Kaskus

Story

Pengaturan

Mode Malambeta
Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

WardahRosAvatar border
TS
WardahRos
[SFTH] Senja yang Tak Kembali
cerbung roman baper

[SFTH] Senja yang Tak Kembali



Katakan kalau dia peri, aku lebih bisa mempercayainya. Mungkin sekarang diriku sedang terjebak di dimensi mimpi.
Oh, bukan.
Katakan kalau dia siluman, itu lebih terlihat nyata karena seingatku tadi, aku tersesat di rimba belantara.


Satu

Lingga ingat dulu sewaktu kecil, Retna–mamanya–selalu membacakan dongeng sebelum tidur. Cerita tentang Pak Tua Gepeto yang membuat robot anak bernama Pinokio. Seorang penjelajah luar angkasa bernama Peterpan. Di malam yang lain Retna bercerita tentang Pangeran Kecil berambut pirang dari suatu planet nun jauh di luar galaksi Bimasakti.

Biasanya cerita-cerita yang dibawakan Retna selalu menjadikan anak laki-laki sebagai tokohnya, menyesuaikan Lingga sebagai pendengar setianya. Namun, Retna sekali waktu bercerita tentang gadis bertudung merah. Tidak biasanya, kali itu tokoh utamanya adalah seorang gadis kecil.

Pada jaman dahulu, terdapat sebuah desa terpencil di lereng bukit. Di desa itu ada seorang gadis kecil yang sangat cantik. Kulitnya kuning Langsat, bibirnya mungil dan berwarna merah. Rambutnya hitam legam. Semakin lama dia semakin terlihat cantik, hingga mamanya khawatir akan ada orang jahat yang berniat menyakiti gadis itu karena kecantikannya. Dia membuatkan gadis itu sebuah kerudung berwarna merah, warna kesukaan si gadis.

Pada suatu hari, sang mama meminta gadis itu ke rumah neneknya. Si nenek tinggal agak jauh, yaitu di tepi hutan bukit. Antara desa dan hutan dipisah oleh sebuah sungai besar. Menurut para laki-laki tpenebang kayu yang turun bukit, si nenek sedang sakit. Sang Mama membawakan sebuah keranjang yang berisi sup daging dan sebotol madu untuk nenek. Dia berpesan, “Jangan terlalu pelan kalau jalan, agar bisa segera sampai dan pulang sebelum matahari terbenam. Tapi jangan berlari, karena takut nanti botol madunya jatuh dan pecah.”

Gadis itu dengan riang memakai kerudung barunya, lalu berjalan menuju tepi hutan. Setelah melewati jembatan, gadis itu melalui sebuah jalan setapak. Hari sudah agak siang sehingga jalanan terlihat jelas karena sinar matahari yang menembus dari celah dedaunan dan pohon. Tinggal sebentar lagi, maka dia akan sampai ke rumah neneknya. Namun, ada seseorang yang menyapanya.

“Halo, gadis manis,” katanya.

Akan tetapi, ternyata dia bukan orang, melainkan seekor serigala berbulu hitam legam. Gadis itu mundur beberapa langkah. Serigala itu meskipun terlihat ramah, tapi sebenarnya ia licik. Pertama ia tertarik dengan aroma sup daging yang dibawa si gadis. Namun, ketika melihat gadis berkerudung merah, timbul rasa haus yang lain. Serigala itu ingin memakan gadis berkerudung merah.

[SFTH] Senja yang Tak Kembali


Akhir dari kisah itu justru serigala yang mati. Perutnya yang terbuka karena terkena kampak para pemburu dimasuki batu supaya berat. Lalu mayat serigala ditenggelamkan ke sungai.

Setelah Mama menyelesaikan cerita itu, seperti umumnya seorang anak kecil Lingga jadi benci dengan binatang serigala yang jahat dan licik. Termasuk kepada anjing yang wajahnya mirip serigala.

Namun, kini karena umur yang semakin bertambah, dia bisa melihat dari sisi yang berbeda. Di dalam diri seorang pria, ada seekor serigala yang bersemayam. Serigala itu adalah entitas dari hasrat.

Layaknya saat ini, sejauh netranya memandang hanya ada pepohonan. Jalan setapak yang dia lalui tadi lenyap entah ke mana. Hanya suara dedaunan yang bernyanyi terlena oleh rayuan angin. Suhu udara mulai turun. Mentari kelihatannya sudah tak sabar ingin kembali ke peraduan. Semburat jingga mewarnai semak-semak, batang pohon, juga dedaunan.

