- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
AKU, KAMU, DAN LEMON : SETELAH SEMUANYA BERAKHIR
TS
beavermoon
AKU, KAMU, DAN LEMON : SETELAH SEMUANYA BERAKHIR
Setelah beberapa tahun memutuskan untuk beristirahat, akhirnya Beavermoon kembali untuk menyelesaikan apa yang seharusnya bisa diselesaikan lebih cepat.
Sedikit bercerita bahwa cerita ini adalah akhir dari serial Aku, Kamu, dan Lemon. Cerita ini tidak lagi mengisahkan tentang Bram, Widya, Dinda, dan yang lainnya. Cerita ini akan mengisahkan tentang sang penulis dari Aku, Kamu, dan Lemon setelah seri Buku Harian Airin berakhir. Bagaimana ia harus menjalani hidup setelah semuanya berakhir, bagaimana ia harus menyelesaikan dan menjelaskan semua cerita yang sudah ia tulis.
Lalu kenapa cerita ini masih menjadi bagian Aku, Kamu, dan Lemon jika sudah tidak ada lagi para tokoh utama dari cerita tersebut? Mungkin, apa yang dirasakan oleh sang penulis bisa menjadi penutup dari serial ini, dengan catatan telah mendapatkan izin dari beberapa orang yang "namanya" pernah tercantum di cerita sebelumnya.
Untuk kalian yang baru bergabung, mungkin bisa baca seri sebelumnya terlebih dahulu sebelum membaca seri terakhir ini.
AKU, KAMU, DAN LEMON
AKU, KAMU, DAN LEMON : BUKU HARIAN AIRIN
Dan bagi kalian yang sudah mengikuti dari seri pertama, selamat datang kembali. Semoga apa yang menjadi pertanyaan selama ini bisa terjawab, jika tidak terjawab maka lebih baik bertanya di kolom komentar. Satu info terakhir, seri ini akan update 3X dalam seminggu (Senin, Rabu, Jum'at) agar tidak terlalu lama. Enjoy!
Spoiler for Index:
Episode 1
Episode 2
Episode 3
Episode 4
Episode 5
Episode 6
Episode 7
Episode 8A
Episode 8B
Episode 9
Episode 10
Episode 11
Episode 12
Episode 13
Episode 14
Episode 15
Episode 16
Episode 17
Episode 18A
Episode 18B
Episode 19
Episode 20
Episode 21
Episode 22
Episode 23
Episode 24
Episode 25
Episode 26
Episode 27
Episode 28
Episode 29
Episode 30
Episode 31
Episode 32
Episode 33
Episode 34 (Finale)
Episode 35A (Extended)
Episode 35B (Extended)
Episode 2
Episode 3
Episode 4
Episode 5
Episode 6
Episode 7
Episode 8A
Episode 8B
Episode 9
Episode 10
Episode 11
Episode 12
Episode 13
Episode 14
Episode 15
Episode 16
Episode 17
Episode 18A
Episode 18B
Episode 19
Episode 20
Episode 21
Episode 22
Episode 23
Episode 24
Episode 25
Episode 26
Episode 27
Episode 28
Episode 29
Episode 30
Episode 31
Episode 32
Episode 33
Episode 34 (Finale)
Episode 35A (Extended)
Episode 35B (Extended)
Diubah oleh beavermoon 27-06-2020 11:27
khuman dan 29 lainnya memberi reputasi
30
26.4K
Kutip
395
Balasan
Thread Digembok
Tampilkan semua post
TS
beavermoon
#255
Spoiler for Episode 32:
"Penerbangan dari x menuju x dengan nomor penerbangan JX-123..."
Aku masih terdiam tanpa menggerakkan badan, mataku masih terpaku kepadanya sementara ia melempar senyum kepadaku. Renata kembali, entah dari mana. Ia berjalan mendekat lalu memelukku, lagi-lagi aku hanya bisa terdiam.
Teringat tentang pesan yang ku terima tadi saat masih di kedai, aku benar-benar terhipnotis untuk langsung menghampirinya tanpa tau apakah benar tentang pesan tersebut atau hanya jebakan belaka. Namun kenyataan berkata benar, wanita yang sedang memelukku benar adalah Renata.
"I miss you." Katanya pelan.
Renata, wanita yang pernah mengisi hari-hariku entah berapa lama. Renata, wanita yang mengajarkanku tentang hal yang tidak pernah ku alami, dan Renata, wanita yang pergi meninggalkanku begitu saja tanpa ada kabar lalu kembali lagi seperti tidak ada apa-apa.
Meskipun begitu, aku tetap saja menemuinya. Entah seperti tidak ada apa-apa sebelumnya, aku tetap saja mendekapnya dalam pelukku. Sesekali aku membelai rambutnya yang masih panjang seperti kala itu.
Malam semakin menggagahkan raganya, kami berdua masih berada di dalam taksi menembus kemacetan. Renata menyandarkan kepalanya di dadaku, ia menggenggam kedua tanganku tanpa jeda sedari kami menunggu taksi hingga saat ini. Aku memandanginya dalam diam, sesekali ia bermain dengan jari-jari tanganku entah apa maksudnya.
Dan akhirnya kami pun tiba di apartemen Renata. Aku menuju bagasi untuk membawakan koper miliknya sementara Renata membayar taksi tersebut. Ku bawa kopernya di tangan kiriku sementara ia menggandeng tangan kananku. Setelah membuka kunci pintu, kami pun masuk ke dalam.
Masih sama, mungkin itu yang bisa ku ungkapkan ketika masuk ke dalam. Tidak ada sedikitpun yang berubah, baik tata letak barang-barangnya, termasuk juga Renata. Aku membawa koper itu ke samping sofa bed, lalu aku duduk di sampingnya. Renata kembali memelukku, kali ini lebih erat.
