Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

Š 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

wiwinindah10Avatar border
TS
wiwinindah10
Bakso Ular #4


🐍🐍🐍

Saking jengkelnya, aku melangkah tanpa sadar hingga menubruk seseorang.

“Aw!” Aku mengerang kesakitan. Betapa tidak, aku menubruk hingga terpental ke belakang.

“Ma-maaf, Mbak.”

“Makanya! Kalau jalan itu, li-at li-at dong,” ucapku memelan tatkala melihat seseorang yang telah menubrukku. Mas Ganteng ... seketika aku tidak jadi marah.

“Iya, Mbak. Maaf, ya. Saya gak sengaja,” ucapnya merasa bersalah. Lalu membantuku untuk berdiri.

“Hehehe ... gak apa-apa, Mas. Ditubruk lagi juga aku mau, kok,” jawabku malu-malu. Seraya tersenyum manis padanya. Aih! Kumat lagi.
Pria di hadapanku itu hanya menggeleng, bisa kulihat senyum tercetak di bibir tipisnya.

“Ekhemmm!” Suara seseorang berdehem membuat kami terkejut. Ternyata Bang Kumis. Ia tengah memandang kami dengan tatapan tidak suka, sangat jelas dari raut wajahnya yang angker itu.

Aku memutar bola mata malas, lalu pergi meninggalkan mereka.

“Ayo, Mbak. Kita pergi saja,” ucapku pada Mbak Sarah saat sudah sampai di meja tempat kita makan tadi.

“Iya, tunggu. Bayar dulu dong, maen pergi aja.”

“Gak usahlah. Aku, kan, gak jadi makan. Udah, ayo!” ajaku pada Mbak Sarah yang tengah menyeruput es jeruk pesanannya.

“Serius, nih?”

“Iya, Mbak. Udah buru.” Mbak Sarah mengangguk pasrah, lalu membuntutiku pergi dari warung ini.

“Gimana tadi, Pen? Nemu petunjuk, gak?” tanyanya sembari mensejajarkan langkahnya denganku. Terdengar suara napasnya yang tersengal-sengal, karena mengejarku.

“Belumlah, lagian Mbak gak ngasih tahu kalau Bang Kumis masuk, sih? SMS atau telepon, kek, jadi gagal, deh. Padahal sedikit lagi aku bisa tahu sesuatu,” ujarku menyalahkan ibu dua anak itu.

“Maaf, Mbak juga gak ngeh, kalau dia masuk,” elaknya sembari meringis.

“Tapi aku makin yakin kalau hilangnya Gita memang ada hubungannya sama Bang Kumis!” jelasku.

“Apa yang membuatmu sangat yakin?”

“Nanti malam Mbak ke kontrakanku, ya? Kita bicarakan masalah ini.” Seketika ia mengangguk, kemudian kami kembali ke pabrik.

Adzan magrib. Sebagai seorang muslim aku tak lupa dan tak akan pernah lupa akan kewajibanku kepada Sang Pemberi napas.

Walau sifatku yang suka jahil dan slengek-an, tapi kewajiban kepada Allah tak akan kusia-siakan. Itulah pesan Ibu yang akan selalu kuingat.

“Allaahu Akbar ....” Aku memulai rakaat pertama. Hingga rukuk dan sujud dua kali, sampai kembali berdiri.

Masuk rakaat kedua, entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang aneh. Merinding, dan Sholatku jadi tak khusyuk.

Rukuk. Aku mendengar suara desisan yang sangat dekat hingga jantungku terasa berdebar.

Sholatku semakin tak fokus, rasa takut begitu menyerang. Namun, sebisa mungkin berusaha tak memperdulikan itu. Terus melanjutkan sholat walau kaki terasa dingin dan gemetar. Ampuni aku ya Allah, betapa sangat tipis imanku. Hingga rasa takut ini lebih besar dari rasa percayaku kepada-Mu ...

Astaghfirllahal’adzim ....

