Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

bukhoriganAvatar border
TS
bukhorigan
[SFTH] Jalan Mistis menuju Situ Cibeureum Garut | Based on True Story
===
PRA-KATA
===
Sebuah cerita yang ditulis berdasarkan kisah nyata memang penuh dengan intrik dan tanda tanya, tentu disini Saya selaku penulis berharap apa yang dikisahkan tidak memunculkan perdebatan apapun, dan bisa mengambil hikmah dari secuil kisah ini.
Cibeureum secara harfiah artinya Air (yang) Merah, di Garut sendiri nama Cibeureum umum dijumpai di kaki gunung, untuk mengisyaratkan tanah di hutan belantara yang tercampur sedimen lumpur karena adanya aliran sungai. Bukan hanya itu saja, Sesepuh berbagai daerah di Garut menamai Cibeureum sebagai tanda "Merah" untuk tidak dilewati oleh siapapun, untuk itulah tiap pelosok di Garut mempunyai "daerah Cibeureum" sendiri.
Kisah ini ditulis berdasarkan pengalaman teman Saya, sehingga kisah ini-pun sebisa mungkin Saya tulis dengan akurat yang dibuat serta dinarasikan ulang sesuai urutan waktu kejadian, tentu tokoh dalam kisah ini Saya samarkan, dan demi kenyamanan bersama berbagai dokumentasi saya samarkan untuk menjaga privasi kesaksian.

kisah ini terdiri dari
Perjalanan Awaldi sini
Perjalanan Akhir & Epilog di Second Post
Trivia & Lore di Third Post

take a seat and a cup of coffee,
and enjoy because this is not Repost.



"Arwah dan Roh bersemayam menjaga alam dari pemilikNya."
Situ Cibeureum Garut.


===
a Sillent Road
===

"Se . . . lamat datang di Kawasan Hutan Lindung Ci . . . Beureum." ku membaca pelan sebuah tulisan yang samar tertera, terukir pada gapura yang sudah rapuh dan berlumut.

Aku berdiri cukup lama di teras sebuah post sederhana, tempat ini menjaga akses masuk menuju tempat keramat bagi warga Garut pada umumnya yaitu kawasan Cagar Alam Cibeureum, namun sepertinya post ini sudah ditinggalkan penjaganya sangat lama, terlihat jendela pengawas yang pecah sudah ditumbuhi rumput liar, bangunan ini terikat dan menyatu dengan alam.
Cagar Alam Cibeureum merupakan kawasan Hutan Lindung yang berada tepat di bawah kaki Gunung aktif di Garut, dan mengalir sungai yang masih jernih dari utara pegunungan, membuat daerah ini subur dipenuhi pepohonan lebat sampai satwa liar yang memikat, namun sampai sekarang akses menuju jalan ini masih belum tereksplorasi dari dunia luar karena pihak berwenang secara misterius masih enggan membuka lebar kawasan ini.
Menurut warga sekitar, tempat ini bukan hanya pintu menuju Cagar Alam, tapi gerbang awal menuju dunia para Arwah leluhur, memang ini sangat berkaitan karena Garut merupakan bagian dari tanah Priangan di Jawa Barat. Priangan atau Parahyangan sering diartikan sebagai tempat para Rahyangatau Hyang, Masyarakat Sunda kuno percaya bahwa roh leluhur atau para dewa menghuni tempat-tempat yang luhur dan tinggi, maka wilayah pegunungan dianggap sebagai tempat Hyang bersemayam, dan Cagar Alam Cibeureum dipercaya adalah salah satu tempat bersemayamnya para roh leluhur itu, sederhananya menurut tradisi warga sekitar kita harus menghormati tempat ini dengan layak dan santun, seperti menghormati orang tua kita sendiri.

"Guntur ? sampai kapan kita berdiri disini ?" tanyaku cemberut, berharap segera beranjak, karena jam menunjukan setengah empat sore.

"sampai si Aray selesai menunaikan hajatnya." Guntur tersenyum tenang, sambil memadamkan rokoknya di kaki.

Namanya Guntur sesuai dengan nama Gunung di Garut, sikapnya selalu tenang sejak dulu, perawakan dia tinggi dan tegap, tipikal pendaki profesional pada umumnya, rambutnya panjang diikat, karena pengalamannya maka dia selalu jadi andalan kami sebagai porter untuk pendakian atau sekedar tracking ke hutan.
lalu ada Aray, dia sedikit gempal namun otot yang besar menjaga bentuk idealnya, dia sedikit urakan namun itulah yang membuatnya sedikit unik, setidaknya ada yang menghibur kami selama perjalanan karena terkadang sikapnya yang ceroboh membuat Aku dan Guntur tertawa.

"gengs ! gue udah selesai nih, udah siap mengguncang langit." teriak Raja sambil berlari, muncul dari belakang post ini.

"iya iya, terserah ente panci kaleng." jawab Guntur menggelengkan kepala.

"Jihan kamu udah siap ?"

"si Jihan kenapa ? galau lu han mikirin Cowok ?" tanya Guntur dan Aray bersamaan, melihatku yang sejak tadi terpaku.

