Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

bej0cornerAvatar border
TS
bej0corner
Misteri Rumah Peninggalan Bapak


Prolog

  Sudah dua tahun rumah peninggalan orang tua tidak pernah aku kunjungi, selain karena kesibukan kuliah yang tidak dapat ditinggalkan, cerita dibalik rumah itu kosong juga menjadi alasanku belum berani datang lagi.

  Rumah itu menjadi saksi bisu pembantaian bapak, ibu dan mbak Lestari. Dan sampai saat ini pelaku belum tertangkap oleh pihak yang berwajib, aku mendengar cerita bahwa rumah peninggalan bapak selalu mengeluarkan aura mistis.

  Namun mau tidak mau aku harus kembali, setelah mendapatkan sebuah pekerjaan yang ternyata lokasinya di Kota Solo, aku memiliki dua pilihan yang berat antara harus berhutang untuk menyewa rumah atau menempati rumah peninggalan dari bapak.

  Pilihan yang sama beratnya, namun Kirana memintaku untuk menempati kembali rumah yang sudah kosong selama dua tahun tersebut, selain menghemat biaya hidup juga membuat aku mungkin bisa mengetahui jawaban siapa pembunuh dari keluargaku.

  Semua tidak semudah yang aku bayangkan sebelumnya, segala aura mistis mulai mengintaiku selama kembali menempati rumah masa kecil tersebut. Mulai dari nyanyian, penampakan, atau beberapa tangisan yang sering menemani hari-hariku selama disana.

Sebelum Hari Pertama

  Keraguan masih menghinggapi hatiku mau maju tapi takut dengan segala cerita masyarakat sekitar namun kalau tidak maju, aku berart melupakan segala kenangan bersama Bapak, Ibu dan Mbak Lestari.

  “Gimana Han, jadi menempati rumah keluargamu besok ?” tanya Kirana yang memang menjadi kekasih hatiku sudah dua tahun belakangan.

  “Aku masih bimbang Ran, meskipun kangen dengan rumah itu tapi semua kejadian yang menimpa keluargaku dan segala cerita masyarakat sekitar masih terus menghambat” jawabku dengan rasa yang masih bimbang.

  Kirana tidak langsung menjawab diskusi kami, dia memilih untuk memesan makanan favorit kami yakni bakso di salah satu warung langganan.

  “Kamu harus buang rasa bimbangmu itu Han, bukannya kamu sendiri yang memutuskan untuk bekerja di kota kelahiranmu ?”.

  “Iya aku paham, Cuma kalau untuk kembali kerumah tersebut aku masih ragu dan ada sedikit rasa takut”.

  “Kamu itu lucu, itu rumah kamu kan ? tidak mungkin keluargamu akan membunuh kamu disana, mungkin saja malah kamu bakal mengungkap siapa pelaku pembunuhan berantai keluargamu”.

  “Masa iya sih Ran ? mereka akan bersahabat denganku begitu maksudmu ?”.

  “Bersahabat ? aneh-aneh saja kamu, mereka dan kamu sudah tidak satu alam, tapi kemungkinan mereka akan mencoba menyampaikan pesan kepadamu disana. Kamu adalah anggota keluarga yang masih tersisa”.

  “Kalau begitu, baiklah aku bakal mencoba menghidupkan kembali rumah yang sudah dua tahun tidak berpenghuni itu”.

  Setelah menghantarkan Kirana pulang kerumahnya, aku mencoba kembali mengingat kenangan bersama Bapak, Ibu dan Mbak Lestari. Semua seakan masih tidak bisa aku percaya, mereka pergi secara tragis dan secara bersamaan.

  Kejadian dua tahun lalu, mungkin kalau aku tidak melanjutkan study di Jakarta aku bisa mengetahui siapa pembunuhnya atau setidaknya aku bisa berkumpul bersama mereka dialam yang berbeda.

  Dering telpon sebelum ditemukannya jasad keluargaku, aku masih sempat menghubungi Ibu untuk menanyakan kabar mereka disana. Ada sebuah firasat yang mungkin baru aku bisa tangkap setelah kepergian mereka.

  “Dek, ibu kangen banget sama adek. Kalau bisa, besok datang ya” sebuah kata yang mengisyaratkan akan terjadi sebuah kejadian yang tidak pernah terbayangkan olehku.