Aku terus memohon ampun pada Allah. Hingga setelah salam terakhir, suara itu menghilang bersama rasa takut yang sedari tadi menyelimuti.

Aku mengedarkan pandang ke setiap sudut kamar. “Alhamdulillah,” ucapku lirih. Kemudian menyempatkan berzikir dan membaca Al-qur’an. Tak lupa mendoakan sahabatku yang sampai sekarang belum juga ditemukan.

Baru saja membaca basmallah, tiba-tiba kudengar suara tangisan.
Jantung kembali berdebar, siapa yang nangis maghrib-maghrib gini?
Apa tetangga kontrakan? Lagi, aku dibuat takut. Suara tangisannya semakin keras dan semakin jelas.

Aku meletakkan Al-qur’an, berdiri dan melepas mukena. Lalu melangkah menuju ruang depan. Kontrakanku berukuran 3x6 meter³, terdiri dari tiga petak. Ruang depan, ruang tengah kamar, di belakang dapur dan kamar mandi.

Perlahan membuka pintu, mendengarkan dengan saksama tangisan yang entah siapa pemilik suara itu. Saat sudah di tengah ruangan, bulu kudukku semakin merinding hebat. Suaranya seperti di luar kontrakan, aku berniat membuka horden terlebih dulu.

Mengecek, takut-takut itu bukan manusia, ‘kan?

Saat kubuka sedikit tirainya, seseorang tengah duduk sendiri mendekap lutut. Wajahnya menunduk, terlihat punggungnya berguncang-guncang bersama dengan suara tangisannya yang sangat memilukan.

Aku tak bisa mengenali wajahnya, tapi sepertinya dia tidak asing dalam penglihatanku. Gita? Ya, itu Gita!

Tanpa pikir panjang aku membuka pintu, menghambur dan memeluknya. Rasa rindu begitu menggebu, lalu menyuruhnya masuk. Namun, Gita hanya diam dan menunduk. Ia seperti ketakutan, mungkin dia mengalami banyak masalah.

“Gita, kamu dari mana? Kau baik-baik saja, ‘kan?” Aku menuntunnya untuk duduk.

Tubuhnya terasa dingin, mungkin dia memang kedinginan karena beberapa hari entah tidur di mana. Biarlah nanti kutanyakan semua, yang penting dia sudah pulang. Aku sangat bersyukur.

Aku ke belakang mengambilkan teh hangat untuknya, supaya tubuhnya kembali segar. Tak lupa kusiapkan makanan yang tadi sore kubeli untuk makan malam, nanti aku bisa beli lagi. Pasti Gita lapar.
Saat aku kembali, betapa terkejutnya mendapati Gita tidak ada di sana. Ke mana dia?

“Gita!” seruku. Sembari meletakan piring dan gelas di meja. Lalu segera mencari keluar.

“Gitaaa ...!” teriakku lagi. Kali ini aku lemas, perasaan pun lebih hancur dari sebelumnya. Mondar-mandir sambil terus berteriak memanggilnya.

Namun, tak kudapati dirinya. Kujatuhkan tubuh ini bersama tangisan yang tak mampu kubendung. Apakah tadi itu perasaan saja? Tidak mungkin, jelas sekali itu Gita, tapi mengapa dia datang dan pergi begitu saja, seolah hanya ingin memberi pesan.

Tiba-tiba pikiranku kalut, hingga merasa Gita seperti arwah gentayangan.

“A-apakah Gi-gita sudah meninggal? Ti-tidak mungkin, itu tidak mungkin! Gitaaa!”
Aku menangis meraung-raung bagai kehilangan sesuatu yang sangat berarti dalam hidupku.

Beberapa orang berdatangan, mungkin mereka merasa terganggu dengan teriakanku.

“Mbak Peni kenapa nangis?” Salah seorang tetanggaku bertanya. Aku hanya terus menangis tanpa menjawabnya.

“Mbak Peni, kok, panggil-panggil Mbak Gita? Memang Mbak Gita ke mana? Aku perhatiin juga sudah berapa hari gak lihat Mbak Gita.”

