Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

akhyarmustafaAvatar border
TS
akhyarmustafa
Jangan Panggil Aku pramuria
🍀🍀🍀🍀

“Hei, lihat! ada pramuria mau lewat!” cibir salah satu ibu yang sedang berdiri di depan kios Bu Naimah. Mereka kemudian cekikikan dan melempar sumpah serapah dengan suara besar. “Dasar gadis tidak tahu malu!”, “Dasar perempuan jalang!”, “Dasar sampah!”

Itu belum seberapa. Pernah juga, Bu Naimah mengeluarkan kata-kata yang lebih menyakitkan. “Orangtua sudah mati, anaknya malah jadi pramuria. Kasihan ... emak bapaknya pasti tersiksa di kuburan!”

Ini hari terakhirku di sini. Walau berat tapi inilah jalan terbaik, meninggalkan rumah yang menjadi saksi segalanya. Semua kenangan bersama emak dan bapak akan menjadi cerita untuk esok.

Aku akan pergi ke kota, memulai hidup baru. Sedikit uang hasil menjual perabotan di rumah menjadi modal. Jika tidak dijual, barang-barang itu akan rusak dengan sendirinya. Sebab, aku sudah berniat tidak akan lagi menginjakkan kaki ke kampung ini.

Aku terus berjalan dan tak lagi menghiraukan umpatan ibu-ibu tersebut. Mereka hanya bisa menghina dan selalu saja menghina. Bahkan tanpa rasa bersalah, mereka menyuruh anak-anaknya untuk ikut menghina bahkan melempari rumahku dengan batu. Teman-teman sekolah pun kini sudah menjadi musuh. Tak ada lagi persahabatan yang terjalin melainkan caci maki.

Sebenarnya aku masih memiliki saudara dari keluarga besar emak di kampung ini. Tapi mereka justru ikut menyudutkanku. Menyalahkan dan menghina kedua orangtua yang sudah melahirkan anak pramuria sepertiku.

Mengapa mereka tidak pernah bertanya dan mendengar penjelasanku? Padahal, suami, anak, bahkan saudara mereka juga menjadi korban konflik, sama seperti ayah dan emak. Tak pernah kembali sejak diambil paksa oleh orang tak dikenal (OTK). Mereka semua hilang tak berbekas.

***

“Indah, cepat ganti bajumu. Kita jalan-jalan. Jangan lama, ya?”

Segera kulaksanakan perintah Kak Yana, wanita yang menampungku saat ini.

Aku mengenalnya ketika di kampung. Pertemuan yang tidak sengaja. Saat itu, aku sedang mencari bapak dan emak di kampung sebelah. Kak Yana menawarkan tumpangan dan mengantarkanku pulang.

Dari cerita yang kudengar, dia orang yang baik, dan sudah memiliki pekerjaan di kota. Usianya masih muda, sekitar 25 tahunan.

Setelah dua kali bertemu, Kak Yana memberikan nomor handphonenya untuk kusimpan. Bahkan dia berpesan, jika aku memerlukan sesuatu dapat langsung menelponnya.

“Cepat, Indah ...!”

“Iya, Kak ... aku sudah selesai,” jawabku dari dalam kamar, lalu keluar menemuinya.

Kak Yana menatapku dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. “Kamu sudah cantik, tidak perlu di make-up,” ujarnya, setelah aku berada di depannya.

Sebelumnya berangkat, Kak Yana berpesan kepada dua wanita yang menjadi anak buahnya. Menutup gerbang rumah sebelum pukul 10 malam.

Aku tidak menyangka, ternyata rumah Kak Yana begitu besar. Rumah itu sekaligus dijadikan tempat usaha, rias pengantin dan salon. Jika aku mau, katanya, beliau bersedia menurunkan ilmunya agar aku bisa mandiri, tidak bergantung pada orang lain.

Kami pun mulai bergerak melambat menggunakan sepeda motor miliknya. Mataku memandang takjub suasana ramai di sepanjang jalan. Lampu warna-warni menerangi setiap sudut kota. Beberapa persimpangan yang kami lewati terlihat padat. Tenda-tenda penjual makanan berjejer menawarkan beragam menu spesial.

