Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

amyjk02Avatar border
TS
amyjk02
Jemari Amy (Kumpulan Cerpen Berbagai Genre)


Wellcome to my imagine castle. Mau yang romantis? Ada. Mau yang horor? Ada juga. Mau yang sadis dan gore? Ada banget. Atau mau yang bikin ngakak? Ada juga, lho.

Selamat menikmati hasil kehaluan saya 🥰🥰



Jacka Taroob VS Vampire


Fantasi







***

Aku merapatkan jaket, gemetar kedinginan. Tak peduli gelap dan jalanan licin, terus kubawa langkah menyusuri hutan. Sepi dan semakin dingin.

Terkejut ketika mataku menangkap sebuah kelebat bayangan. Bau anyir menguar, memenuhi hidung. Aku segera menggenggam senjataku dengan erat. Bersiap siaga. Kusembunyikan tubuh di balik pokok pohon besar dengan mata yang terus mengawasi sekitar.

Benar saja! Tidak jauh dari tempatku berdiri, dua makhluk berjubah hitam terbang rendah mengejar sesuatu.

"Tolong!" teriak seorang wanita yang terdengar panik dan ketakutan. Sementara pengejarnya semakin mendekat.

Aku membekap mulut melihat pemandangan di depanku. Dua lelaki bertubuh lebih besar dariku menerkam wanita yang tadi meminta tolong. Tubuh kecilnya tak berkutik ketika seorang di antara mereka menduduki perutnya. Sedangkan seorang lagi, menelungkup di atas tubuhnya. Aku memejamkan mata. Cukup ingatanku saja yang mengatakan apa yang selanjutnya terjadi.

"Apa ini yang terakhir?" Suara berat salah satu dari mereka bertanya.

"Tidak! Masih banyak. Mereka bersembunyi," jawab si penggigit.

Aku meremas tangan. Suara mereka mengingatkanku akan sebuah peristiwa memilukan setahun yang lalu.

Srak!

Aku keluar dari tempat persembunyian. Kutodongkan senjata ke arah mereka.

"Akhirnya aku menemukan kalian," ucapku dengan dada bergemuruh, menahan emosi.

"Ow, si tukang jagal rupanya. Kau akan ...."

Dor!

Satu di antara mereka tumbang dengan kepala hancur. Tersisa lelaki berambut pirang yang kukenal sebagai Leonard.

"Hei! Kita bisa berunding, bukan?" tanyanya berusaha menahanku. Aku terus menodongkan moncong senjata ke arahnya yang perlahan mundur.

"Aku tidak suka basa-basi." Kutekankan senjata ke dadanya. Mendorong tubuhnya hingga membentur pohon.

"Katakan pada saudaramu, Jacka Taroob akan datang! Dan ini ... untuk keluargaku!" Kutarik pelatuk pistolku, membuat bola perak di dalamnya berpindah ke dalam dada si vampir. Bersarang di jantungnya dan ... boom ....

Tubuhnya meledak. Cairan hitam dan serpihan daging mengotori wajah dan badanku.

Ya, akulah Jacka Taroob. Jagal vampir terkenal dari negeri BloddyField. Aku terus berkelana menyusuri berbagai tempat menumpas mahkluk bertaring yang mematikan.
Semenjak kejadian dua tahun silam.
⚔️⚔️⚔️

"Mereka marah karena kamu telah membunuh anggota keluarganya, Jacka," ucap seorang tetangga yang kutemukan berdarah di tepi hutan. Tidak ada gigitan di tubuhnya, tetapi cairan merah pekat itu nyaris membuatnya tiak dikenali lagi.

"Mereka menyiramkan darah keluargaku. Setelah membantainya di depanku. Mereka butuh jawaban tentang keberadaanmu, Jacka. Huhuhu ...." Kupeluk tubuhnya yang anyir. Darahku seolah mendidih mendengarkan ceritanya.

"Maafkan aku ... tidak bisa menja-ga keluarga-mu. Akh ...."
Tubuhnya menggelepar. Darah segar menyembur dari mulut. Perlahan tubuh kurus itu menghitam dan ... berubah menjadi abu.

"Kurang ajar!" geramku emosi.