Lagi, salah satu tetanggaku yang lain bertanya. Kali ini membuat tangisanku semakin keras, lalu kurasakan tubuh ini sangat lemas, kepala terasa berat dan tiba-tiba gelap. Aku tak sadarkan diri.
***

Bau minyak angin menusuk rongga hidung, terdengar suara seseorang memanggil. Aku mencoba membuka mata, terlihat beberapa orang berkumpul. Mbak Sarah dan Alya juga ada di sini.

“Pen, kamu udah sadar?” ucap Mbak Sarah. Aku hanya mengangguk pelan, kepalaku terasa pusing.

“Alhamdulillah,” ucap beberapa orang.

“Ya sudah kami pulang dulu, ya, Mbak. Cepet sembuh dan yang sabar. Mudah-mudahan Mbak Gita cepet ketemu,” ucap ibu-ibu yang mengenakan daster itu.

“Amin. Makasih, ya, Bu?” ucapku pelan. Lalu bangun dan duduk.

“Sama-sama. Ya sudah, kami pulang, ya? Assalamualaikum,” ucapnya. Serempak kami menjawab, “wa’alaikumsalam.” Lalu mereka pergi. Hanya Mbak Sarah dan Alya yang kini menemaniku.

“Mereka sudah tahu kalau Gita hilang, Mbak?” tanyaku pelan sembari memijat pelipsku yang terasa pusing.

“Iya, Pen. Habisnya mereka kepo banget, ya sudah aku kasih tahu.”

“Aku juga sudah tahu, saat aku ketemu kamu tadi siang.” Alya ikut menimpali.
“Maksud kamu?” Aku mengernyitkan dahi. Tak tahu maksud Alya.

“Aku tahu kalau sesuatu terjadi sama Gita, tapi kamu menutupinya dariku. Jadi aku pura-pura gak tahu,” terangnya lagi. Aku masih tak tahu maksud Alya, Mbak Sarah melirikku sebentar. Ia juga terlihat bingung. Terdengar helaan napas dari Alya.

“Sebenarnya aku pernah sekali mampir ke warung Bang Kumis, tapi ... pas aku lihat di grobaknya. Ada banyak ular hidup bersama tumpukan bakso, seperti ... ular yang sedang mengerami telur-telurnya.” Aku terkejut mendengar penuturan Alya, seketika membuatku mual. Mbak Sarah juga terlihat bergidik.

“Serius, Al? Maksudnya, kamu bisa melihat hal ghaib? Atau mungkin itu perasaanmu saja,” ucapku masih tak percaya.

“Jika yang lain gak bisa melihatnya, kenapa aku melihat ular-ular itu? Aku memang bisa melihat hal ghaib, Bang Kumis pakai pesugihan ular, Pen. Dan Gita—“ Ucapannya terpotong. Seakan ragu mengucapkan tentang Gita.

“Gita kenapa, Al? Katakan padaku?” tanyaku penasaran.

“A-aku gak bisa memastikan benar atau tidak, karena aku hanya melihat sekilas bayangan saja. Dan itu pun membuat tubuhku hampir lemas, kekuatan besar menghalangi penglihatan mata batinku. Yang jelas Gita memang mengalami bahaya besar di sana ....” Bagai disambar petir, tak percaya dengan apa yang dikatakan Alya. Tak terasa air mataku menetes.

“Pantas saja Gita datang dalam mimpiku dan meminta tolong agar aku membunuh ular. Ternyata ular itu milik Bang Kumis? Aku yang tidak tahu hanya bisa memikrirkan tanpa
berbuat apa pun, dan tadi ... aku bertemu Gita, dia di situ lagi nangis,” ucapku sembari menunjuk ke arah luar depan pintu.

“Tapi, saat aku mengambil makan dan minum untuknya. Dia sudah gak ada pas aku balik lagi, makanya aku teriak-teriak panggil dia. Apa Gita dijadikan tumbal?” Mbak Sarah mencoba menenangkan aku.