"tidak apa-apa, Aku merasa ada seseorang disana yang hendak kemari."  aku menunjuk pada Wanita pembawa kayu bakar, terlihat samar di sela-sela semak belukar.

Wanita itu perlahan mulai terlihat di mata kami yang sejak tadi menyimak, kami tertegun takjub sebab usianya yang mungkin sudah melebihi 60 tahun masih sanggup menggendong kayu dan ranting pepohonan, sangat umum bagi warga sekitar mengambil pepohonan yang mati dan memakainya menjadi kayu bakar, terlihat Nenek itu membawa batang kayu bakar yang melebihi betis Aray, mungkin saja beratnya hampir puluhan kilo, tentu melebihi berat carrier yang dibawa Guntur.
Guntur langsung memasang badan, sedikit menunduk tanda dia ingin menyapa Nenek itu di depan, Nenek itu mulai tersenyum dan perlahan menghampiri kami, Aku dan Arai mulai mengikuti postur Guntur.

"sampurasun, selamat sore nek ?" tanya Guntur ramah.

"rampes, hendak kemana kalian nak ?" balas Nenek itu berhenti, sambil menurunkan gendongannya yang terbuat dari kain bekas.

"maaf nek mengganggu waktunya sebentar, kami pertama kalinya datang ke Cagar Alam ini, dan hendak menuju Danau yang ada di puncak bukit, namun post ini tidak ada penjaganya sama sekali, jadi kami sedikit kekurangan petunjuk jalan, bisakah nenek membantu kami ?" tanya Guntur ramah, yang sesekali melirik bukit di ujung penglihatan kami.

"Tuhan adalah sebaik-baiknya pengawas nak, dibantu Alam yang setia menjaga dari pemiliknya, tentu Alam akan menuntun kalian saat di perjalanan, namun jika kalian hendak masuk tolong hargai tanah yang kalian pijak serta penghuninya, maka mereka akan senantiasa menjaga kalian." Nenek itu tersenyum sambil menggendong kembali bawaannya, tanda hendak pamit, sedangkan kami milirik satu sama lain berusaha memahami perkataannya.

"kalian harus mengikuti jalan ini, setelah melewati tempat kemah lanjutkan ke jalan yang lebih menanjak, hingga sampai pada hutan pinus, setelah beberapa jam jalan ini akan berakhir pada aliran air yang mengalir dari Danau, setelah itu melangkah kembali maka kalian akan sampai di Situ Cibeureum, berhati-hatilah." timpa Nenek itu kembali sambil menundukan kepalanya, lalu melangkah pergi meninggalkan kami yang masih berdiri terpatung, akhirnya dia menghilang di ujung tikungan jalan.

"eh lu pada nangkep omongannya ?" timpa Aray yang masih terheran.

"sudahlah, yang jelas kita bisa memahami satu hal, tetap ikuti track ini, seperti kata nenek tadi, mungkin benar bahwa perjalanan ini akan memakan waktu berjam-jam lamanya." lirik Guntur pada Aray dan Aku, sedangkan Aray mulai membuka GPSnya.

"ya sudah, kita berdoa semoga perjalanan ini lancar" timpaku yang mulai semangat.

"berjam-jam ? ah coba lihat, menurut GPS perjalanan kita tidak sampai dua jam, kalo nenek-nenek yang berjalan ya memang bakal berjam-jam." sorak Aray, mengangkat GPSnya ke langit dengan percaya diri, Aku dan Guntur hanya tertawa kecil melihatnya.

Jam menunjukan pukul empat pas, kami mulai melangkah, namun ketika kaki-kaki kami melewati batas gapura seketika itu pula kabut mulai turun berhembus perlahan diantara ranting pepohonan, lalu Matahari mulai tertutup, relung cahaya masih terlihat menembus gumpalan kabut yang bergerombol.
Guntur mengisyaratkan Aku untuk berjalan di tengah, sedangkan dia berjalan paling belakang untuk mengawasi, lalu Aray berjalan paling depan, berharap perjalanan kami akan lancar sampai tujuan.
Sesekali Aku melirik Guntur ke belakang, terkadang Aku merasa jika dia memang sosok pelindung bagiku, terlebih ketika Aray bertindak konyol padaku, jadi wajah Guntur yang rupawan membuat mood ku terobati untuk kembali naik.

"nak Jihan, bakal berjam-jam loh perjalanan ini, mau digendong ?" tanya Aray terkekeh-kekeh sambil membungkukkan badan seperti nenek tadi.

"Ray, lebih baik awasi langkahmu, jangan bertindak kekanakan." jawabku ringkas.

Aray tidak mendengarkanku, lalu ke belakang menuju Guntur yang sejak awal mengawasi.

"nak Guntur ya ? mau kemana nak ? bukit Cibeureum ? itu bukitnya di depan lagi berjalan, gila bray bongkahan batunya dibawah juga kece bener." Aku berhenti, melirik Guntur yang tersipu, lau melirik Aray dengan perasaan sebal, lalu menghampiri mereka.

"nyebelin sumpah !" Aku menarik telinga Aray kencang, Aray berusaha menghindar sambil tertawa melihatku, lalu Guntur hanya melebarkan senyumannya.

