- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
SURYA Dikala SENJA (Horor, Komedi)
TS
ayahnyabinbun
SURYA Dikala SENJA (Horor, Komedi)
Assalamualaikum semua.
Ini hanya goresan tinta imajinasi seorang lelaki tua yang telat menemukan hasratnya dalam hal menulis.
No Junk.
No Spam.
Pokoknya ikuti Rules dari Kaskus ya.
Cerita ini murni Fiksi, jadi kalau ada kesamaan nama tokoh dan tempat mohon di maklumi.
Terakhir.
Selamat menikmati bacaan ringan ini.
Spoiler for Prolog:
-Jakarta-
UGD RS di jakarta.
"Bagaimana istri saya sus!? " tanya seorang pria kepada suster yang baru saja keluar dari ruang UGD.
"Maaf pak masih kritis saya tidak bisa memberitahu lebih rinci kondisi istri bapak, itu wewenang dokter," jawab suster cepat kemudian dia berlalu meninggalkan lelaki itu.
Lelaki itu pun bersandar di tembok rumah sakit, raut mukanya terlihat lemas dan pucat kedua tangannya gemetar tatkala menutup wajahnya.
"Maafkan aku Naura, hiks, maafkan aku, " gumam lelaki itu sambil terisak menangis tersedu-sedu.
Seberkas cahaya membentuk sosok manusia berjongkok di depan lelaki itu, "jangan menangis sayang, ini memang sudah waktuku, jaga anak kita ya, dia ganteng seperti kamu, cup. " seru sesosok cahaya tersebut sambil mencium kening sang lelaki, dan cahaya itu pun berlalu bersama sesosok laki-laki berjubah putih yang menemaninya.
Lelaki itu mengangguk lesu sambil tersenyum tipis, melihat ruh istrinya menghilang menuju ufuk matahari dikala senja.
"Krieeek" suara pintu UGD terbuka, keluar seorang dokter dan beberapa suster menggendong seorang bayi.
"Pak Bagas, bayi bapak kami bersihkan dulu di ruang bayi ya pak, dokter ingin bicara dengan bapak," jawab suster dengan lemah lembut ke lelaki itu.
Lelaki itu pun berdiri, berjalan pelan menuju dokter yang menundukkan kepala di depan lelaki itu, gurat penyesalan terlihat dari wajah sang dokter.
"Sudah tidak apa-apa dok, saya sudah tahu, sehebat apapun anda tidak bisa melawan takdir, " jawab lelaki itu sambil menepuk pundak sang dokter.
"Ba-bagaimana bapak bisa tahu!? " jawab dokter dengan rona kebingungan.
Lelaki itu kemudian berlalu menuju ruangan bayi, langkah demi langkah terasa berat, tangisan tak terbendung dari kedua matanya, lelaki itu memukul-mukul dadanya agar menyisakan kelegaan saat ia bernafas.
"OOOEeeeK...OOOEEEEK...OOOEEEK," seketika tangis bayi memecah kesunyian lorong rumah sakit, lelaki itu mempercepat langkah demi langkahnya, terlihat seorang bayi sedang di gendong suster, menangis dengan kencangnya.
"Silakan pak di gendong anaknya, sudah saya bersihkan dedek bayinya," jawab suster ke lelaki itu.
Sang lelaki menerima si bayi dari tangan suster, menggendong dengan penuh kehati-hatian, sang bayi yang tadi menangis kencang seketika terdiam di pelukan lembut sang ayah.
"Mau di beri nama siapa pak bayinya?" tanya suster.
"Surya, Surya dikala senja. " jawab bapak Bagas lirih.
Spoiler for Chapter 1 : sang Surya:
Jakarta, 2018.
"TENG!! TENG!! TENG!!" bunyi bel terdengar hingga ujung jalan setapak depan sebuah sekolah, segerombolan anak tunggang langgang berlarian menuju gerbang sekolah tersebut.
Pak Kusni penjaga sekolah, merangkap satpam, merangkap manusia terlihat mendorong gerbang dengan kepayahan, faktor usia seperti menggerogoti tenaganya yang dulu seperti kuda jantan, nafasnya terdengar mengebu-gebu seperti pemain film erotis tahun 80an, padahal gerbang sekolahnya hanya ada satu, bayangkan bila sekolah ini memiliki 7 gerbang layaknya pintu neraka, mungkin senin beliau sudah di kebumikan.
Dari ufuk timur terdengar suara dengan lantang.
"HEI KUSNI!!! HENTIKAN!!! GUA MASIH MAU SEKOLAH KUSNI!!!"
Remaja itu berlari bersama gerombolan murid yang telat bagai babi hutan.
Pak Kusni yang sedang mendorong gerbang terdiam sesaat, lalu melihat asal suara tersebut, matanya melotot melihat remaja tersebut berlari seperti maling BH yang dikejar warga, dengan sisa tenaga tuanya di dorong gerbang itu dengan tergesa-gesa,
"bocah sialan itu tak boleh masuk..! TIDAK BOLEH MASUK..! YOU SHALL NOT PASS..!" gumam lelaki tua itu sambil mengutip kata-kata Gandalf Lord Of The Ring.
"SIALAN KAU KUSNI! GUA TIDAK AKAN KALAH DENGAN TUA BANGKA MACAM KAU KUSNI!!" teriak lagi remaja itu dengan lantang, langkah kakinya semakin kencang ia sampai lupa resleting celananya masih menganga memberikan sensasi cooling breeze di sekujur pangkal pahanya.
Mendengar itu Kusni geram, ia semakin menggebu-gebu mendorong gerbang, akan tetapi, "KREEK!!" suara tulang bergeser bersua, teriakan tertahan mengema di kalbu Kusni.
"AAARRRGGHH!! AMPUN GUSTI!! PINGGANGKU!!" sakit encok strata tiga Kusni kambuh, tubuh kusni tertahan gerbang, tanpa adanya gerbang mungkin tubuh Kusni akan tersungkur ke tanah, ada hubungan simbiosis mutualisme yang ironis antara Kusni dan gerbang.