“Entah, Pen. Awalnya aku gak mau ikut campur dengan urusan Bang Kumis, tapi saat aku tiba-tiba mendapat firasat tentang Gita dan kamu. Aku harus memberi tahu ini semua,” jelasnya lagi.

“Kenapa kamu gak kasih tahu dari awal?” tanya Mbak Sarah ikut menimpali.

“Aku gak tahu dari awal, Mbak. Aku dapat firasat saat aku ketemu Peni tadi siang, bayangan Gita tiba-tiba saja muncul. Bahkan ... Peni juga dalam bahaya,” ucapnya lirih.
“A-apa maksudmu, Al?”

“Iya, Pen. Kamu juga sudah diincar ular itu, mereka tidak akan membiarkan seseorang mengganggu urusannya.” Ucapan Alya seketika membuatku emosi.

Kedua tanganku mengepal dengan sempurna, menggenggam amarah yang sangat besar. Bagai gunung merapi yang siap memuntahkan laharnya. Aku berdiri dengan tatapan nyalang, hanya Bang Kumis yang ada dalam otakku. Ingin sekali aku membunuhnya!

Tanpa pikir panjang aku berlari ke luar, menuju rumahnya. Dua orang temanku mengejar.
“Peni, tunggu, Pen! Kamu mau ke mana?” Mbak Sarah berteriak memanggilku.

Aku tak menghiraukan mereka, tujuanku hanya ingin melabrak manusia keji itu. Bahkan aku tak peduli dengan rasa nyeri di kaki karena berlari tidak memakai sendal. Emosiku sudah memuncak.

“Peni! Kamu jangan gegabah! Dia bukan orang sembarangan!” seru Alya. Lagi, aku tak perduli. Terus berlari menyusuri setiap gang hingga sampai ke rumah iblis itu.

“Bang Kumis! Keluar kau manusia iblis! Keluar! Aku akan membunuhmu!” Aku teriak-teriak bagai kesetanan. Menggebrak-nggebrak pintu rumahnya agar dia segera keluar.

“Peni, ayo kita pulang saja. Jangan seperti ini, ini sangat berbahaya. Ayo, Pen ... ayoo!.” Mbak Sarah dan Alya menarik-narik tanganku.

“Lepasin! Aku harus selesaikan ini semua! Biarkan aku menghajarnya!” Tanpa memikirkan apa pun, yang aku inginkan hanya menuntaskan amarah ini.

Tak lama pintu terbuka. Seorang laki-laki berKumis tebal, berdiri di tengah pintu dengan wajah khasnya yang angker itu.

“Kamu lagi! Mau apa kamu!?” tanya pria keji itu dengan kedua matanya yang melotot.

“Dasar manusia iblis! Cepat katakan di mana anda sembunyikan temanku! Akan kubuat Anda menyesal jika sesuatu terjadi padanya!” Aku teriak-teriak bagai orang tidak waras. Mbak Sarah dan Alya masih memegangiku.

“Dasar bocah! Jangan sok kuat, kau pikir kau siapa bisa membuatku menyesal, hah!?” bentaknya tak mau kalah.

“Lihat saja! Aku pasti akan menemukan temanku dan membunuhmu!” Tiba-tiba Bu Ningsih menyerobot keluar.

“Percuma saja kamu mencari temanmu! Dia sudah mati! Hihihihi ....” Aku tercengang mendengar penuturannya. Entah kenapa aku percaya dengan ucapan wanita gila itu.

“Sudah sana pergi! Mengganggu saja!” ucap Bang Kumis, sebelum akhirnya menarik paksa istrinya dan menutup pintu.

Tubuhku kembali ambruk, hati terasa remuk. Aku sungguh tak terima jika Gita benar-benar mati dijadikan tumbal oleh manusia keji itu! Kami bertiga menangis di tempat itu dalam satu pelukan.


Bersambung...