Langkah Kami diawali dengan teriakan di sana-sini, saling melempar candaan di ruas jalan yang sepi, terkadang tawa Aray bergema sampai ujung bukit. Kami adalah sahabat karib sejak SMP, orang tua kami pun saling mengenal, lelucon memang jadi santapan kami sehari-hari, saat ini kami sama-sama menempuh pendidikan ilmu Pertanian di salah satu Universitas Swasta di Garut, tentu perjalanan ini sangat berarti bagi kami, karena selain menjelajah tempat eksotis yang jarang terjamah, Kami juga ingin mempelajari ekosistem Hutan Lindung ini sebagai bahan penelitian.

. . .


Jam tanganku sudah menunjukan pukul lima sore, dan kami baru sampai di area perkemahan, terlihat padang rumput bergelombang yang diselangi beberapa pohon pinus menambah rasa takjub perjalanan kami.
Area perkemahan terlihat kosong dan sunyi, kami terheran-heran karena di akhir pekan tempat ini selalu menjadi tempat andalan warga Garut untuk berkemah, dari Komunitas sampai acara Universitas, bahkan sekaliber TNI-pun sesekali melakukan latihan di Cibeureum, tapi saat ini memang terlihat hening tanpa ada aktifitas apapun, sepertinya kami sendirian di tengah Cagar ini.
Kulihat angin lembah sudah menusuk tanda petang menjelang, kabut mulai menampakan sifat aslinya, menutup segala pandangan di depan, kami yang sempat terhenti dan minum sebentar mulai melanjutkan perjalanan menuju jalan aspal yang mengerucut jadi jalan tanah di depan, berharap bisa sampai di atas sebelum Matahari terbenam.
Dari kejauhan terlihat sorot cahaya sebuah kendaraan yang hendak turun dari arah puncak bukit, gemuruh kendaraan terdengar senyap, karena jalan ini hanya mampu dilewati satu kendaraan maka posisi kami mulai berjalan ke samping.
Sebuah mobil Jeep Hitam produksi tahun 80-an mulai terlihat, jalan yang bergelombang dan lumpur yang mengendap membuat badan Jeep 4x4 itu terlihat naik turun sempoyongan, tapi roda-roda besar yang tangguh itu melindas permukaan dengan mudah, terlihat seorang Pria mulai mengeluarkan tangannya dari jendela, melambai untuk menyapa.

"selamat sore . ." senyum Pria berkumis tebal dalam jok setir, dia memakai kacamata hitam.

"iya selamat sore Pak . ." jawab kami serempak, Aku hanya mampu melihat dia selintas, lalu kami meneruskan langkah kembali.

Jalan ini begitu sepi, kulihat hanya jejak Jeep yang tadi melewati kami, terkadang Aku juga merasa heran jika tempat ini nampak hening di akhir pekan, suara yang terdengar hanyalah angin yang berhembus pada dedaunan, menggesek satu sama lain sampai daun jatuh berguguran di kepalaku, bahkan burung yang terbang tak terdengar berkicau di sore hari, hanya suara alam menjelang petang menemani perjalanan kami saat ini.

. . .


Suara Adzan maghrib mulai terdengar, menggema dari kejauhan, sebuah tanda awal jika Matahari sudah tenggelam, cahaya tertelan perlahan menyisakan warna jingga di langit, gemerlap kota Garut mulai menampakan dirinya di ujung mata, layaknya kilau Intan yang memang menjadi simbol kota kami.

"gila bener, udah maghrib tapi kita masih tertahan, kita udah melangkah jauh tapi gue rasa perjalanan ini beneran jauh." ucap Aray mulai kelelahan yang tidak biasa mendaki.

"makannya jangan pernah menganggap sepele sebuah rintangan." timpa Guntur.

"Guntur ? sebenarnya posisi kita dimana ?" tanyaku sambil mengelap keringat, lalu melepas ranselku dari punggung.

"kita masih mengikuti jalur ini, tenang saja dan bersabar, dan konsisten dengan tujuan." jawab Guntur tersenyum, Aku mengangguk percaya padanya.

"pandangan kita mulai gelap nih bray, buka senter dong." pinta Aray, sambil menunduk memegang lututnya.

Guntur mulai membuka slingbag-nya di pinggul, mengeluarkan tiga senter untuk kepala kami, setelah menyala kami mulai tenang karena pandangan mulai terang benderang.
Lalu Aray berjalan ke samping jalan, terlihat dari belakang membuka resletingnya, menghadap hutan pinus yang senyap-senyap terdengar suara alam.

"Ray jika ingin buang air lebih baik gali tanah, setelah selesai baru kubur jadi aromanya tidak tercium orang, bukan di semak-semak seperti itu, ya itu pepatah orang tua kita." tegas Guntur.

"tenang aja Gun, tumbuhan kan butuh pupuk alami." jawab Aray asal-asalan, Aku tertawa kecil karena tidak kuasa melihat tingkahnya.

"dasar freaklu Aray, dibilangin malah ngeyel." Aku membalikan badan, terdengar air mulai terpancar.