Aku lantas bergegas menuju rumah. Pikiran semakin kalut ketika dari jauh tampak kepulan asap dari bangunan kecil dan sederhana itu.

"Tidak!" teriakku semakin mempercepat lari. Darah berceceran di mana-mana. Memerahkan dinding papan dan lantainya. Kudobrak satu persatu pintu kamar. Nihil.
Kemana mereka?

"Nawang Wulan? Nawangsih?" Aku gemetar memanggil istri dan anakku. Terkesiap ketika melihat aliran darah dari dapur.

"Tidak!" Tulangku seakan remuk. Tersungkur di lantai tanah yang penuh darah. Mataku melotot tak percaya melihat dua orang yang kusayangi tergantung di dapur. Tanpa kepala. Sebuah kait besi menancap di perut mereka. Terhubung ke seutas tali yang terikat di palang dapur.
Darah segar masih menetes dari ujung kaki mereka.

"Ti-dak!"
....

⚔️⚔️⚔️

"Tolong Ayah! Sakit ...." Aku menggeliat mendengar rintihan Nawangsih. Mataku beredar mencari sumber suara.

"Tolong, Mas! Sakit ...." Aku tersentak. Di ujung sana, berdiri dua orang yang kusayangi. Bergaun putih dengan bercak darah yang jelas. Mereka melangkah tertatih-tatih mendekatiku.

"Wulan? Asih?"

Sret ....

"A-apa ini?" Akar pohon yang entah dari mana asalnha mengikat erat kakiku. Kutarik sekuat tenaga agar terlepas. Percuma. Ikatannya terlalu kuat.

"Tolong!" teriak mereka bersamaan. Menggapai-gapai memintaku mendekat.

"Wulan? Asih? Tung--"

"Hahaha .... Terlambat, Jacka!"

Dua orang berwajah pucat tiba-tiba berdiri di belakang Nawang Wulan dan Nawangsih. Tangan mereka mengunci leher anak dan istriku.

"Tidak! Jangan!" teriakku gelagapan.

"Kau terlalu lambat!" cibir lelaki berambut pirang.

Crash!

Aku terkesiap. Belati tajam memisahkan kepala dari tubuh anak dan istriku. Sangat cepat.

Bibirku kelu dengan tubuh bergetar. Belum cukup, dua vampir itu menusukkan belatinya ke perut Wulan dan Asih. Berkali-kali. Lantas membiarkan tubuh mereka terjatuh ke tanah.

"Tidak!" teriakku sekuat tenaga.

"Hahahaha ...," tawa mereka berderai lantas menghilang.

Aku jatuh terduduk. Menangis. Nyawaku seolah ditarik paksa. Membuat jantungku tak lagi normal memompa darah. Napas tersengal dan dada yang seolah terhimpit. Sakit!

"Tolong ...!" Suara serak dan kesakitan terdengar menyayat hati. Aku tergagap. Mengusap air mata dengan cepat. Berusaha menajamkan penglihatan.

Samar kulihat tubuh tanpa kepala anak istriku bergerak. Merangkak pelan menujuku.

"Tidak mungkin!" Aku menggeleng, tidak percaya.

Dalam sekejap mereka sudah mendekat. Dengan jelas aku melihat cerabut daging yang masih berdarah pada leher mereka. Gaun mereka pun tak lagi putih. Merah dan anyir.

"Tidak ...." Bibirku berucap pelan, takut. Tubuh tanpa kepala itu terus mendekat hingga membuatku terbaring di tanah. Tetesan darahnya membasahi wajahku.

"Tidak ...!" Aku terbangun dengan napas tersengal. Keringat mengucur deras dari sekujur tubuh. Mimpi itu lagi! Tepatnya kenangan kelam yang terus menjadi mimpi buruk.

"Maafkan aku!" Dadaku sakit menahan tangis. Kerinduan, penyesalan, kemarahan dan dendam terasa menyesakkan.

"Hei, jangan begitu! Nanti rambutku basah." Aku tersentak ketika mendengar suara seorang wanita. Mataku melihat sekeliling. Semak-semak tempatku bersembunyi memang sedikit gelap. Padahal hari sudah pagi dan terang.

