- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
ANGKUHNYA CINTA (Part 1)
TS
Leny.Khan
ANGKUHNYA CINTA (Part 1)
ANGKUHNYA CINTA (PART 1-22 ending)
LENY KHAN
Aku memungut lembaran daun kering yang berguguran. Menyeret kaki menuju sebuah bangku taman bercat putih. Lalu mulai kutuliskan sebuah nama di atas daun kering itu menggunakan pulpen bertinta hitam yang selalu kubawa kemana saja. Entah kenapa, aku sangat suka sekali menulis di lembaran daun kering, meskipun akhirnya daun-daun itu kubuang juga.
Nama yang sama, aksara yang sama, hanya itu yang selalu kutuliskan. Senyumku selalu merekah saat menatap aksara yang sudah tertulis. Membuat sebuah rasa yang telah kupendam selama hampir tiga tahun ini semakin membara. Walau aku sendiri sadar, tak mungkin memiliki pria itu. Pria bernama Devan yang saat ini berstatus duda, setelah istrinya yang tak lain adalah Meera, kakak kandungku sendiri meninggal dunia akibat kecelakaan mobil saat usia pernikahan mereka baru menginjak tiga bulan. [/font][/size]
Namun aku jatuh cinta pada Devan jauh sebelum itu. Aku merasakan jantungku berdebar saat pertama kali ia datang bersama Ayahnya ke rumah kami. Di mana saat itu aku baru tahu, jika dia adalah lelaki yang sudah dijodohkan Ayah untuk Meera. Begitu patah hatinya aku kala itu, mengingat cintaku yang layu sebelum sempat berkembang.
Tapi begitulah jodoh, Allah yang menentukan. Bahkan Devan harus merelakan kepergian Meera, saat mereka masih mereguk indahnya pernikahan dan bulan madu. Ketika bunga cinta baru mulai merekah di hati mereka.
Dan kini, dua tahun sudah kepergian Meera, namun aku tak melihat ada tanda-tanda Devan menemukan pengganti. Bahkan ia terlihat lebih fokus dengan urusan kantornya. Ia juga sering mampir ke rumah menemui Ayah dan Mami. Mungkin hanya sekedar silaturahmi atau sekedar menemani Ayah bermain catur di teras depan.
“Pu?” Sebuah suara bariton menyapaku. Aku terperanjat, walau tanpa menoleh pun aku sudah tahu siapa pemilik suara itu.
“Bang Dev?” Aku menatap tak percaya. Lelaki itu langsung mendaratkan tubuhnya yang berbalut kemeja biru muda dan dasi biru dongker bermotif abstrak, lengan kemeja ia gulung sampai ke siku. Aku sangat suka dengan gayanya itu.
Andai ia bisa mendengar detak jantungku saat mencium aroma parfumnya yang begitu elegan, tentu ia akan tahu apa yang tengah gadis berusia 24 tahun ini rasakan.
“Susah banget ya nyari kamu di kampus ini,” celetuknya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling taman yang sedikit sepi. “Kamu ngapain di sini? Niat kuliah nggak sih?”
“Aku lagi nyari angin segar aja kok, Bang. Dosennya ada halangan, jadi jam kuliahnya tertunda dua jam, mau pulang nanggung banget. Capek bolak-balik.”
“Makanya, mendingan nikah aja dari pada ngejar gelar terus, ntar ketuaan nggak ada yang mau baru tahu rasa kamu!"candanya sambil tertawa.
Aku terdiam. ‘Andai kamu tahu, Bang. Aku memilih meneruskan S2-ku karena ingin melupakanmu sejenak. Walau sudah tak ada Meera di sampingmu, tapi aku tahu kamu begitu sulit melupakannya. Buktinya sudah dua tahun kepergian Meera, kamu masih saja sendiri.’
“Hei, dibilangin malah ngelamun nih anak.” Devan mengibaskan tangannya di depan wajahku. “Itu apaan pegang-pegang daun kering begitu?” Ia menunjuk lembaran daun kering yang masih ku genggam.
Aku tergagap, segera kubuang daun-daun itu. “Nggak apa-apa Bang, iseng aja lihat bentuk daunnya yang bermacam-macam.” jawabku sekenanya.
“Ngomong apa sih kamu, Pu? Ngaco!” Lagi-lagi Devan tertawa.
“Abang ngapain ke sini? Tumben nyari aku?”
Gantian Devan yang terdiam. Ia menatapku sebentar, sebelum kembali menatap ke depan. “Temani abang makan siang, yuk!” ajaknya.