"ha . . ha . . 'Air seni' gue bener-bener berseni, tugasmu bagus sekali Jon, bisa bikin seni." tawa Aray, lalu bergetar tanda selesai.

"Jihan ? minum dulu." Guntur memberikan botol air, menenangkan Aku yang mulai terkuras stamina.

"terimakasih Guntur." balasku dengan senyuman, dia memang selalu perhatian padaku.

Matahari tenggelam sepenuhnya di ufuk barat, langit-langit malam yang kelam mulai menyapa ditambah cahaya kemerahan di ujung khatulistiwa, kami meneruskan perjalanan ditemani kabut disekitar hutan pinus, jalan yang kami pijak mulai lembab tercampur embun petang dan kerikil bebatuan, semakin menanjak maka jalan ini semakin sempit menandakan kami harus berjalan lebih hati-hati.

. . .


Kami masih berada di jalan setapak sedangkan jam menunjukan pukul sembilan, dan Termometer kami menunjukan suhu 18°C, dikelilingi hutan pinus yang dibalut kabut pekat membuat badan kami mulai sedikit merasa kedinginan, suhu dingin memang menyerang kami sejak awal, tapi perjalanan ini membuat suhu tubuh kami bertiga naik dan melindungi sejenak dari hawa sekitar yang mulai semakin turun.
Kami sempat berhenti beberapa kali, tapi kami masih belum melihat tanda-tanda sampai di tujuan, Guntur pun terlihat heran dengan situasi ini karena prediksinya meleset untuk pertama kali, keringat yang keluar sudah mulai mengguyur seluruh badan kami, Kemeja Flannel dan Kaos yang ku pakai mulai basah oleh keringat, Thermal-Longpantsyang kupakai pun sedikit lembab tercampur percikan lumpur, ditambah Sepatu Tracking yang mulai dipenuhi tanah basah sedikit menghambat langkahku, kami memutuskan untuk berhenti kembali untuk kesekian kalinya.
Guntur melepas Jaketnya sejenak dan duduk, mengelap keringat lalu mengikat ulang rambut di kepalanya, dia juga menyusun ansel carriernya yang sedikit goyah, sedangkan Aray hanya mampu menunduk sesekali melihat sekitar, Ransel yang dibawapun dia lepas sejenak, lalu dia melangkah kecil ke samping jalan, sepertinya Aray melihat sesuatu.

"eh gengs lihat ke sana, sepertinya ada seseorang yang menyalakan api." tunjuk Aray ke ujung bukit di depan, beberapa puluh meter dari kaki kami, mungkin jalan setapak ini bisa menuntun kita kesana, kemudian Guntur langsung mengarahkan teropongnya kesana.

"benar, aku lihat dia sedang merokok." jawab Guntur, Aku langsung menghampirinya.

"Guntur, coba kulihat." Aku meminta, dia langsung menyerahkan teropongnya, sedangkan Aray terlihat meneguk air beberapa kali.

Teropong Guntur merupakan standar khusus pemburu, dilengkapi lensa infra-red yang memukau, terlihat cahaya api di ujung sana begitu terang dan kontras, Aku melihat sesosok Kakek Tua memakai setelan pangsi dan ikat batik khas sunda, setelan itu memang sangat umum ditemukan di tanah Sunda, karena sering dikenakan orang tua kami dulu, lalu Aku menyerahkan teropong ini pada Guntur untuk menyiapkan langkah kembali.

"lebih baik kita menuju tempat itu, mungkin dia tahu mengenai jalan pintas menuju Danau Cibeureum, setidaknya kita tahu apakah perjalanan ini masih lama atau tidak." kataku sambil melirik Guntur dan Aray.

"baiklah, bagaimana menurutmu Ray ?" lirik Guntur pada Aray.

"terserah kalian aja lah, gue udah jadi kambing guling nih, kucel dan berminyak, pengen cepat sampai sana." timpa Aray.

Setelah siap, kami mulai melangkah mengikuti jalan setapak ini, sesekali melihat bara api yang terpancar di ujung sana. Karena medan yang bergelombang dan berliku, bara api tersebut sempat menghilang dari pandangan beberapa saat, tapi dengan jelas kami masih bisa melihat kepulan asap yang naik ke atas, tanda bara api itu masih menyala.

"nah sudah dekat." kata Guntur, Aku yakin Kakek tersebut ada di balik tikungan di depan

Langkah kami langsung terhenti di ujung jalan ini karena terkejut dengan apa yang terjadi, kakiku melangkah kecil ke depan menginjak rerumputan dan ranting lalu melihat sekitar, penglihatanku ini jelas namun yang terjadi sungguh di luar nalar, Aku melirik pada Guntur dan Aray yang sama-sama terheran-heran.

"Orang itu tidak ada !" timpaku seketika, memecah kesunyian.

"Bara api, dan bekasnya menghilang." Aray hanya terpaku melihat sekitar.

Api yang menyala tadi benar-benar menghilang dari pandangan kami, jika memang dia pergi kenapa tidak ada jejak kobaran api yang menjilat sekitar ?