Lingga meraih ponsel di saku celana jins yang ia kenakan. Batang sinyal tak ada satupun yang menyala. Tak ayal keputusannya untuk menemui Yang Kung dan Omah dia sesali saat itu juga. Semula, Lingga enggan untuk susah payah menempuh perjalanan selama enam jam dengan mobil kalau tidak dipaksa oleh Retna. Yang Kung dikabarkan sakit sendinya kambuh. Penyakit sahabat para lansia itu tak bisa memaksa Lingga untuk segera menghampiri si kakek. Namun, Retna mengomelinya selama setengah jam berturut-turut disertai sebuah ultimatum kalau sampai Lingga tidak menjenguk Yang Kung, maka Retna, Lingga, dan Aji–papanya–akan dicoret dari daftar hak waris karena telah menjadi anak dan cucu durhaka.

Jadi di sinilah Lingga berusaha menemukan rumah yang ditinggali Yang Kung dan Omah. Padahal terakhir Lingga ke sana adalah saat masih memakai seragam putih merah. Berbekal foto peta yang digambar Retna, yang lebih mirip maze untuk anak TK, Lingga harus menemukan rumah itu sebelum matahari terbenam.

Gawatnya, Lingga sekarang tersesat di tengah hutan belantara. Seingat Lingga, Retna tak pernah menyebutkan tentang hutan. Mana mungkin Yang Kung yang hartanya takkan habis sembilan turunan itu hidup di tengah hutan. Namun, Lingga yakin kalau dia sudah mengikuti petunjuk jalan yang digambar Retna. Lingga memikirkan juga kemungkinan justru Retna yang salah menggambarkan petanya.

Ketiadaan suara binatang di sekitar Lingga malah membuat pemuda berumur dua puluh tahun itu semakin bergerak waspada. Jika makhluk kecil tak ada yang berani bersuara, kemungkinan ada pemangsa yang berkeliaran. Lingga mendadak terlonjak saat mendengar suara auman.

“Gak mungkin! Harimau Jawa ,kan udah punah,” ujarnya tak percaya. “Apa jangan-jangan harimau ....” Bulu kuduknya meremang. Panik, ia balik badan lalu segera mengambil langkah lebar menuju arahnya berasal, tempat Lingga memarkir mobilnya. Beberapa menit yang lalu, Lingga tak dapat meneruskan perjalanannya dengan mobil karena jalan semakin menyempit, dan Retna sendiri yang bilang kalau memang jalan menuju rumah Yang Kung memang berupa jalan setapak. Tidak bisa dilewati oleh Aston Martin-nya.

Kaki jenjang Lingga yang tak terbiasa melewati semak-semak malah terperosok oleh dedaunan yang lembab. Lingga tak dapat mengimbangi tubuhnya lalu ... BRUK! Lingga terjatuh dan kepalanya membentur tanah.

“ ... ngun ....”

“Bang ....”

Tubuh Lingga terasa seperti diguncang-guncang pelan. Namun, dia belum membuka pelupuknya. “Bang! Bangun!” Saat indera pendengaran Lingga dapat menangkap jelas suara seseorang yang mengguncang tubuhnya, Lingga memaksa matanya untuk terbuka. Ia mengerjap sambil mengernyitkan dahi. Seorang gadis bermata jeli tengah duduk bersimpuh di sampingnya.

Bau tanah yang sama seperti tadi. Udara yang terasa lebih dingin daripada tadi. Suara berisik dedaunan yang sama. Lingga yakin kalau saat ini tengah terbaring di hutan, bukan di jok mobil delapan M-nya.

Gadis di sampingnya tersenyum sambil berkata, “Bang, kamu ga papa?”

“Katakan kalau dia peri, aku lebih bisa mempercayainya. Mungkin sekarang diriku sedang terjebak di dimensi mimpi.
Oh, bukan.
Katakan kalau dia siluman, itu lebih terlihat nyata karena seingatku tadi, aku tersesat di rimba belantara.”


Masih teringat jelas sebelum Lingga pingsan, dia mendengar suara auman. Jika harimau Jawa sudah punah, kemungkinan besar itu adalah harimau ghaib dan di antara kemungkinan-kemungkinan lainnya pastilah gadis berkulit putih, bermata jeli, berambut sehitam arang dengan bibir semerah kelopak mawar di sampingnya saat ini juga gadis ghaib.