Aku semakin bersemangat.

Hirup pikuk kehidupan di kota sangat jauh berbeda dari kehidupan kampung. Wanita terlihat lebih cantik-cantik dengan tampilan yang memesona.

Belum habis kunikmati pemadangan malam ini, Kak Yana memberhentikan kendaraannya. Tepat di pinggir sebuah lapangan bola kaki, namun terlihat sangat ramai. Ratusan kursi dan meja tersusun rapi.

Kak Yana mengapit tanganku, berjalan pelan ke tengah lapangan. Ia tampak celingak-celinguk seperti mencari seseorang. “Aduh ... duduk di mana, ya, dia?”

“Mencari siapa, Kak?” aku penasaran.

“Temanku. Kami udah janjian bertemu di sini.” Matanya masih mencari-cari sosok temannya.

Dari sudut lapangan, aku melihat seorang laki-laki melambaikan tangan ke arah kami. Aku mencolek lengan wanita disampingku. “Kak ...,” kataku, lalu menunjuk ke arah laki-laki tadi.

“Ya ampun ... di situ rupanya,” dengusnya. Kak Yana menarik tanganku dan mempercepat langkahnya.

Laki-laki itu mempersilahkan untuk duduk, sesaat setelah kami berdiri dihadapannya. Kulihat Kak Yana langsung duduk disampingnya sedangkan aku memilih kursi di sisi lainnya, namun saling berhadapan. Di atas meja sudah terhidang tiga gelas jus mangga dan sepiring roti bakar.

“Indah, perkenalkan ... ini teman kakak dari Jakarta.” Kak Yana membuka percakapan.

Laki-laki yang kutaksir berusia 30 tahunan itu menyodorkan tangannya untuk bersalaman. Aku menyambut tanpa menatap wajahnya.

“Indah ...,” kataku memperkenalkan diri.

“Bang Andi,” balasnya.

“Indah masih sekolah?” tiba-tiba laki-laki itu melontarkan pertanyaan yang sangat kubenci. Aku tak menjawabnya.

Aku sedikit kesal. Sepertinya mereka berdua tak melihat perubahan di rona wajahku karena suasana yang remang-remang.

Kak Yana berdeham, “Indah sebenarnya masih sekolah kelas dua SMU, bang Andi .... Tapi berhenti, karena orangtuanya sudah meninggal.”

Lagi-lagi kalimat itu membuatku semakin geram. Namun tidak tahu harus berbuat apa. Aku tidak mungkin marah pada Kak Yana. Bagaimana jika aku diusir dari rumahnya? Aku kebingungan dan ketakutan sendiri. Aku hanya bisa tersenyum kecut di depan mereka berdua.

Selanjutnya kulihat Kak Yana menarik kursinya sedikit ke belakang, Bang Andi ikut mundur. Keduanya tampak serius membicarakan sesuatu sambil berbisik. Sepertinya mereka sengaja mengecilkan volume suara agar aku tidak bisa mendengarnya.

Sesekali kak Yana membuka handphonenya dan memperlihatkan sesuatu–tidak tahu apa yang diperlihatkan—pada teman laki-lakinya itu.

Aku segera membuang muka, pura-pura tak melihat.

Mataku mengamati suasana lapangan yang semakin ramai. Satu persatu kursi di depan kami mulai terisi. Seorang pelayan datang dan menghampiri mereka dan membuka sebuah buku. Pulpen di tangannya bergerak menunjuk daftar menu dan menulisnya dengan cepat di sebuah kertas. Lalu pergi menghilang ke arah gerobak makanan di belakang kami.

“Indah, jangan bengong saja, rotinya dicoba, dong. Kan, dipesan untuk dimakan ...,” tiba-tiba suara Kak Yana mengejutkanku.

Melihat keterkejutanku itu, Kak Yana dan Bang Andi malah tertawa terkekeh-kekeh. Aku tersipu.

Tak lama kami duduk. Kak Yana segera mengajakku pulang. Tapi anehnya, laki-laki itu ikut menyusul kami berdua.

Di parkiran, sekali lagi kulihat Kak Yana berbisik ke telinga Bang Andi. Ntah apa yang dibisikkan, aku juga tak tahu.

