh hati pemerintah, khususnya kepolisian dan kejaksaan dalam mengusut kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan.

Selain itu, menurutnya negara tampak tidak serius menangani kasus penyiraman air keras yang menimpa Novel Baswedan.

"Tuntutan yang hanya 1 tahun penjara itu memperlihatkan jika negara menyepelekan kasus Novel," ujar Usman saat dihubungi Kompas.com, Jumat (12/6/2020).

Usman mengungkapkan, jaksa yang bertugas mewakili negara untuk menuntut pelaku penyerang terhadap Novel, memang sejak awal tak yakin siapa pelakunya.


Penyidik KPK Novel Baswedan (tengah) selaku korban menjadi saksi dalam sidang lanjutan kasus penyiraman air keras terhadap dirinya dengan terdakwa Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jakarta, Kamis (30/4/2020). Sidang tersebut beragenda mendengarkan keterangan saksi. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/nz

Usman menambahkan, penuntutan semacam ini hanya akan berpotensi menjadi keadilan hukum yang sesat atau miscarriage of justice.

Terlebih, menurutnya kasus Novel ini merupakan satu simbol dari masalah struktural korupsi di Indonesia.

Namun, hal itu justru tidak sejalan dengan pengusutan kasus penyiraman air keras terhadapnya yang dirasa lemah.

"Proses hukum yang lemah atas kasusnya mencerminkan kuatnya kekuatan yang anti hak asasi manusia seorang Novel, anti lembaga seperti KPK, anti agenda pemberantasan korupsi dan anti semangat reformasi," ungkapnya.


ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
Penyidik KPK Novel Baswedan menyapa awak media usai rekonstruksi kasus penyiraman air keras terhadap dirinya di Jalan Deposito, Kelapa Gading, Jakarta, Jumat (7/2/2020). Novel Baswedan tidak mengikuti proses rekonstruksi karena alasan kesehatan mata kirinya. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/ama.

Usman berpandangan, penanganan kasus Novel juga menjadi cermin bahwa penindakan kasus hak asasi manusia (HAM) di Indonesia mengalami kemunduran.

Menurutnya tuntutan yang rendah terhadap penyerang Novel Baswedan jelas mencederai rasa keadilan di negara ini.

"Pelaku, yang bisa saja membunuh Novel, tetap dikenakan pasal penganiayaan, sementara Novel harus menanggung akibat perbuatan pelaku seumur hidup," jelas Usman.

Menurut dia, insiden yang menimpa Novel ini bukan hanya soal teror tetapi juga menjadi masalah serius yang mengancam kelanjutan pelaksanaan agenda reformasi di Indonesia.

Khususnya, dalam bidang pemberantasan korupsi dan penegakan HAM.

"Pelaku kunci harus diungkap. Kasus-kasus high profile yang menyasar pembela HAM seperti penyerangan Novel ini mengingatkan kita akan kasus Munir," papar Usman.

"Motif yang terungkap di pengadilan juga sama, dendam pribadi. Ada kesan kasus dipersempit dengan hanya menjaring pelaku di lapangan, bukan otaknya," sambungnya.

Usman juga membandingkan tuntutan ringan dua terdakwa penyerangan Novel, yang merupakan anggota Polri aktif, dengan sejumlah tahanan Papua.

Menurutnya, para tahanan Papua justru terancam hukuman hingga belasan tahun.

"Hukum menjadi dipertanyakan dan keseriusan Indonesia untuk menegakkan HAM juga dipertanyakan," jelas Usman.


ANTARA FOTO/NOVA WAHYUDI
Pelaku penyiraman air keras terhadap Penyidik KPK Novel Baswedan dibawa petugas saat tiba di Bareskrim Mabes Polri di Jakarta, Sabtu (28/12/2019). Polisi berhasil mengamankan dua pelaku penyiraman terhadap penyidik KPK Novel Baswedan yang merupakan anggota Polri aktif dengan inisial RM dan RB.

Sebagaimana diberitakan, dua terdakwa penyiram air keras terhadap penyidik Novel Baswedan, Rahmat Kadir Mahulette dan Rony Bugis dituntut hukuman satu tahun penjara di persidangan.

