uclnAvatar border
TS
ucln 
Karma : Hurt No One


Quote:





I never meant to hurt no one
Nobody ever tore me down like you
I think you knew it all along
And now you'll never see my face again
I never meant to hurt nobody
And will I ever see the sun again?
I wonder where the guilt had gone
I think of what I have become
And still
I never meant to hurt nobody
Now I'm taking what is mine

Letting go of my mistakes
Build a fire from what I've learned
And watch it fade away
Because I have no heart to break
I cannot fake it like before
I thought that I could stay the same
And now I know that I'm not sure
I even love me anymore

I never meant to hurt no one
Sometimes you gotta look the other way
It never should've lasted so long
Ashamed you'll never see my face again
I never meant to hurt nobody
I know I'll never be the same again
Now taking back what I have done
I think of what I have become
And still
I never meant to hurt nobody
Now I'm taking what is mine

Letting go of my mistakes
Build a fire from what I've learned
And watch it fade away
Because I have no heart to break
I cannot fake it like before
I thought that I could stay the same
And now I know that I'm not sure
I even love me anymore

I never meant to hurt nobody
Nobody ever tore me down like you
I never meant to hurt no one
Now I'm taking what is mine..




<< Cerita sebelumya



Quote:


Diubah oleh ucln 30-09-2020 12:48
qthing12
sukhhoi
jalakhideung
jalakhideung dan 55 lainnya memberi reputasi
-12
84.3K
610
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
uclnAvatar border
TS
ucln 
#328
Part #29


Sepulang dari menikmati libur sekolah ke kepulauan seribu, Gue dan Nia kembali ke hari-hari yang membosankan menghabiskan sisa liburan sekolah. Komunikasi antara Gue dan Nia hanya ditengahi dengan sms dan sesekali Nia menelpon gue. Ga ada pertemuan tatap muka antara kami. Hal yang membuat Nia jadi mulai uring-uringan ga jelas. Gue gatau kenapa jadi males keluar rumah, selain kumpul sama temen-temen kecil gue. Ada rasa males buat keluar agak jauh untuk main ke rumah Nia sekedar untuk bertemu dengannya. Dan hal itu membuat Nia merasa gue abaikan. Padahal hampir selalu setiap saat gue membalas smsnya dan menjawab panggilan telepon darinya. Yang artinya gue ga mengabaikannya.

Suatu hari menjelang akhir liburan sekolah, Ryan datang ke rumah gue dengan seorang perempuan yang asing bagi gue. Ryan lalu mengenalkannya ke gue seorang cewek bernama Desti, dan mengatakan bahwa dia adalah seorang siswi di tingkatan SMP yang satu yayasan dengan sekolah SMA gue. Iya, anak SMP.

Gatau dimana pikirannya itu anak sampe bisa-bisanya bawa anak SMP dan berpikir untuk memacarinya. Hal itu tentu membuat gue menyindirnya sebagai bentuk protes gue atas kelakuan temen gue itu.

“Yan. Lo serius mau macarin anak SMP?” Tanya gue setengah berbisik karna ga ingin Desti mendengarnya.

“Lah, emang kenapa? Dia SMP juga udah kelas 2 men, Cuma beda 3 taun sama gue.”

“Ya.. tapi.. Maksud gue, kenapa ga kaya Maul aja sih buat cari kakak kelas kita aja buat Lo pacarin?”

“Maul? Dibego-begoin lo sama dia. Justru gue dikenalin ke Desti sama ceweknya Maul. Temen sekelasnya Desti.”

“HAH? Maksudnya?”

“Oh, Maul belom ngabarin ke Lo ya? Dia udah dapet cewek. Dan dia juga ngenalin Desti ke Gue, biar nanti bisa pacaran bareng gitu sama gue. Oke ga?” Ucap Ryan sambil memasang wajah meledek dan menaik-naikkan alis matanya.

Gue hanya menghela napas sambil menggelengkan kepala kemudian tertawa kecil mendengar ucapan Ryan. Disini gue langsung menangkap maksud Ryan dan Maul adalah untuk sekedar memenangkan taruhan ’30 hari mencari cinta’ yang akan berakhir tepat di hari pertama kami masuk sekolah nanti. Lalu gue memilih ga berkomentar apapun. Bagi gue taruhan itu memang hanya keisengan kami bertiga saja. Tapi gue ga menyangka bahwa keisengan itu malah membuat mereka berdua bersedia untuk memainkan hati orang lain. Walaupun Cuma anak SMP yang mungkin belum memakai hati mereka untuk menjalani hubungan yang disebut sebagai pacaran itu.