Dahiku berkerut. “Makan siang? Tumben! Dalam rangka apa?” Pura-pura bertanya padahal aku girang banget diajak Devan.
“Tidak dalam rangka apa-apa, hanya ingin mengajak kamu saja. Mau nggak?”
“Aku ....“
“Jangan takut, aku sudah minta izin Ayah dan Mami untuk mengajakmu, dan mereka mengizinkan.”
Mataku membesar. “Benarkah?”
Devan mengangguk seraya tesenyum.
“Asiiiik, ayo kita pergi!”
Aku pun bangkit dari duduk dan berjalan penuh semangat, aku lupa kalau sudah meninggalkan lelaki yang masih duduk di bangku putih itu. Langkahku terhenti dan aku memutar badan, menemukan lelaki itu tengah membungkuk memungut dedaunan kering yang tadi kubuang. Jantungku berdetak sangat kencang saat melihat Devan memperhatikan sebuah nama yang tadi kutulis di sana. Kugigit bibir bawahku agar tak gemetar.
Aku terpaku. Menduga-duga apa yang akan Devan katakan saat ia tahu, namanya yang tertulis di helaian daun kering itu.
Devan menoleh dengan raut yang sulit ditebak. Lalu dengan pelan ia berjalan mendekatiku. Embusan angin mempermainkan rambut hitam kecoklatan yang kumiliki. Aku menunduk saat ia berdiri tepat di depanku.
“Puja ... apa ini?” Ia menunjukkan daun kering itu padaku.
Tak berani mengangkat kepala, aku meremas-remas jemariku sendiri.
“Puja, jawab Abang, apa maksud semua ini?”
“Aku ... aku hanya ... aku ... itu ....”
“Kamu mencintai Abang?” tanyanya pelan dan hati-hati. Aku semakin menundukkan kepala. Mataku mulai terasa panas dan berkabut.
“Katakan Puja, apakah kamu mencintai Abang? Kenapa nama Abang ada di lembaran daun kering ini? Apakah Abang adalah seseorang yang spesial untukmu?” tanyanya antusias.
Dengan lembut jemarinya menyentuh daguku, lalu ia mencoba mengangkat wajahku sehingga mata kami saling bertatapan. Aku tenggelam dalam tatapan netra bermanik hitam itu. Satu persatu butiran bening membasahi pipi.
“Katakan, Puja!”
“Ya, aku mencintai Abang, sejak pertama kali Abang datang ke rumah, tapi aku begitu terluka saat tahu ... kalau Meera sudah dijodohkan dengan Abang,” uraiku jujur. Entah dapat keberanian dari mana aku mampu mengakuinya.
“Kenapa tidak mengatakannya sejak dulu?”
“Karena aku tahu diri, Meera lebih pantas untuk Abang, sedang aku dianggap masih terlalu muda untuk sebuah urusan cinta kala itu. Hingga tak ada yang menyadari perasanku ini.”
“Maafkan Abang yang juga tak peka dengan perasaanmu. Tapi ....“ Devan mengusap wajahnya. “Abang belum bisa menggantikan Meera dengan siapa pun saat ini, Abang terlanjur mencintai Meera. Kamu sudah Abang anggap adik kandung abang sendiri.”
“Aku tak berharap menjadi pengganti Meera, aku mencintai Abang, tanpa berniat ingin memiliki Abang. Hanya mencintai, meskipun dalam diam. Maafkan jika Abang harus tahu semua ini. Aku sama sekali tak pernah berharap Abang membalas cintaku. Mencintaimu adalah sebuah kebahagiaan tersendiri untukku.” Kuhapus air mata dengan punggung tangan dan bergegas meninggalkannya. Aku lupa kalau tadi ia mengajakku makan siang.
“Puja! Puja tunggu!” Devan mengejar dan berhasil mencekal pergelangan tanganku.
“Tolong jangan permalukan aku di kampus ini, Bang!” pintaku sambil menepis tangannya.
Devan terdiam, dan membiarkanku berlalu dari hadapannya.
[size=3][font="Times New Roman", serif][i]‘Ah, kenapa dia harus tahu tentang semua ini? Padahal aku sudah cukup bahagia mencintainya seperti ini. Sekarang apa yang harus kulakukan? Menghadapinya harus seperti apa? Pasti akan ada yang mengganjal saat ia datang ke rumah nanti. Ataukah ia tidak akan mengunjungi Ayah da Mami lagi karena semua ini?