"Pagi beh, kambuh?! AHAAY!" ejek remaja itu ke pak Kusni sambil berlenggang menuju kelas.
Sakit, malu, vertigo menjadi satu, itulah yang di rasakan Kusni sekarang, melihat murid itu berlalu membuat matanya berkaca-kaca seutas kata terucap dari bibir Kusni.
"Dasar bocah KAMPRET!!" Kusni tertahan mematung sambil menggenggam gerbang sekolah yang masih seperempat terbuka.
Kelas 2-A sudah di penuhi manusia-manusia unggulan, datang setiap pagi untuk mencari ilmu, bersiap-siap menatap masa depan dengan penuh harapan cemerlang, di belakang dua insan lelaki saling bercakap.
"Cok, film bokep yang kemaren elu kirim crash, kirim lagi dong bro," celoteh Bambang ke Ucok di baris belakang.
"BAH!! Handphone kau saza yang zadul Bams, buktinya zalan-zalan zaja tuh di hp ku, makanya beli hape zangan di pasar malam lai," jawab Ucok dengan logat medannya yang kental, sungguh percakapan yang menginspirasi kaum muda mudi INDONESIA.
"Eh eh eh, guru guru guru!" riuh anak-anak kelas 2-a, sesosok lelaki tinggi, atletis nan tampan terlihat di depan pintu, kemudian berlalu, berganti menjadi lelaki pendek, tambun dengan kepala botak di tengah layaknya lapangan bola, sekilas adegan tadi seperti iklan L-men yang gagal.
Pak Hartono masuk ke dalam kelas, melihat sekeliling kelas sambil menyapa.
"Pagi anak-anak!!", sapa pak Hartono.
"PAGI PAK GURUUU!!" Jawab murid-murid dengan serentak dan kompak.
Tiba-tiba seorang anak berdiri di depan pintu kelas, wajahnya terlihat kecapaian dan pucat.
"Yaaah! Telat!" ujar anak itu, pak Hartono menelisik dengan teliti anak yang terlambat itu, kemudian berujar "hei kamu! Berani kamu telat di jam saya! Kesini kamu!" perintah pak Hartono dengan galaknya, anak itu pun maju dengan perlahan, kepalanya menunduk malu tidak bisa menatap pak Hartono, "Push up 25 kali! Jikalau tidak sanggup silakan keluar kelas saya!!" ujar pak Hartono dengan tegas, ketika anak itu mengambil ancang-ancang untuk melakukan push up, sesosok mahkluk mengintip dari balik jendela di barisan pojok kanan belakang, matanya nanar namun tajam melihat situasi kelas.
"oke situasi aman," ujarnya dengan percaya diri, dengan mode silent ia menyelundupkan tasnya dari balik jendela menuju bangku belajar, lalu ia merangsek masuk dari celah jendela, bak ular kadut dengan licinnya ia masuk melewati celah lumayan sempit itu, setengah badannya sudah masuk ke dalam ruang kelas, tangan kirinya menyentuh meja kemudian ia mendorong sisa tubuhnya melalui tembok menggunakan tangan kanan, dengan sangat cepat dan tanpa satu makhluk pun mengetahui ia sudah masuk ke dalam kelas, dengan posisi menungging di atas meja, misi pun berhasil, ia turun dari meja kemudian menikmati pemandangan Budi yang sedang push up.
"Budi, terima kasih ya, tanpa elu sebagai pengalih perhatian gua ngak bisa sampai di dalam kelas, Budi, kamu, numero uno," gumam pria itu di dalam hati.
Iya, pria itu tidak lain dan tidak bukan adalah Surya, anak dari bapak Bagas prakasa yang kalian liat kisah pilunya di prolog, anak ini tumbuh besar menjadi sosok lelaki tampan, pintar dan soleh, itu hanya menurut penuturan bapaknya sendiri.
Push up Budi sudah berada di angka 23 kali, keringat bercucuran dari kening sampai badan Budi, bahkan sampai muncul bercak basah di daerah selangkangannya, pergelangan tangannya mulai goyah, lututnya bergetar 4,5 skala richter, tubuh yang di rancang untuk main warnet seharian itu tidak mampu menerima push up lebih dari 20 kali.
"Pak, sudah ya pak, saya sudah tidak sanggup," nego Budi ke pak Hartono.
Pak Hartono sedikit terenyuh melihat Budi yang kecapaian, "aduh, kasihan kamu nak, ya sudah … tambah lima lagi push upnya, biar genap jadi 30," tutur pak Hartono dengan melepas topeng kesedihannya, mata Budi nanar namun kosong menatap lantai, terlihat raut penyesalan teramat sangat dari wajah Budi.
Pak Hartono mulai menuju meja ia mengambil daftar absensi lalu mulai mengabsen satu per satu muridnya, dimulai dari Ani, Deni dan seterusnya, murid-murid saling bersahutan saat nama mereka disebut pak Hartono, ketika mulut pak Hartono menyebut nama Surya, "HADIR PAK..!" sahut seseorang pemuda dari belakang dengan lantang.
Seisi kelas kaget, terperanga sambil menganga melihat Surya sudah di dalam kelas, pertanyaan dan praduga berkecamuk di hati mereka.
"Bagaimana ia bisa masuk!?"
"Sejak kapan ia ada di kelas?!"
"Kenapa aku ada di kelas ini!!" gumam Ari yang seharusnya masuk kelas 2-d.
semua perhatian itu berbanding terbalik dengan kondisi Budi yang tanpa perhatian satupun dari teman-temannya.
"Sakit, banget, tapi tak berdarah, sungguh biadab temen-temen gua, kata mereka kita teman sejati, selalu di hati, HILIH KINTHIL!!" ujar Budi di dalam hati kesal dengan teman-temannya.
Pelajaran berjalan setelah sesi absensi, pak Hartono mulai menjelaskan di depan kelas, suasana hening terasa, murid-murid mulai mendengarkan dengan seksama, kecuali Surya yang sedang terlelap di mejanya, posisinya yang berada paling belakang dan di tutupi Bambang yang jangkung dan Ucok yang bulat menjadikan tempat duduknya seperti vila di puncak, tempat paling nyaman untuk beristirahat.