"Did you ever miss me?" Tanya Renata.
Aku memilih diam dan tidak menjawab pertanyaannya. Renata memainkan jari-jarinya di dadaku seperti sedang menabuh drum dengan ketukan, aku hanya bisa melihatnya saja.
"Sebenernya, aku bisa aja ngabarin kamu dari sana. Aku tinggal beli kartu terus ngabarin kamu, atau aku bisa pakai telepon yang ada di sana, tapi aku milih untuk ngga ngabarin kamu..."
Aku masih terdiam.
"...Aku terlalu takut untuk ngabarin kamu, terlebih setelah aku pergi gitu aja. Rasanya aku takut, takut untuk permainin kamu dengan sengaja. Dan aku pun takut kalau pandangan kamu akan berubah setelah itu, tapi mau bagaimanapun aku akan tetap salah..."
Beberapa kali aku mengatur nafasku.
"...Dan sekarang aku kembali ke sini, dengan tanpa rasa berdosa ngabarin kamu, dan kamu dateng kayak ngga pernah terjadi apa-apa beberapa tahun belakangan. Adrian, aku minta maaf." Jelasnya.
Renata pun terdiam setelah menjelaskan semuanya, hanya jari-jemarinya yang masih bermain di dadaku meskipun temponya melambat. Beberapa kali aku menghembuskan nafas, kemudian aku mengajaknya untuk bangun dari duduk. Aku menggandeng tangannya lalu mengajaknya untuk keluar dari kamar.
"Adrian, kita mau ke mana?" Tanya Renata heran.
Aku diam tanpa menjawab pertanyaannya, kemudian kami masuk ke dalam lift untuk turun ke lantai bawah. Renata hanya bisa mengikuti ke mana aku membawanya, hingga kami masuk ke dalam tempat perbelanjaan. Aku membawa keranjang belanja, ku ambil beberapa barang lalu ku masukkan ke dalam keranjang tersebut. Setelah membayar, kami pun kembali ke kamar apartemen.
Aku berlalu menuju dapur dan mempersiapkan barang-barang yang sudah kami beli, "Masih suka makan udang kan?"
Renata mendekat ke arahku, "Masih kok. Kamu mau masak apa?"
Aku kembali tidak menjawab pertanyaannya. Langkah demi langkah mulai ku kerjakan, Renata hanya melihatku karena aku sengaja tidak memperbolehkannya untuk membantuku. Beberapa menit berlalu, akhirnya aku menyajikan makanan di piring, lalu ku berikan kepada Renata.
"Buat aku?" Tanya Renata.
Aku mengangguk, lalu aku berlalu untuk membersihkan alat-alat yang akan ku bersihkan di tempat cuci. Setelah selesai aku kembali menghadap ke arah Renata. Ia masih saja diam dan belum mulai makan, "Kamu ngga suka sama makanannya?"
Ia menepuk kursi yang ada di sampingnya beberapa kali, aku pun duduk di sampingnya. Ia mendekatkan makanan itu kepadaku, "Ayo makan sama-sama."
Aku pun menyetujuinya dengan menganggukkan kepala beberapa kali. Kami pun berdo'a dengan kepercayaan masing-masing, setelah itu kami mulai makan bersama-sama. Suapan demi suapan kami lakukan, sesekali Renata menyuapiku. Akhirnya makanan pun habis, aku pun membawa piring tersebut untuk ku cuci.
Setelah itu aku kembali ke sofa, Renata pun kembali dengan membawakan sebotol bir dan gelas berisi wine. Ku nyalakan sebatang rokok, cting!gelasnya beradu dengan botol yang ku pegang. Beberapa tegukan berlalu, ku letakkan kembali botol tersebut di atas meja. Renata mulai menyalakan TV dan memilih siaran, kemudian ia menyandarkan badannya kepadaku.
"Gimana keadaan di kedai?" Tanya Renata.
"Baru aja ekspansi ke samping, ada Astri yang jadi helper baru, Bella akhirnya jadi Head Bar gantiin aku." Jawabku.
Renata mengangguk dan tetap menonton acara di TV. Kami terdiam sambil tetap menonton, sesekali kami pun tertawa karena acara tersebut, hingga akhirnya acara tersebut habis. Malam semakin larut, kami pun sudah merubah posisi kami menjadi berbaring menatap satu sama lain. Renata meletakkan telapak tangannya di pipiku, kemudian ia tersenyum.
"Besok kamu mau ikut ke kedai?" Tanyaku.
Ia menggelengkan kepalanya pelan, "Aku belum siap setelah semuanya terjadi. Aku terlalu takut sama tanggapan temen-temen kamu soal aku, jadi mungkin aku ngga akan ke sana."
Aku mengangguk pelan. Renata mendekatkan wajahnya hingga membuatku bisa menatap matanya jauh lebih jelas, ia pun memejamkan matanya lalu menciumku. Renata menyudahinya, ia sempat tersenyum kepadaku sebelum akhirnya ia memejamkan mata untuk tidur. Mungkin ia lelah setelah menempuh beberapa jam perjalanan udara hingga ia terlelap dengan cepat, aku yang sedang menyeka rambutnya pun tidak membuatnya membuka matanya sedikitpun.
Setelah menyeka rambutnya, aku terdiam beberapa saat. Aku memandanginya yang sudah terlelap, aku takut semua ini hanya mimpi. Aku meyakinkan diriku sekali lagi bahwa semua ini adalah kenyataan yang sedang ku jalani, bukan keadaan semu seperti apa yang ingin aku khayalkan semauku.
"Aku pernah merindukanmu."
*
"Ini dia nih orang yang bikin bingung semuanya..."
