juneldiAvatar border
TS
juneldi
AMNESIA

Sumber : Pixabay



Rania dan Nela, dua orang perempuan urakan, sedang ugal – ugalan mengendarai motor gede di sebuah jalan raya yang sepi. Aspal yang basah membuat jalanan agak licin. Sepertinya, tadi ada hujan deras yang melintas daerah itu.

Waktu sudah menunjukkan hampir dini hari. Kedua perempuan berpakaian minim tersebut, seolah tidak merasakan dinginnya udara. Derai lepas tawa keduanya membahana di sepanjang perjalanan pulang mereka dari sebuah pesta. Bagi dua party-goers itu, keseruan malam tak akan pernah berakhir, masih ada satu lagi pesta yang akan dituju.

Sejatinya, malam mereka memang belum akan berakhir, setidaknya masih ada satu peristiwa lagi yang mereka alami. Dan itu pastinya bukan sebuah pesta.

Tepat setelah tingkungan tajam di depan, motor yang Rania kendarai tergelincir. Suara decitan ban beradu aspal memecah kesunyian. Kendaraan roda dua itu terguling beberapa meter, sebelum menghantam keras pagar pembatas jalan. Tubuh Rania dan Nela yang terseret di jalanan aspal keras, bersimbah darah dengan luka parah di sekujur badan. Seketika, mereka tak sadarkan diri. Keduanya kaku tak bergerak sedikit pun. Kini, suasana jalanan kembali tenang dan sunyi.

***

Langit berwarna jingga menandakan sang surya takkan lama lagi akan kembali tidur. Berganti dengan rembulan dalam menghiasi dunia. Di sebuah rumah berlokasi jauh dari keramaian, tinggal dua orang perempuan yang masih berusia belia. Hari itu, Rania sedang bergelung nyaman di ranjang empuk. Gadis berkulit eksotis dengan tubuh gempal ini memang paling suka tidur. Saat yang sama, dari arah dalam kamar mandi, kakaknya yang baru selesai mandi berjalan menghampiri. Nela yang berumur dua tahun lebih tua dari Rania, tipikal seorang kakak yang bawel dan tidak bisa diandalkan. Perempuan berkulit terang itu lalu duduk di pinggir ranjang.

“Woy, pantat bantal! Bulan bentar lagi nongol, lo masih aja molor.” Nela menampar bokong besar Rania.

Namun, daging bernyawa itu tetap saja bergeming. Hampir sama sekali tidak bergerak sedikit pun. Rania hanya menggerakkan bibirnya.

“Huss ... huss ... pergi sana, setan gak diundang! Jangan teror gue, plis! Masih ngantuk banget, nih!” celutuk Rania cuek.

“Ampas lo, Ran! Ayo, dong bangun!” teriak Nela.

“Kita cari makan, yuk! Laper banget nih gue,” sahut Nela lagi, mulai merajuk.

“Sekarang, angkat pantat gede lo ini! Cebokin sana, gak pake lama!” sambungnya, sambil meremas gemas bokong Rania.

Akhirnya, dengan memaksakan diri, Rania mampu bangun juga. Susah payah ia berusaha membuka kedua kelopak mata, terus bangkit dengan mengangkat punggungnya. Berhenti sejenak. Kemudian, duduk di pinggir ranjang, tertidur lagi.

“Aargh, kelamaan! Duh, asem banget sih. Sekalian mandi yang wangi gih!” teriak Nela geram.
Tidak sabaran, Nela lalu mencengkeram ujung kerah piyama Rania, persis seperti sedang menenteng kucing. Kemudian, menendang bokongnya ke kamar mandi. Alhasil, gadis malang tersebut jatuh tersungkur dengan hidung mendarat duluan. Agak kasihan memang, tetapi setidaknya, adiknya itu sekarang sudah sukses sampai di kamar mandi.

***

Beberapa lama kemudian, mereka berdua telah sampai di sebuah kafe. Mereka langsung memilih-milih makanan di menu. Pelayan kafe segera berlalu dari hadapan mereka, setelah mencatat pesanan.

“Nel, lo ngerasa gak, kalau hidup kita berasa gaje banget. Masa’ anak gaul kayak kita gini, hidupnya ngalong.” Rania memulai percakapan, sambil mengunyah pesanan makanan yang diantar pelayan.

“Pagi tidur ampe sore, trus malamnya keluyuran ampe pagi. Cuman gara-gara pengen ngindarin gangguan sialan di rumah ini. Capek gue, kalau gini terus, Nel,” sambungnya panjang kali lebar.

Nela hanya diam mendengarkan curhatan tersebut, sambil melempar pandangan, jauh ke luar jendela. Lalu lintas malam hari masih terlihat padat, tapi keramaian itu tidak bisa mengalihkan pikirannya dari perkataan Rania barusan.

Sudah beberapa hari ini, gangguan itu semakin parah. Mulai dari tangisan keras anak bayi, derap langkah kaki berlari, hingga lengkingan suara anak-anak. Walaupun kejadian ini tidak berulang setiap hari, tapi tetap saja rasanya mengganggu sekali.

