akhyarmustafaAvatar border
TS
akhyarmustafa
Jangan Panggil Aku pramuria
🍀🍀🍀🍀

“Hei, lihat! ada pramuria mau lewat!” cibir salah satu ibu yang sedang berdiri di depan kios Bu Naimah. Mereka kemudian cekikikan dan melempar sumpah serapah dengan suara besar. “Dasar gadis tidak tahu malu!”, “Dasar perempuan jalang!”, “Dasar sampah!”

Itu belum seberapa. Pernah juga, Bu Naimah mengeluarkan kata-kata yang lebih menyakitkan. “Orangtua sudah mati, anaknya malah jadi pramuria. Kasihan ... emak bapaknya pasti tersiksa di kuburan!”

Ini hari terakhirku di sini. Walau berat tapi inilah jalan terbaik, meninggalkan rumah yang menjadi saksi segalanya. Semua kenangan bersama emak dan bapak akan menjadi cerita untuk esok.

Aku akan pergi ke kota, memulai hidup baru. Sedikit uang hasil menjual perabotan di rumah menjadi modal. Jika tidak dijual, barang-barang itu akan rusak dengan sendirinya. Sebab, aku sudah berniat tidak akan lagi menginjakkan kaki ke kampung ini.

Aku terus berjalan dan tak lagi menghiraukan umpatan ibu-ibu tersebut. Mereka hanya bisa menghina dan selalu saja menghina. Bahkan tanpa rasa bersalah, mereka menyuruh anak-anaknya untuk ikut menghina bahkan melempari rumahku dengan batu. Teman-teman sekolah pun kini sudah menjadi musuh. Tak ada lagi persahabatan yang terjalin melainkan caci maki.

Sebenarnya aku masih memiliki saudara dari keluarga besar emak di kampung ini. Tapi mereka justru ikut menyudutkanku. Menyalahkan dan menghina kedua orangtua yang sudah melahirkan anak pramuria sepertiku.

Mengapa mereka tidak pernah bertanya dan mendengar penjelasanku? Padahal, suami, anak, bahkan saudara mereka juga menjadi korban konflik, sama seperti ayah dan emak. Tak pernah kembali sejak diambil paksa oleh orang tak dikenal (OTK). Mereka semua hilang tak berbekas.

***

“Indah, cepat ganti bajumu. Kita jalan-jalan. Jangan lama, ya?”

Segera kulaksanakan perintah Kak Yana, wanita yang menampungku saat ini.

Aku mengenalnya ketika di kampung. Pertemuan yang tidak sengaja. Saat itu, aku sedang mencari bapak dan emak di kampung sebelah. Kak Yana menawarkan tumpangan dan mengantarkanku pulang.

Dari cerita yang kudengar, dia orang yang baik, dan sudah memiliki pekerjaan di kota. Usianya masih muda, sekitar 25 tahunan.

Setelah dua kali bertemu, Kak Yana memberikan nomor handphonenya untuk kusimpan. Bahkan dia berpesan, jika aku memerlukan sesuatu dapat langsung menelponnya.

“Cepat, Indah ...!”

“Iya, Kak ... aku sudah selesai,” jawabku dari dalam kamar, lalu keluar menemuinya.

Kak Yana menatapku dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. “Kamu sudah cantik, tidak perlu di make-up,” ujarnya, setelah aku berada di depannya.

Sebelumnya berangkat, Kak Yana berpesan kepada dua wanita yang menjadi anak buahnya. Menutup gerbang rumah sebelum pukul 10 malam.

Aku tidak menyangka, ternyata rumah Kak Yana begitu besar. Rumah itu sekaligus dijadikan tempat usaha, rias pengantin dan salon. Jika aku mau, katanya, beliau bersedia menurunkan ilmunya agar aku bisa mandiri, tidak bergantung pada orang lain.

Kami pun mulai bergerak melambat menggunakan sepeda motor miliknya. Mataku memandang takjub suasana ramai di sepanjang jalan. Lampu warna-warni menerangi setiap sudut kota. Beberapa persimpangan yang kami lewati terlihat padat. Tenda-tenda penjual makanan berjejer menawarkan beragam menu spesial.

Aku semakin bersemangat.

Hirup pikuk kehidupan di kota sangat jauh berbeda dari kehidupan kampung. Wanita terlihat lebih cantik-cantik dengan tampilan yang memesona.