Suara Ferdi menyambutku yang baru saja masuk ke dalam kedai, tentu saja semua mata tertuju padaku setelah apa yang aku lakukan kemarin. Aku berlalu menuju tempat penyimpanan tas seperti biasa.
"...kemarin kemana lu cuk, segala buru-buru lagi?" Tanya Ferdi.
Aku pun duduk di samping Ferdi, "Ada temen bokap gue kemarin dateng ke rumah, gue ngga enak mau nyuruh dia ke sini jadinya gue pulang ke rumah buru-buru."
"Temen bokap lu?" Tanya Ferdi lagi.
Aku mengangguk beberapa kali, nampaknya kebohonganku cukup masuk akal dan bisa diterima oleh mereka. Aku pun tidak bisa bercerita mengenai Renata sekalipun kepada Ferdi, nampaknya benar apa yang dikatakan oleh Renata semalam tentang tanggapan orang lain jika tau ia kembali. Aku pun meneruskan hari ini seperti biasa tanpa terlihat mencurigakan oleh mereka.
Hari terus berlanjut, aku dan Ferdi sedang berada di halaman belakang setelah aku menyelesaikan tugasku di ruang sangrai. Ku nyalakan sebatang rokok mengikuti Ferdi, lalu aku pun duduk di sampingnya.
"Eh Fer, gue mau nanya." Kataku.
Ferdi menatap ke arahku, "Tumben lu mau nanya, apaan?"
Beberapa saat aku terdiam, "Ngga jadi deh, ngga penting juga."
"Kalau ngga penting ngapain tadi nanya..." Ferdi sempat memukul pundakku, "mending sekarang gue aja deh yang ngomong sama lu, gue kepikiran terus nih."
Aku memandang heran. Ferdi menegakkan badannya, "Kemarin kan lu skesta rumah terus rumah itu jadi kedai kita, pas balik ke rumah gue bener-bener kepikiran jadinya. Gue udah bisa langsung ngebayangin gimana semisal kita beneran jadi, terus suasananya udah kebayang banget sama gue, siapa aja pelanggan-pelanggannya, bener-bener sampai sebegitunya gue ngebayanginnya."
"Jadi lu yang ngebet kayaknya, padahal kan kemarin lu bilang ntar dulu soalnya kita baru ekspansi." Kataku.
"Nah itu dia maksud gue..." Ferdi kembali memukul pundakku, "di gambar itu lu ngga pakai sugesti alam bawah sadar kan?"
"Brengs*k, biru deh nih pundak gue dipukul mulu. Ya ngga lah, lu kata gue ahli hipnotis. Tapi kalau mau ngomongin klenik sih gue ayo aja, mau ngomongin bambu petung apa gimana nih?" Kataku.
"Bajing*n, ogah amat gue ngomongin gituan." Sanggah Ferdi.
"Emang dasar penakut aja lu. Yaudah gue ceritain aja deh, jadi ternyata tempat ini ada yang nungguin Fer. Perempuan tinggi terus..."
"B*bi!..." Ferdi menutup telinganya dengan cepat, "biar mati aja dimakan belalang! Ngeselin juga lu lama-lama, gue bantai nih!"
Aku pun tertawa terbahak-bahak setelah melihat respon Ferdi yang ketakutan, tak lama berselang Bella pun mendekat ke arah kami. Tentu saja ia keheranan melihat ke arah kami, "Kalian kenapa?"
Aku menyuruh Bella untuk duduk lalu aku mulai menjelaskan apa yang terjadi. Reaksi Bella pun sama seperti apa yang Ferdi lakukan. Dengan cepat ia menutup telinga dengan kedua tangannya, "Mas Adrian kok berani sih ngomongin gituan? Kan serem tau bayanginnya."
"Emang bajing*n nih orang, jadi males buka sampai malem." Kata Ferdi.
"Ya ampun, santai aja. Selagi ngga ganggu mah dia juga ngga bakalan ganggu, yang penting jangan lupa ibadah aja." Kataku.
Tak terasa malam pun tiba, satu persatu dari kami pun pulang meninggalkan tempat ini. Tersisa aku yang masih merokok selagi memanaskan mesin Syailendra. Setelah siap pun akhirnya aku meninggalkan tempat ini. Perjalanan seperti biasa ku tempuh, hingga akhirnya ku matikan mesin Syailendra. Aku berjalan santai masuk, kemudian ku rogoh saku celana di mana aku menyimpan kunci. Aku pun masuk ke dalam dan menemukan Renata sedang duduk menonton TV.
"Eh, udah pulang ternyata." Kata Renata.
Aku pun menutup pintu lalu kembali menguncinya. Ku letakkan tasku di samping sofa, lalu aku duduk. Renata kembali dari dapur setelah membawakan air dingin untukku kemudian ia pun duduk di sampingku.
"Gimana hari ini?" Tanyanya.
Aku meneguk air dingin tersebut, "Seperti biasa aja, paling tadi ada anak-anak SMA yang agak ribut sih jadi sedikit ngeganggu yang lain. Kamu tadi ke rumah?"
"Anak SMA? Bukannya udah biasa? Ngga, besok paling aku pulang ke rumah." Kata Renata.
"Anak-anak baru, aku juga baru pertama liat mereka. Udah mereka ribut, terus..."
Aku mulai bercerita, Renata menatapku selagi aku menceritakan semuanya. Tak jarang pula ia memberikan tanggapan tentang apa yang ku ceritakan kepadanya.
"Kamu cerita kalau aku di sini lagi?" Tanya Renata.
Aku menggelengkan kepalaku, "Sekalipun ke Ferdi aku ngga cerita. Aku cuma mau ngikutin kamu aja, supaya semuanya baik-baik aja."
