Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

sofiayuanAvatar border
TS
sofiayuan
Ma'had Of Love
Ma'had Of Love


Prolog :

Berubah menjadi lebih baik itu bukanlah hal yang mudah, tak seperti membalik telapak tangan. Banyak rintangan di setiap niat baik.

Rintangan ada untuk dihadapi bukan di ratapi akhirnya berhenti untuk memperbaiki diri. Karena setiap proses pasti akan ada hasil.

Perubahan butuh pengaplikasian dalam rutinitas sehari-hari bukan sekedar teori yang lama-lama akan basi.

Berusaha semaksimal mungkin selebihnya serahkan pada Yang Maha Kuasa. Mohon perlindungan kepada Sang pembolak-balik hati.


GERIMIS DI PAGI HARI

Jengkel, marah, benci menyeruak menjadi satu. Mengalir dalam aliran darah, mencuat dalam dada. Sesak!. Itulah yang saat ini dirasakan oleh Aisyah Putri. Gadis berwajah ayu yang tengah menarik asal kopernya. Bersiap untuk meninggalkan semua kesenangannya. Bergaul dengan segala hal yang tak ia sukai, namun keputusan seorang Ibrahim sudah tak bisa di ganggu gugat. Hari ini adalah keberangkatan Aisyah ke pesantren.

"Sudah siap berangkat?" suara lembut Ayu, Mami Aisyah.

"Hmm." Masih dengan wajah juteknya. Sebenarnya Ayu tak tega untuk melepasnya, di dunia baru yang serba berkebalikan dari kehidupan Aisyah saat ini. Namun kasih sayangnya tak membuat buta akan pentingnya mendidik anaknya secara agamis agar tak lupa dengan sang pemilik kehidupan.

Jika Aisyah pernah mengaji atau shalat itu dulu. Dulu sekali, sebelum dia masuk Sekolah Menengah Kejuruan dan salah pergaulan. Mungkin kini dia sudah lupa bagaimana mengaji dan sholat dengan baik. Itulah yang membuat Ayu yakin bahwa keputusan suaminya adalah hal yang paling baik.
Apapun yang di janjikan oleh Aisyah tak merubah keputusan Papinya. Jika Aisyah anak yang keras kepala, papinya lebih keras lagi. Keputusannya tak dapat ditawar.

"Pi, kenapa harus di pesantren sih!. Aisyah bisa berubah tanpa harus di kirim ke neraka." Suara Aisyah terdengar parau menahan tangis dan kekesalannya. Ingin dia meloncat dari dalam mobil, andai itu bisa membuat hati Papinya luluh.

"Sayang, pesantren itu bukan neraka. Itu adalah taman surga, tempat dimana para penuntut ilmu agama berada. Percayalah saat kau sudah di pesantren, kau tak akan ingin pulang."

KOLOT. Itulah yang di pikirkan Aisyah tentang kedua orang tuanya. Padahal belajar ilmu agama bisa dengan mendengarkan ceramah ustad di youtube, tak perlu repot untuk nyantri. Secara dunia sudah dalam era digital. Kenapa hidupnya harus serumit seperti sekarang.

Akhirnya Aku akan masuk neraka
.

Sesampai di pelataran pesantren, hati Aisyah semakin sakit. Dia merasa diasingkan dan dibuang oleh orang tuanya. Air matanya luruh tanpa di ketahui oleh kedua orang tuanya yang sedang berbincang dengan salah satu santri di dekat tempat parkir. Kedatangan mereka di sambut dengan sangat sopan oleh salah santri tersebut.

"Monggo pinarak. Abah masih ngaos," tuturnya kalem.

Aisyah jenggah melihat perigai santri tersebut. Sok alim pikirnya. Dia memilih mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Banyak santri lalu lalang dengan kesibukan mereka masing-masing. Tempat parkir dekat dengan asrama laki-laki, jadi wajar bila yang pertama kali menyambut mereka adalah para santri putra. Ada beberapa santri menyapu halaman, berkomat kamit tak jelas dengan memegang buku kecil (Nadhom). Sampai matanya tertuju pada seorang santri putra yang sedang berbincang dengan santri putri di dekat ndalem (kediaman Kyai).