Namun yang pasti, setelah itu, aku menjadi bingung dan ketakutan. Kak Yana meninggalkanku berdua bersama Bang Andi. Diriku sempat protes namun wanita yang sudah kuanggap kakak sendiri itu justru marah dan sedikit mengancam.

“Sudahlah, Indah ... jangan banyak protes. Kamu ikut saja sama Bang Andi. Nanti kamu akan diantar pulang ke rumah, kok.”

Aku hanya diam. Diam dan diam hingga malam tak mampu mendengar suara jeritanku. Malam laknat yang telah mengantar laki-laki itu untuk merenggut segalanya. Meninggalkan noktah yang tak terhapus.

---SKIP---

“Indah ... cepat buka Indah ... cepat!" Suara Kak Yana terdengar panik.

Aku masih mengurung diri di dalam kamar. Sejak kemarin Kak Yana sudah mengajakku bicara dan minta maaf. Berkali-kali ia memintaku untuk keluar kamar dan menyuruhku makan, namun tak ku gubris. Hati ini masih terasa sakit dan kecewa.

Bahkan, tadi pagi, dari balik pintu kudengar dirinya menangis tersedu-sedu. Berulang kali ia meminta maaf dan berjanji tidak mengulang kembali perbuatannya.

“Indah ... maafkan kakak. Sumpah kakak menyesal dan tidak menyangka kejadiannya seperti ini ....” ucapnya, tergugu. Aku tidak percaya.

Tapi malam ini suaranya benar-benar berbeda. Setelah Kak Yana menggedor berkali-kali, karena penasaran, aku membuka pintu.

Aku terpana. Kak Yana sudah bersiap dengan tas besar di tangan kirinya. Matanya sembab, air mata masih terlihat membasahi pipinya. Aku kebingungan. Apa yang sedang terjadi? Bukankah seharusnya aku yang menangis dan membawa tas untuk pergi meninggalkan rumah ini?

Belum habis pertanyaan dikepalaku tiba-tiba ia menyodorkan koran yang sedari tadi dipegangnya.

Segera kuraih koran itu dan membacanya pelan-pelan. Kak Yana masih berdiri dengan sedu yang tak berhenti.

“Kita mau kemana, Kak?”

Aku mengalah. Tak dapat kupingkiri, aku masih membutuhkan dirinya dan tempat tinggal. Aku tidak tahu harus ke mana karena aku tidak memiliki uang dan keluarga di kota ini.

“Ke rumah teman. Kita nginap dua malam di sana sampai suasa kembali normal,” jawabnya, langsung memelukku dan menangis sejadi-jadinya. Tubuhnya terasa berguncang. “Indah ... maafkan kakak, sekali lagi maafkan kakak ....”

Segera kedua tanganku memeluk tubuhnya. Aku yakin, ucapannya kali ini tulus. Kuhapus air mata di pipinya. Memaafkan semuanya walau luka ditubuhku tak mungkin terobati untuk selama-lamanya.

***

Kak Yana sakit, tubuhnya demam panas. Setelah minum obat, langsung tertidur. Hari ini ia tidak banyak bicara. Termasuk pada dua anak buahnya yang ikut bersama kami.

Aku mencoba membaca ulang isi koran yang diberikan kak Yana tadi malam.

Seketika bulu halus ditubuhku berdiri. Malu, sedih, dan kecewa menjadi satu. Kulit terasa terbakar. Aku benar-benar marah membacanya.

Semuanya terbuka sudah. Ternyata, selama ini Kak Yana menyembunyikan identitasnya. Pekerjaan aslinya tak lain seorang germo. Menyediakan gadis-gadis belia untuk lelaki hidung belang. Usaha rias make-up pengantin hanya usaha bohong-bohongan untuk mengelabui warga dan aparat.

Parahnya, Kak Yana tidak sendiri. Di koran itu, ada banyak perempuan lainnya yang seprofesi dengannya di lokasi yang sama. Semua rumah dan ruko di sepanjang jalan tempat tinggal Kak Yana adalah usaha prostitusi. Aku bergidik.