Beberapa hari berlalu, tepat di hari sabtu terakhir liburan sekolah. Nia mengirim SMS ke gue, menyampaikan bahwa ia akan pergi ke rumah keluarga Bokapnya di Bandung, bersama Nyokap dan Adiknya. Gue hanya membalas sekedar mengiyakan dan mengingatkannya untuk berhati-hati di jalan. Ga lama setelah balasan SMS gue terkirim, Nia langsung menelpon.

“Kok malah nelpon Ni? Ada apaan?” Tanya gue saat langsung menjawab panggilannya.

“Gapapa, Cuma mau denger suara kamu aja. Kamu di rumah?”

“Iya, baru bangun gue. Lo udah di jalan ini?”

“Udah. Ini udah di mobil. Gus, Aku SMS aja ya.”

Nia langsung menutup teleponnya. Yang meninggalkan gue dengan rasa bingung.

Ngapain pake nelpon segala dah itu anak kalo ujung-ujungnya dia bakal lanjutin di sms lagi. Batin gue dalam hati sambil melempar handphone gue ke kasur dan beranjak mandi.

Setelah mandi, gue mengecek handphone ternyata tidak ada SMS apapun yang masuk dari Nia. Baru saja gue mau kembali melempar handphone gue ke atas kasur, handphone gue bergetar singkat tanda ada SMS masuk. Gue langsung membuka SMS tersebut dari Nia. SMS yang berisi sangat banyak kata sampai ada tulisan some texts missing di akhir SMS tersebut, yang artinya masih ada lanjutan kata yang Nia ketik namun belum seluruhnya masuk tertuang ke dalam inbox SMS handphone gue. Maka gue pun memilih menutup kembali SMS tersebut dan memilih menunggu seluruh kata yang ia ketik terkumpul menjadi satu, baru akan gue baca. Dan sambil menunggu, gue memilih untuk makan dan meninggalkan handphone gue di kamar.

Selesai makan, gue langsung kembali ke kamar untuk mengecek SMS dari Nia. Ternyata ada sebuah panggilan tak terjawab mendampingi pesan SMS panjang yang ia kirimkan. Gue membuka SMS tersebut dan membacanya dengan sangat memperhatikan tiap kata yang ia ketikkan.

Pada intinya Nia mengatakan bahwa Bokapnya meminta Nia sekeluarga untuk pindah ke Bandung dan tinggal di rumah lama yang pernah ditempati oleh kedua orangtua Nia dulu. Kedua orangtua Nia pernah tinggal di Bandung saat Nia belum lahir. Tapi rumah itu bukan rumah yang asing bagi Nia karna ia juga cukup sering menginap disana saat liburan sekolah karna rumah itu ditempati oleh Om nya Nia dari pihak Bokapnya. Kekhawatiran yang coba Nia sampaikan bukanlah soal ia musti adaptasi di tempat baru, dan atau di sekolah baru. Tapi tentu saja soal hubungan antara gue dengannya. Dia merasa, hal ini akan mengganggu perjalanan hubungan kami. Tentu saja jarak Jakarta – Bandung bagi kami berdua saat ini akan menimbulkan ketidaknyamanan karna saat kami sama-sama di Jakarta seperti ini saja saat liburan sekolah malah membuat kami jadi jarang bertemu.

Gue menghela napas dan menutup SMS dari Nia setelah selesai membacanya. Gue duduk di tepi kasur kamar gue. Gue mencoba bertanya pada diri gue sendiri, apa arti hubungan gue dengan Nia bagi gue? Hubungan yang gue jalani ini mungkin ga lebih dari sekedar sebuah cara bagi kedua anak remaja untuk mengisi hari-hari dengan candaan bersama. Ga lebih dari itu. Perihal adanya rasa nyaman yang membuat kami terikat dalam satu rasa untuk ingin terus bersama, gue masih merasa itu adalah sebuah perasaan semu yang ga musti gue turuti adanya. Maka, menurut gue akan sangat membuang waktu jika gue ‘terikat’ pada sebuah perasaan ke seseorang yang kelak kehadirannya akan terbatasi oleh kemampuan gue untuk menempuh jarak demi sekedar menemuinya. Bagi gue, tanpa adanya seorang perempuan dalam hidup gue hanya akan membuat gue kembali ke rutinitas gue sebelum bertemu dengannya. Rasa kehilangan yang mungkin akan muncul setelahnya adalah rasa sesaat yang gue yakini akan mampu gue abaikan hinggal akhirnya perasaan gue akan teralihkan kembali ke hal-hal lain yang gue jalani di depan mata gue. Sesimpel dan selogis itu lah pemikiran gue setelah membaca isi SMS dari Nia

Namun, panjangnya isi SMS itu menurut gue ga mudah untuk Nia ketik dan susun sebelum ia kirimkan ke gue. Entah sudah berapa kali ia melakukan bongkar-pasang kata sebelum ia kirimkan ke gue setelah merasa kata yang ia susun sudah cukup tepat untuk mewakili resah yang tengah ia rasakan. Gue mengerti bahwa Nia mencoba menyampaikan bahwa hal ini ga mudah untuknya. Terkait hubungan gue dengannya. Dan ga mungkin gue membalas SMS tersebut dengan menyampaikan pemikiran gue yang sungguh hanya simple dan logis. Yang mungkin hanya akan tampak naif dan membuat gue terlihat begitu angkuh di matanya.