"TOK TOK TOK TOK" bunyi ketukan pintu memecah keheningan kelas, pak Zul sang kepala sekolah sedang berdiri dengan seorang gadis cantik nan manis di sebelahnya, "pagi pak, maaf ganggu kelasnya, ini ada murid baru kelas 2-a," ujar pak Zul, "oh iya pak, silakan neng masuk, perkenalkan diri dulu sama teman yang lain," jawab pak Hartono sambil mempersilakan gadis itu masuk.
Sesosok gadis manis memakai hijab putih berjalan perlahan menuju depan kelas, wajah manisnya terlihat malu-malu ketika bertatap muka dengan murid-murid kelas 2-A, "pagi semua, nama aku Naura kelana subhi, panggil saja Naura," jawab Naura sambil tersenyum simpul memperlihatkan lesung pipinya, seketika itu juga rentetan panah asmara menusuk hati para lelaki di kelas 2-A, kecuali Surya yang sedang berkelana di pulau kapuk dan para murid perempuan yang menunjukkan ekspresi tersaingi secara jasmani dan rohani.
"kamu duduk di belakang ya nak Naura, soalnya bangku yang kosong cuman ada di sebelah sana, " ujar pak Hartono sambil menunjuk bangku disebelah Surya.
Naura pun berjalan menuju bangkunya, diiringi tatapan nakal murid laki-laki di kelas itu, ia kemudian duduk sambil mulai mengeluarkan peralatan belajarnya.
Bambang dan Ucok yang duduk di depan Naura pun sontak membalikkan badan untuk berkenalan.
"Hai Naura, namanya cantik secantik orangnya," puji Bambang dengan gaya sok coolnya.
"hei Naura, cantik kali kau, nanti pulang ku antar pakai motor ninja ku mau tak?" goda Ucok sambil menyisir jambul khatulistiwa miliknya.
Melihat gelagat kedua lelaki di depannya naura langsung ilfeel stadium akhir, didalam hatinya ia berteriak "TIDAAAAAAK..!" akan tetapi Naura hanya membalas dengan senyum malu tapi palsu ke kedua orang utan itu.
"ikh amit-amit jabang bayi, masa hari pertama di sekolah baru gua udah di godain cowok alay macem keset kayak gini, Ya tuhan salah apa hambamu ini, " ketus Naura di dalam hati.
"Jangan di anggap serius, mereka cuman bercanda."
"DEG...!!"
Rona wajah Naura terlihat terkejut, sebuah telepati terkirim langsung menuju fikirannya, ia mencari sumber telepati itu, dan matanya tertuju pada punggung lelaki teman sebangkunya, Surya.
Spoiler for Index:
PART 1
CHAPTER 1
CHAPTER 2
CHAPTER 3
CHAPTER 4
CHAPTER 5
CHAPTER 6
CHAPTER 7
CHAPTER 8
CHAPTER 9
CHAPTER 10
CHAPTER 11
CHAPTER 12
CHAPTER 13
CHAPTER 14
CHAPTER 15
CHAPTER 16
CHAPTER 17
CHAPTER 18
CHAPTER 19
CHAPTER 20
CHAPTER 21
CHAPTER 22
CHAPTER 23
CHAPTER 24
CHAPTER 25
CHAPTER 26
CHAPTER 27
CHAPTER 28
CHAPTER 29
CHAPTER 30
PART 2
CHAPTER 2.1
CHAPTER 2.2
CHAPTER 2.3
CHAPTER 2.4
CHAPTER 2.5
CHAPTER 2.6
CHAPTER 2.7
CHAPTER 2.8
CHAPTER 2.9
CHAPTER 2.10
CHAPTER 2.11
CHAPTER 2.12
CHAPTER 2.13
CHAPTER 2.14
CHAPTER 2.15
CHAPTER 2.16
CHAPTER 2.17
CHAPTER 2.18
CHAPTER 2.19
CHAPTER 2.20
CHAPTER 2.21
CHAPTER 2.22
CHAPTER 2.23
CHAPTER 2.24
CHAPTER 2.25
CHAPTER 2.26
CHAPTER 2.27
CHAPTER 2.28
CHAPTER 2.29
Diubah oleh ayahnyabinbun 28-05-2022 17:42
namakuve dan 116 lainnya memberi reputasi
115
159.9K
Kutip
916
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
ayahnyabinbun
#682
Chapter 2.22
Spoiler for Fireworks:
Dinginnya desir angin merajam kulit seakan menggenggam lengan hingga terasa kedalam tulang dan gelap malam kian mencekam tatkala permadani awan menutupi terangnya rembulan. Didepan gerbang Pujakerana yang telah porak poranda diterpa ledakan tengah berbaris ratusan jin hitam dari ujung satu ke ujung lainnya didepan tembok tinggi kerajaan Pujakerana.
Dari reruntuhan gerbang kerajaan jin itu telah datang sang pemimpin dari para jin hitam, Gundara datang seraya disambut sahutan perang dari para pasukannya.
"Kapten … bagaimana keadaannya?" tanya Gundara dengan tatapan tajam kesalah satu jin hitam yang terlihat menyeramkan dengan kalung tengkorak melingkari lehernya.
"Hormat saya untuk anda baginda, pasukan musuh terlihat berada dihutan diatas bukit dengan seekor naga hitam menjaga mereka dan …"
"Dan apa?" tanya lagi Gundara sembari menaruh gada emasnya diatas tanah.
"Dan didepan sana mereka hanya mengirimkan satu manusia, sepertinya mereka ingin berunding dengan anda paduka," seru sang kapten dari para jin hitam.
Gundara menatap kedepan, terlihat sesosok pemuda dengan kaus putih dan celana pendek hitam dipadang sabana luas tersebut, sang manusia tengah berdiri sembari menyilangkan kedua tangannya didepan dadanya.
"Segera panah manusia itu dan jangan biarkan ia hidup," seru Gundara dingin.
"Siap paduka!!" seru sang kapten, ia segera beranjak pergi kearah pasukan jin hitam dan mulai memberikan aba-aba dengan teriakan lantangnya.