Kusibak sedikit semak di depanku, mengintip. Mataku terpana menatap telaga yang tak jauh dari tempatku.

"Siapa mereka? Bidadari?" Mataku tak berkedip menatap tiga wanita cantik yang tengah asyik bermain air. Mereka ... telanjang?

Aku menatap tumpukkan kain berbeda warna tak jauh dariku.

"Itu pasti pakaian mereka," gumamku.

Terbersit niat jahat di otakku. Ya, siapa yang tidak tergoda melihat wanita secantik mereka di tengah hutan begini?

Dua tahun rasanya sudah cukup mengobati sakitnya ditinggalkan. Petarung sepertiku harus cepat move on, bukan?

Tanganku sigap menarik salah satu tumpukkan baju. Kupilih warna merah. Warna yang selalu seksi dan menggoda menurutku. Itu juga warna favorit Nawangwulan. Sedikit mengobati kerinduan, kan?

"Tempatnya indah, aku jadi tidak ingin pulang, hihihi ...." tawa salah seorang dari mereka. Terdengar merdu dan menenangkan.

Aku berdebar menanti di balik semak. Benar saja! Salah satu dari mereka kebingungan mencari pakaiannya. Dua saudarinya membantu mencari.

"Kita harus segera pergi. Kalau tidak, kita akan terjebak di dunia ini selamanya," ucap salah satu dari mereka. Wanita dengan pakaian kuning.

"Benar! Maaf, kami harus pergi," ujar si hijau yang lantas bergegas. Wajah mereka seperti ketakutan.

"Ah, ini saatnya," gumamku keluar dari semak-semak setelah kedua saudari si merah pergi. Tak lupa kusembunyikan kain berwarna merah itu di balik batu.

"Ada yang bisa kubantu?" tanyaku dengan memalingkan wajah. Karena aku yakin dia pasti malu jika ketahuan tanpa busana.

"Si-siapa kau? Jangan mendekat!" cegahnya dengan suara bergetar, menahan tangis.

"Tenang! Aku hanya ingin membantu," ucapku seraya mengulurkan sebuah kain dan jaket padanya. Perlahan uluranku diterima.

"Terima kasih," ucapnya senang. Kini dia sudah ada di depanku.

Ya Tuhan! Ini sungguh bidadari.
Aku tak berkedip menatap wajah cantiknya. Kulit seputih susu dan sehalus porselen. Hidung mancung, bibir sensual dan mata birunya seolah memabukkanku.

"Maukah kau membawaku pulang? Di sini dingin," pintanya lemah dan takut-takut.

"Eh, i-iya. Tentu. Mari!" Aku berjalan mendahuluinya.

Akan kubawa ke mana dia? batinku bingung. Mana ada seorang pengembara mempunyai rumah?

Dan lagi, apakah dia tidak takut jika melihat senjataku?

"Bisakah kau sedikit lambat? Kakiku sakit." Aku menoleh. Oh God! Kenapa aku melupakannya?

Gadis cantik itu menunduk, memegangi telapak kakinya yang ... berdarah?

"Apa yang terjadi?" tanyaku khawatir. Aku segera berlutut memegangi kakinya. Kuperiksa kulit halus itu dengan teliti. Sebuah ranting tajam menggores telapak kakinya. Darah segar merembes pelan.

"Tenanglah! Aku akan mengikatnya." Kurobek ujung kausku lantas mengikatkan ke telapak kakinya.

"Kita harus bergegas. Bau darahmu pasti mengundang para vampir. Aku memang sudah membentengi diriku tapi adanya kamu bersamaku, mereka akan lebih mudah mendeteksi," jelasku seraya sibuk mengikat kakinya.

Dengan posisi seperti ini tangan halusnya memegang pundakku. Sesekali mencengkaram leher, ketika aku terlalu kuat menyentuh lukanya. Sungguh rasa yang indah!

"Selesai. Mari ki ...." Aku terhenti ketika merasakan kuku runcing perlahan menusuk pundak. Dan perlahan semakin dalam.

Aku terkejut ketika mendongak. Wanita itu berubah. Wajahnya putih pucat dengan garis halus berwarna kemerahan. Mulutnya terbuka lebar, menampilkan barisan gigi dan taring yang tajam.