Belum habis kunikmati pemadangan malam ini, Kak Yana memberhentikan kendaraannya. Tepat di pinggir sebuah lapangan bola kaki, namun terlihat sangat ramai. Ratusan kursi dan meja tersusun rapi.

Kak Yana mengapit tanganku, berjalan pelan ke tengah lapangan. Ia tampak celingak-celinguk seperti mencari seseorang. “Aduh ... duduk di mana, ya, dia?”

“Mencari siapa, Kak?” aku penasaran.

“Temanku. Kami udah janjian bertemu di sini.” Matanya masih mencari-cari sosok temannya.

Dari sudut lapangan, aku melihat seorang laki-laki melambaikan tangan ke arah kami. Aku mencolek lengan wanita disampingku. “Kak ...,” kataku, lalu menunjuk ke arah laki-laki tadi.

“Ya ampun ... di situ rupanya,” dengusnya. Kak Yana menarik tanganku dan mempercepat langkahnya.

Laki-laki itu mempersilahkan untuk duduk, sesaat setelah kami berdiri dihadapannya. Kulihat Kak Yana langsung duduk disampingnya sedangkan aku memilih kursi di sisi lainnya, namun saling berhadapan. Di atas meja sudah terhidang tiga gelas jus mangga dan sepiring roti bakar.

“Indah, perkenalkan ... ini teman kakak dari Jakarta.” Kak Yana membuka percakapan.

Laki-laki yang kutaksir berusia 30 tahunan itu menyodorkan tangannya untuk bersalaman. Aku menyambut tanpa menatap wajahnya.

“Indah ...,” kataku memperkenalkan diri.

“Bang Andi,” balasnya.

“Indah masih sekolah?” tiba-tiba laki-laki itu melontarkan pertanyaan yang sangat kubenci. Aku tak menjawabnya.

Aku sedikit kesal. Sepertinya mereka berdua tak melihat perubahan di rona wajahku karena suasana yang remang-remang.

Kak Yana berdeham, “Indah sebenarnya masih sekolah kelas dua SMU, bang Andi .... Tapi berhenti, karena orangtuanya sudah meninggal.”

Lagi-lagi kalimat itu membuatku semakin geram. Namun tidak tahu harus berbuat apa. Aku tidak mungkin marah pada Kak Yana. Bagaimana jika aku diusir dari rumahnya? Aku kebingungan dan ketakutan sendiri. Aku hanya bisa tersenyum kecut di depan mereka berdua.

Selanjutnya kulihat Kak Yana menarik kursinya sedikit ke belakang, Bang Andi ikut mundur. Keduanya tampak serius membicarakan sesuatu sambil berbisik. Sepertinya mereka sengaja mengecilkan volume suara agar aku tidak bisa mendengarnya.

Sesekali kak Yana membuka handphonenya dan memperlihatkan sesuatu–tidak tahu apa yang diperlihatkan—pada teman laki-lakinya itu.

Aku segera membuang muka, pura-pura tak melihat.

Mataku mengamati suasana lapangan yang semakin ramai. Satu persatu kursi di depan kami mulai terisi. Seorang pelayan datang dan menghampiri mereka dan membuka sebuah buku. Pulpen di tangannya bergerak menunjuk daftar menu dan menulisnya dengan cepat di sebuah kertas. Lalu pergi menghilang ke arah gerobak makanan di belakang kami.

“Indah, jangan bengong saja, rotinya dicoba, dong. Kan, dipesan untuk dimakan ...,” tiba-tiba suara Kak Yana mengejutkanku.

Melihat keterkejutanku itu, Kak Yana dan Bang Andi malah tertawa terkekeh-kekeh. Aku tersipu.

Tak lama kami duduk. Kak Yana segera mengajakku pulang. Tapi anehnya, laki-laki itu ikut menyusul kami berdua.

Di parkiran, sekali lagi kulihat Kak Yana berbisik ke telinga Bang Andi. Ntah apa yang dibisikkan, aku juga tak tahu.

Namun yang pasti, setelah itu, aku menjadi bingung dan ketakutan. Kak Yana meninggalkanku berdua bersama Bang Andi. Diriku sempat protes namun wanita yang sudah kuanggap kakak sendiri itu justru marah dan sedikit mengancam.

“Sudahlah, Indah ... jangan banyak protes. Kamu ikut saja sama Bang Andi. Nanti kamu akan diantar pulang ke rumah, kok.”