Tapi, yang membuat aku marah dan malu, ternyata bang Andi seorang wartawan yang menyamar sebagai pelanggan. Pertemuan kami malam itu ditulisnya dengan sempurna. Sama persis.

Mulai dari perkenalan, apa yang kami makan, pakaian yang kupakai bahkan tahi lalat kecil di pipi kananku, pun ditulisnya.

Aku benar-benar geram. Bang Andi tidak menyamar sebagai pelanggan! Dia sudah merudapaksaku malam itu!

🍀🍀🍀🍀

Jangan Panggil Aku pramuria (2)

Jangan Panggil Aku pramuria (3)
Diubah oleh akhyarmustafa 09-04-2020 15:54
NadarNadz
nona212
husnamutia
husnamutia dan 42 lainnya memberi reputasi
43
12.1K
84
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
akhyarmustafaAvatar border
TS
akhyarmustafa
#22
Jangan Panggil Aku pramuria (3)

Kak Yana langsung memelukku sesaat setelah keluar dari gedung. Dekapannya terasa begitu erat.

Aku hanya bisa menangis tanpa suara. Tak mampu mengangkat kepala untuk menatapnya.
Kedua tangan Kak Yana menyentuh pipiku. Mendekatkan wajahnya ke wajahku.
“Kita pergi. Kamu jangan menangis lagi. Kita akan bebas ....”

“Kemana ... Kak?” suaraku nyaris tak terdengar. Kata-kata yang keluar dari bibir tak lebih dari hembusan angin. Masih sulit untuk berucap. Seperti ada gumpalan darah yang masih tersangkut di tenggorokan.

“Ke Medan. Aku tidak memaksa dirimu untuk ikut. Jika pun Indah ingin pulang, Kakak akan memberi ongkos.”

Tiada pilihan selain ikut dengannya. Tak mungkin pulang ke kampung dalam kondisi seperti ini. Pun, kembali ke rumah bukanlah pilihan terbaik. Saat ini, aku benar-benar terluka dan butuh istirahat.

Setelah mendapat jawaban, Kak Yana menuntunku berjalan ke pintu pagar.

"Nanti ... ketika di Medan, kakak akan mengantarmu berobat," ujarnya, seraya merangkul bahuku.
Di luar pagar, sudah ada becak motor yang menunggu kami. Tiga tas besar, dua milik Kak Yana dan satu milikku, sudah terikat di bagian belakang.

“Ayo bang, antar kami ke terminal.”

“Baik, bu.” Jawab lelaki itu, lalu membawa kami ke terminal bus antar provinsi.

Kerlip lampu sepanjang jalan tak lagi indah. Hiruk-pikuk tak lagi menjadi menarik di mataku. Semuanya terasa gelap dan berkabut.

Sepanjang jalan, Kak Yana tak henti menyemangatiku. Ia mengumbar cerita dan janji untukku di Kota Medan. "Kamu akan aman dan bahagia di sana, Indah. Kamu harus percaya sama kakak ...."

🍀🍀🍀🍀

Di terminal Bus, Kak Yana langsung mengajak ke toilet wanita. Ia meminta diriku untuk mandi dan mengganti pakaian. Banyak bercak darah kering yang tertinggal di kerudung dan baju.
Satu per satu helai kain tertanggal dari tubuh. Gemericik air kran yang jatuh ke dalam bak membuatku leluasa menangis, kala meraba kulit bagian dada yang memar dan membiru. Terasa sakit saat disentuh.

Tubuhku terduduk lemas, mencoba bersandar pada dinding. Ada penyesalan yang sulit diungkapkan. Kecewa, namun tak tahu harus berbuat apa. Bahkan, saat bergerak pun, selangkangan masih terasa sakit. Wartawan itu telah menyiksaku secara kasar saat di hotel.
"Indah, jangan lama-lama. Nanti ketinggalan bus ...."

Suara Kak Yana membuyarkan lamunan. Sambil berjongkok, tanganku mulai mengayunkan gayung yang telah terisi air. Perlahan mengguyur rambut dan tubuh yang terasa kering.
Setiap tetesan air yang jatuh menyentuh kulit, seakan meluruhkan segala luka dan sakit yang kurasakan malam ini. Lara mulai menyingkir.