Lingga langsung membuang badannya ke samping menjauhi gadis itu dan sigap bangkit. Denyut nyeri tiba-tiba menyerang kepalanya.

“Bang!” teriak gadis itu lagi. Dia berdiri lalu melangkah mendekati Lingga.

Lingga mengisyaratkan dengan telapak tangannya agar gadis itu berhenti. “Kamu siapa?” tanya Lingga. Sontak ia menyesalinya, untuk apa dia menjalin komunikasi dengan makhluk astral? Yang harus dia lakukan saat ini adalah merapalkan ayat pengusir setan.

“Namaku Nuri.”

Siluman burung, sebutan yang Lingga sematkan untuk gadis di hadapannya.

“Kepala Bang Lingga sakit, ya?” Nuri mengulurkan lengannya. Lingga mundur selangkah lagi.

Gadis itu menghela napas lalu mengulum senyum. “Kayanya ga papa. Ayo buruan, Yang Kung dan Omah Ratih sudah nunggu Bang Lingga dari tadi.”

“Tunggu ... kamu siapa? Kamu kenal denganku?” tanya Lingga heran. Jika gadis di hadapannya sekarang kenal dengan kakek dan neneknya bisa jadi dia adalah saudara yang dia belum kenal, atau pelayan dari kakek dan neneknya.

“Eh Abang lupa, ya? Aku kan Nuri anaknya Bu Ningsih.”

Nama Nuri saja dia tidak kenal, muncul lagi satu nama, Ningsih.

“Buruan, gih. Ini udah mau Maghrib.” Gadis itu berbalik lalu melangkah lebih dulu, Lingga segera mengikutinya. Dia lupa akan julukan Siluman Burung yang dia sematkan kepada gadis di depannya.

Tinggi Nuri seperti anak masih SD, tapi langkahnya cepat. Kalau bukan karena warna cardigan yang ia pakai berwarna merah pastilah Lingga ketinggalan jejaknya. Lingga susah payah melewati beberapa semak, sedangkan Nuri terlihat biasa saja. “Tunggu!” teriaknya kepada Nuri.

“Ayo, Bang cepat! Itu rumahnya udah keliatan,” jawab Nuri sambil menunjuk ke arah depan.

Lingga bisa melihat atap rumah Yang Kung. Memori masa kecilnya terpanggil kembali. Dulu Lingga pernah diajak anak kampung untuk melempari monyet yang berdiri di atap rumah Yang Kung dengan biji berwarna merah. Namun, di antara keempat anak ingusan itu tak ada yang bernama Nuri.

Jadi siapa gadis itu?

Yang pertama kali menyambut kedatangan Lingga adalah Pak Wandi, Lingga masih ingat beliau adalah peladen serba bisa Yang Kung. Pak Wandi bisa menjadi tukang kebun, juru masak, penjaga binatang peliharaan Yang Kung seperti kuda, kucing, ayam mutiara, kelinci, dan binatang lainnya, Lingga lupa apa saja. Dan yang paling Lingga sukai adalah, Pak Wandi bisa membuatkan Lingga layang-layang yang besar.

Pak Wandi segera mengelap tangannya ke kemeja yang ia pakai sebelum mengulurkan tangannya kepada Lingga. Seolah-olah tangannya yang keriput itu kotor dan harus dibersihkan sebelum menyalami Lingga. “Den Lingga sudah datang, gimana kabarnya?” Tanpa melakukan hal itu pun Lingga tak akan protes, bahkan meskipun tangan Pak Wandi dipenuhi bubur dedak bahan pakan ayam mutiara Yang Kung pun, Lingga tak akan segan untuk menyambut uluran tangannya. Pak Wandi sudah Lingga anggap sebagai bagian dari keluarga Yang Kung.

“Baik, Pak Wandi gimana kabarnya?” Lingga bukan hanya menyambut uluran tangan Pak Wandi, ia meraih bahu Bapak tua itu dan merangkulnya.

“Alhamdulillah sehat.” Pak Wandi mengurai pelukan lalu melihat ke arah belakang Lingga. “Loh, Den Lingga sendirian?” tanyanya.

“Iya, Mama dan Papa masih seminggu lagi baru bisa ke sini,” jawab Lingga.

Pak Wandi lalu menggiring Lingga masuk menemui Yang Kung dan Omah. Nuri, gadis itu menghilang entah ke mana.