Part 2 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...518b1e4a7ec131
Part 3 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957bc23a7240
Part 4 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957c6646c76f
Part 5 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...20846ce047af3e
Part 6
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4dc1102d78507e
Part 7
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...70af7d8c39474e
Part 8
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8f2d50b72ecf6e
Part 9
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...7d824cfa30ea0d
Part 10
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...35f9528b60b399
Part 11
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...51b66d22320f6d
Part 12
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...12384692137baf
Part 13
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...069f1892000380
Part 14
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...114e534d170179
Part 15
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8c56678b0247ad
Part 16 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...e4bc6bc03f2c31
Part 17 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...c5f237fc65f77a
Part 18 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4035383a112c41
Part 19 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...f9a504f732ba96
Part 20 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b64526fe580b43
Part 21 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...a1b175b268b213
Part 22 (ending) https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b16a2d3955aa48
LENY KHAN
Aku memungut lembaran daun kering yang berguguran. Menyeret kaki menuju sebuah bangku taman bercat putih. Lalu mulai kutuliskan sebuah nama di atas daun kering itu menggunakan pulpen bertinta hitam yang selalu kubawa kemana saja. Entah kenapa, aku sangat suka sekali menulis di lembaran daun kering, meskipun akhirnya daun-daun itu kubuang juga.
Nama yang sama, aksara yang sama, hanya itu yang selalu kutuliskan. Senyumku selalu merekah saat menatap aksara yang sudah tertulis. Membuat sebuah rasa yang telah kupendam selama hampir tiga tahun ini semakin membara. Walau aku sendiri sadar, tak mungkin memiliki pria itu. Pria bernama Devan yang saat ini berstatus duda, setelah istrinya yang tak lain adalah Meera, kakak kandungku sendiri meninggal dunia akibat kecelakaan mobil saat usia pernikahan mereka baru menginjak tiga bulan. [/font][/size]
Namun aku jatuh cinta pada Devan jauh sebelum itu. Aku merasakan jantungku berdebar saat pertama kali ia datang bersama Ayahnya ke rumah kami. Di mana saat itu aku baru tahu, jika dia adalah lelaki yang sudah dijodohkan Ayah untuk Meera. Begitu patah hatinya aku kala itu, mengingat cintaku yang layu sebelum sempat berkembang.
Tapi begitulah jodoh, Allah yang menentukan. Bahkan Devan harus merelakan kepergian Meera, saat mereka masih mereguk indahnya pernikahan dan bulan madu. Ketika bunga cinta baru mulai merekah di hati mereka.
Dan kini, dua tahun sudah kepergian Meera, namun aku tak melihat ada tanda-tanda Devan menemukan pengganti. Bahkan ia terlihat lebih fokus dengan urusan kantornya. Ia juga sering mampir ke rumah menemui Ayah dan Mami. Mungkin hanya sekedar silaturahmi atau sekedar menemani Ayah bermain catur di teras depan.
“Pu?” Sebuah suara bariton menyapaku. Aku terperanjat, walau tanpa menoleh pun aku sudah tahu siapa pemilik suara itu.
“Bang Dev?” Aku menatap tak percaya. Lelaki itu langsung mendaratkan tubuhnya yang berbalut kemeja biru muda dan dasi biru dongker bermotif abstrak, lengan kemeja ia gulung sampai ke siku. Aku sangat suka dengan gayanya itu.
Andai ia bisa mendengar detak jantungku saat mencium aroma parfumnya yang begitu elegan, tentu ia akan tahu apa yang tengah gadis berusia 24 tahun ini rasakan.
“Susah banget ya nyari kamu di kampus ini,” celetuknya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling taman yang sedikit sepi. “Kamu ngapain di sini? Niat kuliah nggak sih?”
“Aku lagi nyari angin segar aja kok, Bang. Dosennya ada halangan, jadi jam kuliahnya tertunda dua jam, mau pulang nanggung banget. Capek bolak-balik.”
“Makanya, mendingan nikah aja dari pada ngejar gelar terus, ntar ketuaan nggak ada yang mau baru tahu rasa kamu!"candanya sambil tertawa.
Aku terdiam. ‘Andai kamu tahu, Bang. Aku memilih meneruskan S2-ku karena ingin melupakanmu sejenak. Walau sudah tak ada Meera di sampingmu, tapi aku tahu kamu begitu sulit melupakannya. Buktinya sudah dua tahun kepergian Meera, kamu masih saja sendiri.’