"oke tenang, kita harus lanjutkan perjalan ini, ayo cepat pasti tinggal sedikit lagi." ucap Guntur, lalu mengisyaratkan kami harus segera pergi, mendorong badan Aray dan memegang tanganku yang dingin.

"jangan pernah cerita apapun sampai kita pulang ke rumah." jawab Guntur kemudian, sambil menuntun langkah kami segera, mencegah kami berbicara apapun.

Aku masih terkejut dengan apa yang terjadi, saat ini suara alam terdengar semakin mencengkram keberadaan kami, Aku seperti melihat sosok-sosok mata mengelilingi kami di balik batang hutan pinus yang berkabut, mengawasi langkah demi langkah kami yang sudah kelelahan, keringat yang semula panas akan perjalanan tergantikan oleh keringat dingin yang mulai bercucuran. Aku, Aray, Guntur harus melanjutkan perjalanan dan sampai di tujuan secepatnya, karena terlambat bagi kami untuk turun kembali ke bawah, kami tidak berbicara apa-apa, suara yang terdengar hanyalah langkah kami yang menyusuri jalan setapak.
Angin malam pegunungan mulai berhembus, menyajikan kesunyian yang membuat kami berdebar kencang, dari kejauhan kota Garut yang gemerlap di malam hari mulai tertelan kabut dan menyekat segala keramaian yang bisa kami lihat, tentu kami merasakan getaran hebat yang belum pernah kami alami sebelumnya, Guntur yang mempunyai pengalaman-pun dibuat hening membisu dengan kejadian ini begitu pula denganku dan Aray.
Kami menyadari satu hal, kita memang benar-benar dituntun oleh Alam menuju lingkaran lembah yang tidak mungkin dicerna oleh akal sehat.

Sejatinya, Kita sedang tersesat dalam kesunyian.

to be continued

next >>

Spoiler for image source:
Diubah oleh bukhorigan 20-04-2020 03:29
opachimz18
Dheaafifah
terbitcomyt
terbitcomyt dan 307 lainnya memberi reputasi
308
12.2K
112
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
bukhoriganAvatar border
TS
bukhorigan
#1
[SFTH][END-Epilog] Jalan Mistis menuju Situ Cibeureum Garut | Based on True Story
<< previous|| next >>


"dalam sunyi, dalam hening, dalam senyap, Alam melihat kita."

===
a Quiet Place
===

Langkahku terhenti di persimpangan jalan yang kami susuri, senter yang kami kenakan meyorot sebongkah batu besar yang terpasang di tengah jalan, mungkin sebuah pertanda bahwa jalan setapak ini terbelah menjadi tiga cabang, Aku melihat batu itu seperti tanda alami bagi pejalan kaki yang hendak melintas.

"bro gimana nih ?" ucap Aray memecah sunyi.

"entahlah, jalan ini semakin menanjak lalu seperti mengerucut menjadi kecil, tapi kita harus tetap mengikuti jalur yang lebih lebar." balas Guntur, Aku hanya mampu melamun, panik karena waktu sudah malam.

Setelah berdiskusi cukup lama, akhirnya Guntur berinisiatif mengambil ke kanan, karena terlihat lebih lebar dibandingkan jalan lainnya, jalan kanan sepertinya lebih banyak dilalui orang karena terlihat semak yang teruray ke samping, akhirnya Aray yang masih membisu memimpin langkah kami terlebih dahulu, kami memang tidak banyak bicara setelah peristiwa yang menimpa kami sebelumnya, nasi sudah jadi bubur perjalanan ini memang harus dituntaskan.
Jam sudah menunjukan pukul setengah dua belas malam, sebentar lagi malam berada di puncaknya, tapi kaki kami masih terikat di lembah ini, suara lolongan Anjing Hutan mulai terdengar dan menyentak sepi di jalan ini.
Langkah Aray tiba-tiba terhenti di jalan, Aku yang sudah lelah dan tidak berkonsentrasi menabrak badannya di depan, tubuhku kemudian oleng tapi dengan tangkas Guntur menahan tubuhku dari arah belakang, dan memeluku dengan cepat.

"hati-hati Jihan." ucap Guntur

"Ray, ada apa sih ?" timpaku pada Aray di depan.

"sepertinya . . kita hanya memutar geng . ." tunjuk Aray pada sebuah batu besar, sebuah tanda yang kita temukan sebelumnya !

Kami berdiri di persimpangan jalan tadi tapi keluar di jalur kiri dari persimpangan ini, jika kami memang mengambil jalur kanan lalu muncul di jalur kiri maka sungguh tidak logis karena kami sama sekali tidak memotong jalur di tengah.

"astaga !" Guntur terperanjak, Kami mulai melangkah dan melihat sekitar.

"Guntur ?" badanku langsung ambruk, tidak percaya.

"Hari sudah malam ditambah kabut yang cukup tebal, lebih baik kita menunggu pagi tiba, mungkin cahaya pagi bisa menuntun langkah kita lebih teliti, terlebih lagi tenaga kita sudah terkuras, apalagi Jihan." timpa Guntur.