Part sebelumnya 👇
https://www.kaskus.co.id/show_post/5...3a7268a872fda2
NadarNadz
nona212
tien212700
tien212700 dan 32 lainnya memberi reputasi
33
1.6K
18
Thread Digembok
Tampilkan semua post
wiwinindah10Avatar border
TS
wiwinindah10
#1
Bakso Ular #4


🐍🐍🐍

Saking jengkelnya, aku melangkah tanpa sadar hingga menubruk seseorang.

“Aw!” Aku mengerang kesakitan. Betapa tidak, aku menubruk hingga terpental ke belakang.

“Ma-maaf, Mbak.”

“Makanya! Kalau jalan itu, li-at li-at dong,” ucapku memelan tatkala melihat seseorang yang telah menubrukku. Mas Ganteng ... seketika aku tidak jadi marah.

“Iya, Mbak. Maaf, ya. Saya gak sengaja,” ucapnya merasa bersalah. Lalu membantuku untuk berdiri.

“Hehehe ... gak apa-apa, Mas. Ditubruk lagi juga aku mau, kok,” jawabku malu-malu. Seraya tersenyum manis padanya. Aih! Kumat lagi.
Pria di hadapanku itu hanya menggeleng, bisa kulihat senyum tercetak di bibir tipisnya.

“Ekhemmm!” Suara seseorang berdehem membuat kami terkejut. Ternyata Bang Kumis. Ia tengah memandang kami dengan tatapan tidak suka, sangat jelas dari raut wajahnya yang angker itu.

Aku memutar bola mata malas, lalu pergi meninggalkan mereka.

“Ayo, Mbak. Kita pergi saja,” ucapku pada Mbak Sarah saat sudah sampai di meja tempat kita makan tadi.

“Iya, tunggu. Bayar dulu dong, maen pergi aja.”

“Gak usahlah. Aku, kan, gak jadi makan. Udah, ayo!” ajaku pada Mbak Sarah yang tengah menyeruput es jeruk pesanannya.

“Serius, nih?”

“Iya, Mbak. Udah buru.” Mbak Sarah mengangguk pasrah, lalu membuntutiku pergi dari warung ini.

“Gimana tadi, Pen? Nemu petunjuk, gak?” tanyanya sembari mensejajarkan langkahnya denganku. Terdengar suara napasnya yang tersengal-sengal, karena mengejarku.

“Belumlah, lagian Mbak gak ngasih tahu kalau Bang Kumis masuk, sih? SMS atau telepon, kek, jadi gagal, deh. Padahal sedikit lagi aku bisa tahu sesuatu,” ujarku menyalahkan ibu dua anak itu.

“Maaf, Mbak juga gak ngeh, kalau dia masuk,” elaknya sembari meringis.

“Tapi aku makin yakin kalau hilangnya Gita memang ada hubungannya sama Bang Kumis!” jelasku.

“Apa yang membuatmu sangat yakin?”

“Nanti malam Mbak ke kontrakanku, ya? Kita bicarakan masalah ini.” Seketika ia mengangguk, kemudian kami kembali ke pabrik.

Adzan magrib. Sebagai seorang muslim aku tak lupa dan tak akan pernah lupa akan kewajibanku kepada Sang Pemberi napas.

Walau sifatku yang suka jahil dan slengek-an, tapi kewajiban kepada Allah tak akan kusia-siakan. Itulah pesan Ibu yang akan selalu kuingat.

“Allaahu Akbar ....” Aku memulai rakaat pertama. Hingga rukuk dan sujud dua kali, sampai kembali berdiri.

Masuk rakaat kedua, entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang aneh. Merinding, dan Sholatku jadi tak khusyuk.

Rukuk. Aku mendengar suara desisan yang sangat dekat hingga jantungku terasa berdebar.

Sholatku semakin tak fokus, rasa takut begitu menyerang. Namun, sebisa mungkin berusaha tak memperdulikan itu. Terus melanjutkan sholat walau kaki terasa dingin dan gemetar. Ampuni aku ya Allah, betapa sangat tipis imanku. Hingga rasa takut ini lebih besar dari rasa percayaku kepada-Mu ...

Astaghfirllahal’adzim ....