Aku hanya diam. Diam dan diam hingga malam tak mampu mendengar suara jeritanku. Malam laknat yang telah mengantar laki-laki itu untuk merenggut segalanya. Meninggalkan noktah yang tak terhapus.

---SKIP---

“Indah ... cepat buka Indah ... cepat!" Suara Kak Yana terdengar panik.

Aku masih mengurung diri di dalam kamar. Sejak kemarin Kak Yana sudah mengajakku bicara dan minta maaf. Berkali-kali ia memintaku untuk keluar kamar dan menyuruhku makan, namun tak ku gubris. Hati ini masih terasa sakit dan kecewa.

Bahkan, tadi pagi, dari balik pintu kudengar dirinya menangis tersedu-sedu. Berulang kali ia meminta maaf dan berjanji tidak mengulang kembali perbuatannya.

“Indah ... maafkan kakak. Sumpah kakak menyesal dan tidak menyangka kejadiannya seperti ini ....” ucapnya, tergugu. Aku tidak percaya.

Tapi malam ini suaranya benar-benar berbeda. Setelah Kak Yana menggedor berkali-kali, karena penasaran, aku membuka pintu.

Aku terpana. Kak Yana sudah bersiap dengan tas besar di tangan kirinya. Matanya sembab, air mata masih terlihat membasahi pipinya. Aku kebingungan. Apa yang sedang terjadi? Bukankah seharusnya aku yang menangis dan membawa tas untuk pergi meninggalkan rumah ini?

Belum habis pertanyaan dikepalaku tiba-tiba ia menyodorkan koran yang sedari tadi dipegangnya.

Segera kuraih koran itu dan membacanya pelan-pelan. Kak Yana masih berdiri dengan sedu yang tak berhenti.

“Kita mau kemana, Kak?”

Aku mengalah. Tak dapat kupingkiri, aku masih membutuhkan dirinya dan tempat tinggal. Aku tidak tahu harus ke mana karena aku tidak memiliki uang dan keluarga di kota ini.

“Ke rumah teman. Kita nginap dua malam di sana sampai suasa kembali normal,” jawabnya, langsung memelukku dan menangis sejadi-jadinya. Tubuhnya terasa berguncang. “Indah ... maafkan kakak, sekali lagi maafkan kakak ....”

Segera kedua tanganku memeluk tubuhnya. Aku yakin, ucapannya kali ini tulus. Kuhapus air mata di pipinya. Memaafkan semuanya walau luka ditubuhku tak mungkin terobati untuk selama-lamanya.

***

Kak Yana sakit, tubuhnya demam panas. Setelah minum obat, langsung tertidur. Hari ini ia tidak banyak bicara. Termasuk pada dua anak buahnya yang ikut bersama kami.

Aku mencoba membaca ulang isi koran yang diberikan kak Yana tadi malam.

Seketika bulu halus ditubuhku berdiri. Malu, sedih, dan kecewa menjadi satu. Kulit terasa terbakar. Aku benar-benar marah membacanya.

Semuanya terbuka sudah. Ternyata, selama ini Kak Yana menyembunyikan identitasnya. Pekerjaan aslinya tak lain seorang germo. Menyediakan gadis-gadis belia untuk lelaki hidung belang. Usaha rias make-up pengantin hanya usaha bohong-bohongan untuk mengelabui warga dan aparat.

Parahnya, Kak Yana tidak sendiri. Di koran itu, ada banyak perempuan lainnya yang seprofesi dengannya di lokasi yang sama. Semua rumah dan ruko di sepanjang jalan tempat tinggal Kak Yana adalah usaha prostitusi. Aku bergidik.

Tapi, yang membuat aku marah dan malu, ternyata bang Andi seorang wartawan yang menyamar sebagai pelanggan. Pertemuan kami malam itu ditulisnya dengan sempurna. Sama persis.

Mulai dari perkenalan, apa yang kami makan, pakaian yang kupakai bahkan tahi lalat kecil di pipi kananku, pun ditulisnya.

Aku benar-benar geram. Bang Andi tidak menyamar sebagai pelanggan! Dia sudah merudapaksaku malam itu!