Guntur menurunkan carriernya, bersiap membuka tenda, Aray mengikuti dengan membuka ransel untuk mengambil Matras ekstra dan peralatan lainnya, sedangkan Aku hanya tertunduk lesu.
Aku duduk bersimpuh di semak belukar, melihat sekitar yang hening, kabut melambai bersama angin dalam kesunyian, sungguh tak ada suara apapun selain suara alam, ku melirik sesaat pada Guntur dan Aray yang membuka tenda dengan lebar, lalu mereka memasang rusuk-rusuknya dengan cepat, mungkin mereka khawatir dengan keadaan apalagi melihatku yang shockdengan apa yang terjadi saat ini.
Aku meminum air terus menerus karena kehausan yang amat sangat menguras dahaga disertai panik tersesat, Guntur sejak tadi cemas melihatku, Perempuan mungil yang kelelahan, Aray melihat sekitar dan mulai mengumpulkan ranting kayu untuk membuat api, kami sadar bahwa persediaan air yang kami bawa sudah mulai menipis, terlebih lagi lelah yang berkepanjangan ditambah situasi yang diluar nalar membuatku lemas tidak tertahan.

"tenang aja Jihan, ini bukan perjalanan jauh kok." Aray mengangkat jempolnya, dia mulai menenangkanku.

"Lebih baik kamu istirahat aja dulu." senyum Guntur, dan Aku mengangguk perlahan.

. . .

Jam satu menjelang dini hari, Aku tertunduk lesu di muka tenda, takut dengan apa yang terjadi pada kami sebelumnya, cemas dengan malam yang pekat, sedikit tenang karena api unggun sudah menyala, tapi semakin Aku melihat api maka pikiranku semakin dihantui kejadian di jalan, mengenai Kakek yang kami temui sebelumnya.
Menghilang kemana kakek itu ? jika pergi, bagaimana mungkin nyala api dan bekasnya bisa menghilang seketika ?
Lamunanku buyar dengan kedatangan Guntur, keringat mengalir di pipinya yang terlihat masih bersih tercampur debu serta rambutnya merekat buih embun malam hari.

"daritadi Aku mendengar aliran air terasa dekat, kalian pasti mendengarnya kan ? tapi ketika mencari ke sekitar, air itu tidak ada !" ucap Guntur heran, Aray terlihat menggelengkan kepala, Aku hanya mampu melamun pada Guntur dengan pikiran yang berkecamuk.

Aku bisa mendengar air yang mengalir, terasa dekat dari daun telinga, sebuah gemericik yang menggoda kerongkongan, tapi seorang Guntur yang ahli dalam mendaki-pun tidak dapat melacak keberadaan air itu, Aku dan Aray saling melirik terheran, misteri di jalan ini bertambah, apa yang terjadi ? karena semuanya terlihat sulit untuk dicerna.
Akhirnya, malam ini harus kami lalui dengan menghemat air yang sudah menipis, Mie Rebus dan Kopi yang hendak kami seduh-pun urung kami olah, terlebih lagi rasa cemas lebih dominan dibandingkan rasa lapar dan haus yang kami derita, kami hanya mampu makan cemilan seadanya sambil menunggu pagi menjelang.
Aku terlentang dalam tenda, mungkin akan tertidur lebih dahulu, samar terlihat Guntur tersenyum namun cemas, dan Aray melambaikan tangannya, dari kejauhan kunang-kunang mulai terbang membentuk pola indah di antara semak belukar, ataukah itu sosok mata yang melayang ? entahlah, aku hanya mampu pasrah pada keadaan, berdoa pada Sang maha pemegang Alam, dan berharap perjalanan kami esok akan cerah.

. . .

Aku merasakan aroma pagi di ujung penciumanku, udara yang segar masuk dalam tenda, Aku juga mendengar senyap kicau burung, kemudian dengan perlahan Aku membuka mata seraya melihat jam yang sudah menunjukan pukul setengah enam, ternyata pagi datang dengan cepat.
Kumelihat ke samping, ada Guntur yang masih terlelap di tengah, masih tampan tidak berubah, sambil tersenyum Aku terbangun lalu melirik ke ujung tenda, suasana cerah setelah melihat Guntur berubah suram ketika penglihatanku dirusak gaya tidur Aray, air terjun mengalir deras dari mulutnya, mungkin Air yang dicari semalaman oleh kami diteguk semuanya oleh Aray !

"tin ! tinnn !" tiba-tiba ku mendengar suara mobil diluar tenda, Aku segera membangunkan Guntur, sedangkan Aray masih terlelap.

Guntur langsung terbangun, sesaat kami berdua saling melirik heran akan suara di luar, lalu dia terperanjat untuk membuka pintu tenda, terlihat sebuah mobil Jeep menunggu di depan mata kami, Aku merasa tidak asing dengan mobil Jeep itu, supir terlihat berusaha melewati jalan yang terhalang tenda kami, tapi apakah tenda kami yang menutup jalan ? padahal dengan yakin Guntur dan Aray membuka tenda di samping jalan setapak yang tidak mungkin dilalui Mobil !
Dengan cepat Guntur keluar, melambaikan tangan pada supir, berbicara sebentar untuk menahan mobilnya sementara, dengan senyap Aku mendengar percakapan mereka.

