Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

Rara1405Avatar border
TS
Rara1405
Skandal Tante Siwi
Bab 1

"Riinn, tolong bentar beliin cabai ya... Tante lupa tadi. Cepet ya, Tante mau masak untuk Ommu."

Rini, remaja berusia 14 tahun yang kini terpaksa tinggal menumpang di rumah Tantenya hanya menghela napas. Sudah biasa Tante Siwi bersikap seperti itu. Suruh ini itu tanpa henti sepanjang hari. Baru saja masuk rumah setelah membelikannya bawang, sudah disuruh lagi beli cabai.

Ibunya Rini adalah kakak kandung Tante Siwi. Rini terpaksa tinggal di rumah Tante Siwi setelah Ibunya meninggal. Karena bapak Rini bersikap acuh setelah ibunya meninggal.

Tante Siwi berusia 30 tahun, sudah menikah dan mempunyai 2 orang putri. Suaminya jarang pulang karena sering tugas keluar kota.

"Ini Tante, cabainya..."
"Makasih ya Rin...tolong temenin adik-adikmu dulu ya. Tante mau masak untuk sarapan Ommu."

Rini menuju ke ruang keluarga, dimana adik-adik sepupunya sedang bermain. Rini sempat berpapasan dengan Bibik yang lalu saling melempar senyum penuh arti.

"Kamu masak apa nih Rin?" tanya Om Gusti saat Rini masuk ruang keluarga. Rupanya Lala dan Rara sedang bermain dengan Om Gusti.

"Tante yang masak. Nggak tau masak apaan."

"Tumben..."

Rini hanya mengedikkan bahu lalu tertawa bersama Om Gusti.

"Pada ngetawain apa hayo? Ayo Pa, sarapan dulu. Terus berangkat kerja kan? Lala sama Rara biar dijagain Rini aja dulu. Rini sih gampang, nanti aja sarapannya. Ya kan Rin?"

Rini mengangguk acuh tak acuh. Sikap Tante Siwi dari dulu memang seperti itu. Udah nggak heran.

Rini memandang Om Gusti dengan pandangan iba. Om Gusti sosok seorang suami yang baik, setia, taat ibadah, bertanggung jawab dan tampan. Namun sayangnya, Tante Siwi selalu bisa membohonginya dengan berbagai alasan. Bahkan tega menyelingkuhinya.

Selingkuhan Tante Siwi pun nggak cukup satu. Rini hampir selalu menjadi korban kambing hitam untuk menutupi kesalahan dan kebohongan Tante Siwi.

"Rin, Om berangkat kerja ya. Nitip adik-adikmu." Suara Om Gusti membuyarkan lamunan Rini.

"Eh iya Om... Hati-hati di jalan ya Om..." Rini bergegas menggendong Rara dan menggandeng Lala mendekati Om Gusti dan mengantarnya sampai depan rumah. Kebetulan Rini yang masih duduk di kelas 3 SMP memang sedang libur, karena kakak kelas sedang ujian nasional.

Tante Siwi entah kemana. Dia memang selalu sok sibuk. Padahal ada 3 pembantu plus Rini yang kadang diperlakukan seperti pembantu juga.

Baru setengah jam Om Gusti berangkat, Tante Siwi sudah berdandan rapi. Seperti biasa, Om Gusti berangkat kerja, Tante Siwi pun berangkat entah kemana. Apalagi kalau Om Gusti dinas luar kota. Bisa dipastikan, Tante Siwi di rumah hanya untuk menumpang tidur. Itupun hanya dari jam 3 dini hari sampai jam 9 pagi. Bangun, mandi, sarapan lalu pergi dengan teman-temannya. Alasan meeting sana sini padahal hanya haha-hihi dengan anak buahnya. Ngakunya punya event organizer, namun semua proyeknya tidak ada yang mendulang sukses. Ya, semua usaha yang dia jalankan hanya sebagai alasan untuk bisa keluar rumah. Lepas tanggung jawab urus anak dan rumah.

"Rin, nitip adik-adikmu ya... Telpon rumah ku cabut biar nanti Om Gusti nggak bisa telepon ke rumah. Nanti Tante sms Om Gusti kalau telepon rumah rusak lagi."

"Ada urusan lagi Te?"