“Lingga, cucuku sayang. Gimana perjalanannya?” tanya Omah Ratih setelah Lingga memberi salam kepada kedua orang tua di hadapannya.

“Alhamdulillah, capek Omah,” jawab Lingga.

“Kemeja kamu kenapa? Kamu jatuh tadi?” tanya Yang Kung sambil menyentuh bingkai kacamatanya.

“Iya tadi, jalannya licin.”

“Kalau gitu, sana mandi dulu, gih. Habis itu makan,” kata Yang Kung.

“Nuriii!” teriak Omah Ratih.

“Iya, Omah!” Gadis itu menjawab dari belakang Lingga. Kemudian ia mendekat.

“Tolong antar Lingga ke kamarnya,” pinta Omah Ratih.

“Baik, Omah.” Lingga menghela napas lega, ternyata Nuri bukan makhluk astral.

[SFTH] Senja yang Tak Kembali


Birsimbing✌️


Assalamualaikum
WardahRos di sini 😁
Kali ini ane mau buat cerbung. Update tidak terjadwal.

Enjoy the story 💗

Warning! Mungkin ada beberapa scene yang agak dewasa karena genrenya young adult. Mohon dimaafken emoticon-Malu

Sumber pict:
Pinterest

[SFTH] Senja yang Tak Kembali
Diubah oleh WardahRos 08-08-2020 00:46
kyukyunana
sabenik.iky
081364246972
081364246972 dan 55 lainnya memberi reputasi
54
6.3K
136
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
WardahRosAvatar border
TS
WardahRos
#72
Nasehat Lingga
Cerbung roman baper

[SFTH] Senja yang Tak Kembali

Part 3


[SFTH] Senja yang Tak Kembali


Part 3



Lingga makin tersadarkan kalau Nuri masih bocah. Dengan seragam putih birunya Nuri berpamitan untuk berangkat sekolah. Lingga merasa bahwa Nuri pasti menjadi gadis tercantik di sekolahnya.

Rumah Yang Kung terasa sangat sepi kalau Nuri tak ada. Jadi Lingga mencari kesibukan dengan mengikuti Pak Wandi bekerja. Lingga membantu mengambilkan air di ember untuk minum ternak, kadang juga menyisiri bulu kelinci. Lingga enggan ikut membantu membersihkan kandang kelinci, baunya membuat Lingga mual.

Pak Wandi baru bisa menemani Lingga duduk mengobrol selepas jam sebelas siang. Mereka duduk di padang rumput beralaskan daun pisang sambil menunggu kambing makan. “Nuri pulang jam berapa, Pak?” tanya Lingga sambil mencabuti rumput di sampingnya.

“Kalau hari Jumat begini jam sebelas biasanya,” jawab Pak Wandi. Ia kemudian menyeruput kopi dari mug. “Kenapa? Sudah kangen, ya?” tanya Pak Wandi dengan senyuman untuk menggoda Lingga.

“Ih, gaak,” elak Lingga. “Ngomong-ngomong, Nuri setiap hari tidur sama Omah? Dia tidak pulang ke rumahnya?”

“Pulangnya seminggu sekali. Omah kamu yang minta. Katanya dia kesepian. Anak dan cucunya semua tinggal di kota lain, bahkan mama Lingga, kan di luar negeri. Kalau hari libur Nuri pulang, kembali ke sini besok siangnya pulang sekolah,” jelas Pak Wandi. Lingga mengangguk-angguk.

Pak Wandi kemudian menyiangi rumput untuk dikumpulkan sebagai persediaan makanan ternak nanti. Lingga terbuai oleh semilir angin yang bertiup. Meskipun matahari hampir di atas kepala, tapi hawanya sangat sejuk karena pepohonan rindang yang ada di sekitar mereka. Lingga berbaring sejenak menikmati suasana tenang. Tak terasa beberapa menit kemudian dia terlelap.

“... Ngga. Bang ....” Kembali Lingga merasa de javu. Ada suara seorang gadis yang membangunkannya.

Lingga membuka mata. Kembali gadis itu memamerkan senyumnya di hadapan Lingga. “Kamu sudah pulang?” tanya Lingga padanya.

Nuri mengangguk dengan antusias. “Kenapa Bang Lingga tidur di sini?”

“Anginnya enak,” jawab Lingga sekenanya.