"kenapa kalian membuka tenda disini ?" ucap Supir, suara Pria terdengar tidak asing bagiku.

"sebenarnya . . . kami sempat kehilangan arah Pak." balas Guntur, dengan terbata-bata.

"ya sudah bereskan dulu, saya akan menunggu sampai kalian selesai berbenah." ucap Supir tenang.

Aku membangungkan Aray dengan cepat, membereskan segala peralatan dari dalam, Aray sepertinya sudah bangun namun masih linglung tertinggal nyawa dalam mimpinya, kami memang harus bergegas, di depan terlihat Guntur berbicara basa-basi dengan supir, kemudian melangkah untuk mencabut pasak besi yang mengikat tenda kami.

. . .

Kami selesai membereskan segalanya dengan cepat, apalagi Guntur berpengalaman soal mengemas barang, lalu dengan wajah pucat kami melihat sekitar, ternyata aliran air yang terdengar semalaman ada di belakang tenda kami, kenapa kami tidak melihatnya ?!
Lalu kami ingat betul jika jalan setapak ini merupakan jalan kecil, tapi saat ini terlihat lebih lebar hingga badan Truk pun bisa melewatinya, terlebih lagi di ujung jalan setapak yang terbagi tiga itu menghilang tertelan semak belukar, jalur kiri dan jalur kanan terlihat samar saat ini namun sangat jelas di malam hari, kami menyimpulkan bahwa kami melewati jalan yang tidak pernah ada, sebuah jalan mistik !
Kami berdiri di samping jalan melamun beberapa saat, lalu Supir Jeep itu datang membuyarkan lamunan kami, saat melihat wajahnya Aku tersadar jika Pria itu adalah orang yang kami temui saat di area perkemahan, mobil Jeepnya pun sama persis berikut bercak lumpur pada roda-rodanya.

"sepertinya kalian melalu malam yang panjang." ucap Pria paruh baya itu pada kami.

"kami . . ." Aku mulai berbicara namun masih kebingungan.

"kami tersesat pak." ucap Aray kemudian memotongku.

"hmm . . . padahal jalan ini terbuka lebar sampai ke atas, jika kalian melangkah puluhan meter lagi pasti sudah sampai di Danau." ucap Bapak itu dengan heran.

Kami saling melirik satu sama lain, tentu dengan jantung yang berdebar, apa benar dengan yang dikatakan Bapak itu ? Danau yang kami tuju dekat di depan ?

"Saya adalah penjaga hutan ini, semacam Polisi Hutan, tentu Saya biasa menemukan kejadian seperti ini, lalu rencana kalian selanjutnya kemana ?" ucap Bapak itu dengan ramah, tentu perkataan dia sedikit misterius, apa maksudnya sering melihat kejadian ini ?

"maaf Pak, jadi rencana kami memang menuju Situ Cibeureum, tapi semalaman kami merasa jarak kami dengan Danau itu terasa jauh." balas Guntur.

"betul Pak, jadi waktu itu . . ." timpa Aray sedikit panik.

Guntur dan Aray saling berdebat mengenai kejadian semalam, Bapak itu hanya mendengarkan perlahan dengan rasa yang takjub.

"sudah sudah, cerita kalian tidak akan selesai, lebih baik kalian membersihkan diri dulu di area Danau, di sana ada surau yang berdiri, beristirahatlah dulu lalu pulang bersama Saya." Bapak itu tersenyum, mengajak kami

Kami semakin terheran-heran, dia mengatakan bahwa Danau Cibeureum sudah dekat, hanya beberapa meter dari tempat tenda kami berdiri, tapi sungguh jika semalam perjalanan ini terasa sangat jauh dan memakan waktu berjam-jam lamanya. Akhirnya kami saling melirik satu sama lain, lalu mengangguk tanda setuju.

Udara pagi yang segar perlahan membebaskan dada kami yang sesak karena kejadian ini.

Aku, Guntur, dan Aray tertunduk dalam Mobil, mulai memahami apa yang dikatakan Nenek pembawa Kayu Bakar di awal perjalanan, bahwa bersikap ramah atau sebaliknya pada alam akan dibalas dengan setimpal.

Perjalanan ini memberikan pengalaman lebih, menampar rasa sombong dan egois yang ada dalam diri kami.

. . .

===
Epilogue
===

Perjalanan kami akhirnya berakhir dan sampai di tujuan, Mobil Jeep berhenti di pinggir Danau yang terlihat asri dan alami, ku lihat panorama indah dari kaca jendela Mobil begitu indah jarang terjamah tangan manusia, lingkungan dan habitat alam yang rindang dan terjaga, Kami berhenti tepat di surau yang biasa dijadikan tempat bernaung dan beribadah, sebuah tempat sejuk yang dibangun warga setempat berikut dengan toilet yang cukup bersih, air yang mengalir dalam toilet berasal dari hulu sungai yang terbelah ke surau dan Situ Cibeureum.
Aku turun dari mobil sambil mengangguk pada supir, seraya mengucapkan rasa terima kasih, kaki ini melangkah tidak sabar menuju tepian Danau yang ditumbuhi rumput-rumput liar.
Ketika Guntur dan Aray masih berbicara pada Supir, Aku berinisiatif menyusuri pinggiran Danau, embun pagi yang mengepul di permukaan air membuat Danau ini seperti memancarkan aura mistisnya, seperti melihat Arwah yang terbang melayang ke atas langit, Danau ini hijau pekat tanda jarang tersentuh, ku melihat lumut mengapung di setiap sudut, sungguh kontras dengan gelar namanya yang dijuluki Situ Cibeureum (Merah).