"PEMANAH!!"
Para pemanah dari pasukan jin hitam yang tengah berada diatas tembok kerajaan mulai mempersiapkan busur mereka masing-masing.
"BIDIK!!"
"TEMBAK!!"
-Syuut-
-Syuut-
-Syuut-
-Syuut-
-Syuut-
-Syuut-
-Syuut-
-Syuut-
Ratusan anak panah melesat dan melayang terbang dari peraduan dan siap menerjang apapun yang menghadang.
-Jreb-
-Jreb-
-Jreb-
-Jreb-
-Jreb-
Bunyi anak panah terdengar mendarat diatas tanah namun dari sekian banyak anak panah yang berpendar tak satupun ada yang sampai mengenai sang manusia.
Sang kapten seakan tidak percaya dengan keadaan yang tengah terjadi didepan mata telanjangnya, dengan aba-abanya ia kembali berteriak lantang.
"APA KALIAN SEMUA BUTA!! BIDIK YANG BENAR!!" seru sang kapten gusar.
"BIDIK!!"
"TEMBAK!!"
-Syuut-
-Syuut-
-Syuut-
-Syuut-
-Syuut-
-Syuut-
-Syuut-
-Syuut-
Ratusan anak panah kembali melesat namun sama seperti sebelumnya, tidak ada satu anak panah pun yang menyentuh tubuh pemuda tersebut.
Sosok pemuda itu masih berdiri tegap tanpa ada satupun tanda ketakutan tersirat diwajahnya, bahkan manusia itu terlihat tersenyum miring sambil menggaruk-garuk pucuk kepalanya.
Gundara yang melihat hal tersebut hanya terdiam sembari duduk diatas sebuah batu reruntuhan gerbang dengan tatapan sinis yang seakan menusuk punggung sang kapten jin hitam, tidak mau kehilangan muka didepan sang pemimpin, kapten itu segera berjalan kedepan sembari membawa senjata miliknya.
"MINGGIR KALIAN!!!" Seru sang kapten penuh amarah melewati para pasukan jin hitam, langkah kaki sang kapten semakin berderap kearah depan barisan.
"BAGONG!!" seru sang kapten memanggil salah satu anak buahnya.
Sesosok jin hitam paling besar diantara jin hitam lainnya dengan wajah paling seram berdiri dan segera melangkah untuk menghadap sang kapten.
"Maju dan bunuh manusia itu, lakukan sekeji mungkin agar paduka Gundara terkesan," pinta sang kapten kepada jin hitam tersebut.
Jin hitam besar bernama Bagong itu mengangguk mengerti dan kemudian beranjak berlari seorang diri kearah sang pemuda.
-bum-
-bum-
-bum-
Suara langkah besarnya menggema seantero padang sabana, dengan tubuh tambun yang ia miliki sambil membawa kapak besar dipundak dengan mudahnya, tak memakan waktu lama ia sudah berada didepan sang pemuda dan langsung menebas tubuh manusia tersebut dengan bertubi-tubi.
-BAM-
-BAM-
-BAM-
-BAM-
Dengan bengis Bagong melancarkan serangan tanpa ampun kearah manusia itu, ketika dirasa sudah selesai mencabik-cabik lawannya Bagong tersenyum dengan seringai puas namun seketika ia terperanga tatkala mendapati sosok manusia didepannya yang terlihat tidak terluka sedikitpun setelah dihujam kapak miliknya.
"Huuuh!!! … kenapa belum mati?!" tanya Bagong heran sembari menggaruk puncak kepalanya.
Pemuda tersebut masih diam seribu bahasa dengan tangan yang masih menyilang didada.
Tangan kiri Bagong berusaha meraih sang pemuda, namun…
-Swuush-
Bagong mendapati dirinya menggenggam udara kosong, ia berusaha kembali meraih tubuh sang pemuda namun hasilnya tetap sama, berapa kali pun ia berusaha menggenggam tubuh pemuda tersebut hanya udara kosong yang digenggam telapak tangan besarnya.
Bagong terlihat keheranan dan menggaruk-garuk puncak kepalanya kembali yang gundul. Jin besar itu masih tidak mengetahui bahwa pemuda yang berdiri didepannya tersebut hanya hologram, sebuah ilusi optik yang diciptakan Surya melalui energi sukma miliknya.
Tiba-tiba dari tubuh hologram itu mengeluarkan cahaya yang sangat menyilaukan dari sekujur tubuhnya.
-ZIIIIIIIING-
-DHUAAR!!-
Ledakan cahaya terjadi didepan mata Bagong hingga menghancurkan tubuh tambun itu menjadi berkeping-keping, cahaya itu melesat keatas langit dan terus melesat hingga menyentuh kolong awan diangkasa.
-DHUAAAAAR-
Cahaya tersebut meledak bagai kembang api raksasa diatas langit Pujakerana, percikan-percikan cahaya yang meledak seketika berubah bentuk menjadi panah-panah kecil bagai jarum yang melesat turun menerjang para pasukan jin hitam didepan gerbang Pujakerana.
-Jreb-
-Jreb-
-Jreb-
-Jreb-
-Jreb-
-Jreb-
-Jreb-
-Jreb-
-Jreb-
-Jreb-
Ledakan demi ledakan meletus menciptakan letupan-letupan cahaya kecil dari kejauhan, barisan rapi yang tadi tercipta dari para jin hitam mulai porak-poranda menyisakan para jin hitam yang berlarian kebarisan belakang mencari perlindungan dari hujan panah cahaya.
-BLAAAAAR-
Ledakan besar tiba-tiba terjadi didepan gerbang Pujakerana, terlihat disana Gundara berdiri dengan aura hitam melingkupi sekujur tubuhnya, aura sang kera putih yang besar menciptakan ledakan energi yang membuat jin hitam yang hendak kabur kebelakang bergidik ngeri.
"Kembali kedalam kerajaan sama dengan mati dan siapapun yang mendapatkan kepala manusia itu akan mendapatkan kekayaan hingga tujuh turunan," geram Gundara.