JPU menilai keduanya terbukti melakukan penganiayaan terenana yang mengakibatkan luka-luka berat.

Rahmat dianggap terbukti melakukan penganiayaan dengan perencanaan dan mengakibatkan luka berat pada Novel karena menggunakan cairan asam sulfat atau H2SO4 untuk menyiram penyidik senior KPK itu.

Sedangkan, Rony yang juga dituntut hukuman satu tahun penjara dianggap terlibat dalam penganiayaan karena ia membantu Rahmat dalam melakukan aksinya.

Atas perbuatannya itu, Rahmat dan Rony dinilai telah melanggar Pasal 353 Ayat (2) KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP tentang penganiayaan berat yang direncanakan terlebih dahulu.



sumber
Diubah oleh Sleipnir9 12-06-2020 10:19
darklight89
asamboigan
Luxyn
Luxyn dan 26 lainnya memberi reputasi
23
6K
100
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
qavirAvatar border
qavir
#10

Itu namanya K A R M A


Banyak yg sudah lupa dengan perkara penganiayaan yg dilakukan Novel baswedan dulu terhadap tersangka pencuri sarang burung walet.

Apakah Novel kemudian pernah dihukum karena menyiksa dan membikin orang sengsara?
emoticon-Betty


Respons Pencuri Sarang Walet soal Penyiraman Air Keras ke Novel
Mei Amelia R - detikNews
Selasa, 22 Agu 2017 20:15 WIB

Pencuri sarang burung walet mengungkap kembali kasus saat Novel Baswedan masih menjabat Kasat Reskrim Polres Bengkulu. (Mei Amelia/detikcom)
Jakarta - Pelaku pencurian sarang burung walet yang mengaku dianiaya oleh Novel Baswedan tidak menunjukkan rasa empati atas kasus penyiraman air keras ke penyidik KPK itu. Menurut mereka, itu adalah karma atas perbuatan Novel pada masa lalu saat menjabat Kasat Reskrim Polres Bengkulu.

"Makanya saya bersyukur, alhamdulillah, terkabul doa saya bahwa dia disiram air keras. Novel tuh jahat sebenarnya, bukan baik dia. Contoh salah tangkap, tidak mengakui kejahatannya, berarti dia jahat, makanya disiram (air keras), jahat dia itu. Karma itu," ujar Irwan Siregar kepada wartawan di Restoran Batik Kuring, kawasan SCBD, Jakarta Selatan, Selasa (22/8/2017).

Irwan adalah salah satu terduga pencurian sarang burung walet di Bengkulu. Dia mengaku dianiaya oleh anggota reserse di bawah kepemimpinan Kasat Reskrim Polres Bengkulu yang saat itu dijabat oleh Novel Baswedan.

Irwan mengatakan penganiayaan dan penembakan terhadapnya bukan rekayasa. Dia juga tidak bermaksud mengkriminalisasi Novel dengan membuka kembali kasus lama itu. Irwan mengakui memang mencuri sarang burung walet, tetapi dia hanya meminta keadilan atas perlakuan penyidik yang tidak manusiawi pada 2004 itu.

"Ini fakta dan nggak ada rekayasa dan nggak ada kriminalisasi, dan satu orang ada salah tangkap. Tanggal 18 Februari 2004 kami tertangkap tangan mencuri sarang burung walet. Kami digelandang ke mobil, lalu diinjak-injak. Sampai polres kami dicampakkan di belakang dan disuruh buka baju pakai celana dalam saja, lalu dikumpulkan dan dipukuli lagi, digilas pakai motor, disetrum kemaluan kami," katanya.

"Apa hubungan maling sama menyetrum kemaluan? Itu kebiadaban Novel Baswedan, Novel itu iblis, biadab, lebih-lebih dari PKI. Bukan malaikat dia, kemaluan disetrum, lidah disetrum dan disundut rokok. Sampai kami di atas, dibawa ke Pantai Panjang, Novel sudah di tempat akan mengeksekusi penembakan, langsung beliau nembak saya, nembak Dedi Nuryadi," lanjutnya.

Irwan dan yang lainnya, termasuk korban salah tembak Dedi Nuryadi, membuka lagi perkara tersebut dengan harapan agar Novel diadili atas kasus itu. Lalu apa alasan Irwan mengungkap kembali perkara yang sudah belasan tahun berlalu dan sudah dihentikan itu?