Renata pun tersenyum kepadaku lalu ia menyandarkan badannya kepadaku. Kami pun kembali menonton acara di TV hingga acara tersebut kembali habis. Tak disangka hujan pun turun pada malam hari ini, aku sempat melihat ke arah jendela dan ternyata hujan cukup deras.
"Adrian, takut." Kata Renata.
"Nggapapa kok. Eh iya..." aku merebahkan diri, "kamu pas di sana gimana tuh kalau ada hujan petir?"
"Aku bener-bener takut, di sana seminggu itu bisa tiga sampai empat kali malemnya hujan petir. Akhirnya aku beli earphone aja supaya..."
Renata mulai bercerita bagaimana kehidupannya di sana, mulai dari suasananya, teman-temannya, dan juga gaya hidupnya. Aku hanya mendengarkan sesekali tersenyum untuk menanggapinya. Hingga ia pun kembali terlelap dalam tidurnya meski hujan deras sedang turun di luar sana. Ting! Aku mengambil handphone milikku yang ku letakkan sedikit jauh, ku baca pesan yang baru saja masuk.
"Yi, minggu ini aku di asrama ada keperluan. Minggu depan aku pulang ke rumah, kamu jangan lupa makan. Nanti pulang dari x aku bawain oleh-oleh. Love you."
Aku pun membalas pesannya.
"Adrian..."
Aku menoleh ke arah Renata dengan cepat, ku letakkan kembali handphoneku di tempat semula. Renata mendekatkan tubuhnya lalu kembali memejamkan matanya, "Kamu abis ngapain?"
"Ada pesan masuk tadi." Jawabku singkat.
Renata tak menanggapinya, kurasa ia sudah kembali ke dalam tidurnya. Aku memandangi langit-langit ruangan ini, dengan pencahayaan seadanya dari lampu dapur, dan juga suara hujan yang terdengar. Aku kembali memikirkan apa yang sudah ku lakukan, semuanya nampak tidak jelas.
Aku tidak tau ke manakah arah yang akan ku tuju, apa yang harus aku pilih, aku tidak bisa melakukan semuanya. Harus ada yang aku pilih, aku tidak mau memperburuk keadaan sebelum semakin lama. Egois, memang. Aku tidak mau kehilangan, namun tidak untuk semuanya.
*
"Serius kamu belum pernah ke sana?" Tanyaku.
Renata menggelengkan kepalanya, "Serius Adrian, makanya aku ngajak kamu yang pasti udah pernah ke sana. Dan terlebih aku ngga pernah punya alasan buat ke sana."
Aku menganggukkan kepalaku, lalu aku mengarahkan Renata yang sedang menyetir mobilnya. Jalanan masih sangat sepi, hanya ada beberapa mobil yang melewati jalan ini. Beberapa jam berlalu, hingga akhirnya aku menyuruh Renata untuk memarkirkan mobilnya di tempat parkir yang disediakan. Kami pun keluar dari mobil dan melihat ke arah sekeliling, kemudian aku melihat ke arah Renata.
"Aku ngerti sekarang kenapa banyak orang yang mau ke sini, ternyata emang cocok banget buat liburan." Kata Renata.
Aku hanya tersenyum menanggapinya. Kami menyempatkan diri untuk sekedar melihat-lihat pemandangan sekitar, sesekali aku memfoto Renata tanpa ia ketahui. Kemudian kami sempat menyusuri perkebunan yang terhampar luas di sini. Renata tampak takjub dengan apa yang ia pandangi saat ini.
"Beneran bagus banget ini Adrian." Katanya.
Aku hanya menganggukkan kepalaku beberapa kali untuk menanggapinya. Kami pun berjalan bersama menyusuri kebun ini sambil bergandengan tangan. Ada beberapa orang juga yang sedang menikmati pemandangan kali ini, hingga Renata pun menunjuk ke arah orang-orang.
"Adrian, itu apa ya namanya?" Tanya Renata.
"Kalau yang pake parasut namanya paralayang..." aku menunjuk, "nah kalau yang satu lagi namanya gantole, atau nama kerennya paragliding. Kamu mau naik yang mana?"
Ia menatap cepat ke arahku, "Aku takut naiknya."
"Kamu naik pesawat ke Copenhagen berapa jam ngga takut, masa naik itu aja takut?" Tanyaku.
"Aku kan milih kursinya yang di tengah bukan yang deket jendela tau." Katanya.
Ku gelengkan kepalaku sambil tersenyum kepadanya, dan akhirnya Renata mau untuk menaiki paralayang. Kami pun diberikan instruksi mengenai bagaimana teknis untuk mengendalikannya, kemudian kami pun mulai menaiki paralayang.
Tentu saja apa yang pertama kali aku dengar adalah teriakan Renata. Ia berteriak nyaring sekali hingga aku pun dapat mendengarnya dengan jelas, aku hanya bisa tertawa melihatnya. Beberapa menit kami mengudara, akhirnya kami pun kembali ke titik awal di mana kami mulai penelusuran kebun.
Aku sudah selesai membuka pengaman yang terpasang di tubuhku, kemudian aku berlalu menuju Renata untuk membantunya melepas pengaman tersebut.
"Gimana?" Tanyaku singkat.
"Awalnya takut sih apalagi pas tadi ada angin kenceng..." Renata memegang pundakku, "tapi setelahnya aman, dan ternyata bagus banget pemadangan dari atas sana."
Aku tersenyum menanggapinya. Setelah itu, kami pun kembali berjalan-jalan di sekitaran kebun. Renata kembali menunjuk, aku pun kembali melihat apa yang ia tunjuk. Ada sekumpulan kuda-kuda yang berdiri berjajar, Renata pun menarik tanganku untuk menuju ke sana.
"Kamu bisa naik kuda?" Tanya Renata.