Disaat Gundara melangkah kedepan lautan barisan jin hitam membelah memberikan kera putih itu jalan untuk menuju kedepan barisan, satu persatu jin hitam mengikuti langkah Gundara dari belakang.
"Tu..tuan … ha..hamba mo..mohon am..HEGH!!"
Belum selesai sang kapten berbicara tangan kiri Gundara sekejap mencekik leher sang kapten dan mengangkat tubuh jin hitam itu keudara.
-KRAK-
Bunyi tulang yang patah terdengar nyaring dari tangan kiri Gundara, dengan entengnya Gundara melempar jasad bekas kapten jin hitam tersebut kesembarang arah.
"Kau!!" seru Gundara sembari menunjuk salah satu jin hitam besar, "sekarang kau kapten dari semua pasukan dan dengan titah yang aku berikan serang pasukan kera yang bersembunyi diatas bukit itu beserta dengan naga hitam itu," seru Gundara yang di balas anggukan mengerti sang kapten baru.
Jin hitam yang ditunjuk Gundara segera merampas kalung tengkorak milik kapten sebelumnya dan langsung memakainya dileher kemudian jin hitam tersebut berlari kedepan diikuti langkah para pasukan jin hitam. Gundara yang tengah berdiri tegap melihat sekeliling, ia berusaha mencari keberadaan sang manusia pemimpin pasukan pemberontak.
Tiba-tiba sebuah telepati terdengar didalam fikiran Gundara, "Hei dungu, bagaimana hadiah perangkap kecil yang ku sajikan?? Kau suka? Hehehe," tanya Surya melalui telepati dari tempat persembunyiannya.
"KELUAR KAU PENGECUT!!" teriak Gundara dengan lantang.
"Aiiish … santailah, apa jin kera sepertimu selalu naik pitam secepat ini?" seru Surya kembali melalui telepati.
Gundara terdiam sejenak sambil menggenggam erat senjata miliknya seraya tersenyum miring, "hehehe … aku mengerti sekarang … kau bersembunyi karena kau kehabisan energi sukma, kau sengaja mengulur waktu untuk mengisi ulang energi milikmu, dasar manusia pengecut!!" balas Gundara melalui telepati.
"hmfh … entahlah, terkaanmu bisa benar bisa juga salah, cara satu-satunya hanya dengan menemukan ku secepatnya, benar bukan?" sergah Surya mengakhiri pembicaraan melalui telepati itu.
"Jika kau mengira hanya dirimu yang memiliki cara licik kau salah besar manusia laknat," gumam Gundara.
Tubuh tegap Gundara mulai berlari kedepan menuju tengah padang sabana, ia berlari melewati para pasukan jin hitam menuju ketempat mayat Bagong yang hancur lebur karena ledakan cahaya. Dengan tangan kanannya Gundara meraih kalung pemberian dari ratu Evelin sembari membaca beberapa mantra.
Cahaya merah delima menyala dengan cerahnya dan seketika sebuah jalur terlihat ditanah memperlihatkan sisa residual energi milik Surya yang meninggalkan jejak menuju kearah daerah tebing disisi kanan Pujakerana.
"Disana kau rupanya!" gumam Gundara dengan senyum menyeringai.
-SWUUSH-
Dengan langkah seribu Gundara berlari kearah tempat persembunyian Surya secepat angin dan tidak memakan waktu lama Gundara sampai didepan bebatuan tebing, cahaya merah dari kalung pemberian ratu Evelin menghilang tepat di bebatuan tersebut.
Gundara menatap kedepan, tangan kirinya berusaha merasakan bebatuan didepannya.
"Jadi ini akal bulus milikmu, kau benar-benar cerdik manusia," gumam Gundara sembari melangkah mundur, ia mengambil ancang-ancang sembari menggenggam senjata gada emas miliknya menggunakan kedua tangannya.
-BLAAAAR-
-Krak-
Sebuah retakan tercipta didinding tebing, perlahan tabir pelindung yang digunakan Surya untuk kamuflase mulai runtuh didepan tubuh Gundara.
Didepan sang kera putih itu tengah terduduk Surya, pemuda itu bersender di bebatuan tebing sembari membuka satu matanya.
"Cih … lebih cepat dari perkiraan yang ku buat, kau benar-benar tangan kanan penyihir itu," seru Surya sembari merenggangkan tubuhnya.
"Perjalananmu di dimensi kedua berakhir disini Surya, energimu sudah habis dan pasukanku akan segera menghabisi para pasukan kera diatas sana," seru Gundara dengan aura hitam mulai merembes keluar dari tubuhnya.
"Sepertinya aku harus meluruskan beberapa hal disini, Pertama-tama … mereka yang diatas sana bukan pasukan milikku, mereka adalah pasukan kera milik Karina untuk mengkudeta dirimu, jadi apapun yang terjadi pada mereka aku sama sekali tidak perduli dan yang kedua … tanpa energi sukma pun aku bisa mengalahkanmu," seru Surya berdiri sembari mengeluarkan sebuah bola cahaya kecil ditelapak tangan kanannya.
"Hehe, kesombonganmu sungguh menggelikan, mengalahkanku dengan bola cahaya kecil itu?!"
Gundara mengangkat gada emas miliknya dan mengalirkan energi hitam miliknya kedalam gada tersebut, duri-duri hitam mencuat dari dalam gada dan menyelimuti keseluruhan gada emas tersebut.
Surya tersenyum tipis sembari menggenggam bola cahaya ditangannya dan seketika membentuk sebuah pedang berwarna putih bersih dengan cahaya benderang.
"Apa kau tahu, untuk ukuran kera besar kau terlalu cerewet, bisa kita mulai sekarang?" seru Surya sembari mengarahkan ujung pedangnya kearah Gundara.
Dilain tempat..
Didalam dimensi tersembunyi damastra melik Bagas berjalan perlahan menyusuri tangga-tangga menuju kuil, langkahnya terhenti didepan sebuah jeruji baja yang dipenuhi sulur-sulur tanaman berwarna hitam.
Tiba-tiba sebuah suara serak nan menakutkan terdengar dari dalam jeruji tersebut.