🍀🍀🍀🍀

Jangan Panggil Aku pramuria (2)

Jangan Panggil Aku pramuria (3)
Diubah oleh akhyarmustafa 09-04-2020 15:54
NadarNadz
nona212
husnamutia
husnamutia dan 42 lainnya memberi reputasi
43
12.1K
84
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
akhyarmustafaAvatar border
TS
akhyarmustafa
#38
Jangan Panggil Aku Lonte (Part 4)


“Indah ... dibuka pintunya, ada tamu malah diam saja.”

Emak baru saja kembali dari kamar kecil. Wajahnya tampak basah oleh air wudhu.

Aku beringsut malas dari kursi duduk. Mata masih menatap layar televisi yang menayangkan film Suzana, film jadul yang sering diputar ulang.

“Kok, masih nonton?”

Tiba-tiba Bapak sudah berdiri di samping sembari menggeleng-gelengkan kepala.

Ternyata pintu rumah masih digedor. “Siapa yang bertamu malam-malam begini,” batinku, sambil berjalan.

Hujan sedari sore tadi tak jua reda. Baskom besar di samping televisi telah terisi separuh air dari atap yang bocor.

Pintu masih saja digedor saat tanganku menyentuh kait pintu untuk membukanya.

Seketika bibirku langsung merapat. Perlahan ... kedua kaki mundur beberapa langkah setelah melihat siapa yang datang. Jantung mulai berdegup kencang.

Empat pria bertubuh tinggi besar berdiri di depan pintu. Senjata laras panjang tersampir di pundak. Aku tidak tahu siapa. Pakaian mereka sama seperti pakaian masyarakat pada umumnya tanpa mengenakan topi atau penutup kepala lainnya.

Aku menoleh, menatap Bapak yang berdiri mematung di samping rak kecil di sudut ruangan. Sajadah masih di tangannya.

“Kami mencari Pak Maimun ...,” salah satu dari mereka langsung masuk tanpa mengucap salam. Tangan kirinya memegang sebatang rokok yang masih menyala.

Bapak tak menjawab. Wajahnya sudah pucat pasi.

Aku segera bergeser, berdiri di depan pintu kamar.

Emak yang baru selesai shalat keluar dan langsung merapatkan tubuhnya denganku. Kami berdiri ketakutan di samping lemari. Saling berpegangan tangan. Bisa kudengar detak jantungnya yang berdegup kencang.

“Mengapa kalian diam!” bentak laki-laki itu.

“Hei! kamu bisu, ya ... mengapa diam saja!” lanjutnya sambil mengangkat tangan, menunjuk ke arah Bapak.

Bapak gelagapan. Kulit wajahnya mulai mengkilap oleh keringat.

“Sa-saya ... Ma-maimun, Pak,” jawab Bapak, terputus-putus.

Emak segera merangkulku dan mulai menangis. Pasrah. Mulutnya terus menerus melapalkan do’a. “Ya Allah ... neutulong kamoe ... ya Allah.” [Ya Allah ... tolonglah kami ... ya Allah].

“Ampun ... pak, saya tidak bersalah. Saya tidak tahu apa-apa, pak. Sumpah ....” Sambil menangis, Bapak mengatupkan kedua tangannya di dada.

“Bohong, Kau!” sanggah laki-laki, langsung meloncat seraya melepaskan tendangan, tepat di kepala Bapak.

Brak ...!

Aku dan Emak seketika menjerit histeris melihat Bapak jatuh telentang di samping tv.

Laki-laki di didepan kami mengambil senjata yang tersampir di punggungnya.

Bapak yang tengah berusaha bangkit langsung tersungkur. Wajahnya kembali dihantam menggunakan popor senjata hingga terjerembap ke lantai.

Bapak tetap mencoba bangkit dengan kaki gemetar. Darah segar mulai menetes dari pelipisnya yang robek.

"Saya tidak bersalah. Jangan tangkap saya ...." Bapak mulai mengiba.

Namun usahanya justru memancing emosi mereka. Satu dari tiga laki-laki yang masih di luar ikut masuk, berjalan ke arah Bapak.

Tangannya menarik paksa kepala Bapak dan meraba-raba pelipisnya yang masih mengeluarkan darah.

Aku dan Emak langsung menutup mata. Menjerit sekera-kerasnya, mana kala tangan lelaki itu dengan paksa menarik kulit pelipis Bapak yang robek. Perlahan, satu jarinya dimasukkan ke dalam celah pelipis yang berdarah. Dan, dalam sekejap, menarik seluruh kulit di wajah ke arah belakang hingga menyisakan tongkorak.