“Hei, dibilangin malah ngelamun nih anak.” Devan mengibaskan tangannya di depan wajahku. “Itu apaan pegang-pegang daun kering begitu?” Ia menunjuk lembaran daun kering yang masih ku genggam.
Aku tergagap, segera kubuang daun-daun itu. “Nggak apa-apa Bang, iseng aja lihat bentuk daunnya yang bermacam-macam.” jawabku sekenanya.
“Ngomong apa sih kamu, Pu? Ngaco!” Lagi-lagi Devan tertawa.
“Abang ngapain ke sini? Tumben nyari aku?”
Gantian Devan yang terdiam. Ia menatapku sebentar, sebelum kembali menatap ke depan. “Temani abang makan siang, yuk!” ajaknya.
Dahiku berkerut. “Makan siang? Tumben! Dalam rangka apa?” Pura-pura bertanya padahal aku girang banget diajak Devan.
“Tidak dalam rangka apa-apa, hanya ingin mengajak kamu saja. Mau nggak?”
“Aku ....“
“Jangan takut, aku sudah minta izin Ayah dan Mami untuk mengajakmu, dan mereka mengizinkan.”
Mataku membesar. “Benarkah?”
Devan mengangguk seraya tesenyum.
“Asiiiik, ayo kita pergi!”
Aku pun bangkit dari duduk dan berjalan penuh semangat, aku lupa kalau sudah meninggalkan lelaki yang masih duduk di bangku putih itu. Langkahku terhenti dan aku memutar badan, menemukan lelaki itu tengah membungkuk memungut dedaunan kering yang tadi kubuang. Jantungku berdetak sangat kencang saat melihat Devan memperhatikan sebuah nama yang tadi kutulis di sana. Kugigit bibir bawahku agar tak gemetar.
Aku terpaku. Menduga-duga apa yang akan Devan katakan saat ia tahu, namanya yang tertulis di helaian daun kering itu.
Devan menoleh dengan raut yang sulit ditebak. Lalu dengan pelan ia berjalan mendekatiku. Embusan angin mempermainkan rambut hitam kecoklatan yang kumiliki. Aku menunduk saat ia berdiri tepat di depanku.
“Puja ... apa ini?” Ia menunjukkan daun kering itu padaku.
Tak berani mengangkat kepala, aku meremas-remas jemariku sendiri.
“Puja, jawab Abang, apa maksud semua ini?”
“Aku ... aku hanya ... aku ... itu ....”
“Kamu mencintai Abang?” tanyanya pelan dan hati-hati. Aku semakin menundukkan kepala. Mataku mulai terasa panas dan berkabut.
“Katakan Puja, apakah kamu mencintai Abang? Kenapa nama Abang ada di lembaran daun kering ini? Apakah Abang adalah seseorang yang spesial untukmu?” tanyanya antusias.
Dengan lembut jemarinya menyentuh daguku, lalu ia mencoba mengangkat wajahku sehingga mata kami saling bertatapan. Aku tenggelam dalam tatapan netra bermanik hitam itu. Satu persatu butiran bening membasahi pipi.
“Katakan, Puja!”
“Ya, aku mencintai Abang, sejak pertama kali Abang datang ke rumah, tapi aku begitu terluka saat tahu ... kalau Meera sudah dijodohkan dengan Abang,” uraiku jujur. Entah dapat keberanian dari mana aku mampu mengakuinya.
“Kenapa tidak mengatakannya sejak dulu?”
“Karena aku tahu diri, Meera lebih pantas untuk Abang, sedang aku dianggap masih terlalu muda untuk sebuah urusan cinta kala itu. Hingga tak ada yang menyadari perasanku ini.”
“Maafkan Abang yang juga tak peka dengan perasaanmu. Tapi ....“ Devan mengusap wajahnya. “Abang belum bisa menggantikan Meera dengan siapa pun saat ini, Abang terlanjur mencintai Meera. Kamu sudah Abang anggap adik kandung abang sendiri.”
“Aku tak berharap menjadi pengganti Meera, aku mencintai Abang, tanpa berniat ingin memiliki Abang. Hanya mencintai, meskipun dalam diam. Maafkan jika Abang harus tahu semua ini. Aku sama sekali tak pernah berharap Abang membalas cintaku. Mencintaimu adalah sebuah kebahagiaan tersendiri untukku.” Kuhapus air mata dengan punggung tangan dan bergegas meninggalkannya. Aku lupa kalau tadi ia mengajakku makan siang.