"Hmm … setelah sekian lama akhirnya ada yang datang mengunjungiku lagi, siapa gerangan namamu nak?" tanya sesosok mahluk didalam jeruji yang menatap lurus kearah Bagas.
Bagas setengah menunduk seraya berucap, "maafkan hamba sudah lancang mengganggu peristirahatan anda didalam sini."
Sosok tersebut menatap lekat Bagas seraya tersenyum miring, "apa kau ingin kekuatan seperti jin kera sebelumnya yang datang kesini?"
"Maaf mengecewakan anda namun bukan kekuatan yang hamba cari disini," seru Bagas.
"…"
Sosok didalam jeruji terdiam sesaat.
"Jika bukan kekuatan lalu apa yang kau inginkan anak muda, apapun yang kau inginkan akan aku kabulkan asal kau memenuhi syarat yang akan aku berikan," seru sosok tersebut.
"Saya tidak memiliki keinginan apapun namun kedatangan saya disini ingin membuat penawaran kepada anda … wahai Chandrika … sang pelahap cahaya bulan."
Sosok didalam jeruji tersentak seraya berjalan cepat kearah jeruji, jari jemari lentik perlahan menggenggam jeruji dan terlihat sesosok wajah cantik dengan kulit putih yang bagai bulan menatap lekat Bagas.
"Ahh … nama yang lama sudah lama aku tinggalkan." suara serak yang tadi terdengar menyeramkan berganti menjadi suara lembut seorang wanita yang meneduhkan, "bagaimana kau tahu namaku?" tanya sosok wanita yang bernama Chandrika tersebut.
"Anak hamba yang memberitahukan rahasia itu, bisa dibilang dia yang menggagaskan ide gila ini," seru Bagas.
Chandrika menatap tajam kearah Bagas, sosok wanita itu menatap lekat tubuh Bagas dari ujung kaki hingga puncuk kepala, "jadi apa penawar yang kau ingin ajukan? Jika penawaranmu tidak menggiurkan kau akan mati disini" tanya Chandrika langsung dengan aura dingin penuh keinginan membunuh yang membias dari dalam tubuhnya.
"Saya akan memulai dengan sebuah pertanyaan … apakah anda tahu tentang Ifrit?"
Manik mata Chandrika yang berwarna putih membulat sempurna dan sesaat kemudian Chandrika tersenyum dengan seringai lebar menghiasi paras cantiknya.
#bersambung
Dari reruntuhan gerbang kerajaan jin itu telah datang sang pemimpin dari para jin hitam, Gundara datang seraya disambut sahutan perang dari para pasukannya.
"Kapten … bagaimana keadaannya?" tanya Gundara dengan tatapan tajam kesalah satu jin hitam yang terlihat menyeramkan dengan kalung tengkorak melingkari lehernya.
"Hormat saya untuk anda baginda, pasukan musuh terlihat berada dihutan diatas bukit dengan seekor naga hitam menjaga mereka dan …"
"Dan apa?" tanya lagi Gundara sembari menaruh gada emasnya diatas tanah.
"Dan didepan sana mereka hanya mengirimkan satu manusia, sepertinya mereka ingin berunding dengan anda paduka," seru sang kapten dari para jin hitam.
Gundara menatap kedepan, terlihat sesosok pemuda dengan kaus putih dan celana pendek hitam dipadang sabana luas tersebut, sang manusia tengah berdiri sembari menyilangkan kedua tangannya didepan dadanya.
"Segera panah manusia itu dan jangan biarkan ia hidup," seru Gundara dingin.
"Siap paduka!!" seru sang kapten, ia segera beranjak pergi kearah pasukan jin hitam dan mulai memberikan aba-aba dengan teriakan lantangnya.
"PEMANAH!!"
Para pemanah dari pasukan jin hitam yang tengah berada diatas tembok kerajaan mulai mempersiapkan busur mereka masing-masing.
"BIDIK!!"
"TEMBAK!!"
-Syuut-
-Syuut-
-Syuut-
-Syuut-
-Syuut-
-Syuut-
-Syuut-
-Syuut-
Ratusan anak panah melesat dan melayang terbang dari peraduan dan siap menerjang apapun yang menghadang.
-Jreb-
-Jreb-
-Jreb-
-Jreb-
-Jreb-
Bunyi anak panah terdengar mendarat diatas tanah namun dari sekian banyak anak panah yang berpendar tak satupun ada yang sampai mengenai sang manusia.
Sang kapten seakan tidak percaya dengan keadaan yang tengah terjadi didepan mata telanjangnya, dengan aba-abanya ia kembali berteriak lantang.
"APA KALIAN SEMUA BUTA!! BIDIK YANG BENAR!!" seru sang kapten gusar.
"BIDIK!!"
"TEMBAK!!"
-Syuut-
-Syuut-
-Syuut-
-Syuut-
-Syuut-
-Syuut-
-Syuut-
-Syuut-
Ratusan anak panah kembali melesat namun sama seperti sebelumnya, tidak ada satu anak panah pun yang menyentuh tubuh pemuda tersebut.
Sosok pemuda itu masih berdiri tegap tanpa ada satupun tanda ketakutan tersirat diwajahnya, bahkan manusia itu terlihat tersenyum miring sambil menggaruk-garuk pucuk kepalanya.
Gundara yang melihat hal tersebut hanya terdiam sembari duduk diatas sebuah batu reruntuhan gerbang dengan tatapan sinis yang seakan menusuk punggung sang kapten jin hitam, tidak mau kehilangan muka didepan sang pemimpin, kapten itu segera berjalan kedepan sembari membawa senjata miliknya.
"MINGGIR KALIAN!!!" Seru sang kapten penuh amarah melewati para pasukan jin hitam, langkah kaki sang kapten semakin berderap kearah depan barisan.
"BAGONG!!" seru sang kapten memanggil salah satu anak buahnya.
Sesosok jin hitam paling besar diantara jin hitam lainnya dengan wajah paling seram berdiri dan segera melangkah untuk menghadap sang kapten.
"Maju dan bunuh manusia itu, lakukan sekeji mungkin agar paduka Gundara terkesan," pinta sang kapten kepada jin hitam tersebut.