"Mi, kata mami santri putra dan putri tidak diperbolehkan berduaan! Nah, itu apa?" sambil menunjuk ke arah di mana santri itu berada.

"Sayang! Jangan suudhon. Siapa tahu mereka saudara atau memiliki keperluan," tutur Ayu tetap kalem dengan menurunkan tangan Aisyah yang menunjuk santri yang sedang berbincang.

"Heleeh, paling itu alasan yang mereka buat-buat," kesalnya.

"Tujuan Kamu ke sini bukan untuk mengoreksi kesalahan orang lain Aisyah. Betulkan sendiri sikapmu yang selalu membuat Papi naik darah," tegas Ibrahim.

Aisyah melengos dengan kepalan tangan serta gigi yang mengertak. jika yang berbicara itu bukan orang tuanya, pasti Aisyah sudah melayangkan tinjuan ke mukanya.
"Papi." Ayu memberi isyarat pada Ibrahim agar tak meneruskan ucapannya.

Terdengar derup langkah kaki serta deheman dari arah ruang tengah. Nampak sosok Kyai menyibak tirai. Pembawaannya yang berwibawa dan teduh membuat hati tenang.

"Assalamualaikum, ada tamu jauh rupanya," ucap Kyai tersebut lalu duduk di dekat Papi.
"Apa kabar Ayu, Him?" Sapaan beliau terdengar begitu akrab terhadap kedua orang tua Aisyah.

Ibrahim menyampaikan tujuannya ke pesantren tersebut. Aisyah hanya dapat meremas gamis yang dikenakannya. Bagiamana tidak, Papinya menceritakan semua aibnya pada Kyai tersebut. Kyai itu hanya manggut-manggut dengan senyum yang tak lepas sejak keluar menemui keluarga Aisyah. Kyai Dahlan memanggil abdi ndalem untuk mengantar Aisyah ke asrama putri.

"Nduk, ternoh cah iki nang asrama (antarkan anak ini ke asrama)." Tanpa basa basi wanita sebaya dengan Aisyah itu mengajaknya masuk.

Bersambung

Sumber gambar : Dokpri

Back Indeks
Diubah oleh sofiayuan 23-10-2020 07:42
bukhorigan
inginmenghilang
imamarbai
imamarbai dan 64 lainnya memberi reputasi
65
11.8K
382
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
sofiayuanAvatar border
TS
sofiayuan
#147


Lembar Masa Lalu


Ma'had Of Love

Kedua tangan terbentang bak burung hendak mengepakkan sayap bersiap terbang, mendongakkan kepala serta menghirup udara pagi yang sangat bersahabat. Bulu mata yang lentik begitu kentara saat mata itu terpejam, menikmati setiap hembusan angin yang membuat jilbab warna maroon itu melambai-lambai.

Atap lantai dua pesantren menjadi tempat favorit serta Tempat ternyaman. Merasakan kebebasan tuk meluapkan semua perasaannya. Tanpa ada yang tahu kecuali dirinya dan Sang Maha Pemilik hati.

Dialah Aisyah Putri, perasaan begitu bahagia karena berhasil melewati beberapa harinya tanpa takzir. Bukan hal yang mudah untuk melewati seminggu tanpa takzir, meski dirinya telah berjanji akan menjadi lebih baik, tapi ternyata tak semudah membalikkan telapak tangan pun sekedar menyebut dalam lisan.

Sesederhana itu kebahagiaan yang ia rasa. tak pernah ada sebelumnya kata syukur dalam lisan itu kecuali makian dan kebencian. Hanya lepas dari jerat takzir serasa terlepas dari kejaran polisi.

Tak terasa bulir bening meluncur bebas menerobos kulit halus nan cantik itu. Aisyah menangis haru. Nyatanya dirinya merasa tak sebaik teman-teman yang ada di pesantren.