Aku terus memohon ampun pada Allah. Hingga setelah salam terakhir, suara itu menghilang bersama rasa takut yang sedari tadi menyelimuti.

Aku mengedarkan pandang ke setiap sudut kamar. “Alhamdulillah,” ucapku lirih. Kemudian menyempatkan berzikir dan membaca Al-qur’an. Tak lupa mendoakan sahabatku yang sampai sekarang belum juga ditemukan.

Baru saja membaca basmallah, tiba-tiba kudengar suara tangisan.
Jantung kembali berdebar, siapa yang nangis maghrib-maghrib gini?
Apa tetangga kontrakan? Lagi, aku dibuat takut. Suara tangisannya semakin keras dan semakin jelas.

Aku meletakkan Al-qur’an, berdiri dan melepas mukena. Lalu melangkah menuju ruang depan. Kontrakanku berukuran 3x6 meter³, terdiri dari tiga petak. Ruang depan, ruang tengah kamar, di belakang dapur dan kamar mandi.

Perlahan membuka pintu, mendengarkan dengan saksama tangisan yang entah siapa pemilik suara itu. Saat sudah di tengah ruangan, bulu kudukku semakin merinding hebat. Suaranya seperti di luar kontrakan, aku berniat membuka horden terlebih dulu.

Mengecek, takut-takut itu bukan manusia, ‘kan?

Saat kubuka sedikit tirainya, seseorang tengah duduk sendiri mendekap lutut. Wajahnya menunduk, terlihat punggungnya berguncang-guncang bersama dengan suara tangisannya yang sangat memilukan.

Aku tak bisa mengenali wajahnya, tapi sepertinya dia tidak asing dalam penglihatanku. Gita? Ya, itu Gita!

Tanpa pikir panjang aku membuka pintu, menghambur dan memeluknya. Rasa rindu begitu menggebu, lalu menyuruhnya masuk. Namun, Gita hanya diam dan menunduk. Ia seperti ketakutan, mungkin dia mengalami banyak masalah.

“Gita, kamu dari mana? Kau baik-baik saja, ‘kan?” Aku menuntunnya untuk duduk.

Tubuhnya terasa dingin, mungkin dia memang kedinginan karena beberapa hari entah tidur di mana. Biarlah nanti kutanyakan semua, yang penting dia sudah pulang. Aku sangat bersyukur.

Aku ke belakang mengambilkan teh hangat untuknya, supaya tubuhnya kembali segar. Tak lupa kusiapkan makanan yang tadi sore kubeli untuk makan malam, nanti aku bisa beli lagi. Pasti Gita lapar.
Saat aku kembali, betapa terkejutnya mendapati Gita tidak ada di sana. Ke mana dia?

“Gita!” seruku. Sembari meletakan piring dan gelas di meja. Lalu segera mencari keluar.

“Gitaaa ...!” teriakku lagi. Kali ini aku lemas, perasaan pun lebih hancur dari sebelumnya. Mondar-mandir sambil terus berteriak memanggilnya.

Namun, tak kudapati dirinya. Kujatuhkan tubuh ini bersama tangisan yang tak mampu kubendung. Apakah tadi itu perasaan saja? Tidak mungkin, jelas sekali itu Gita, tapi mengapa dia datang dan pergi begitu saja, seolah hanya ingin memberi pesan.

Tiba-tiba pikiranku kalut, hingga merasa Gita seperti arwah gentayangan.

“A-apakah Gi-gita sudah meninggal? Ti-tidak mungkin, itu tidak mungkin! Gitaaa!”
Aku menangis meraung-raung bagai kehilangan sesuatu yang sangat berarti dalam hidupku.

Beberapa orang berdatangan, mungkin mereka merasa terganggu dengan teriakanku.

“Mbak Peni kenapa nangis?” Salah seorang tetanggaku bertanya. Aku hanya terus menangis tanpa menjawabnya.

“Mbak Peni, kok, panggil-panggil Mbak Gita? Memang Mbak Gita ke mana? Aku perhatiin juga sudah berapa hari gak lihat Mbak Gita.”