Saat gue masih tengah disibukkan dengan jutaan kata di kepala gue, sebuah SMS kembali masuk. Dan masih dari Nia. Namun kali ini kata yang ia sampaikan begitu singkat namun cukup padat maknanya.

Nia: "u know i will stay if u want me to stay. Just say."

Gue menegaskan pandagan mata gue membaca isi SMSnya. Apa yang Nia maksud? Apakah dia meminta gue untuk memintanya ga pindah ke Bandung? Enggak, dia tau gue ga akan meminta hal itu padanya. Maka gue memilih untuk membalas SMSnya meminta untuk pertemuan dengannya.

Gue: "Lo kpn mulai pindah? Dan kpn gue bs ketemu Lo sblm Lo pindah?"

Nia: "Klo jd, bulan dpn aku pindah ksni Gus"

Gue: "Kabarin ya klo Lo udah balik ke rmh dan bs ketemu Gue"

Nia: "Ntar malem? Abis maghrib aku dr sini"

Gue: "OK'

Gue mengakhiri berbalas pesan dengan Nia kemudian keluar kamar untuk sekedar duduk di ruang tamu dan ngobrol santai sama Nyokap agar gue ga terlalu memikirkan apapun yang membuat gue merasakan khawatir. Gue selalu berusaha untuk gamau larut oleh sebuah perasaan yang gue sendiri ga bisa memahaminya. Apalagi, bersama Nia saat ini adalah rasa yang benar-benar baru gue rasakan. Rasa yang sebelumnya ga pernah membuat gue seperti ini. Dan gue berharap bisa ga terlalu larut di dalam rasa itu.

****


Tepat jam 8 malam gue sudah sampai di rumah Nia. Malam ini gue meminjam motor Adam karna dia sedang ga menggunakannya. Gue melihat dari luar pagar rumah Nia sepertinya sepi dan ga ada tanda-tanda kehidupan. Gue mencoba mendekat ke pagar dan menekan bel hingga 2 kali, lalu berdiri di depan motor yang gue parkir tepat di depan pagar rumah Nia. Ga ada tanda-tanda jawaban atau respon apapun dari dalam rumah. Apa mungkin seisi rumah pergi ke Bandung? Entahlah, gue memilih menunggu sambil menyulut sebatang rokok pertama yang gue hisap hari ini. Karna seharian ini gue dirumah maka baru kali ini gue bisa menikmati asap rokok.

Gue menghabiskan waktu hampir satu jam menunggu. Entah sudah berapa batang rokok gue bakar dan hisap. Entah sudah berapa puluh kali gue memutar sebuah lagu yang sama hari handphone gue. Gue mulai merasa bosan. Duduk di pinggir jalanan komplek yang sepi dan pencahayaan minim seperti ini benar-benar membuat gue merasa bosan. Namun gue memilih untuk tetap menunggu karna gue yakin Nia pasti akan datang. Gue ga mengirimkan SMS untuk mengabarinya bahwa gue sudah menunggu. Sampai akhirnya tepat jam 11 malam, -Iya, jam 11 malam, Sebuah cahaya yang berasal dari lampu motor menerpa wajah gue dan berhenti tepat di depan gue. Gue melihat Nia turun dari motor, mengembalikan helm kepada seorang yang mengendarai motor tersebut lalu memberikan selembar uang padanya sambil mengucapkan terima kasih. Lalu pengendara motor itu pergi.

Nia kemudian setengah berjongkok di depan gue sambil memasang senyum dengan wajah merasa bersalah. Rambutnya yang sudah agak lebih panjang dari sebelumnya kali ini sedang diikat. Membuat ia tampak cukup anggun dan tetap cantik di mata gue.

“Makasih ya Gus udah nungguin. Maaf aku kelamaan sampenya.”