Jin hitam besar bernama Bagong itu mengangguk mengerti dan kemudian beranjak berlari seorang diri kearah sang pemuda.
-bum-
-bum-
-bum-
Suara langkah besarnya menggema seantero padang sabana, dengan tubuh tambun yang ia miliki sambil membawa kapak besar dipundak dengan mudahnya, tak memakan waktu lama ia sudah berada didepan sang pemuda dan langsung menebas tubuh manusia tersebut dengan bertubi-tubi.
-BAM-
-BAM-
-BAM-
-BAM-
Dengan bengis Bagong melancarkan serangan tanpa ampun kearah manusia itu, ketika dirasa sudah selesai mencabik-cabik lawannya Bagong tersenyum dengan seringai puas namun seketika ia terperanga tatkala mendapati sosok manusia didepannya yang terlihat tidak terluka sedikitpun setelah dihujam kapak miliknya.
"Huuuh!!! … kenapa belum mati?!" tanya Bagong heran sembari menggaruk puncak kepalanya.
Pemuda tersebut masih diam seribu bahasa dengan tangan yang masih menyilang didada.
Tangan kiri Bagong berusaha meraih sang pemuda, namun…
-Swuush-
Bagong mendapati dirinya menggenggam udara kosong, ia berusaha kembali meraih tubuh sang pemuda namun hasilnya tetap sama, berapa kali pun ia berusaha menggenggam tubuh pemuda tersebut hanya udara kosong yang digenggam telapak tangan besarnya.
Bagong terlihat keheranan dan menggaruk-garuk puncak kepalanya kembali yang gundul. Jin besar itu masih tidak mengetahui bahwa pemuda yang berdiri didepannya tersebut hanya hologram, sebuah ilusi optik yang diciptakan Surya melalui energi sukma miliknya.
Tiba-tiba dari tubuh hologram itu mengeluarkan cahaya yang sangat menyilaukan dari sekujur tubuhnya.
-ZIIIIIIIING-
-DHUAAR!!-
Ledakan cahaya terjadi didepan mata Bagong hingga menghancurkan tubuh tambun itu menjadi berkeping-keping, cahaya itu melesat keatas langit dan terus melesat hingga menyentuh kolong awan diangkasa.
-DHUAAAAAR-
Cahaya tersebut meledak bagai kembang api raksasa diatas langit Pujakerana, percikan-percikan cahaya yang meledak seketika berubah bentuk menjadi panah-panah kecil bagai jarum yang melesat turun menerjang para pasukan jin hitam didepan gerbang Pujakerana.
-Jreb-
-Jreb-
-Jreb-
-Jreb-
-Jreb-
-Jreb-
-Jreb-
-Jreb-
-Jreb-
-Jreb-
Ledakan demi ledakan meletus menciptakan letupan-letupan cahaya kecil dari kejauhan, barisan rapi yang tadi tercipta dari para jin hitam mulai porak-poranda menyisakan para jin hitam yang berlarian kebarisan belakang mencari perlindungan dari hujan panah cahaya.
-BLAAAAAR-
Ledakan besar tiba-tiba terjadi didepan gerbang Pujakerana, terlihat disana Gundara berdiri dengan aura hitam melingkupi sekujur tubuhnya, aura sang kera putih yang besar menciptakan ledakan energi yang membuat jin hitam yang hendak kabur kebelakang bergidik ngeri.
"Kembali kedalam kerajaan sama dengan mati dan siapapun yang mendapatkan kepala manusia itu akan mendapatkan kekayaan hingga tujuh turunan," geram Gundara.
Disaat Gundara melangkah kedepan lautan barisan jin hitam membelah memberikan kera putih itu jalan untuk menuju kedepan barisan, satu persatu jin hitam mengikuti langkah Gundara dari belakang.
"Tu..tuan … ha..hamba mo..mohon am..HEGH!!"
Belum selesai sang kapten berbicara tangan kiri Gundara sekejap mencekik leher sang kapten dan mengangkat tubuh jin hitam itu keudara.
-KRAK-
Bunyi tulang yang patah terdengar nyaring dari tangan kiri Gundara, dengan entengnya Gundara melempar jasad bekas kapten jin hitam tersebut kesembarang arah.
"Kau!!" seru Gundara sembari menunjuk salah satu jin hitam besar, "sekarang kau kapten dari semua pasukan dan dengan titah yang aku berikan serang pasukan kera yang bersembunyi diatas bukit itu beserta dengan naga hitam itu," seru Gundara yang di balas anggukan mengerti sang kapten baru.
Jin hitam yang ditunjuk Gundara segera merampas kalung tengkorak milik kapten sebelumnya dan langsung memakainya dileher kemudian jin hitam tersebut berlari kedepan diikuti langkah para pasukan jin hitam. Gundara yang tengah berdiri tegap melihat sekeliling, ia berusaha mencari keberadaan sang manusia pemimpin pasukan pemberontak.
Tiba-tiba sebuah telepati terdengar didalam fikiran Gundara, "Hei dungu, bagaimana hadiah perangkap kecil yang ku sajikan?? Kau suka? Hehehe," tanya Surya melalui telepati dari tempat persembunyiannya.
"KELUAR KAU PENGECUT!!" teriak Gundara dengan lantang.
"Aiiish … santailah, apa jin kera sepertimu selalu naik pitam secepat ini?" seru Surya kembali melalui telepati.
Gundara terdiam sejenak sambil menggenggam erat senjata miliknya seraya tersenyum miring, "hehehe … aku mengerti sekarang … kau bersembunyi karena kau kehabisan energi sukma, kau sengaja mengulur waktu untuk mengisi ulang energi milikmu, dasar manusia pengecut!!" balas Gundara melalui telepati.
"hmfh … entahlah, terkaanmu bisa benar bisa juga salah, cara satu-satunya hanya dengan menemukan ku secepatnya, benar bukan?" sergah Surya mengakhiri pembicaraan melalui telepati itu.
"Jika kau mengira hanya dirimu yang memiliki cara licik kau salah besar manusia laknat," gumam Gundara.