"Si-siapa kau?" Aku mundur, membuat cengkeramannya terlepas. Darah segar mengucur deras dari bekas kukunya.

"Hahaha. Benar saja! Si jagal memang kalah dengan wanita," ucapnya dengan seringai lebar. Aku meraba pinggang,
Mencari sesuatu.

"Kau mencari ini?" tanyanya menunjukkan senjataku yang sudah remuk. Bagaimana ini?

"Ini untuk Leonard!" teriaknya mencakar wajahku. Aku menjerit. Pedih dan panas seolah terbakar.

Aku berusaha mundur, tapi ... tubuhku terbentur batu.

"Tamat riwayatmu, tukang jagal!" Wanita menyeramkan itu berteriak lantang.

Aku hanya melihat bayangan kuning dan hijau yang secepat kilat menancapkan taringnya pada leherku. Kurasakan darahku tersedot habis.

Aku hanya bisa melotot melihat wanita yang tadi kutolong menancapkan kukunya ke dadaku. Merobek dan menarik isi di dalamnya.

Tubuhku bergetar. Hingga kemudian tak kurasakan apa-apa lagi.

Gelap.
....

***
"Selamat datang, Jack." Aku mengerjap ketika kudengar suara halus seorang wanita. Kulihat tiga wanita cantik dan puluhan lelaki berpakaian hitam berdiri di depanku.

Berkali-kali aku memejamkan mata. Ada yang aneh dengan penglihatanku. Lantas menutup mulut yang ... juga terasa aneh. Perlahan tanganku bergerak, bermaksud meraba.

Tunggu!

"A-apa ini?" Aku menatap jemariku yang meruncing dengan kuku hitam yang tajam.
Wanita bergaun merah menyerahkan sebuah cermin.

"Tidak!" bisikku pelan. Aku menggeleng.

Di pantulan cermin, aku melihat seseorang yang sangat mirip denganku. Bedanya dia berwajah pucat, bermata merah dan bertaring.
.
END

-AmyJK-
Baturaja, 10012020

Sc Pict: pinterest
Diubah oleh amyjk02 11-06-2020 11:55
jenggalasunyi
bukhorigan
inginmenghilang
inginmenghilang dan 23 lainnya memberi reputasi
24
4.5K
360
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
amyjk02Avatar border
TS
amyjk02
#52
Bayang Gerhana


Bayang Gerhana
-AmyJK-

"Maksudnya apa, sih? Aku takut!" rengek Bintang menunjuk laptop di depan kami. Sebuah video berdurasi 20 menit 20 detik baru saja selesai kami tonton.

"Yang di video itu bohong, 'kan?" Gadis berambut keriting itu menatapku tajam, meminta jawaban.

"Aku juga nggak tahu. Coba kita hubungi Bulan," jawabku sembari membuka ponsel dan segera mencari nomor Bulan. Salah satu anggota Shine Squat itu tidak ikut bersama kami, menghabiskan malam minggu seperti biasanya.

Aku terus mencoba menghubungi sederet angka itu, tapi nihil. Telepon tersambung, tapi tidak ada yang menjawab.

Galaksi meraih laptop dan memutuskan untuk kembali memutar ulang video yang baru saja kami tonton.

"Kalian percaya? Ini tuh pasti prank dia. Kayak nggak tahu aja dia ratu prank," ungkap Galaksi. Aku dan Bintang saling tatap. Apakah mungkin?

Kami lantas kembali menatap layar. Video yang berisi adegan mengerikan itu cukup membuat kami takut. Video yang dikirim oleh Bulan ke grup chat whatsap Shine Squat.

Dalam video itu menunjukkan Bulan yang tengah ketakutan di kamarnya. Tiba-tiba muncul sosok bergaun putih dari jendela. Dengan cepat sosok itu menerkam Bulan yang belum sempat menghindar. Teriakan ketakutan Bulan terdengar sangat jelas. Satu kalimat yang membuat kami bergidik adalah, 'Ampun, Gerhana!'

Video penyiksaan itu berakhir dengan Bulan yang terkapar di ranjang bersimbah darah.