"Iya... Kamu tau kan gaji Om seberapa sih? Mana cukup untuk bayar pembantu 2, belum lagi makan dan lain-lain..."

Rini diam, meneruskan bermain dengan Rara dan Lala. Padahal dengan jabatan yang sekarang, gaji Om Gusti sebenarnya cukup. Asal Tante Siwi bisa mengaturnya. Rini melihat Tante Siwi masuk ke mobilnya. Lalu Mazda 626 putih yang dikendarai Tante Siwi perlahan pergi entah kemana dan dengan siapa lagi hari ini Tante Siwi berselingkuh.



Diubah oleh Rara1405 19-05-2020 10:22
c4punk1950...
politon21
makola
makola dan 35 lainnya memberi reputasi
30
31K
168
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
Rara1405Avatar border
TS
Rara1405
#41
Part 9
Sebulan berlalu, ibunda Siwi, Bu Harti mulai khawatir karena Siwi belum mentransfer cicilan uang yang dipinjamnya sesuai dengan janji Siwi saat itu. Berkali-kali Bu Harti mencoba menghubungi Siwi namun sulit sekali. Terkadang tidak diangkat, atau yang mengangkat bukan Siwi namun asistennya, katanya Siwi sedang meeting. Jika menghubungi telepon rumah, yang selalu mengangkat adalah pembantunya atau Rini.

Tekanan darah Bu Harti mulai naik. Walaupun kenal, Bu Harti tetap merasa tidak enak hati pada temannya jika mangkir dari kewajibannya. Akhirnya Bu Harti mengalah, mencicil dengan menggunakan uang pensiunannya yang tidak seberapa. Bu Harti tetap terus mencoba menghubungi Siwi dan beberapa kali meninggalkan pesan agar Siwi menghubunginya kembali. Namun anak bungsunya itu tidak pernah sekalipun menghubunginya.

***
"Mbak, Oma Harti telepon lagi nih." Tiara memberitahu Siwi yang sedang asyik ngobrol dengan teman-temannya.

"Iya iya, bilang saja aku lagi meeting, nanti ku telepon balik. Biasa Oma sering kangen sama aku. Tapi kalau telepon pasti deh lama. Biar nanti saja aku telepon balik."

"Siapa, Mbak?" Faisal, teman baru Siwi bertanya.

"Oh itu Omaku. Biasalah namanya sama cucu kesayangan ya gini. Aku tuh cucu kesayangannya. Hampir setiap hari Oma telepon aku."

"Lho mbak, bukannya itu ibunya mbak ya? Kemarin mbak manggilnya 'Ibu' lho." Tiara yang sudah selesai menerima telepon ikut berkomentar.

"Ngawur. Itu Omaku, tapi memang dari kecil aku dekat banget karena Papa sama Mama kan sibuk, jadi aku terbiasa memanggilnya 'Ibu'. Tiara tuh lucu deh, Oma kan sudah sepuh* begitu. Itu Omaku. Sudah yuk, sekarang kita bahas untuk proyek besok saja."

Siwi kembali asyik dengan kegiatannya. Dia tidak tahu, di kota lain, Ibu kandungnya sedang menangis.

***
Waktu berjalan begitu cepat, tanpa terasa sudah tiga bulan Bu Harti menutupi cicilan Siwi. Untuk menghubungi Siwipun sepertinya percuma. Semua seakan menutupi keberadaan Siwi. Untuk mendatanginyapun, Bu Harti tidak memiliki ongkos.

Siwi masih tetap eksis walau uang yang dia pinjam pada teman ibunya sudah mulai menipis karena setiap hari digunakan untuk mentraktir teman-temannya makan di restoran atau sekedar nongkrong habiskan malam di kaki lima.

Segala sesuatu di dunia tidak ada yang kebetulan. Semua sudah diatur oleh Tuhan. Begitu pula saat Bu Harti mencoba telepon ke rumah Siwi untuk kesekian kalinya, saat itu Gusti sedang mencoba telepon rumah yang setiap Gusti menghubungi selalu dikatakan rusak oleh Siwi, padahal telepon rumah sengaja dicabut oleh Siwi.

"Halo..."

"Gusti?"

"Iya. Ini ibu?"

"Iya. Gimana kabarmu Gusti?"

"Baik, Bu. Ibu gimana kabarnya? Maaf Bu, belum bisa ke Jogja karena saya masih repot disini."