"Saya masih bujang waktu itu, di rantau pula, makan susah, ke mana saya mau ngadu. Dedi ini asli Bengkulu, saya orang rantau, sama siapa saya mau ngadu?" kata Irwan.

Irwan juga saat itu tidak berani mengadukan hal ini kepada keluarganya di Medan, Sumatera Utara. Padahal ayahnya adalah polisi.

"Saya dulu bukan siapa-siapa, masih bujang, makan susah, untuk lapor ke kantor polisi takut, lebih baik saya cari makan, tapi dalam hati saya awas. Saya ini anak polisi juga, tapi saya merantau, jauh. Keluarga saya di Medan, nggak mungkin saya lapor ke keluarga (bahwa) maling saya, saya malu sebenarnya buka ini," paparnya.

Irwan dan rekannya yang lain baru mempersoalkan kasus itu pada 2008, setelah menikah dengan pujaan hatinya, Yunita, wanita asal Lampung. Yunita adalah anak Yuli, kakak Yudiswan, yang saat ini menjadi kuasa hukumnya. Sejak itulah, baru dia meminta bantuan kepada Yudiswan.

"2008 itu dulu katanya mau ada tsunami di Bengkulu, lalu saya ke Lampung. Di Lampung saya nikah sama Yunita. 2010 saya balik ke Bengkulu lagi, setelah setahun di Bengkulu, baru saya ikut paguyuban dan ketemu beliau (Yudiswan). Itu kronologinya," lanjutnya.

Sama halnya dengan Irwan, Dedi Nuryadi meminta keadilan. Dia mengaku korban salah tangkap. Nasib Dedi juga sama dengan Irwan, ditembak dan dianiaya saat itu.

Dedi menjelaskan, saat itu dia diminta ayahnya menjemput (alm) Era di Simpang Sekip. Dedi dan ayahnya adalah tukang ojek. Dedi kemudian menyelingi ayahnya menjemput Era.

Singkat cerita, setelah bertemu Era, Dedi diminta Era menjemput pacar Era di tempat fitness di Simpang Lima. Saat itulah, sejumlah polisi berpakaian preman menyergapnya.

"Saya digebukin, saya ditarik lalu dipukuli di mobil. Saya bilang, 'Apa salah saya, Pak?' Lalu saya sama rombongan itu (Irwan cs) dibawa ke polres. Di polres dilucuti pakaian saya, digebuk, disetrum. Saya minta Pak Presiden, saya butuh keadilan. Novel itu bersalah, kok dapat keadilan? Apa karena saya rakyat kecil saya nggak dapat keadilan? Kemaluan saya melepuh gara-gara disetrum, Pak. Saya mohon pada Pak Presiden, tolong beri keadilan buat saya, Pak," ungkap Dedi.

Sementara itu, Yudiswan selaku kuasa hukum mereka mengatakan pihaknya terus berjuang untuk mendapatkan keadilan. Ia juga sudah bersurat ke Komisi III DPR dan sudah bertemu dengan Pansus Hak Angket KPK, Senin (21/8) kemarin.

"Alhamdulillah kemarin ketemu Pansus dan mereka menerima kami. Insyaallah Komisi III akan melakukan pemanggilan minggu depan kepada Kejagung untuk melakukan penuntutan, register perkara dengan terdakwa Novel Baswedan belum dicabut di PN Bengkulu," ujar Yudiswan.

Selain itu, Rabu (23/8) besok, Yudiswan dan para korban berencana menemui Presiden Joko Widodo di Istana Negara. Dia berharap aspirasinya didengarkan.

"Saya sudah empat kali ke Komisi III DPR, karena dia (Irwan) keluarga saya. Kita rencana besok mau menghadap Presiden, semoga keadilan jangan tajam ke bawah, tumpul ke atas. Saya tidak ajari mereka bikin surat kecil untuk wakil Tuhan. Tolong Pak Presiden dengarkan aspirasi kami," tandas Yudiswan. (mei/jbr)
riezazura
adiefdh
independent89
independent89 dan 19 lainnya memberi reputasi
-8
Tutup