"Aku akan mendatangi kalian!"
Itulah kalimat terakhir sebelum video berakhir. Suara serak dan parau itu jelas terdengar.

Kami terkejut ketika tiba-tiba ponselku berdering. Bulan menghubungi.

"Ha-halo?" sapaku tergagap. Bintang dan Galaksi menatapku, menunggu apa yang terjadi.

Tidak ada jawaban.

"Aku akan datang!"

Refleks kulempar ponsel karena terkejut. Suara yang sama dengan suara di video itu.

Belum terjawab rasa penasaran Bintang dan Galaksi, kami kembali dikejutkan dengan dering ponsel Galaksi. Sama, Bulan menghubungi. Tanpa ragu, Galaksi meraih ponsel dan menempelkan di pipinya.

"Halo? Bulan?"

Kulihat kening Galaksi berkerut dengan mata menyipit. Bintang gemetar memeluk lenganku.

"Nggak lucu! Prank lu basi!" Galaksi mematikan ponsel dan meletakkannya di meja. Dia terlihat kesal.

"Si-siapa?" Bintang penasaran.

Belum sempat di jawab, kini ponsel Bintang yang berdering. Gadis itu langsung menjerit takut dan menangis.

Galaksi mengambil ponsel Bintang.
"Hoi, awas kau, ya! Kau pikir kami bodoh, hah? Nggak lucu!" teriak Galaksi. Hanya terdengar suara kresek-kresek dari seberang sana. Loudspeaker ponsel membuat aku dan Bintang dengan jelas mendengarkan.

"Aku akan datang, hihihi ...."

"Sial!" Galaksi membanting ponsel.

"Itu beneran arwah Gerhana, 'kan? Iya, 'kan? Aku takut!"

"Bukan! Itu hanya orang iseng. Orang mati nggak mungkin hidup lagi!" ucapku menenangkan Bintang. Gadis itu ketakutan.

"Aku mau menyerahkan diri saja. Aku nggak mau mati kayak Bulan!"

"Bodoh! Dia bunuh diri dan nggak ada sangkut pautnya dengan kita," bentak Galaksi.

"Tapi dia bunuh diri karena video yang kita sebar. Kamu lupa?" Aku ikut angkat bicara.

"Hei, dia aja yang lebay!"

"Tapi kalo kita nggak sebarin video itu, dia nggak akan malu, dan akan bunuh diri." Kami menunduk medengarkan pernyataan Bintang. Mungkin ada benarnya.
*****

Kutatap foto yang minggu lalu menjadi momen bersejarah bagiku. Ya, aku dinobatkan sebagai pemenang dalam kontes menari di kampus. Aku mengalahkan 50 peserta lainnya, termasuk Gerhana, saingan terberatku. Tidak, aku tidak mengalahkannya, tapi dia yang memutuskan untuk mengalah, setelah ....

Namanya Gerhana, gadis manis, tinggi semampai, dan pendiam. Siapa sangka dia adalah seorang penari hebat. Tradisional, tari modern semua bisa dia lakukan. Kami maju sebagai finalis.

"Kita buat dia mengalah, gimana?" Tiba-tiba Bulan mengungkapkan idenya. Awalnya aku tidak setuju, tapi membayangkan aku akan kalah dari kompetesi dan menerima cacian dari semua orang saja sudah mengerikan.

Jadilah, aku dan gengku merundung Gerhana. Gudang kosong tak jauh dari kampus menjadi saksinya.

"Mengalah, atau video ini kami sebar!" Bulan mengancam. Video berdurasi 20 menit 20 detik itu berisi Gerhana yang menangis ketakutan tanpa sehelai benang pun. Ada Galaksi yang jahil menoel kulit halusnya.

Namun, dua hari setelah aku dinobatkan sebagai pemenang, tersiar kabar bahwa Gerhana bunuh diri. Rupanya Galaksi dan Bulan telah mengunggah video itu di facebook. Padahal, Gerhana tidak menghadiri kompetisi sejak perundungan itu. Ah, betapa jahatnya kami!

[Bulan ditemukan tewas di kamarnya. Kita ketemu di sana!]