  Semua masih seperti mimpi bagiku, semua seperti hanya cerita dongeng saja. Aku masih menilai mereka bertiga masih hidup, terutama ibu, aku rindu sekali padamu bu, nyanyian langgam jawamu selalu menemani tidurku.


Prolog
Sebelum Hari Pertama
Hari Pertama
Hari Kedua
Hari Ketiga
Hari Keempat – Part 1
Hari Keempat – Part 2
Hari Kelima – Part 1
Hari Kelima – Part 2
Hari Keenam
Hari Ketujuh – Part 1
Hari Ketujuh – Part 2
Hari Kedelapan
Hari Kesembilan
Hari Kesepuluh - Part 1
Hari Kesepuluh – PART II
HARI KESEBELAS PART I
HARI KESEBELAS PART II
Hari Kedua Belas-Part I
Hari Kedua Belas - Part II
Hari Kedua Belas - Part III
HARI KETIGA BELAS - PART I
Hari Ketiga Belas Part II
Hari Ketiga Belas Part III
Hari Keempat Belas
Hari Keempat Belas - Part II
Hari Kelima Belas
Hari Keenam Belas
Hari Keenambelas Part II
Hari Keenambelas Part III
Hari Keenam Belas - Part IV
Hari Keenam Belas - Part V
Hari Ketujuh Belas - Part I
Hari Ketujuh Belas - Part II
Hari Ketujuh Belas Part III
Hari Kedelapan Belas
Hari Kesembilan Belas-Part I
Hari Kesembilan Belas-Part II
Hari Kesembilan Belas-Part III
Hari Kedua Puluh
Diubah oleh bej0corner 12-07-2020 00:17
jenggalasunyi
c4punk1950...
donif
donif dan 126 lainnya memberi reputasi
121
118.7K
746
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
bej0cornerAvatar border
TS
bej0corner
#354
HARI KESEBELAS PART II
Tanganku dengan cepat bergegas membersihkan meja kerja, seluruh barang pribadi tidak lupa aku masukan kedalam tas. Sementara barang-barang yang sepertinya penting, tersimpan rapih dalam laci kecil dibawah meja.

Satu aplikasi wajib telah terbuka di ponsel, apalagi kalau bukan untuk memanggil abang-abang ojol yang setia menghantarkan langkahku kemanapun dan kapanpun. Seperti rencana awal hari, aku tidak menaruh titik penghantaran di Rumah, namun ke salah satu jalan yang aku ingat adalah lokasi Rumah Pak Abdul.

"Atas nama Mas Burhan" seorang laki-laki berjaket hijau dengan santun menanyakan namaku.

"Iya mas" jawabku sambil mengangguk dan mendekat ke posisi abang-abang ojol, tangan si abang pun mulai sibuk melepaskan tali helm dari sebuah tuas untuk menaruh barang. Respon tidak kalah cepat pun juga aku lakukan, segera helm bercorak khas tersebut aku pakai.

"Mas, ini lokasi sudah sesuai dengan maps ya ?" tanya si abang sambil melihat-lihat isi maps, dibelakang aku masih membenarkan posisi duduk.

"Benar mas, Cuma nanti saya minta untuk mencari rumah didaerah sana. Tenang mas, saya kasih bonus sendiri kok" ujarku yang disambut anggukan dari si abang.

****

Tiga puluh menit perjalanan, aku sudah sampai di jalan yang ditunjuk maps. Mataku terus melirik kanan dan kiri. Tidak jarang, aku meminta kepada abang ojol untuk berhenti dan bertanya kepada warga setempat.

Karena Pak Abdul ini merupakan orang lama sekaligus juga orang yang memiliki nilai di kampung tersebut. Aku tidak begitu susah menemukan lokasi rumahnya, sekitar lima menit kemudian. Rumah klasik berwarna putih menyambut aku dan abang ojol.

"Mas tunggu sebentar ya, saya panggil orang didalam dulu. Nanti kalau benar, bisa ditinggal" ujarku kepada abang ojol yang dibalas dengan senyuman serta kata "oke mas, siap delapan enam".

"Assalamualaikum" mata ini melirik ke beberapa arah rumah, siapa tahu orangnya ternyata ada diluar. Namun masih belum ada respon dari dalam rumah, aku ulangi kembali ucapan salam.

Dan di salam kedua inilah, pintu rumah kemudian terbuka. Sosok perempuan berhijab keluar dan menuju ke pintu pagar yang tepat didepannya adalah aku.