"Jihan ? indah ya pemandangannya ?" Guntur menepuk bahu ku dari belakang.

"ih Guntur main tepuk aja, kaget tau." ucapku kesal dengan mencubitnya.

"wah gila nih, kalo engga dalam pasti gue langsung terjun." ucap Aray berteriak dibelakang kami, terlihat Bapak tadi turut serta menuju tepian Danau.

"Situ ini jarang terjamah, Pemerintah setempat masih enggan untuk membuka dan merenovasi fasilitas yang ada karena tempat ini masih terpencil." ucap Bapak itu.

"tapi lebih baik seperti ini Pak, terlihat asri dan alami." timpaku dengan senyuman.

"Pak, apakah Danau ini terdapat ikan atau sejenisnya ?" ucap Guntur, kami pun ikut penasaran dengan jawaban Bapak itu.

"terdapat Ikan dan beberapa jenis Belut Danau, tapi warga setempat enggan mengambil hasil alam dari Danau ini, karena di anggap suci dan keramat." jawabnya ringkas.

"loh kenapa dianggap keramat Pak ?" tanya Aray heran.

"Konon, dulu sekali ada Pemuda yang memancing di danau, dia berhasil menangkap Ikan berwarna Merah Keemasan seperti perunggu, lalu ketika sampai di rumahnya dia memasak dan memakannya, seketika Pemuda itu langsung meninggal." ucap Bapak itu datar dengan tertegun, di ikuti kami yang tersentak kaget.

"beneran Pak ?" ucapku padanya.

"masih jadi perdebatan, tapi jika cerita itu bohong mungkin cerita itu sebagai pagar kepada Manusia yang berniat merusak pada Situ ini." ucap Bapak itu kemudian mulai melangkah dan mengajak kami menyusuri Danau lebih jauh.

Setelah berbincang cukup lama, Aku, Guntur, dan Aray melepas lelah dengan memasak sarapan bersama di pinggiran Danau. Sambil bertafakur menikmati alam, Bapak tadi diketahui bernama Pak Muhidin, keturunan terakhir juru kunci tempat ini, sekaligus dipercaya oleh permerintah setempat untuk menjaga dan melestarikan Kawasan Hutan Lindung Cibeureum.
Guntur bersemangat mencatat berbagai hal untuk bahan penelitian kami, sedangkan Aray hanya bertanya-tanya tidak jelas seputar kisah mistis dan dongeng setempat, Aku tidak mendengar jelas percakapan mereka, karena bagiku memandang alam Cibeureum menyimpulkan satu hal.

"Menghargai Alam." gumamku dalam hati.

Kami pulang bersama Pak Muhidin dengan Jeep kesayangannya, sepanjang perjalanan pulang Aku memandang panorama alam yang jarang ku temui di daerah lain, dengan jelas terlihat perbukitan hutan pinus sangat lebat, beberapa warga setempat dikatakan bercocok tanam di lereng bukit ini untuk dibagikan pada masyarakat yang membutuhkan, singkatnya dari Alam untuk Alam.

. . .

Jeep yang kami tumpangi sampai di sebuah post di bawah Cagar Alam, Aku sedikit terheran karena tempat post ini berbeda dengan post yang kami jumpai di awal perjalanan, terlihat bersih dan terawat, aksen bangunan tradisional sunda sangat kental mengelilingi bangunan ini.

"loh kok ?" Aku, Guntur, Aray melirik satu sama lain.

"lalu . . . saat itu . . . kita ada dimana ?" ucapku terheran.

"wah gila nih !" balas Aray, kejadian ini mencambuk dirinya seketika.

Kami tidak berbicara apa-apa lagi, hanya pamit dan mengucapkan banyak terima kasih pada Pak Muhidin atas segala bantuannya, kami tidak akan melupakan beliau dan berencana memasukan namanya sebagai narasumber bagi penelitian kami kelak.

Lalu kami beranjak pulang dengan perasaan takjub serta syukur, karena alam masih bersikap ramah pada kami.

Pulang dengan selamat.

Mataku adalah saksi nyata bahwa kemarin kami benar-benar melewati jalan Mistis yang hanya diperuntukan pada kami bertiga, sebuah pelajaran dari alam berbentuk jalan dan rintangan.

Sungguh Misteri itu ada bukan untuk kita ungkap, tapi untuk kita ambil hikmahnya.

Garut, XX November 2010.

THE END



Spoiler for image source:
Diubah oleh bukhorigan 21-04-2020 15:15
hachiko12
husnamutia
opachimz18
opachimz18 dan 29 lainnya memberi reputasi
30