Aku terlonjak bangkit membaca pesan dari Galaksi. Segera kuraih sweater dan meminta sopir mengantarku ke rumah Bulan.

Benar saja!
Orang tua Bulan yang baru pulang dari acara kantor histeris mendapati putrinya tewas dengan mengenaskan.

"Ada pesan di tembok kamar. Ditulis dengan darah korban." Telingaku samar-samar mendengar percakapan dua orang polisi dan seorang dokter.

Aku menyibak kerumunan dan berlari menuju lokasi kejadian. Tak peduli jika semua orang meneriakiku.

Aku terperangah. Kamar bernuansa merah muda itu pernuh bercak darah. Ranjangnya berantakkan dengan cabikan daging dan darah.

KALIAN HARUS MATI!

Begitu tulisan yang tertera di tembok.

"Ha-halo?" Bintang yang belum sempat hadir, meneleponku.

Terdengar suara Bintang menjerit keras. Apa yang terjadi?

"Venus, tolong!" Bintang sedikit berbisik di ujung sambungan telepon.

"Kenapa? Ada apa?"

"Gerhana mendatangiku. Dia akan membunuhku!" Aku terkesiap.

"Dia merangkak dari jendela kamarku. Dia ... aku takut!"

"Kau di mana? Apa ada orang lain?"

"Aku sendirian. Aku .... Tidak! Dia datang."

Aku seolah berhenti bernapas hanya ingin mendengar apa yang terjadi. Telingaku ngilu mendengar suara garukan pada benda keras. Sepertinya sesuatu yang tajam menggores lemari tempat Bintang bersembunyi. Aku menelan ludah.

"To-long ...!" Suara Bintang sangat lemah, nyaris tak terdengar.

"Aakk!"

Aku terkejut, Bintang menjerit di ujung sana.

"Tolong! Ampun, Gerhana!"

Suara Bintang terdengar sedikit jauh dari ponsel. Mungkin ponselnya kini terjatuh dari tangannya.

Suara yang kudengar selanjutnya adalah suara yang kusesali untuk kudengarkan. Bintang terus menjerit kesakitan dan tentu saja ketakutan. Dia menjerit minta tolong dan menangis. Suara yang bercampur dengan suara geraman dan mungkin suara tubuh Bintang yang entah diapakan.

Hening. Aku menahan napas.

"Ha-halo?"

"Aku akan mendatangimu!"

"Tidak!"

Orang-orang mengerumuniku yang jatuh terduduk di halaman rumah Bintang.
****


Benar saja. Polisi menemukan Bintang tewas di kamarnya dengan kepala yang nyaris lepas. Polisi juga menemukan rekaman kejadian berdurasi 20 menit 20 detik di laptop Bintang. Video yang baru saja dikirim dari ponsel lain.

"Sial! Setan!" Galaksi emosi. Pemuda itu menjambak rambut menahan luapan emosi. Sedangkan aku hanya terdiam dengan tubuh gemetar. Akhirnya polisi meminta Galaksi mengantarku pulang. Penyelidikan akan dilakukan keesokan harinya.

"Aku akan menemanimu. Jika dia menemui kita, akan kubunuh saja sekalian! Omong kosong dengan hantu!" Galaksi merangkulku, mencoba menenangkan.

Tiba-tiba sebuah celurit sudah melingkar di leher Galaksi. Pemuda itu berontak sedangkan aku histeris. Sopir kehilangan kendali dan mobil menabrak tiang listrik tanpa ampun.

Kepalaku terbentuk kursi dengan kuat membuatku pusing berat dengan pandangan kabur. Hal terakhir yang kulihat adalah wajah pucat dengan rambut tergerai menyeringai ke arahku. Tangannya menunjukkan potongan kepala Galaksi. Duniaku seakan berhenti ketika sebuah benda keras terayun menghantam kepalaku.
*****

Aku terbangun ketika merasakan perih di seluruh wajah dan nyeri di kepala. Pergelangan tangan dan kaki terikat kuat. Aroma amis dan apek menyeruak. Gelap, aku hanya mampu meraba apa yang ada di sekitarku.