"Nggak apa-apa. Ibu sehat. Kalian sehat semua kan? Gini Gusti, maaf Ibu mau menanyakan cicilan pinjaman yang waktu itu bagaimana ya Gusti? Siwi berjanji katanya mau mencicil, tapi ini sudah bulan ketiga dan Siwi belum ada transfer ke Ibu. Ibu selalu mencoba telepon Siwi namun sepertinya istrimu itu sibuk terus."

"Pinjaman? Pinjaman apa ya Bu?"

"Jadi waktu itu dia ke Jogja bersama Tiara. Katanya kalian butuh uang dalam jumlah banyak dan berjanji akan mencicilnya. Lalu dia menggadaikan BPKB mobil Ibu. Masa kamu lupa, Gusti?"

Gusti menarik nafas panjang. Istri tercintanya ternyata berulah lagi. Tidak hanya sekali ini dia berhutang. Sudah beberapa kali Gusti membayar tagihan hutang Siwi. Pernah meminjam nama istri bawahan Gusti untuk berhutang pada rentenir, akhirnya terpaksa Gusti yang melunasinya karena kasihan pada bawahannya itu selalu dikejar oleh rentenir.

"Iya Bu, maaf saya lupa. Cicilan perbulannya berapa Bu?"

"Kemarin kan pinjam ke teman Ibu 45 juta. Karena tahu kondisi kalian sedang butuh banyak uang, teman ibu bilang terserah berapapun mencicilnya asalkan setiap bulan ada yang dicicil."

"Baik, Bu. Saya minta rekening Ibu. Besok atau lusa akan saya transfer uangnya. Maafkan kami ya, Bu."

"Ibu lega, Gusti. Terimakasih ya Nak. Ya sudah, Ibu istirahat dulu ya. Kamu jaga kesehatan ya. Jaga anak istrimu juga. Salam untuk Siwi."

Gusti menutup teleponnya dengan lemas. Siwi meminjam uang sebanyak itu untuk apa. Apalagi tanpa persetujuannya. Dan kapan dia pergi ke Jogja. Terlalu banyak kejutan dari Siwi selama 4 tahun pernikahan mereka.

Malamnya setelah semua terlelap, Gusti mengajak Siwi berbincang.

"Ma, tadi Ibu telepon kebetulan Papa yang angkat. Mama pinjam uang sebanyak itu ke Ibu untuk apa? Kok nggak bilang Papa dulu?"

"Ibu bilang apa ke Papa?"

"Ya bilang kalau Mama waktu itu ke Jogja dan pinjam uang 45 juta. Untuk apa uang sebanyak itu, Ma?"

"Pa, uang itu sebenarnya untuk membantu Papanya Rini. Kasihan dia terlilit hutang, waktu itu untuk membiayai pengobatan Mamanya Rini. Jadi Mama inisiatif meminjam, karena dia bingung mau meminjam kepada siapa. Mau pinjam Ibu kan malu, dia hanya menantu. Kasihan Rini juga beberapa kali menangis meluk Mama, minta tolong untuk membantu Papanya yang tengah terlilit hutang. Maafin Mama nggak bilang dulu ke Papa. Karena takut Papa kepikiran dan nggak fokus bekerja."

"Harusnya Mama bilang ke Papa. Lain kali Mama bilang Papa dulu ya. Tapi benar kan untuk membantu Papanya Rini?"

"Ya, Pa... Maafin Mama ya, Pa... Benar, Pa. Untuk apa Mama bohong. Mama berani sumpah, Pa."

Gusti mengakhiri pembicaraan malam itu. Sekalipun masih terasa ada yang janggal, namun ia mencoba mempercayai Siwi. Karena dalam rumahtangga, kepercayaan adalah salah satu hal utama.

Sesuai janji, keesokan harinya Gusti mentransfer uang ke rekening Bu Harti. Gusti berjanji akan melunasinya dicicil tiga kali. Walau Gusti tidak tahu kemana perginya uang itu. Bagaimanapun, Gusti tetap harus bertanggungjawab pada apapun yang dilakukan oleh Siwi. Seperti yang diajarkan oleh uminya.
maresad
oceu
gajah_gendut
gajah_gendut dan 11 lainnya memberi reputasi
12
Tutup