Aku menganggukkan kepalaku, kemudian aku dibantu oleh pawang kuda menaiki kuda tersebut. Beberapa meter aku mulai menunggangi kuda sendirian, lalu aku kembali ke tempat Renata berada. Aku pun turun dari kuda tersebut, "Kamu mau naik? Biar aku pegangin dari depan."
"Aku heran deh. Kayaknya semuanya kamu bisa, apa yang kamu ngga bisa?" Tanya Renata.
"Berenang." Jawabku singkat.
Renata mulai naik ke atas kuda secara perlahan, aku pun memegang tali pengaman pada kuda tersebut dan akhirnya kami pun berjalan pelan. Suara tapal kuda beradu dengan bebatuan yang membuat suaranya terdengar cukup nyaring, sesekali aku dan Renata saling beradu pandang dan melempar senyum.
Beberapa menit berlalu dan terasa cukup, akhirnya Renata pun turun dari atas kuda sambil memegang tanganku. Kami sempat bersenda gurau bersama dengan kuda hingga kami sempat berfoto dengan kuda tersebut.
Sore pun tiba, aku dan Renata sedang melihat pemandangan dari sebuah tempat makan. Renata masih tidak melepas pandangannya, bahkan ia kembali tersenyum hanya karena melihat pemandangan tersebut.
"Kamu kayaknya bahagia banget Ren." Kataku.
Ia pun memandang ke arahku, "Iya, aku seneng banget akhirnya bisa ke sini. Padahal dari dulu udah sering diajakin cuma ngga pernah mau, ternyata aku baru tau sebagus ini tempatnya."
Aku mengangguk, kemudian aku menuju kamar mandi dengan urusanku. Sekembalinya dari kamar mandi, aku kembali duduk di samping Renata.
"Adrian..."
Aku pun menatapnya setelah ia memanggil namaku.
"...kamu udah punya pacar?"
***
Aku masih terdiam tanpa menggerakkan badan, mataku masih terpaku kepadanya sementara ia melempar senyum kepadaku. Renata kembali, entah dari mana. Ia berjalan mendekat lalu memelukku, lagi-lagi aku hanya bisa terdiam.
Teringat tentang pesan yang ku terima tadi saat masih di kedai, aku benar-benar terhipnotis untuk langsung menghampirinya tanpa tau apakah benar tentang pesan tersebut atau hanya jebakan belaka. Namun kenyataan berkata benar, wanita yang sedang memelukku benar adalah Renata.
"I miss you." Katanya pelan.
Renata, wanita yang pernah mengisi hari-hariku entah berapa lama. Renata, wanita yang mengajarkanku tentang hal yang tidak pernah ku alami, dan Renata, wanita yang pergi meninggalkanku begitu saja tanpa ada kabar lalu kembali lagi seperti tidak ada apa-apa.
Meskipun begitu, aku tetap saja menemuinya. Entah seperti tidak ada apa-apa sebelumnya, aku tetap saja mendekapnya dalam pelukku. Sesekali aku membelai rambutnya yang masih panjang seperti kala itu.
Malam semakin menggagahkan raganya, kami berdua masih berada di dalam taksi menembus kemacetan. Renata menyandarkan kepalanya di dadaku, ia menggenggam kedua tanganku tanpa jeda sedari kami menunggu taksi hingga saat ini. Aku memandanginya dalam diam, sesekali ia bermain dengan jari-jari tanganku entah apa maksudnya.
Dan akhirnya kami pun tiba di apartemen Renata. Aku menuju bagasi untuk membawakan koper miliknya sementara Renata membayar taksi tersebut. Ku bawa kopernya di tangan kiriku sementara ia menggandeng tangan kananku. Setelah membuka kunci pintu, kami pun masuk ke dalam.
Masih sama, mungkin itu yang bisa ku ungkapkan ketika masuk ke dalam. Tidak ada sedikitpun yang berubah, baik tata letak barang-barangnya, termasuk juga Renata. Aku membawa koper itu ke samping sofa bed, lalu aku duduk di sampingnya. Renata kembali memelukku, kali ini lebih erat.
"Did you ever miss me?" Tanya Renata.
Aku memilih diam dan tidak menjawab pertanyaannya. Renata memainkan jari-jarinya di dadaku seperti sedang menabuh drum dengan ketukan, aku hanya bisa melihatnya saja.
"Sebenernya, aku bisa aja ngabarin kamu dari sana. Aku tinggal beli kartu terus ngabarin kamu, atau aku bisa pakai telepon yang ada di sana, tapi aku milih untuk ngga ngabarin kamu..."
Aku masih terdiam.
"...Aku terlalu takut untuk ngabarin kamu, terlebih setelah aku pergi gitu aja. Rasanya aku takut, takut untuk permainin kamu dengan sengaja. Dan aku pun takut kalau pandangan kamu akan berubah setelah itu, tapi mau bagaimanapun aku akan tetap salah..."
Beberapa kali aku mengatur nafasku.
"...Dan sekarang aku kembali ke sini, dengan tanpa rasa berdosa ngabarin kamu, dan kamu dateng kayak ngga pernah terjadi apa-apa beberapa tahun belakangan. Adrian, aku minta maaf." Jelasnya.
Renata pun terdiam setelah menjelaskan semuanya, hanya jari-jemarinya yang masih bermain di dadaku meskipun temponya melambat. Beberapa kali aku menghembuskan nafas, kemudian aku mengajaknya untuk bangun dari duduk. Aku menggandeng tangannya lalu mengajaknya untuk keluar dari kamar.
"Adrian, kita mau ke mana?" Tanya Renata heran.
Aku diam tanpa menjawab pertanyaannya, kemudian kami masuk ke dalam lift untuk turun ke lantai bawah. Renata hanya bisa mengikuti ke mana aku membawanya, hingga kami masuk ke dalam tempat perbelanjaan. Aku membawa keranjang belanja, ku ambil beberapa barang lalu ku masukkan ke dalam keranjang tersebut. Setelah membayar, kami pun kembali ke kamar apartemen.