Darah segar muncrat dan mengalir deras membasahi tubuh Bapak.

Tak ada suara Bapak. Tapi aku dapat mendengar lenguhannya menahan sakit.

Dari sudut mata, dapat kulihat lelaki itu mengambil pisau di pinggangnya, lalu memotong kulit yang bergelantung di belakang kepala Bapak dan melemparnya ke wajahku. Buk!

---
Aku tersentak kaget. Kak Yana menepuk pipiku berkali-kali. Ia sudah berdiri dan siap-siap turun.

"Kita sudah sampai, Indah ...."

Wajahnya seketika berubah. "Kok, nangis? Mimpi lagi, ya?"

Hanya sebuah anggukan lemah yang bisa kusampaikan. Ternyata, saat bermimpi, air mataku ikut keluar.

Kak Yana tak dapat berkata. Sebab ia mengetahui ceritaku. Semuanya sudah kusampaikan saat pertama bertemu dengannya di kampung, ketika mencari Bapak dan Emak di pos aparat, di puncak bukit yang tandus.

Aku mengucek mata berkali-kali. Semua penumpang telah turun. Hanya tinggal aku, Kak Yana dan seorang pemuda yang duduk tepat di belakangku. Dia masih tertidur.

Segera kususul Kak Yana yang sudah turun untuk mengambil tas di bagasi. Baru tiga langkah kaki, entah mengapa, seperti ada yang memintaku untuk berhenti. Pemuda tadi.

Aku membalikkan tubuh, kearahnya.

"Hei, bangun ...."

Tak ada jawaban. Tarikan nafasnya terdengar halus.

"Hei ...," ulangku, sambil menyentuh bahunya.

Sosok pemuda itu terperanjat. Kebingungan.

Aku menatap matanya. Sepertinya, diriku pernah melihatnya, tapi ... entahlah ....

Segera kutinggalkan dirinya begitu saja, dan langsung menyusul Kak Yana.

🍀🍀🍀🍀

"Ingin bertemu siapa, mbak?" Seorang wanita muda menyambut kedatangan kami.

"Bu Sita. Beliau menyuruh saya kemari," jawab Kak Yana, setelah bersalaman. Aku ikut menyalaminya.

Wanita itu tersenyum ramah. Lalu meminta kami untuk duduk sambil menunggu Bu Sita. Aku dan Kak Yana segera duduk di sofa panjang berwarna pink.

Aku berdecak kagum. Bangunan berlantai empat ini sangat besar. Seluruh aksesoris berwarna pink, termasuk dindingnya. Pendingin udara mengeluarkan hawa sejuk hingga membuatku sedikit menggigil.

Inilah untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki ke Kota Medan. Bangunan besar menjulang tinggi, mall bertebaran dimana-mana, jalanan terasa sangat padat hingga membuat kemacetan di beberapa persimpangan jalan.

"Yanaaaa ...."

Kami yang baru duduk sontak menoleh ke arah suara.
Seorang wanita muncul dengan suara lengkingan yang aneh. Ia berlari kecil menghampiri Kak Yana. Tangannya terlihat sangat gemulai.

"Ih ..., kamu kapan datang, sih. Kok nggak ngabarin Mimi," ucapnya, lalu memeluk Kak Yana dengan erat.

Ternyata dia bukan Bu Sita, melainkan wanita jadi-jadian. Tangan gemulai Mimi berkali-kali mengibas rambutnya yang panjang.

Mataku tak berkedip menatap Mimi. Pakaiannya sangat seksi, baju ketat berwarna pink di padu jeans --juga ketat-- sebatas paha.

Sempat terpikir olehku, bagaimana caranya ia menyembunyikan alat kelaminnya. Sebab tak terlihat benjolan di selangkangannya. Padahal ia memakai jeans yang sangat ketat.

Tiba-tiba matanya kearahku.

"Ya ampun ... kamu bawa capcai baru ...." Jemari gemulainya menyentuh bahuku dengan centil.

Aku baru menyadari, Mimi ternyata sangat cantik dengan make-up yang tidak mencolok.

Kak Yana memperkenalkan diriku padanya. Semua tentangku dijelaskan, termasuk keberadaan emak dan bapak yang telah menghilang sejak dua tahun lalu.