“Apa!. Ya Allah mau jadi apa anak itu. Baik saya ke sana sekarang.” Sambungan telpon lagsung terputus. Ibrahim-Papi- sangat murka karena Aisyah ditangkap polisi saat sedang balap liar.
Sirine polisi tak dihiraukan oleh Aisyah. Memacu mobil dengan kecepatan tinggi, tetapi saat hendak berbelok di pertigaan ban mobilnya di tembak oleh polisi. Bukankah sepandai-pandai tupai melompat pasti akan jatuh?.

"Shit! menyebalkan," dumelnya sebelum keluar dari mobil.

Akhirnya Aisyah di gelandang menuju kantor polisi. Sama sekali tidak ada yang ia takutkan kecuali satu yaitu Ibrahim -papinya- jika sudah murka dengan terang-terangan akan membiarkannya bermalam di sel tanpa belas kasihan karena ini bukan pertama kalinya. Bahkan, Ibrahim pernah memerintahkan polisi – yang kebetulan anak didiknya karena selain pebisnis Dia juga rector- untuk menahan Aisyah selama seminggu. Tega itulah yang terfikir oleh Aisyah.

“Dimana Dia pak?” suara Ibrhim menanyakan keberadaan Aisyah pada polisi yang bertugas, kebetulan jam dinding menunjukkan pukul 00.30 dini hari. Polisi mengatakan bahwa dirinya di bebaskan. Setengah tak percaya matanya membulat sempurna karena papinya menjemput tanpa mengomentarinya apapun.


Ia menghembuskan nafas pelan, menyeka sisa buliran bening penyesalan. Mengenang lembaran memori kelam. Ya! Aisyah di titipkan di pesantren karena kelakuannya kurang baik bahkan bisa di bilang keterlaluan. Balap mobil, dugem hingga dini hari, pulang dalam kondisi mabuk.

"Gue harus bisa berubah, demi Mami dan Papi," bisiknya seakan berbicara pada diri sendiri.

***


"Syah, boleh tanya gak?" tanya Ifah dengan tetap memandang langit-langit kamar bercatkan putih bersih. Aisyah menoleh kanan kirinya.

"Apa?" setelah memastikan semua temannya memang benar-benar terlelap. Tidur berjajar bak ikan di dalam keranjang. Kini Aisyah sudah terbiasa tidur beralaskan tikar serta berbagi kamar dengan mereka semua.

Ifa beranjak dari tempatnya serta mengenakan kembali jilbabnya, mengajak Aisyah keluar kamar.

"Lo eh Kamu maksudnya gak takut ketahuan keamanan jam segini keluar kamar?" tanya Aisyah dengan tetap mengikuti langkah Ifah.
"Kita ke mushola aja, sekalian solat hajat."
"Tapi udah malem, kalau kamu kena takzir gim--" sorot lampu senter tepat mengenahi wajahnya. Aisyah mengira bahwa itu adalah keamanan, namun itu sosok laki-laki. Abah Dahlanlah yang berada dalam benaknya, pasti dirinya akan kena takzir lagi.

"Mbak, sedang apa jam segini
berada di luar?" Aiayah mendongakkan kepala karena bukan kyai Dahlan yang sekarang berada di depannya. Aisyah memperhatikan wajah itu. Ia tersadar bahwa dia adalah salah satu asatid yang mengisi di kelasnya.

"Afwan ustad, saya sama If ...." Di tengok teman di sampingnya, namun Ifa tak ada. Aisyah merasa bingung.

"Tadi Saya bersama teman mau ke musholah, Ustad," Aisyah tertunduk serta merasakan hawa aneh.

"Kembalilah ke kamar. Biasakan kalau mau tidur wudhu dan baca doa".

Bersambung...

back INDEKS
Diubah oleh sofiayuan 05-07-2020 07:12
husnamutia
rainydwi
embunsuci
embunsuci dan 5 lainnya memberi reputasi
6
Tutup