Gue tersenyum mendengar ucapannya. Sebuah pemilihan kalimat yang sangat tepat menurut gue. Dia lebih memilih mengucapkan terima kasih terlebih dahulu baru mengucapkan kata maaf. Dia memang perempuan yang sangat pintar dalam bersikap ketika ia dalam kondisi ‘normal’. Maksudnya, saat ia tidak tengah dikuasai oleh emosinya. Gue selalu suka caranya bersikap dan mengedepankan ucapan terima kasih. Bahkan kepada seorang tukar parkir liar di depan mini mart pun ia memberikan uang parkir sambil mengucapkan terima kasih. Hal yang pernah gue tanyakan padanya. Namun dia menjawab “Ngucapin makasih ga bikin kamu rugi kan? Untuk hal sekecil apapun ucapin makasih ga pernah salah kok.” Hal-hal seperti itu yang gue kagumi dari sikap Nia, yang membuat gue merasa harus belajar cara bersikap dengan baik darinya.

Gue dan Nia saling berpegangan tangan erat untuk saling menarik badan, mengubah posisi duduk menjadi berdiri. Gue mengibaskan celana gue saat Nia tengah membuka kunci pagar rumahnya.

“Itu tadi Lo naek ojek darimana Ni?” Tanya gue

Nia hanya menjawab dengan senyum, lalu mendorong pagar rumahnya, pertanda meminta gue untuk masuk terebih dahulu. Gue pun langsung mendorong masuk motor gue dan memarkirkannya di depan garasi rumahnya. Nia melangkah ke pintu utama dan membuka kunci pintu rumahnya. Ia langsung masuk ke dalam rumahnya dan membiarkan pintunya terbuka. Gue menyusul dan duduk di bangku teras rumahnya. Baru saja gue mau membakar sebatang rokok lagi, gue mendengar suara pintu garasi disamping pintu utama rumahnya terbuka. Gue menoleh kearah pintu garasi namun ga mendapati Nia disana. Nia justru kembali keluar dari pintu utama tepat disamping gue.

“Masukin aja Gus motornya ke dalem situ.” Ucap Nia sambil kembali berlalu ke dalam rumah.

Gue yang ga mengerti apa maksud Nia meminta gue memasukkan motor ke dalam garasi rumahnya yang begitu luas akhirnya memilih mengabaikan permintaannya. Toh di parkir di depan garasi juga udah cukup aman menurut gue. Gue melanjutkan membakar rokok yang tadi sempat terinterupsi.

Beberapa menit kemudian Nia memanggil gue dari dalam rumah, meminta gue untuk duduk di dalam. Gue menoleh ke dalam rumah dan mendapati dia tengah meletakkan dua gelas air minum diatas meja di ruang tamu rumahnya.

“Di dalem ada orang, Ni?” Tanya gue ke Nia yang hendak melangkah kembali masuk ke bagian dalam rumahnya.

Nia menoleh dan menangguhkan langkahnya.

“Ga ada. Cuma ada aku. Emang kenapa?” Tanya Nia dengan wajah bingung.

“Kok emang kenapa? Ya ga enak lah gue masuk ke dalem kalo ga ada orang selain Lo.”

Nia berjalan ke arah gue sambil tersenyum dan menggelengkan kepala.

“Bagus, Sayang. Di dalem aja duduknya. Percaya deh sama aku, kalo kamu duduk di luar dan ada tetangga yang lihat dan tau kondisi rumah ini sepi, akan lebih ga enak lagi denger omongan-omongan mereka. Itu juga motornya dimasukkin aja ke dalem garasi.”

Gue menganggukkan kepala saat baru memahami apa yang Nia maksud. Maka gue pun segera menuruti yang ia katakan. Gue mendorong motor gue masuk ke dalam garasinya. Namun karna kebingungan gimana cara menutup rolling door garasinya yang melipat keatas sangat tinggi, gue pun meninggalkan garasi itu dengan kondisi tetap terbuka lalu masuk kedalam rumah Nia melalui pintu utama. Gue duduk di sofa ruang tamu dan menikmati segelas minuman yang telah Nia siapkan.

“Gus. Aku mandi dulu ya.” Ucap Nia yang kini telah berada di lantai dua depan kamarnya.

Gue mendongakkan kepala menatapnya. Ikatan rambutnya telah ia buka dan ia tengah menggantungkan handuk di pundak kanannya.

“Yaah, itu kok rambutnya ga diiket lagi?” Tanya gue meledek.

“Ya kan aku mau mandi. Emang kenapa kalo rambut aku ga aku iket? Jadi jelek?” tanya Nia meladeni ledekan gue.

“Ga jelek lah. Lo mah diapain juga tetep aja cantik. Selama jadi pacar gue.” Jawab gue sambil cengengesan yang Nia jawab dengan menjulurkan lidahnya meledek balik ke gue.


Diubah oleh ucln 12-04-2020 09:57
oktavp
mmuji1575
jenggalasunyi
jenggalasunyi dan 5 lainnya memberi reputasi
4