Entah mengapa Mimi menangis. Padahal aku sendiri tak merasa sedih. Tapi kesedihannya hanya sesaat. Mimi kembali ceria bahkan membuatku tersenyum lebar.

"Kamu panggil aku tante. Ingat ... Tante Mimiii. Mi - Mi ...," ujarnya sambil memiringkan bibirnya agar terlihat seksi.

Kak Yana hanya tersenyum melihat aku yang terkekeh.

Aku menjadi akrab dengan Mimi, eh ... tante Mimi. Bahkan kehadirannya seolah menutup luka yang sedang kurasakan.

Tak lama, Bu Sita hadir. Hak tingginya mengeluarkan suara Tak ... Tek ... Tak ... Tek ... kala menyentuh lantai.

Aku terkesima. Penampilannya sangat modis dengan blazer yang dipadu celana terusan berwarna hitam. Paras ayu, tubuh semampai, putih, membuatnya terlihat seperti artis ibukota. Di mataku, Bu Sita sosok yang sempurna.

"Ibu turut berduka. Semoga kalian kuat dengan kejadian di sana. Jangan pikirkan harta yang hilang, kalian selamat saja ibu sudah senang," ujar Bu Sita sambil memeluk Kak Yana.

Kak Yana hanya menangis. Aku bisa merasakan kesedihannya walau tak mengeluarkan air mata.

"Ini siapa, Yana?" Bu Sita baru menyadari kehadiran diriku yang duduk di samping Mimi.

"Indah ...." Kak Yana pun kembali menjelaskan lebih detail tentang diriku.

"Baiklah. Indah tentunya lelah semalaman di bus, jadi istirahat saja di kamar Mimi, ya. Ibu mau ngobrol dengan Yana," kata Bu Sita, memberi kode kepada Mimi.

Setelah minta izin pada Kak Yana, Mimi langsung mengapit tanganku menaiki tangga ke lantai dua. Di samping tangga, ada lift khusus untuk menuju lantai tiga dan empat.

Sempat terbersit, sebenarnya aku berada di mana? Apakah gedung empat lantai ini rumah atau tempat usaha. Sebab, ada pamflet di depan gedung, 'Lounge Club'. Hanya itu.

"Mimi ... sebenarnya ini tempat apa?" Aku penasaran.

"Eits ... tan ... te. Ingat, ya. Tante Mi-Mi." Protes Mimi sedikit genit sambil mencubit pipiku. Lidahnya selalu dijulur saat bicara agar terlihat cantik dan manja.

"Aduh ... Indah lupa. Maafin, ya," aku pura-pura terkejut.

Mimi mengedipkan matanya, lalu tersenyum cekikikan.

Tak kulanjutkan pertanyaan itu. Mimi mulai berlenggak lenggok bak peragawati setelah anak tangga terakhir kami tinggalkan. Jari lentiknya sesekali membetulkan posisi bros di dadanya.

Di lantai dua ini, ada delapan kamar. Menurut pengakuan Mimi, semua kamar sudah ditempati karyawan yang sedang istirahat.

Rasa penasaran mulai mengusik. Semua karyawan ternyata wanita dan mulai bekerja pukul enam sore hingga pukul dua malam. Aku mencoba menenangkan hati.

Mimi menghentikan langkah. Matanya menatap tulisan di depan pintu sambil tersenyum. Aku ikut tersenyum saat membacanya; 'Mimi Chantik, Manja dan Menggoda'.

Mimi berjinjit sambil meraba-raba lubang angin di atas pintu. Mencari kunci.

🍀🍀🍀🍀

Ba'da zhuhur, Kak Yana menemuiku di kamar Mimi. Ia menyodorkan dua bungkusan berisi pakaian. Semuanya masih baru. Aku sempat menolak tapi kak Yana tetap memaksa untuk mengambilnya.

"Semua pakaian ini dari Bu Sita. Tadi kami membelinya di mall," ujar Kak Yana tanpa rasa bersalah.

Ternyata Kak Yana masih tak mengerti mengapa aku menolak.

Bagaimana mungkin aku bisa memakainya? Semua pakaian itu terlalu sempit untuk ukuran tubuhku. Tidak ada satupun yang longgar. Tidak ada jilbab, tidak ada celana panjang, tidak ada baju panjang.

🍀🍀🍀🍀

jiyanq
best10
nunuahmad
nunuahmad dan 2 lainnya memberi reputasi
3
Tutup