Aku berlalu menuju dapur dan mempersiapkan barang-barang yang sudah kami beli, "Masih suka makan udang kan?"
Renata mendekat ke arahku, "Masih kok. Kamu mau masak apa?"
Aku kembali tidak menjawab pertanyaannya. Langkah demi langkah mulai ku kerjakan, Renata hanya melihatku karena aku sengaja tidak memperbolehkannya untuk membantuku. Beberapa menit berlalu, akhirnya aku menyajikan makanan di piring, lalu ku berikan kepada Renata.
"Buat aku?" Tanya Renata.
Aku mengangguk, lalu aku berlalu untuk membersihkan alat-alat yang akan ku bersihkan di tempat cuci. Setelah selesai aku kembali menghadap ke arah Renata. Ia masih saja diam dan belum mulai makan, "Kamu ngga suka sama makanannya?"
Ia menepuk kursi yang ada di sampingnya beberapa kali, aku pun duduk di sampingnya. Ia mendekatkan makanan itu kepadaku, "Ayo makan sama-sama."
Aku pun menyetujuinya dengan menganggukkan kepala beberapa kali. Kami pun berdo'a dengan kepercayaan masing-masing, setelah itu kami mulai makan bersama-sama. Suapan demi suapan kami lakukan, sesekali Renata menyuapiku. Akhirnya makanan pun habis, aku pun membawa piring tersebut untuk ku cuci.
Setelah itu aku kembali ke sofa, Renata pun kembali dengan membawakan sebotol bir dan gelas berisi wine. Ku nyalakan sebatang rokok, cting!gelasnya beradu dengan botol yang ku pegang. Beberapa tegukan berlalu, ku letakkan kembali botol tersebut di atas meja. Renata mulai menyalakan TV dan memilih siaran, kemudian ia menyandarkan badannya kepadaku.
"Gimana keadaan di kedai?" Tanya Renata.
"Baru aja ekspansi ke samping, ada Astri yang jadi helper baru, Bella akhirnya jadi Head Bar gantiin aku." Jawabku.
Renata mengangguk dan tetap menonton acara di TV. Kami terdiam sambil tetap menonton, sesekali kami pun tertawa karena acara tersebut, hingga akhirnya acara tersebut habis. Malam semakin larut, kami pun sudah merubah posisi kami menjadi berbaring menatap satu sama lain. Renata meletakkan telapak tangannya di pipiku, kemudian ia tersenyum.
"Besok kamu mau ikut ke kedai?" Tanyaku.
Ia menggelengkan kepalanya pelan, "Aku belum siap setelah semuanya terjadi. Aku terlalu takut sama tanggapan temen-temen kamu soal aku, jadi mungkin aku ngga akan ke sana."
Aku mengangguk pelan. Renata mendekatkan wajahnya hingga membuatku bisa menatap matanya jauh lebih jelas, ia pun memejamkan matanya lalu menciumku. Renata menyudahinya, ia sempat tersenyum kepadaku sebelum akhirnya ia memejamkan mata untuk tidur. Mungkin ia lelah setelah menempuh beberapa jam perjalanan udara hingga ia terlelap dengan cepat, aku yang sedang menyeka rambutnya pun tidak membuatnya membuka matanya sedikitpun.
Setelah menyeka rambutnya, aku terdiam beberapa saat. Aku memandanginya yang sudah terlelap, aku takut semua ini hanya mimpi. Aku meyakinkan diriku sekali lagi bahwa semua ini adalah kenyataan yang sedang ku jalani, bukan keadaan semu seperti apa yang ingin aku khayalkan semauku.
"Aku pernah merindukanmu."
*
"Ini dia nih orang yang bikin bingung semuanya..."
Suara Ferdi menyambutku yang baru saja masuk ke dalam kedai, tentu saja semua mata tertuju padaku setelah apa yang aku lakukan kemarin. Aku berlalu menuju tempat penyimpanan tas seperti biasa.
"...kemarin kemana lu cuk, segala buru-buru lagi?" Tanya Ferdi.
Aku pun duduk di samping Ferdi, "Ada temen bokap gue kemarin dateng ke rumah, gue ngga enak mau nyuruh dia ke sini jadinya gue pulang ke rumah buru-buru."
"Temen bokap lu?" Tanya Ferdi lagi.
Aku mengangguk beberapa kali, nampaknya kebohonganku cukup masuk akal dan bisa diterima oleh mereka. Aku pun tidak bisa bercerita mengenai Renata sekalipun kepada Ferdi, nampaknya benar apa yang dikatakan oleh Renata semalam tentang tanggapan orang lain jika tau ia kembali. Aku pun meneruskan hari ini seperti biasa tanpa terlihat mencurigakan oleh mereka.
Hari terus berlanjut, aku dan Ferdi sedang berada di halaman belakang setelah aku menyelesaikan tugasku di ruang sangrai. Ku nyalakan sebatang rokok mengikuti Ferdi, lalu aku pun duduk di sampingnya.
"Eh Fer, gue mau nanya." Kataku.
Ferdi menatap ke arahku, "Tumben lu mau nanya, apaan?"
Beberapa saat aku terdiam, "Ngga jadi deh, ngga penting juga."
"Kalau ngga penting ngapain tadi nanya..." Ferdi sempat memukul pundakku, "mending sekarang gue aja deh yang ngomong sama lu, gue kepikiran terus nih."
