TS
Amarsuki
Nasib Perantau Gagal Mudik Lebaran Saat Pandemi Covid-19
Fenomena mudik menjelang Lebaran di Indonesia memang cukup unik karena jarang sekali ditemukan di negara-negara lain meski mayoritas penduduknya juga beragama Islam. Mudik tidak sekadar berdimensi ekonomi tapi juga melibatkan aspek budaya dan agama. Bagi umat muslim Indonesia, berkumpul dengan orangtua dan kerabat saat lebaran terutama hari raya Idul Fitri seolah merupakan keharusan.
Mudik merupakan momentum untuk berbagi dan berbakti. Itulah sebabnya bagi mereka yang merantau khususnya akan berupaya keras untuk mudik meski dalam situasi bagaimana pun. Tidak sah lebarannya jika tidak mudik. Kendati harus melewati perjuangan berat, tapi segalanya seolah terbayar lunas saat berhasil bertemu orangtua dan kerabat.
Dahulu, mudik identik dengan pemandangan khas: macet puluhan jam di jalanan, pemudik sampai tidur di terminal dan stasiun menunggu waktu keberangkatan, antrian panjang berburu tiket, wajah lelah bermandi peluh berdesak-desakan di kereta, hingga pemudik yang terpaksa pulang kampung antar pulau dengan rombongan keluarga yang menggunakan motor, lengkap dengan barang bawaan.
Tapi kini relatif sudah tersedia banyak pilihan transportasi maupun perbaikan infrastruktur jalan, tol, pelabuhan serta tol laut sehingga mudik lebih lancar dan aman. Mudik selalu menyisakan cerita heroik dan penuh perjuangan.
Kebanyakan masyarakat Indonesia akan memanfaatkan momentum ini untuk mudik ke kampung halaman masing-masing. Semua ingin rehat sejenak dari kepadatan kerja sehari-hari untuk beristirahat sekaligus melepas rindu bersama keluarga besar di kampung. Begitu juga dengan masyarakat Madura yang merantau ke seluruh Indonesia. Sampai ada ungkapan “Orang Madura ada di mana-mana”. Acara mudik lebaran pasti tidak akan terlewatkan.
Akan tetapi Pemerintah melarang mudik Lebaran tahun ini untuk menekan penyebaran virus Covid-19. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perhubungan sebagai bagian dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 mengumumkan bahwa larangan sementara penggunaan transportasi umum, kendaraan pribadi, dan sepeda motor untuk mudik pada Idul Fitri 1441 efektif diberlakukan pada Jumat (24/4) pukul 00.00 WIB. Dalam hal ini mereka yang merantau dari berbagai daerah harus putar otak agar tetap bisa bertahan hidup dengan segala keterbatasan.
Quote:
Malam itu ane membeli sate untuk menu sahur nanti. Sebut saja Sadalah pedagang sate yang berasal dari Desa Dulang, Kec. Torjun, Kab. Sampang. Rasa penasaran ane terhadap larangan pemerintah untuk mudik lebaran ini membuat ingin tahu tanggapan dari pedagang sate keliling ini.
S yang merupakan kepala keluarga dan mempunyai 1 anak balita perempuan ini agak kecewa karena tahun ini tidak bisa mudik ke kampung karena adanya larangan dari Pemerintah. Dia takut apabila sampai Surabaya disuruh balik oleh petugas jaga dan tidak bisa melanjutkan perjalanan ke kampungnya di Sampang. “Akan berat diongkos apabila memang disuruh balik”, ujarnya. Ditambah lagi dia khawatir juga dengan masalah keselamatan kesehatan di saat pandemi Covid-19 ini. “Alih-alih melepas rindu bertemu orang tua dan saudara di kampung malah bisa tertular atau menulari virus”, ungkapnya.
Sebagai pedagang sate di saat pandemi ini terbilang menurun drastis penghasilannya. Penerapan Social Distance menyebabkan orang-orang enggan untuk keluar rumah. Sepi tidak seperti biasanya dari ungkapan kegelisahannya. Biasanya S ini pulang berdagang sekitar jam 9 malam kali ini jam 12 malam masih berjualan karena masih banyak sate yang belum terjual. Hal ini senada dengan rekannya seperantauan sesama pedagang sate keliling di wilayah ini. Belum juga bayar kontrakan rumah untuk kebutuhan hidup sehari-hari saja sekarang sulit.
Ane sempat bertanya mengenai bantuan sosial juga belum diterimanya. S hanya pasrah mau dapat atau tidak bansos dia tetap gigih untuk tetap berjualan sate sebagai sumber penghasilannya. Kekecewaan terhadap pemerintah pun dia ungkapkan, beberapa kebijakan pemerintah dirasanya tidak tepat.
S yang merupakan kepala keluarga dan mempunyai 1 anak balita perempuan ini agak kecewa karena tahun ini tidak bisa mudik ke kampung karena adanya larangan dari Pemerintah. Dia takut apabila sampai Surabaya disuruh balik oleh petugas jaga dan tidak bisa melanjutkan perjalanan ke kampungnya di Sampang. “Akan berat diongkos apabila memang disuruh balik”, ujarnya. Ditambah lagi dia khawatir juga dengan masalah keselamatan kesehatan di saat pandemi Covid-19 ini. “Alih-alih melepas rindu bertemu orang tua dan saudara di kampung malah bisa tertular atau menulari virus”, ungkapnya.
Sebagai pedagang sate di saat pandemi ini terbilang menurun drastis penghasilannya. Penerapan Social Distance menyebabkan orang-orang enggan untuk keluar rumah. Sepi tidak seperti biasanya dari ungkapan kegelisahannya. Biasanya S ini pulang berdagang sekitar jam 9 malam kali ini jam 12 malam masih berjualan karena masih banyak sate yang belum terjual. Hal ini senada dengan rekannya seperantauan sesama pedagang sate keliling di wilayah ini. Belum juga bayar kontrakan rumah untuk kebutuhan hidup sehari-hari saja sekarang sulit.
Ane sempat bertanya mengenai bantuan sosial juga belum diterimanya. S hanya pasrah mau dapat atau tidak bansos dia tetap gigih untuk tetap berjualan sate sebagai sumber penghasilannya. Kekecewaan terhadap pemerintah pun dia ungkapkan, beberapa kebijakan pemerintah dirasanya tidak tepat.
Quote:
Begitulah cerita ane dari petemuan singkat dengan pedagang sate keliling asal Sampang Madura. Bekerja dengan gigih dan tetap mematuhi peraturan pencegahan penyebaran Covid-19. Walaupun ane tidak mengerti Bahasa Madura, ane ingin tahu harapan kedepannya dari pedagang sate ini
Quote:
Spoiler for Sumber:
Diubah oleh Amarsuki 23-12-2020 11:44
nona212 dan 23 lainnya memberi reputasi
24
606
5
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
TS
Amarsuki
#1
pertamax
semoga pandemi ini segera berakhir
semoga pandemi ini segera berakhir
nyonyo2 dan 4 lainnya memberi reputasi
5
Tutup