“Indah ... cepetan,” suara Kak Yana kembali terdengar.
-----

Kak Yana tersenyum. Diapitnya lenganku menuju rumah makan tak berdinding ---sekaligus digunakan sebagai tempat istirahat sembari menunggu keberangkatan--- di sudut utara terminal.
Tati dan Idah tak ikut. Mereka diperintahkan Kak Yana untuk melihat situasi, karena masih banyak barang berharga yang tertinggal di Lorong Dara.

Aku dan Kak Yana memilih tempat duduk paling ujung setelah memesan nasi soto dan teh manis. Hanya dua meja yang tersisa.

Puluhan penumpang yang hendak berangkat tengah menikmati makanan sambil bersendawa, anak-anak tampak berlari riang ke sana-sini. Beberapa bus yang tersisa berjejer rapi menunggu giliran berangkat, di sebelah bangunan utama terminal.

Jam di dinding –tepat di atas televisi yang masih menyala-- sudah menunjukkan Pukul 12.15 wib. Berarti lima belas menit lagi aku dan Kak Yana berangkat.

"Cepat dimakan, keburu berangkat kita," pinta Kak Yana, setelah pesanan kami datang.

Belum tiga suap nasi soto masuk ke mulut, tiba-tiba beberapa calon penumpang dan penjual makanan berjalan mendekati layar televisi di dinding. Wajah mereka mendongak ke atas, menyimak informasi yang sedang dibaca pembawa berita.

Sebagian mereka mulai tertawa sinis bahkan beberapa lainnya mulai mencaci.
“Mampus kalian pramuria! Jangan main-main di daerah kami!”

“Potong saja lehernya ... dirajam sekalian biar tahu rasa!” sambung yang lainnya.
Aku langsung tersedak dan cepat-cepat menutup mulut dengan ujung jilbab. Dada terasa begitu sakit. Seperti ada cairan yang keluar dari mulut. Namun tetap kutahan.

Kak Yana meraih tanganku dan menggenggamnya erat sekali. Tangannya terasa panas. Aku mulai ketakutan.

Caci maki masih belum berhenti. Bahkan beberapa wanita mulai ikut bersuara dengan sumpah serapah dan kata-kata berbagai jenis binatang.

Saat itulah, tanpa sengaja, mataku melihat layar berwarna yang tergantung tersebut.
Seketika jantungku terasa berhenti. Melihat wajah sendiri yang tengah menjerit-jerit.
Aku ada di sana, di layar televisi. Meronta-ronta di antara kerumunan laki-laki berbaju cokelat. Mereka menyeret secara paksa dan melempar tubuhku ke atas pick-up. Beberapa tangan mereka tampak berlumur darah.
Ternyata Kak Yana juga melihatnya. Cepat-cepat diraihnya kepalaku dan menutupnya dalam pelukan. Dan ia tersadar, jilbab yang kugunakan untuk menutup mulut telah berdarah.
Ia tampak panik. Namun pengumuman dari pengeras suara di bangunan utama, membuatnya bingung. Kami harus segera naik ke dalam bus.
"Bagaimana Indah? Kamu tidak apa-apa? Masih kuat?" Suaranya mulai bergetar. Tak dapat menutup kekhawatirannya.
Aku hanya menggeleng. Namun, dalam hati aku tetap berkata, "Kuat. Aku akan ikut Kakak dan tak ingin di sini ...."
Kami bersyukur. Tak ada lagi yang berdiri di depan layar televisi. Semuanya bergegas masuk ke dalam bus.
Setelah membayar makanan, Kak Yana menarikku untuk segera meninggalkan tempat itu.
Aku langsung masuk ke dalam bus, sedangkan Kak Yana masih di luar. Mengambil tiket barang bawaan, agar tak tertukar saat di Medan.
Setelah menemukan nomor kursi, segera kurebahkan diri. Ingin rasanya cepat-cepat menutup mata. Malam ini aku begitu lelah ....
best10
nunuahmad
husnamutia
husnamutia dan 4 lainnya memberi reputasi
5
Tutup