Aku memandang heran. Ferdi menegakkan badannya, "Kemarin kan lu skesta rumah terus rumah itu jadi kedai kita, pas balik ke rumah gue bener-bener kepikiran jadinya. Gue udah bisa langsung ngebayangin gimana semisal kita beneran jadi, terus suasananya udah kebayang banget sama gue, siapa aja pelanggan-pelanggannya, bener-bener sampai sebegitunya gue ngebayanginnya."
"Jadi lu yang ngebet kayaknya, padahal kan kemarin lu bilang ntar dulu soalnya kita baru ekspansi." Kataku.
"Nah itu dia maksud gue..." Ferdi kembali memukul pundakku, "di gambar itu lu ngga pakai sugesti alam bawah sadar kan?"
"Brengs*k, biru deh nih pundak gue dipukul mulu. Ya ngga lah, lu kata gue ahli hipnotis. Tapi kalau mau ngomongin klenik sih gue ayo aja, mau ngomongin bambu petung apa gimana nih?" Kataku.
"Bajing*n, ogah amat gue ngomongin gituan." Sanggah Ferdi.
"Emang dasar penakut aja lu. Yaudah gue ceritain aja deh, jadi ternyata tempat ini ada yang nungguin Fer. Perempuan tinggi terus..."
"B*bi!..." Ferdi menutup telinganya dengan cepat, "biar mati aja dimakan belalang! Ngeselin juga lu lama-lama, gue bantai nih!"
Aku pun tertawa terbahak-bahak setelah melihat respon Ferdi yang ketakutan, tak lama berselang Bella pun mendekat ke arah kami. Tentu saja ia keheranan melihat ke arah kami, "Kalian kenapa?"
Aku menyuruh Bella untuk duduk lalu aku mulai menjelaskan apa yang terjadi. Reaksi Bella pun sama seperti apa yang Ferdi lakukan. Dengan cepat ia menutup telinga dengan kedua tangannya, "Mas Adrian kok berani sih ngomongin gituan? Kan serem tau bayanginnya."
"Emang bajing*n nih orang, jadi males buka sampai malem." Kata Ferdi.
"Ya ampun, santai aja. Selagi ngga ganggu mah dia juga ngga bakalan ganggu, yang penting jangan lupa ibadah aja." Kataku.
Tak terasa malam pun tiba, satu persatu dari kami pun pulang meninggalkan tempat ini. Tersisa aku yang masih merokok selagi memanaskan mesin Syailendra. Setelah siap pun akhirnya aku meninggalkan tempat ini. Perjalanan seperti biasa ku tempuh, hingga akhirnya ku matikan mesin Syailendra. Aku berjalan santai masuk, kemudian ku rogoh saku celana di mana aku menyimpan kunci. Aku pun masuk ke dalam dan menemukan Renata sedang duduk menonton TV.
"Eh, udah pulang ternyata." Kata Renata.
Aku pun menutup pintu lalu kembali menguncinya. Ku letakkan tasku di samping sofa, lalu aku duduk. Renata kembali dari dapur setelah membawakan air dingin untukku kemudian ia pun duduk di sampingku.
"Gimana hari ini?" Tanyanya.
Aku meneguk air dingin tersebut, "Seperti biasa aja, paling tadi ada anak-anak SMA yang agak ribut sih jadi sedikit ngeganggu yang lain. Kamu tadi ke rumah?"
"Anak SMA? Bukannya udah biasa? Ngga, besok paling aku pulang ke rumah." Kata Renata.
"Anak-anak baru, aku juga baru pertama liat mereka. Udah mereka ribut, terus..."
Aku mulai bercerita, Renata menatapku selagi aku menceritakan semuanya. Tak jarang pula ia memberikan tanggapan tentang apa yang ku ceritakan kepadanya.
"Kamu cerita kalau aku di sini lagi?" Tanya Renata.
Aku menggelengkan kepalaku, "Sekalipun ke Ferdi aku ngga cerita. Aku cuma mau ngikutin kamu aja, supaya semuanya baik-baik aja."
Renata pun tersenyum kepadaku lalu ia menyandarkan badannya kepadaku. Kami pun kembali menonton acara di TV hingga acara tersebut kembali habis. Tak disangka hujan pun turun pada malam hari ini, aku sempat melihat ke arah jendela dan ternyata hujan cukup deras.
"Adrian, takut." Kata Renata.
"Nggapapa kok. Eh iya..." aku merebahkan diri, "kamu pas di sana gimana tuh kalau ada hujan petir?"
"Aku bener-bener takut, di sana seminggu itu bisa tiga sampai empat kali malemnya hujan petir. Akhirnya aku beli earphone aja supaya..."
Renata mulai bercerita bagaimana kehidupannya di sana, mulai dari suasananya, teman-temannya, dan juga gaya hidupnya. Aku hanya mendengarkan sesekali tersenyum untuk menanggapinya. Hingga ia pun kembali terlelap dalam tidurnya meski hujan deras sedang turun di luar sana. Ting! Aku mengambil handphone milikku yang ku letakkan sedikit jauh, ku baca pesan yang baru saja masuk.
"Yi, minggu ini aku di asrama ada keperluan. Minggu depan aku pulang ke rumah, kamu jangan lupa makan. Nanti pulang dari x aku bawain oleh-oleh. Love you."
Aku pun membalas pesannya.
"Adrian..."
Aku menoleh ke arah Renata dengan cepat, ku letakkan kembali handphoneku di tempat semula. Renata mendekatkan tubuhnya lalu kembali memejamkan matanya, "Kamu abis ngapain?"
"Ada pesan masuk tadi." Jawabku singkat.
Renata tak menanggapinya, kurasa ia sudah kembali ke dalam tidurnya. Aku memandangi langit-langit ruangan ini, dengan pencahayaan seadanya dari lampu dapur, dan juga suara hujan yang terdengar. Aku kembali memikirkan apa yang sudah ku lakukan, semuanya nampak tidak jelas.
