nasgorbabiAvatar border
TS
nasgorbabi
Ilmuwan Indonesia Merasa Tidak Dilibatkan dalam Menangani Virus Corona


Jakarta - Upaya menekan angka penularan virus corona di Indonesia selama ini melibatkan Kementerian Kesehatan dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Seorang pakar mengatakan tidak ada usaha sistematis dalam melibatkan para akademisi di Indonesia
Juru bicara pemerintah Indonesia membantah tidak mengapresiasi pendapat dari kalangan perguruan tinggi
Ada sejumlah kebingungan untuk melihat status pandemi COVID-19 di Indonesia saat ini. Pemerintah Pusat, Daerah, dan Ikatan Dokter Indonesia pernah memegang angka kasus yang berbeda.

Belum lagi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang pada penerapannya banyak dilanggar, tetapi sudah ada rencana untuk segera dilonggarkan tanpa alasan jelas.

Para pakar sains dan ilmuwan merasa tidak dilibatkan pemerintah saat mengambil keputusan, sehingga jika ada pernyataan Indonesia sudah aman dari virus corona, itu pun tidak memiliki bukti ilmiah.

Padahal menurut Professor Jeremy Rossman, Presiden dan pendiri dari Research-Aid Networks, masalah pandemi virus corona menjadi lebih kompleks saat tidak cukup data dan fakta sains.

Pakar virus dari University of Kent, Inggris ini menjelaskan masalah yang kompleks mempengaruhi perilaku psikologi, sosial, bahkan ekonomi dari setiap warganya.

"Jadi saya rasa yang diperlukan adalah memisahkan apa yang kita ketahui dari apa yang kita duga," ujarnya kepada ABC.

Memberi masukan jadi 'tantangan besar'
Pandu Riono, epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) yang merancang pemodelan COVID-19 di Indonesia adalah salah satu orang yang sejak awal sadar pentingnya sains dalam penanganan wabah corona.

Sejak virus corona di Wuhan merebak, ia sudah mulai mempelajarinya sebagai langkah antisipasi bila virus ini masuk ke Indonesia.

"Sejak bulan Januari kami sudah expect [menduga kasus corona ada di Indonesia] dan kesal juga, kok laporan [kasusnya] negatif terus. Denial [penyangkalan] pemerintah saat itu juga luar biasa tingginya," kata Pandu kepada Hellena Souisa dari ABC News.

Sikap menganggap enteng virus corona yang dipertontonkan pejabat Indonesia mendorong Pandu untuk giat meneliti wabah corona jika sewaktu-waktu pemerintah memerlukan bantuan.

Pandu dan sejawatnya kemudian membuat pemodelan terkait lonjakan pasien jika kita tidak ada intervensi yang serius, yang akhirnya dipakai oleh BAPPENAS untuk mengestimasi kebutuhan rumah sakit.

Selain itu, ia juga mempresentasikan temuannya ke beberapa pemerintah daerah.

Tapi bukan berarti input-input yang diberikan Pandu langsung diterima oleh pemerintah.

"[Memberikan input kepada pemerintah] ini tantangan besar untuk saya, terutama bagaimana menerjemahkan penemuan akademis menjadi sebuah kebijakan," tutur Pandu.

Masalah di birokrasi dan 'angka yang cocok'

Selain soal mengkomunikasikan hasil temuan akademis, menurut Pandu kesulitan lainnya ada pada struktur dalam pemerintah itu sendiri.

"Para pejabat ini lebih mendengarkan staf ahlinya, bukan akademisi di luar seperti kami."

Ia kemudian mencontohkan bagaimana ia harus mencari dan berhadapan dulu dengan staf ahli sebelum bisa memberikan masukan kepada presiden.

"Pernah saya minta dikenalkan dengan stafnya, sudah bertemu tapi ternyata ia tidak peduli. Jadi kita harus strategis memilih segmen target policy makers," tutur Pandu.

Upaya yang dilakukan Pandu ini menunjukkan bukan hanya sulitnya memberikan masukan kepada pemangku kebijakan, tapi juga bahwa tidak ada usaha yang sistematis dalam melibatkan para akademisi di Indonesia.

"Harusnya sejak awal itu melibatkan semua perguruan tinggi. Harusnya LIPI berfungsi, Kemenristek dan Dikti juga [harusnya] berfungsi menghimpun masukan dari akademisi," kata Pandu.