Rania benar, ini harus segera diselesaikan, batinnya.

***

Manda pagi itu, sedang membersihkan botol susu dan peralatan bayi. Sebelum, nantinya akan disibukkan dengan kegiatan mengurus bayi. Sebagai single parent yang sering berpindah-pindah tempat, ia mampu beradaptasi dengan lingkungan baru dengan cepat. Ia tidak perlu lagi menyewa asisten rumah tangga, karena pekerjaannya yang sekarang, dapat dilakukan dari rumah.

Oweek!

Terdengar suara bayinya bangun. Manda bergegas menyelesaikan cuci semua peralatan bayi. Sejurus kemudian, ia sudah menggendong bayinya, berusaha menenangkan kembali. Tepat begitu masuk waktu magrib, suara cekikikan kemarin kembali terdengar. Cekikikan menakutkan itu intonasinya berubah-ubah. Kadang, seperti suara tertawa yang menyeramkan. Lain waktu, sering seperti tangisan lirih. Suaranya pun lebih dari satu.

Bayinya sering terbangun gara-gara hal ini. Menurut orang tua dulu, anak kecil memang sensitif dengan kehadiran makhluk tak kasat mata, terutama yang masih bayi. Panca indera mereka lebih peka dalam menangkap gangguan yang diakibatkan jin. Namun, Manda lebih memilih untuk mengabaikan masalah hantu-hantuan ini. Omongan tetangga bahwa rumah kontrakannya yang berpenghuni, dianggap sebagai angin lalu.

Bagaimanapun juga, ia sangat membutuhkan rumah ini. Karena, biaya sewanya sangat murah. Lingkungan sekitar juga masih asri, dengan pepohonan beringin tumbuh di sekeliling halaman rumah yang luas. Membuat suasana menjadi sejuk dan segar. Ini cocok sekali untuk tumbuh kembang balita. Manda bekerja sebagai penulis freelance di sebuah media online. Ia pun sangat membutuhkan suasana nyaman, untuk memudahkannya mendapatkan inspirasi dalam menulis.

“Persetan dengan semuanya! Aku gak boleh peduliin rasa takut ini. Lagian mahal kalau mesti pindah. Keadaan ini udah cukup bagus untuk sekarang,” gumam Manda memberanikan diri.

***

Angin sedang bertiup kencang dengan hujan turun semakin deras. Disertai kilat yang menyambar-nyambar. Beberapa kali, dentuman suara petir terdengar Cumiakkan telinga. Malam ini, kebetulan sedang ada pemadaman listrik bergilir. Keadaan rumah yang gelap gulita membuat suasana terasa mencekam. Kecemasan Manda semakin menjadi-jadi malam, bayi dalam gendongannya tak mau berhenti menangis. Sudah lebih dari setengah jam, ia berusaha menenangkan, tetapi semua usahanya tak berhasil.

Bayi Manda masih menangis. Namun, irama tidak sama seperti sebelumnya. Kini, tangisannya terdengar lirih, seperti sedang ketakutan.

Pasti ada gangguan dari mahkluk itu lagi, pikir Manda, sambil tangannya semakin erat memeluk si bayi.

Ia kemudian membakar sebatang lilin, agar rumahnya jadi sedikit terang, sekaligus untuk mengusir rasa takut yang mulai menjalar otaknya. Lilin beralaskan piring kecil itu beberapa kali mati dihembus angin. Setelah berulang kali menyalakannya, Manda menaruh lilin tersebut di ruang tengah.

***

Saat yang sama, Rania dan Nela kaget bukan kepalang. Rumah yang awalnya gelap, kini mendadak terang. Mereka ketakutan sekali, saat melihat sesuatu yang terang menyala dengan sendirinya. Kedua gadis itu saling berpelukan, seraya berjalan menghampiri cahaya tersebut. Setelah cukup dekat, Rania meniup cahaya yang ternyata berasal dari lilin.

Keduanya merasa ada kehadiran hantu di dalam rumah. Mereka terkejut setengah mati, saat melihat api lilin yang mendadak kembali menyala. Rania meniup lagi lilin tersebut. Tak berapa lama, lilin itu menyala lagi. Tiup lagi, padam, menyala kembali. Akhirnya, mereka berteriak kencang, meninggalkan si lilin ajaib. Lalu, jongkok di pojokan dengan badan yang gemetaran.

"Nel, rumah kita beneran ada hantunya. Cepet panggilin pak ustadz!" pekik Rania, sembari mendorong kuat tubuh Nela.

"Aduh, sakit, tau! Kuat banget, sih, tenaga lo. Kuli lo yaa!" sungut Nela.

"Cepat, panggilin pak ustad atau Bang Haji Sulam, tukang bubur yang kemarin naik haji. Minta tolong mereka kesini buat usir hantu!" teriak Rania lagi.