"Si-siapa kau?" Aku merapat ke dinding ketika tiba-tiba kudengar langkah kaki.

"Kau akan mati!" ucapnya.

"Tidak! Kau bukan Gerhana, 'kan? Gerhana tidak mungkin melakukan ini!"

Tiba-tiba lampu menyala terang. Aku tersurut mundur. Seorang wanita seusiaku berdiri tepat di depanku. Daster putih penuh bercak darah serta celurit berdarah di tangan kiri. Tangan kanannya mengusap wajah dengan tisu.

"Ka-kau?"

"Ingat aku?" tanyanya. Dengan wajah yang bersih dari make-up mengerikan, aku dapat dengan jelas mengenalinya.

"Bagaimana rasanya kehilangan sahabat? Dikejar kematian? Hah?" Dia mencengkeram pundakku, sakit.

"Menyenangkan bukan, menjadi penyebab kematian seseorang?"

Dia adalah Bayang, adik perempuan Gerhana. Aku mengenalnya saat dia mengantar Gerhana latihan menari, sehari sebelum perundungan itu.

"Kau pun harus mati!" Bayang meraih pisau kecil dari meja dan menancapkannya di pahaku. Aku menjerit kesakitan. Bukannya berhenti, dia melakukan hal sama pada pahaku sebelahnya. Aku menjerit sejadi-jadinya.

"Bukankah kaki ini kebanggaanmu? Kaki yang menyingkirkan posisi Kak Hana." Bayang memainkan gunting besar di tangannya. Kilat dari mata gunting membuatku meirinding. Tanpa basa-basi dia memotong jari kakiku dalam sekali tekan.

Aku tak mampu lagi berteriak. Hanya bisa menggigit bibir yang mungkin sudah robek akibat gigitanku sendiri. Kini Bayang hendak melakukan hal yang sama pada kaki kiriku. Namun, tiba-tiba pintu didobrak kuat, membuat Bayang tersungkur di kakiku. Seorang lelaki berseragam polisi menembakkan senjata ke arah Bayang. Gadis yang belum sempat bangun itu tak bergerak.

Anggota polisi dengan name tag Andi segera melepas ikatan di tangan dan kakiku.

"Akh!" Polisi itu tersungkur di pangkuanku dengan gunting besar menancap di tengkuknya. Aku menjerit tertahan.

Di belakang, Bayang menarik pelatuk pistol dan mengarahkannya ke kepala polisi Andi. Aku terpejam ketika senjata itu melepas peluru dengan suara Cumiakkan telinga. Polisi Andi jatuh tersungkur di bawah kakiku.

"Kau harus mati!" ucap Bayang tegas. Aku hanya menangis, berharap dia iba. Namun, sepertinya tidak. Kilat kebencian dan dendam jelas terlihat di matanya. Aku pasrah menunggu timah panas menembus kepala ketika kurasakan ujung pistol terus ditekan di puncak kepalaku.

Dor!
Aku tersentak. Bercak darah muncrat di wajahku dan Bayang ambruk. Aku melongo menatap dua orang polisi berdiri di pintu.
****

Aku mengusap pipi yang basah. Kutaburkan sisa bunga mawar di atas pusara.

"Maafkan kami." Kuusap nama Gerhana di nisan itu. Di sebelahnya ada makam Bayang. Kualihkan pandangan ke arah tiga makam yang berjejer, makam ketiga sahabatku. Di sebelah mereka ada makam Pak Yos, supirku.

Angin semilir terasa membelai tengkuk. Aroma kamboja dan mawar menyeruak. Bulu kudukku meremang. Aku bergegas menggerakkan kurk untuk menjauh.

Aku menatap Mama dan Papa yang sudah menunggu di mobil. Namun kemudian, aku seolah membeku. Tubuhku kaku, dengan degup jantung menyakitkan. Ada mereka di sana. Ya, Gerhana dan Bayang duduk di belakang Mama dan Papa. Mereka menyeringai menatapku yang melongo. Perlahan mereka membelai kepala mama dan papa dengan jemari runcingnya.

"Kau harus mati!"
*****
END
istijabah
riwidy
trifatoyah
trifatoyah dan 12 lainnya memberi reputasi
13
Tutup