“Yuk pulang, Bang. Pak Wandi tadi udah pulang duluan masukin kambing ke kandang. Bang Lingga ditunggu buat shalat jamaah.”

Seperti biasa, Nuri selalu sigap menyiapkan makanan di meja. Setelah pulang dari shalat dengan Pak Wandi juga Yang Kung, mereka makan bersama.

“Nuri, makan yang banyak. Biar cepet gede,” kata Omah Ratih.

“Iya Omah.”

Lingga takjub dengan porsi makan Nuri yang dua kali lipat dari porsi makannya. Padahal badan Nuri hampir setengahnya Lingga. “Apa Omah gak salah? Itu porsi makan kuli, masih suruh makan lagi?” tanya Lingga heran.

“Biarin, week,” jawab Nuri disertai juluran lidah kecilnya.

Lingga hanya bisa geleng-geleng kepala.

Setelah makan bersama, Nuri segera mencuci semua peralatan makan. Lingga memperhatikan gadis itu dari tempatnya makan sedari tadi. Setelah semua piring dan teman-temannya bersih dan tertata rapi di rak, Lingga memanggil Nuri untuk duduk kembali di depannya. Mereka terhalang oleh meja makan yang sudah bersih, hanya ada sebuah kendi yang bertahta di tengah-tengahnya.

“Nuri, kamu percaya Bang Lingga?”

Nuri mengerutkan keningnya, ia mengangguk pelan.

“Kalau Bang Lingga ngomong, Nuri mau dengarkan?”

Kembali Nuri mengangguk ringan. Pandangan mereka masih beradu.

“Begini, Nuri sudah Bang Lingga anggap adik sendiri. Bang Lingga mau kasih nasehat mumpung Nuri masih kecil.

Kalau di depan Bang Lingga, atau laki-laki lain yang bukan saudara kandung Nuri, jangan pakai pakaian yang pendek seperti yang sekarang Nuri pakai. Minimal pakai celana yang panjangnya di bawah lutut. Pakai kaos yang longgar, jangan yang sempit. Nuri sadar kalau Nuri cantik?”

Nuri tampak tersenyum dan tersipu dalam waktu bersamaan.

“Perempuan itu meskipun tidak seberapa cantik, setan akan berdiri di sampingnya membuatnya tampak sangat-sangat cantik sehingga laki-laki tergoda. Apalagi kalau orangnya cantik. Dia diem aja ga ngapa-ngapain, tapi setan pasti ngerayu laki-laki yang ngelihatnya. Mengerti?”

Nuri mengangguk. Meskipun dia masih belum paham maksudnya, tapi inti dari pembicaraan mereka adalah, Nuri sudah tidak boleh memakai celana pendek dan kaos ketat lagi. Seperti yang dia pakai sekarang.

Lingga kemudian meninggalkan Nuri lebih dulu. Setelah masuk ke kamar, Lingga segera mengambil pesawat telepon. Sebelumnya di kamar yang Lingga tempati tak ada telepon. Tak kurang akal, Lingga mengambil telepon di ruang tengah lalu menjulurkan kabelnya hingga bisa sampai ke kamarnya. Kini ia bebas menelepon kekasih hati yang dirindukannya tanpa ada rasa sungkan atau takut pembicaraannya didengar orang lain.

Sore hari Ia menyapa Yang Kung di teras rumah. “Yang Kung, bagaimana kakinya?” tanya Lingga sambil menyentuh lutut Yang Kung kemudian mulai melakukan pijatan di sana.

“Seperti biasa, kalau malam suka linu. Tapi sudah mendingan, Nuri biasanya rebus kolang-kaling buat Yang Kung.”

“Ooo. Kalau pinggangnya?”

“Sudah baikan juga. Alhamdulillah.”

“Alhamdulillah,” jawab Lingga juga.

Yang Kung kemudian menanyakan tentang kuliah Lingga yang sudah di semester lima. Lingga bercerita tentang yang baik-baik saja. Cerita tentang dia dihukum membuat paper setebal lima puluh halaman karena tertidur di kelas, tak ia ceritakan.

Saat asyik bicara dengan Yang Kung, Nuri datang berpamitan kepada mereka. Melihat Nuri yang memakai topi ala pemancing, Yang Kung sudah tahu ke mana gadis itu akan pergi. “Hati-hati, ya. Pulang sebelum jam lima,” pesan Yang Kung.

“Nuri mau ke mana?” tanya Lingga.