"Siapa ya mas ? dan cari siapa ?" tanya perempuan tersebut dari balik pagar, aku pun segera menjawab "Pak Abdul, mbak. Ini fotonya bersama bapak saya". Segera ku berikan sebuah foto yang diambil dari album kenangan keluarga.

Si mbak pun segera menerimanya, "Tunggu sebentar mas" pagar pun segera dibukakan oleh si mbak yang masih belum ku ketahui namanya. "Kamu Mas Burhan to ternyata ? silahkan masuk mas" ujar perempuan yang ternyata mengenalku.

"Iya mbak sebentar" aku tidak langsung masuk, karena ada nasib abang ojol yang daritadi gantung. Dengan segera ku cek tagihan yang tertera diaplikasi dan ku ambil uang didalam dompet dengan melebihkan.

"Kok banyak banget mas ?" tanya abang ojol, "Tidak papa mas, bonus buat jenengan, terima kasih ya mas" balasku dengan menepuk pundaknya. Aku berlalu dari abang ojol, dan segera masuk ke rumah karena sosok bapak-bapak sudah terlihat duduk di kursi halaman rumah.

"Assalamualaikum pak" kata ku sembari menghampiri seorang bapak, sudah pasti dia lah Pak Abdulah. Wajahnya terangkat dari koran yang dibacanya, setelah melihat beberapa detik. Mulutnya mulai bergerak. "Walaikum sallam".

Aku segera menundukan tubuh, dan mencium tangan Pak Abdullah. Kebiasaan ini, seringkali diajarkan oleh bapak dan ibu dulu. Terbawa hingga aku menjadi laki-laki yang sudah bisa dinilai sebagai seorang dewasa.

"Kamu, putranya Pak Kusman ?" tanya Pak Abdul mencoba memastikan, siapa sosok laki-laki didepannya ini. Tanpa komando, kepalaku merespon dengan bergerak naik dan turun. "Iya pak, kula Burhan putra Pak Kusman".

"Sudah besar ternyata, ada apa urusan apa ini. Kok tumben, main ke rumah" ujar Pak Abdul dengan wajah senyum menggodanya, jujur saja, rasanya malu karena datang hanya ketika ada masalah.

Belum sempat membalas, perempuan yang pertama kali mengenaliku muncul dari balik pintu. Membawa dua gelas kopi hangat, dan menyajikannya di meja. Tentu saja, ini untuk aku dan Pak Abdul, sesaat aku mengingat nama perempuan ini, Suswati muncul dalam ingattanku.

"Terima kasih mbak" ujarku untuk mengapresiasi perbuatan Suswati, jarang juga kan anak perempuan sekarang yang mau membuatkan dan menyiapkan secangkir kopi untuk tamu bapaknya.

Suswati langsung masuk kedalam setelah menganggukan kepalanya, aku dan Pak Abdul pun kembali berdua saja. Meskipun sudah sepuh, namun jiwa muda Pak Abdul benar-benar luar biasa. Tanpa ragu, secangkir kopi panas ia mulai teguk perlahan, yang dipadukan dengan sebuah rokok yang saat ini berada di asbak sejenak.

"Jadi begini pak, kula kesini karena menilai bahwa jenengan memiliki hubungan yang berat dengan bapak" ujarku memulai pembicaraan yang serius, Pak Abdul pun masih terus menghisap rokok ditangannya.

"Aku mengerti mas, jujur saja ada rahasia yang harus kamu ketahui" ujar Pak Abdul sambil memejamkan matanya, rokoknya yang sebelumnya diapitnya dengan dua jarinya kini telah diletakan kembali ke asbak.

"Bapak kamu itu merintis usahanya dari nol, dan aku mengikutti setiap usaha yang dia lakukan" kali ini wajah Pak Abdul menunjukan mimik kecewa, entah dengan siapa. Mungkin saja dengan bapak, tapi kenapa ?.

"Ketika kesuksesan itu datang, bapak kamu banyak yang mendekati. Namun perlu diingat, bahwa semua itu hanyalah palsu. Mereka hanya ingin menyesatkan Kusman" cerita Pak Abdul kali ini benar-benar membuatku ingin bertanya panjang lebar kepadanya, penasaran sebenarnya apa yang dilakukan oleh bapak.
jenggalasunyi
simounlebon
sulkhan1981
sulkhan1981 dan 23 lainnya memberi reputasi
24
Tutup