Selain Pandu, ada juga akademisi lain yang berbicara kepada ABC dan mengeluhkan reaksi pemerintah saat ia mempresentasikan riset ilmiahnya terkait COVID-19.

Menurutnya, para pejabat yang mengundangnya cenderung mencari model dan angka yang "cocok" untuk mereka, tanpa peduli dasar ilmu yang ia jelaskan.

"Begitu melihat angka saya, mereka protes, 'angkanya nggak cocok'. Saya jadi bingung, angka ini bukan soal cocok-cocokan. Ini ada hitungan ilmiahnya," ujar peneliti yang tidak ingin disebutkan namanya ini.

Peristiwa yang dialaminya ini membuat ia berkecil hati dan sangsi, apakah pemerintah mau mendengar dan menjadikan sains sebagai rujukan dalam pembuatan kebijakan.

Kekhawatiran akademisi ini beralasan dan relevan, setelah epidemiolog dari Eijkman Oxford Clinical Research Unit, Iqbal Elyazar, mengatakan selama ini Indonesia ternyata belum memiliki kurva epidemi yang sahih.

Padahal, kurva epidemi ini dibutuhkan untuk mengukur sukses atau tidaknya intervensi yang dilakukan, termasuk kapan harus melonggarkan sejumlah aturan.
Fakta-fakta ini mungkin sejalan dengan apa yang diucapkan oleh Juru Bicara Pemerintah untuk COVID-19 Achmad Yurianto pada awal Maret 2020.

Kepada Science Magazine, Achmad Yurianto mengatakan ia tidak peduli dengan apa yang para ilmuwan katakan tentang pandemi, karena "pendapat [para ilmuwan] tidak penting jika informasi mereka hanya membuat kepanikan."

Namun kepada ABC, Achmad Yurianto membantah pernah memberikan pernyataan ini.

"Tidak ada kata-kata itu. Bahkan saya mengapresiasi ahli dari perguruan tinggi untuk menghitung perkiraan-perkiraan itu," katanya kepada Hellena Souisa dari ABC.

"Saya menghargai, saya mengapresiasi. Tapi bagi kita, yang penting itu bukan memperkirakan kapan dan berapa, tapi komitmen bersama untuk menjalankan PSBB," tambahnya.

Ada pula robot yang dikembangkan Telkom University dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Bandung.

Ravindra Ditama, atau Tama, manajer teknik dari tim robot tersebut mengatakan robot ini mampu melakukan disinfeksi dengan penggunaan sinar ultraviolet.

Tak hanya ilmuwan, praktisi teknologi lainnya, seperti Ahmad Alghozi juga telah menciptakan sebuah aplikasi ponsel dengan fitur yang dapat melacak Orang Dalam Pemantauan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan (PDP), dan pasien positif COVID-19.

https://m.detik.com/news/abc-austral...i-virus-corona

Saya mau menggugat istilah belajarlah sampai ke negeri cina. Harusnya belajarlah sampai ke negeri paman sam emoticon-Big Grin

Anda tau, anak perempuan semata wayang presiden China, Xi Mingze, kuliahnya di Harvard University. Ini ironi, kok bisa orang paling berkuasa di China menyekolahkan anaknya ke Amerika.

padahal di china ada Tsinghua University, universitas terbaik di china.

btw, mengapa Harvard memiliki motto Truth atau kebenaran. Ada apa dengan kebenaran?

Asal mula moto Harvard University yaitu, "veritas Christo et Ecclesiae" ( Truth For Christ And The Church), kebenaran untuk Kristus dan Gereja, yang intinya kebenaran sebagai dasar segala ilmu pengetahuan dan pembelajaran.

wow, ternyata kecerdasan tidak cukup, harus ada nilai kejujuran dalam tiap persona manusia.

ternyata kebenaran dan kejujuran itu adalah dasar dari segala ilmu pengetahuan
entop
raliakbarrr
liramarlinda
liramarlinda dan 78 lainnya memberi reputasi
79
10K
232
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
drake ShinRaAvatar border
drake ShinRa
#101
ilmuwan mau koar2 gimanapun, tetap keputusan pemerintah adalah keputusan politis, yg dipengaruhi berbagai kepentingan..
nasgorbabi
KurohinaM1911
KurohinaM1911 dan nasgorbabi memberi reputasi
2
Tutup