Tubuh tegap Gundara mulai berlari kedepan menuju tengah padang sabana, ia berlari melewati para pasukan jin hitam menuju ketempat mayat Bagong yang hancur lebur karena ledakan cahaya. Dengan tangan kanannya Gundara meraih kalung pemberian dari ratu Evelin sembari membaca beberapa mantra.
Cahaya merah delima menyala dengan cerahnya dan seketika sebuah jalur terlihat ditanah memperlihatkan sisa residual energi milik Surya yang meninggalkan jejak menuju kearah daerah tebing disisi kanan Pujakerana.
"Disana kau rupanya!" gumam Gundara dengan senyum menyeringai.
-SWUUSH-
Dengan langkah seribu Gundara berlari kearah tempat persembunyian Surya secepat angin dan tidak memakan waktu lama Gundara sampai didepan bebatuan tebing, cahaya merah dari kalung pemberian ratu Evelin menghilang tepat di bebatuan tersebut.
Gundara menatap kedepan, tangan kirinya berusaha merasakan bebatuan didepannya.
"Jadi ini akal bulus milikmu, kau benar-benar cerdik manusia," gumam Gundara sembari melangkah mundur, ia mengambil ancang-ancang sembari menggenggam senjata gada emas miliknya menggunakan kedua tangannya.
-BLAAAAR-
-Krak-
Sebuah retakan tercipta didinding tebing, perlahan tabir pelindung yang digunakan Surya untuk kamuflase mulai runtuh didepan tubuh Gundara.
Didepan sang kera putih itu tengah terduduk Surya, pemuda itu bersender di bebatuan tebing sembari membuka satu matanya.
"Cih … lebih cepat dari perkiraan yang ku buat, kau benar-benar tangan kanan penyihir itu," seru Surya sembari merenggangkan tubuhnya.
"Perjalananmu di dimensi kedua berakhir disini Surya, energimu sudah habis dan pasukanku akan segera menghabisi para pasukan kera diatas sana," seru Gundara dengan aura hitam mulai merembes keluar dari tubuhnya.
"Sepertinya aku harus meluruskan beberapa hal disini, Pertama-tama … mereka yang diatas sana bukan pasukan milikku, mereka adalah pasukan kera milik Karina untuk mengkudeta dirimu, jadi apapun yang terjadi pada mereka aku sama sekali tidak perduli dan yang kedua … tanpa energi sukma pun aku bisa mengalahkanmu," seru Surya berdiri sembari mengeluarkan sebuah bola cahaya kecil ditelapak tangan kanannya.
"Hehe, kesombonganmu sungguh menggelikan, mengalahkanku dengan bola cahaya kecil itu?!"
Gundara mengangkat gada emas miliknya dan mengalirkan energi hitam miliknya kedalam gada tersebut, duri-duri hitam mencuat dari dalam gada dan menyelimuti keseluruhan gada emas tersebut.
Surya tersenyum tipis sembari menggenggam bola cahaya ditangannya dan seketika membentuk sebuah pedang berwarna putih bersih dengan cahaya benderang.
"Apa kau tahu, untuk ukuran kera besar kau terlalu cerewet, bisa kita mulai sekarang?" seru Surya sembari mengarahkan ujung pedangnya kearah Gundara.
Dilain tempat..
Didalam dimensi tersembunyi damastra melik Bagas berjalan perlahan menyusuri tangga-tangga menuju kuil, langkahnya terhenti didepan sebuah jeruji baja yang dipenuhi sulur-sulur tanaman berwarna hitam.
Tiba-tiba sebuah suara serak nan menakutkan terdengar dari dalam jeruji tersebut.
"Hmm … setelah sekian lama akhirnya ada yang datang mengunjungiku lagi, siapa gerangan namamu nak?" tanya sesosok mahluk didalam jeruji yang menatap lurus kearah Bagas.
Bagas setengah menunduk seraya berucap, "maafkan hamba sudah lancang mengganggu peristirahatan anda didalam sini."
Sosok tersebut menatap lekat Bagas seraya tersenyum miring, "apa kau ingin kekuatan seperti jin kera sebelumnya yang datang kesini?"
"Maaf mengecewakan anda namun bukan kekuatan yang hamba cari disini," seru Bagas.
"…"
Sosok didalam jeruji terdiam sesaat.
"Jika bukan kekuatan lalu apa yang kau inginkan anak muda, apapun yang kau inginkan akan aku kabulkan asal kau memenuhi syarat yang akan aku berikan," seru sosok tersebut.
"Saya tidak memiliki keinginan apapun namun kedatangan saya disini ingin membuat penawaran kepada anda … wahai Chandrika … sang pelahap cahaya bulan."
Sosok didalam jeruji tersentak seraya berjalan cepat kearah jeruji, jari jemari lentik perlahan menggenggam jeruji dan terlihat sesosok wajah cantik dengan kulit putih yang bagai bulan menatap lekat Bagas.
"Ahh … nama yang lama sudah lama aku tinggalkan." suara serak yang tadi terdengar menyeramkan berganti menjadi suara lembut seorang wanita yang meneduhkan, "bagaimana kau tahu namaku?" tanya sosok wanita yang bernama Chandrika tersebut.
"Anak hamba yang memberitahukan rahasia itu, bisa dibilang dia yang menggagaskan ide gila ini," seru Bagas.
Chandrika menatap tajam kearah Bagas, sosok wanita itu menatap lekat tubuh Bagas dari ujung kaki hingga puncuk kepala, "jadi apa penawar yang kau ingin ajukan? Jika penawaranmu tidak menggiurkan kau akan mati disini" tanya Chandrika langsung dengan aura dingin penuh keinginan membunuh yang membias dari dalam tubuhnya.
"Saya akan memulai dengan sebuah pertanyaan … apakah anda tahu tentang Ifrit?"
Manik mata Chandrika yang berwarna putih membulat sempurna dan sesaat kemudian Chandrika tersenyum dengan seringai lebar menghiasi paras cantiknya.
#bersambung
ariefdias dan 20 lainnya memberi reputasi
21
Kutip
Balas
Tutup