Aku tidak tau ke manakah arah yang akan ku tuju, apa yang harus aku pilih, aku tidak bisa melakukan semuanya. Harus ada yang aku pilih, aku tidak mau memperburuk keadaan sebelum semakin lama. Egois, memang. Aku tidak mau kehilangan, namun tidak untuk semuanya.
*
"Serius kamu belum pernah ke sana?" Tanyaku.
Renata menggelengkan kepalanya, "Serius Adrian, makanya aku ngajak kamu yang pasti udah pernah ke sana. Dan terlebih aku ngga pernah punya alasan buat ke sana."
Aku menganggukkan kepalaku, lalu aku mengarahkan Renata yang sedang menyetir mobilnya. Jalanan masih sangat sepi, hanya ada beberapa mobil yang melewati jalan ini. Beberapa jam berlalu, hingga akhirnya aku menyuruh Renata untuk memarkirkan mobilnya di tempat parkir yang disediakan. Kami pun keluar dari mobil dan melihat ke arah sekeliling, kemudian aku melihat ke arah Renata.
"Aku ngerti sekarang kenapa banyak orang yang mau ke sini, ternyata emang cocok banget buat liburan." Kata Renata.
Aku hanya tersenyum menanggapinya. Kami menyempatkan diri untuk sekedar melihat-lihat pemandangan sekitar, sesekali aku memfoto Renata tanpa ia ketahui. Kemudian kami sempat menyusuri perkebunan yang terhampar luas di sini. Renata tampak takjub dengan apa yang ia pandangi saat ini.
"Beneran bagus banget ini Adrian." Katanya.
Aku hanya menganggukkan kepalaku beberapa kali untuk menanggapinya. Kami pun berjalan bersama menyusuri kebun ini sambil bergandengan tangan. Ada beberapa orang juga yang sedang menikmati pemandangan kali ini, hingga Renata pun menunjuk ke arah orang-orang.
"Adrian, itu apa ya namanya?" Tanya Renata.
"Kalau yang pake parasut namanya paralayang..." aku menunjuk, "nah kalau yang satu lagi namanya gantole, atau nama kerennya paragliding. Kamu mau naik yang mana?"
Ia menatap cepat ke arahku, "Aku takut naiknya."
"Kamu naik pesawat ke Copenhagen berapa jam ngga takut, masa naik itu aja takut?" Tanyaku.
"Aku kan milih kursinya yang di tengah bukan yang deket jendela tau." Katanya.
Ku gelengkan kepalaku sambil tersenyum kepadanya, dan akhirnya Renata mau untuk menaiki paralayang. Kami pun diberikan instruksi mengenai bagaimana teknis untuk mengendalikannya, kemudian kami pun mulai menaiki paralayang.
Tentu saja apa yang pertama kali aku dengar adalah teriakan Renata. Ia berteriak nyaring sekali hingga aku pun dapat mendengarnya dengan jelas, aku hanya bisa tertawa melihatnya. Beberapa menit kami mengudara, akhirnya kami pun kembali ke titik awal di mana kami mulai penelusuran kebun.
Aku sudah selesai membuka pengaman yang terpasang di tubuhku, kemudian aku berlalu menuju Renata untuk membantunya melepas pengaman tersebut.
"Gimana?" Tanyaku singkat.
"Awalnya takut sih apalagi pas tadi ada angin kenceng..." Renata memegang pundakku, "tapi setelahnya aman, dan ternyata bagus banget pemadangan dari atas sana."
Aku tersenyum menanggapinya. Setelah itu, kami pun kembali berjalan-jalan di sekitaran kebun. Renata kembali menunjuk, aku pun kembali melihat apa yang ia tunjuk. Ada sekumpulan kuda-kuda yang berdiri berjajar, Renata pun menarik tanganku untuk menuju ke sana.
"Kamu bisa naik kuda?" Tanya Renata.
Aku menganggukkan kepalaku, kemudian aku dibantu oleh pawang kuda menaiki kuda tersebut. Beberapa meter aku mulai menunggangi kuda sendirian, lalu aku kembali ke tempat Renata berada. Aku pun turun dari kuda tersebut, "Kamu mau naik? Biar aku pegangin dari depan."
"Aku heran deh. Kayaknya semuanya kamu bisa, apa yang kamu ngga bisa?" Tanya Renata.
"Berenang." Jawabku singkat.
Renata mulai naik ke atas kuda secara perlahan, aku pun memegang tali pengaman pada kuda tersebut dan akhirnya kami pun berjalan pelan. Suara tapal kuda beradu dengan bebatuan yang membuat suaranya terdengar cukup nyaring, sesekali aku dan Renata saling beradu pandang dan melempar senyum.
Beberapa menit berlalu dan terasa cukup, akhirnya Renata pun turun dari atas kuda sambil memegang tanganku. Kami sempat bersenda gurau bersama dengan kuda hingga kami sempat berfoto dengan kuda tersebut.
Sore pun tiba, aku dan Renata sedang melihat pemandangan dari sebuah tempat makan. Renata masih tidak melepas pandangannya, bahkan ia kembali tersenyum hanya karena melihat pemandangan tersebut.
"Kamu kayaknya bahagia banget Ren." Kataku.
Ia pun memandang ke arahku, "Iya, aku seneng banget akhirnya bisa ke sini. Padahal dari dulu udah sering diajakin cuma ngga pernah mau, ternyata aku baru tau sebagus ini tempatnya."
Aku mengangguk, kemudian aku menuju kamar mandi dengan urusanku. Sekembalinya dari kamar mandi, aku kembali duduk di samping Renata.
"Adrian..."
Aku pun menatapnya setelah ia memanggil namaku.
"...kamu udah punya pacar?"
***
oktavp dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas
Tutup