bleedingscreamAvatar border
TS
bleedingscream
Sebesar Apapun Cintamu, Tak Ada Artinya Jika ADAT Yang Berbicara



Quote:


Setidaknya itu yang ku tanamkan dalam hati, untuk menjauhkan pikiranku dari menggugat takdir Tuhan yang telah paten di gariskan.

Dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung


Sudah sepatutnya kita menjaga tradisi dan adat istiadat yang telah di ajarkan turun temurun dari leluhur kita sampai saat ini. Tapi aku pun sempat hampir "murtad" dari tradisi dan adat leluhurku hanya karena ke-egoisanku. Tapi aku sadar, leluhur membuat tradisi ataupun aturan yang tak tertulis yang kadang "menjengkelkan" itu demi keselamatan anak cucu keturunannya. Ini adalah kisahku dimana aku mengalami kejadian dimana aku harus berpisah dengan dia karena sebuah tradisi leluhur yang sudah mengakar, khususnya di kalangan masyarakat Jawa.


Awal Agustus 2019.

"Bing!!!" Ponselku berbunyi.
Seketika dahiku menggrenyit, membaca pesan singkat di kolom chat. Agaknya aku gak asing dengan wajahnya, tapi siapa?...
Dalam hati aku bertanya-tanya. Aku buka poto profilnya, zoom in zoom out, slide left slide right, otakku berkeras mengingat siapa dirinya.

Obrolan pun mengalir melalui kolom-kolom chat, aku berusaha sok akrab biar gak nyinggung perasaannya karena lupa siapa dia. Setelah lama berbasa basi, aku baru ingat kalo dia adalah cewe yang waktu itu.

Yah!! Kita pernah ketemu di suatu even, dia seorang keyboardis sama sepertiku. Selama even berlangsung aku beberapa kali tertangkap basah curi-curi pandang padanya di belakang panggung, kalo udah gitu aku berlagak mengalihkan pandangan pura-pura malu.

Di ujung even aku dekati dia, akhirnya kita kenalan dan aku minta nomer telponnya. Meski pada akhirnya aku gak pernah menghubungi nomer itu. Sebab dia bilang itu hp bapaknya 😓

Hieda yang kemudian hari aku memanggilnya Khumairo, gadis yang umurnya beberapa tahun lebih muda dariku. Dia cantik, pintar, menyenangkan, bahkan denger namanya pun udah bisa membuatku tersenyum. Wajahnya lembut menyejukkan. Siapapun akan betah berlama-lama di dekatnya. Meski hanya sekedar untuk memandang kesejukan wajahnya.
Saat ini dia mengabdi di sekolahan tempat dimana dia dulu menuntut ilmu.

Tiada hari tanpa dirinya, tiada malam tanpa telepon darinya, makin kesini rasa itu semakin nyata, dan dia juga merasakan hal yang sama. Kita saling cinta. Ada sedikit rasa bangga. Karena di antara beberapa pesaing, akulah pemenangnya.

Dia agamis, aku pendosa.
Dia terpelajar, aku kurang diajar.


Tapi dia tidak mempersoalkan hal itu, dia janji mau membimbingku ke arah yang lebih baik.
Salah satu poin yang membuatku semakin klepek-klepek sama Hieda. Aku bertekad untuk menikahinya, meski disisi lain dia ingin menyelesaikan studinya, tapi aku berkeras segera menikahinya.

Terlalu erat menggenggam karena takut kehilangan, berakibat pada hancurnya suatu hubungan.


sumber



November Minggu pertama 2019

Aku tidak pernah mengekangnya bepergian kemana-mana, juga tidak pernah mengontrol dia berhubungan dengan siapa saja. Tapi disini aku hanya ingin segera menikahinya, agar dia menjadi sah menjadi permaisuriku selamanya. Dunia maupun akhirat.

Mungkin karena aku selalu mendesaknya untuk di kenalkan pada orang tuanya, dan mengajak orang tuaku untuk melamarnya, lama-lama Hieda risih juga.

Hieda meminta izin pada ibunya, sekaligus memastikan apakah beliau merestui hubungan kami. Hieda menceritakan semua tentang hubungan kami, dari awal berkenalan sampai detik ini.

Setelah mendengar semua cerita Hieda tentang aku, Ibu Hieda menyurunya untuk memberikan *weton nya kepadaku. Melimpahkan semua penghitungan harinya padaku. Aku sangat bahagia, karena merasa aku hampir sampai di ujung anak tangga.
Ada satu kalimat yang membuatku gentar. Ibu Hieda mengatakan, "kalau nanti hitungannya gak cocok atau kurang baik. Berarti dia bukan jodoh kamu nduk. Kamu harus bisa terima itu."

Aku mengumpulkan nyali untuk menanyakan masalah weton pada bapakku. Karena bapakku menguasai ilmu penghitungan Jawa.
Sambil menunggu bapakku pulang kerja, aku iseng browsing google tentang penghitungan weton Jawa untuk jodoh.

Jantungku berdesir melihat hasil penghitungan kasar ku ini. Wetonku dan Hieda bernilai 20 yang menurut penghitungan Jawa tibo pati atau jatuh pada mati. Jelas hatiku menolak dengan keras.

"Ini tidak mungkin!!!"

Aku tidak bisa membayangkan jika aku dan Hieda harus berpisah. Aku sudah terlanjur memberikan hatiku sepenuhnya pada Hieda.
Aku tidak akan dengan mudah menerima itu semua.