"Lo aja sana pergi! Emang gue babu lo, apa," balas Nela.

“Lagian, gue juga takut, kalo pergi sendirian. Barengan gue mau.”

Akhirnya, Rania dan Nela berdua keluar rumah untuk mencari bantuan. Pertama, mereka ke warung Bang Haji Sulam. Ternyata, warung buburnya tutup. Bang Haji Sulam masih naik haji. Entah butuh berapa musim lagi, ia baru pulang. Hanya Tuhan saja yang tahu.

Tidak ingin berlama-lama berada di sana, mereka segera lanjut ke rumah Ustad Arif. Ketika hampir sampai, dari kejauhan mereka melihat sang Ustad sedang baca buku di teras depan rumah. Rania dan Nela senang bukan kepalang dan semakin mempercepat langkah mereka.

***

Ustad Arif merupakan seorang ulama terpandang di daerah ini. Selain memiliki ilmu agama yang tinggi, ada satu kelebihannya yang unik. Beliau dapat berkomunikasi langsung dengan berbagai macam mahkluk tak kasat mata.

Kebetulan sekali, malam ini jadwal ceramah beliau sedang kosong. Cuaca juga sedang bagus, beliau bisa santai membaca buku yang baru dibelinya. Ditemani secangkir wedang hangat buatan istri.

Saat sedang serius membaca, perasaannya mendadak tidak enak. Ia kemudian, mengangkat wajah dan mengarahkan pandangan ke depan. Ada dua sosok setan berjalan pelan dari kejauhan, mendekat ke arahnya.

Lidah makhluk halus pengganggu itu terjulur panjang, hingga setengah badan. Gigi taring bagian atas keduanya, mencuat keluar tak tertampung oleh mulut mereka. Wajah bopeng berbelatung dan mengeluarkan bau busuk yang menyengat. Hembusan angin semilir semakin mengacak-acak rambut panjang berbau pesing mereka. Kedua setan yang berjalan dengan menyeret langkah itu semakin mendekat ke arah Ustad Arif. Dekat, semakin dekat, hingga jarak antara sang ulama dengan kedua setan itu hanya sekitar sepuluh langkah kaki orang dewasa.

“Ngapain kalian ngos-ngosan begitu? Seperti habis lihat hantu saja,” tanya Ustad Arif sambil tersenyum santai.

Beliau sudah terlalu biasa menghadapi hal seperti ini.

“Coba jelaskan ke saya, apa yang menjadi masalah kalian kali ini?” Beliau menyambung pertanyaan sebelumnya.

Rania dan Nela kemudian menceritakan panjang lebar apa yang sudah mereka alami pada Ustad Arif. Setelah agak lama mendengarkan curhatan dua setan amnesia itu, Ustad berkata,
“Ya, sudah. Besok saya carikan tempat baru lagi buat kalian. Kali ini, tempatnya pasti lebih aman dari yang sebelumnya.”

Ulama muda berkharisma tinggi itu sudah maklum dengan apa yang menimpa kedua setan ini, karena sebalumnya, mereka sudah sering datang dan selalu mengadukan masalah yang sama pada beliau. Mereka hanya lupa, kalau mereka sudah meninggal.

***

Pada suatu malam, Ustad Arif sedang dalam perjalanan pulang dari luar kota. Ada jadwal Tabligh Akbar yang diadakan di mesjid raya kota tetangga. Para jama’ah yang datang sampai ribuan orang, hingga meluber ke pelataran parkir mesjid. Kebiasaan beliau yang selalu membuka sesi tanya jawab sehabis ceramah, benar-benar dimanfaatkan sekali oleh para jama’ah. Berbagai pertanyaan beliau jawab dengan rinci dan mudah dipahami. Tidak heran, acara tersebut baru selesai menjelang tengah malam.

Saat mengendarai mobilnya, ia melihat sebuah motor ber-CC besar tergeletak di tepi jalan yang basah.

“Sepertinya habis kecelakaan,” gumamnya pelan.

Ia kemudian menelepon kantor polisi terdekat untuk mengabarkan kecelakaan tersebut. Setelah selesai urusan dengan polisi yang menangani, beliau bermaksud segera melanjutkan perjalanannya kembali. Namun, sekilas ia melihat ada yang menyelinap ke dalam mobilnya. Ulama tersebut hanya tersenyum simpul.

Begitu sudah berada di dalam mobil, sambil menghidupkan mesin, Ustad Arif melihat ke arah bangku belakang lewat kaca spion tengah. Sambil tersenyum beliau berkata, “Tidak usah khawatir, nanti saya carikan tempat yang aman buat kalian berdua.”

Selesai



Diubah oleh juneldi 19-07-2021 16:19
bukhorigan
pulaukapok
69banditos
69banditos dan 32 lainnya memberi reputasi
33
881
11
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
ganjartpAvatar border
ganjartp
#4
pengen ngrasain amnesia sama utang 😥
darmawati040
juneldi
juneldi dan darmawati040 memberi reputasi
2
Tutup