Lagi, salah satu tetanggaku yang lain bertanya. Kali ini membuat tangisanku semakin keras, lalu kurasakan tubuh ini sangat lemas, kepala terasa berat dan tiba-tiba gelap. Aku tak sadarkan diri.
***

Bau minyak angin menusuk rongga hidung, terdengar suara seseorang memanggil. Aku mencoba membuka mata, terlihat beberapa orang berkumpul. Mbak Sarah dan Alya juga ada di sini.

“Pen, kamu udah sadar?” ucap Mbak Sarah. Aku hanya mengangguk pelan, kepalaku terasa pusing.

“Alhamdulillah,” ucap beberapa orang.

“Ya sudah kami pulang dulu, ya, Mbak. Cepet sembuh dan yang sabar. Mudah-mudahan Mbak Gita cepet ketemu,” ucap ibu-ibu yang mengenakan daster itu.

“Amin. Makasih, ya, Bu?” ucapku pelan. Lalu bangun dan duduk.

“Sama-sama. Ya sudah, kami pulang, ya? Assalamualaikum,” ucapnya. Serempak kami menjawab, “wa’alaikumsalam.” Lalu mereka pergi. Hanya Mbak Sarah dan Alya yang kini menemaniku.

“Mereka sudah tahu kalau Gita hilang, Mbak?” tanyaku pelan sembari memijat pelipsku yang terasa pusing.

“Iya, Pen. Habisnya mereka kepo banget, ya sudah aku kasih tahu.”

“Aku juga sudah tahu, saat aku ketemu kamu tadi siang.” Alya ikut menimpali.
“Maksud kamu?” Aku mengernyitkan dahi. Tak tahu maksud Alya.

“Aku tahu kalau sesuatu terjadi sama Gita, tapi kamu menutupinya dariku. Jadi aku pura-pura gak tahu,” terangnya lagi. Aku masih tak tahu maksud Alya, Mbak Sarah melirikku sebentar. Ia juga terlihat bingung. Terdengar helaan napas dari Alya.

“Sebenarnya aku pernah sekali mampir ke warung Bang Kumis, tapi ... pas aku lihat di grobaknya. Ada banyak ular hidup bersama tumpukan bakso, seperti ... ular yang sedang mengerami telur-telurnya.” Aku terkejut mendengar penuturan Alya, seketika membuatku mual. Mbak Sarah juga terlihat bergidik.

“Serius, Al? Maksudnya, kamu bisa melihat hal ghaib? Atau mungkin itu perasaanmu saja,” ucapku masih tak percaya.

“Jika yang lain gak bisa melihatnya, kenapa aku melihat ular-ular itu? Aku memang bisa melihat hal ghaib, Bang Kumis pakai pesugihan ular, Pen. Dan Gita—“ Ucapannya terpotong. Seakan ragu mengucapkan tentang Gita.

“Gita kenapa, Al? Katakan padaku?” tanyaku penasaran.

“A-aku gak bisa memastikan benar atau tidak, karena aku hanya melihat sekilas bayangan saja. Dan itu pun membuat tubuhku hampir lemas, kekuatan besar menghalangi penglihatan mata batinku. Yang jelas Gita memang mengalami bahaya besar di sana ....” Bagai disambar petir, tak percaya dengan apa yang dikatakan Alya. Tak terasa air mataku menetes.

“Pantas saja Gita datang dalam mimpiku dan meminta tolong agar aku membunuh ular. Ternyata ular itu milik Bang Kumis? Aku yang tidak tahu hanya bisa memikrirkan tanpa
berbuat apa pun, dan tadi ... aku bertemu Gita, dia di situ lagi nangis,” ucapku sembari menunjuk ke arah luar depan pintu.

“Tapi, saat aku mengambil makan dan minum untuknya. Dia sudah gak ada pas aku balik lagi, makanya aku teriak-teriak panggil dia. Apa Gita dijadikan tumbal?” Mbak Sarah mencoba menenangkan aku.