Aku kembali menghubungi Hieda, memintanya agar ibunya saja yang menghitung weton kami. Tapi ibu Hieda menolak hal itu. Aku pun baru sadar kenapa ibu Hieda melimpahkan perhitungan kepadaku. Itu semua untuk menjaga perasaanku agak tidak merasa di tolak. Karena, mungkin jika orang tua Hieda yg menghitungkannya, dan hasilnya tidak cocok, akan jadi terkesan menolak lamaran ku secara sepihak. Mungkin itu yg di hindari orang tua Hieda.

Aku jadi ragu untuk menanyakan pada bapak tentang wetonku dan Hieda. Aku mengulur-ulur waktu untuk mengatakannya. Di lain sisi Hieda dan orang tuanya menunggu hasil penghitungan dariku.
Setiap hari Hieda menanyakan "bagaimana hasil penghitungannya? Apa hubungan ini bisa di lanjutkan?"

Aku terpaksa berbohong, kalau tetanggaku yang biasa menghitung weton masih kerja ke luar kota, jadi aku belum tau hasilnya.

Setiap malam aku gak bisa tidur, memikirkan bagaimana kalau aku benar-benar gak jodoh sama Hieda? Apa aku bisa menerima kenyataan jika memang hubungan ini gak bisa di lanjutkan?

Aku berusaha menguatkan hatiku, memotivasi diri sendiri, gak lupa mempersiapkan jawaban untuk alasanku esok hari jika Hieda menuntut hasil penghitungan.

Setelah 5 hari berbohong karena aku menunda-nunda berkonsultasi dengan bapak. Aku gak bisa mengelak lagi. Aku harus bisa menerima apapun hasilnya nanti.

Pagi di hari ke 6, sebelum berangkat kerja aku bertekad memberikan weton ku dan Hieda guna di hitung oleh bapak. Dengan suara serak dan lirih hampir bergetar aku mengutarakan niatku pada bapak. Terlihat wajah tenang bapak menanyakan tentang Hieda yang memang belum pernah aku kenalkan ke orang tuaku. Mulai dari namanya, rumahnya dimana dan menghadap kemana, siapa nama orang tuanya, kenal dimana dan beberapa pertanyaan mendasar.

Setelah itu bapak bilang " yaudah kamu kerja aja dulu, nanti bapak hitungkan hasilnya"

"Enggeh pak" sahutku dan segera pamit untuk pergi kerja.

Ada rasa lega, deg-degan, seneng, takut. Semua perasaan itu beradu dalam dadaku. Sepulang kerja aku langsung masuk ke kamarku, melepas segala atribut yang aku kenakan. Tak berapa lama bapak memanggilku di ruang tamu.

"Deg" jantungku berdegup lebih kencang, darah ku berdesir. Bergegas aku menghampiri bapak di ruang tamu.

"Kamu dan dia ketemu 20 Le, dan itu kurang baik, kamu bisa jadi nikah sama dia, tapi nanti kamu yang kalah. Kalo kalah dalam hal materi masih bisa di cari, lah kalau kalah nyawa? "

"Saran bapak mending jangan di lanjutkan, cari yang lain saja. Pelan-pelan nanti pasti bisa melupakannya"
Ujar bapak yang ku anggap sekaligus ungkapan tidak setuju atas hubunganku.

Aku tertunduk mendengar ucapan bapak. Mataku berkaca-kaca, bibirku bergetar. Seketika tubuhku lemas.

Aku memaki diriku sendiri. Mengutuk siapapun yang membuat tradisi penghitungan sialan ini. Hatiku terbakar, dadaku terasa penuh menahan gejolak di hati.

Bagaimana aku bisa berpisah apalagi melupakan, disaat seluruh hatiku ku berikan padanya. Sakit, jika harus berpisah pas lagi sayang sayangnya, pas lagi berbunga-bunga.

Malamnya, setelah aku berusaha mendamaikan hatiku, aku menelpon Hieda, menyampaikan jawaban yang dia tunggu sejak beberapa hari lalu. Sambil berusaha menghasutnya agar tidak percaya dengan hal-hal seperti itu.

Aku mengeluarkan kata-kata propaganda dengan selipan-selipan sugesti untuk mempengaruhi pikirannya. Tapi hasilnya nihil. Dia tetap dengan pendiriannya, menuruti apa yang di katakan orang tuanya. "Jika hitungan itu tidak cocok maka dia bukan jodohmu"

Aku mendengar isak tangis di seberang sana, dengan berat mengucapkan kalimat saling menguatkan.

Karena kita hidup di tanah Jawa, kita harus mengikuti adat di dalamnya. Air mataku pun mengalir tak terbendung. Aku belum pernah merasakan kasih sebesar ini. Menyelami lautan cinta sedalam ini.

Tapi semua itu harus berakhir. Karena cinta itu tak selalu harus bersatu. Kita harus bisa merelakan. Karena perjalanan kita telah di gariskan oleh Tuhan.


ukhtyfit81
NadarNadz
nona212
nona212 dan 49 lainnya memberi reputasi
50
1.3K
75
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
sinar304Avatar border
sinar304
#13
mending hitungin dulu weton dan lainnya sebelum lanjut kehubungan yang lebih sarius takutnya malah kejadian begini, udah terlanjur cinta mati akhirnya harus berakhir karna masalah weton, kasian semoga segera bertemu dengan weton yang cocok
bleedingscream
bleedingscream memberi reputasi
1
Tutup