“Ke ... Bang Lingga gak perlu tahu,” jawab Nuri ketus.

Lingga menaikkan alisnya heran. “Eh anak ini, ditanyain baik-baik, kok nyolot.”

“Sudaah ... sana Nuri cepat berangkat,” ujar Yang Kung melerai.

“Emang ke mana, sih dia Yang Kung?”

“Ke hutan,” jawab Yang Kung enteng, seolah-olah ke hutan itu perkara sepele seperti main congklak di halaman rumah.

“Eh, sendirian?” tanya Lingga heran.

“Iyaa. Nuri sudah biasa, kok.”

“Tapi, dia perempuan, loh,” ujar Lingga. Kekhawatiran terlihat dari raut wajahnya. “Nuri tunggu!” teriak Lingga sebelum gadis itu benar-benar hilang melewati semak dan tumbuhan lembayung yang merambat menutupi pagar pekarangan Yang Kung.

Lingga segera mengenakan sepatunya lalu berlari menyusul Nuri. Dia berhenti saat sampai di depan Nuri, lalu menyimpulkan tali sepatunya. “Tunggu, aku ikut,” katanya.

“Bang Lingga ngapain ikut? Di rumah aja.”

“Di hutan bahaya, ada binatang buas,” kata Lingga sambil berjalan di belakang Nuri.

“Tapi Nuri udah biasa jalan sendiri, hutan gak seseram yang Bang Lingga pikir. Kami sudah hidup sejak kecil di sekitar hutan.”

“Oh ya? Emang gak ada ular gede-gede kaya di tivi gitu?”

“Ada sih, tapi ular gitu, kan sembunyi di pohon-pohon. Ga perlu takut,” jawab Nuri santai. Di tangan gadis itu ada parang untuk menebas perdu yang menghalanginya. Mungkin di sanalah letak percaya diri Nuri, pikir Lingga.

Di belakang rumah Yang Kung ada jalan setapak menuju hutan. Jalan itu semakin lama semakin samar dan hanya Nuri saja yang paham ciri-cirinya. Lingga memasrahkan alur perjalanan mereka kepada Nuri. “Kamu mau cari apa, sih di hutan?” tanya Lingga.

“Cari jamur buat Yang Kung.”

“Kenapa gak beli di pasar aja?”

“Ini jamur Ling Zhi, buat obat Yang Kung. Nyarinya ke batang-batang pohon yang tinggi di hutan. Di pasar gak ada yang jual.”

“Masa, sih? Aku kayanya pernah dengar jamur itu diiklankan di televisi.”

“Tapi, kan mahal. Kalau ada yang gratis kenapa beli yang mahal?”

Lingga berpikir, “Iya ya ... eh tapi ....”

“Tapi ini bahaya loh. Ke hutan sendirian, kalau kamu diculik makhluk halus gimana?” tanya Lingga. Dia teringat kembali saat pertama kali tersesat di hutan karena tidak tahu jalan menuju rumah Yang Kung.

“Nuri justru takutnya sama harimau daripada makhluk halus. Kan ini masih sore, setan-setan gitu keluarnya malem.”

“Harimau Jawa udah ga ada Nuri, mereka udah punah.”

“Ada,” protes Nuri sambil berbalik berhadap-hadapan dengan Lingga.

“Gak ada.” Lingga teguh pada pendapatnya.

“Ada. Nuri yakin ada. Kak Lingga aja yang gak pernah liat,” sanggah Nuri.

“Aku pernah, kok liat. Di kebun binatang,” jawab Lingga sambil menunjukkan senyum konyol. “Kamu baca, deh berita. Harimau Jawa udah punah lama. Mungkin kamu belum lahir udah ga ada lagi. Yang ada itu harimau Sumatra.”

Nuri mengerucutkan bibirnya. “Pokoknya nanti kalau kita ketemu harimau, Bang Lingga mau kasih Nuri apa?” tantang Nuri.

“Apa pun yang Nuri mau, deh.”

“Janji?” tanya Nuri serius.

“Janji.”

Lingga sudah lupa bahwa bertemu dengan harimau sama bahayanya dengan bertemu anaconda di hutan. Namun, dia sudah yakin kalau tak ada harimau di hutan yang mereka telusuri.


Bersambung lagi
Diubah oleh WardahRos 24-06-2020 02:42
embunsuci
Puspita1973
081364246972
081364246972 dan 13 lainnya memberi reputasi
14
Tutup