“Entah, Pen. Awalnya aku gak mau ikut campur dengan urusan Bang Kumis, tapi saat aku tiba-tiba mendapat firasat tentang Gita dan kamu. Aku harus memberi tahu ini semua,” jelasnya lagi.

“Kenapa kamu gak kasih tahu dari awal?” tanya Mbak Sarah ikut menimpali.

“Aku gak tahu dari awal, Mbak. Aku dapat firasat saat aku ketemu Peni tadi siang, bayangan Gita tiba-tiba saja muncul. Bahkan ... Peni juga dalam bahaya,” ucapnya lirih.
“A-apa maksudmu, Al?”

“Iya, Pen. Kamu juga sudah diincar ular itu, mereka tidak akan membiarkan seseorang mengganggu urusannya.” Ucapan Alya seketika membuatku emosi.

Kedua tanganku mengepal dengan sempurna, menggenggam amarah yang sangat besar. Bagai gunung merapi yang siap memuntahkan laharnya. Aku berdiri dengan tatapan nyalang, hanya Bang Kumis yang ada dalam otakku. Ingin sekali aku membunuhnya!

Tanpa pikir panjang aku berlari ke luar, menuju rumahnya. Dua orang temanku mengejar.
“Peni, tunggu, Pen! Kamu mau ke mana?” Mbak Sarah berteriak memanggilku.

Aku tak menghiraukan mereka, tujuanku hanya ingin melabrak manusia keji itu. Bahkan aku tak peduli dengan rasa nyeri di kaki karena berlari tidak memakai sendal. Emosiku sudah memuncak.

“Peni! Kamu jangan gegabah! Dia bukan orang sembarangan!” seru Alya. Lagi, aku tak perduli. Terus berlari menyusuri setiap gang hingga sampai ke rumah iblis itu.

“Bang Kumis! Keluar kau manusia iblis! Keluar! Aku akan membunuhmu!” Aku teriak-teriak bagai kesetanan. Menggebrak-nggebrak pintu rumahnya agar dia segera keluar.

“Peni, ayo kita pulang saja. Jangan seperti ini, ini sangat berbahaya. Ayo, Pen ... ayoo!.” Mbak Sarah dan Alya menarik-narik tanganku.

“Lepasin! Aku harus selesaikan ini semua! Biarkan aku menghajarnya!” Tanpa memikirkan apa pun, yang aku inginkan hanya menuntaskan amarah ini.

Tak lama pintu terbuka. Seorang laki-laki berKumis tebal, berdiri di tengah pintu dengan wajah khasnya yang angker itu.

“Kamu lagi! Mau apa kamu!?” tanya pria keji itu dengan kedua matanya yang melotot.

“Dasar manusia iblis! Cepat katakan di mana anda sembunyikan temanku! Akan kubuat Anda menyesal jika sesuatu terjadi padanya!” Aku teriak-teriak bagai orang tidak waras. Mbak Sarah dan Alya masih memegangiku.

“Dasar bocah! Jangan sok kuat, kau pikir kau siapa bisa membuatku menyesal, hah!?” bentaknya tak mau kalah.

“Lihat saja! Aku pasti akan menemukan temanku dan membunuhmu!” Tiba-tiba Bu Ningsih menyerobot keluar.

“Percuma saja kamu mencari temanmu! Dia sudah mati! Hihihihi ....” Aku tercengang mendengar penuturannya. Entah kenapa aku percaya dengan ucapan wanita gila itu.

“Sudah sana pergi! Mengganggu saja!” ucap Bang Kumis, sebelum akhirnya menarik paksa istrinya dan menutup pintu.

Tubuhku kembali ambruk, hati terasa remuk. Aku sungguh tak terima jika Gita benar-benar mati dijadikan tumbal oleh manusia keji itu! Kami bertiga menangis di tempat itu dalam satu pelukan.


Bersambung...

Part sebelumnya 👇
https://www.kaskus.co.id/show_post/5...3a7268a872fda2
0