“Puja! Puja tunggu!” Devan mengejar dan berhasil mencekal pergelangan tanganku.
“Tolong jangan permalukan aku di kampus ini, Bang!” pintaku sambil menepis tangannya.
Devan terdiam, dan membiarkanku berlalu dari hadapannya.
[size=3][font="Times New Roman", serif][i]‘Ah, kenapa dia harus tahu tentang semua ini? Padahal aku sudah cukup bahagia mencintainya seperti ini. Sekarang apa yang harus kulakukan? Menghadapinya harus seperti apa? Pasti akan ada yang mengganjal saat ia datang ke rumah nanti. Ataukah ia tidak akan mengunjungi Ayah da Mami lagi karena semua ini?
Part 2 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...518b1e4a7ec131
Part 3 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957bc23a7240
Part 4 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957c6646c76f
Part 5 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...20846ce047af3e
Part 6
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4dc1102d78507e
Part 7
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...70af7d8c39474e
Part 8
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8f2d50b72ecf6e
Part 9
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...7d824cfa30ea0d
Part 10
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...35f9528b60b399
Part 11
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...51b66d22320f6d
Part 12
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...12384692137baf
Part 13
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...069f1892000380
Part 14
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...114e534d170179
Part 15
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8c56678b0247ad
Part 16 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...e4bc6bc03f2c31
Part 17 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...c5f237fc65f77a
Part 18 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4035383a112c41
Part 19 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...f9a504f732ba96
Part 20 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b64526fe580b43
Part 21 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...a1b175b268b213
Part 22 (ending) https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b16a2d3955aa48
Diubah oleh Leny.Khan 29-07-2023 17:52
bukhorigan dan 17 lainnya memberi reputasi
16
11K
64
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
TS
Leny.Khan
#18
#ANGKUHNYA_CINTA
#PART_5
Sejak kejadian itu, aku memilih menghindari Devan. Aku masih sakit hati dengan perlakuannya tempo hari. Dia anggap apa aku ini? Sesuka hatinya memperlakukanku.
“Mbak rima, saya mau kuliah dulu, tolong siapkan saja sarapan buat Tuan.” ujarku sembari mengikat rambut.
Mbak Rima yang tengah asik menyeduh segelas susu menoleh, “lho? Non Puja nggak sarapan?”
“Nanti saja di kampus, Mbak.”
“Ini, minum susu saja kalau begitu.” Bergegas ia mendekatiku, menyodorkan segelas susu hangat.
“Terima kasih, Mbak!” Kuterima dengan senang hati.
“Eeeh, Non, kalau minum itu sunnahnya duduk, biar tidak jadi teman syaitan!” Wanita itu mendorong tubuhku pelan agar duduk. Aku menurut saja. Entahlah, pelajaran dari mana itu aku tidak tahu. Tapi aku yakin, ucapan wanita ini pasti benar dan selalu mengandung kebaikan.
Mbak Rima tersenyum melihatku menenggak susu itu sampai habis.
“Alhamdulillaah,” ucapnya saat kusodorkan kembali gelas kosong itu.
“Saya jalan dulu ya?” Bergegas aku melangkah menuju pintu ke luar. Sinar mentari pagi masuk menerobos melalui jendela kaca besar yang terdapat di beberapa sisi rumah. Sementara jam dinding baru menunjukkan pukul tujuh pagi. Terlalu pagi sebenarnya untuk ke kampus, tapi aku sedang tidak ingin bertemu dengan pria itu.
Dengan terpaksa aku harus berjalan kaki ke luar dari komplek perumahan elite ini. Biarlah kalau harus naik angkutan umum, yang penting aku tidak bertemu dengan Devan. Capek juga rasanya harus berjalan kaki seperti ini, tapi tidak apa-apalah, hitung-hitung olah raga biar sehat.
Sekitar lima belas menit aku pun sampai di pinggir jalan raya. Begitu padatnya jalanan pagi ini, maklaumlah jamnya anak sekolahan. Debu-debu jalanan langsung menyergapku, membuat napasku sedikit sesak dan mataku terasa perih oleh asap kendaraan yang lalu lalang. Mata-mata jahil pria yang lewat menatapku jalang, seolah ingin menelanjangiku. Padahal aku hanya menggunakan celana jeans ketat dengan t-shirt pendek. Tidak menunjukkan sesuatu yang seharusnya tidak terlihat. Risih rasanya ditatap seperti itu. Apalagi aku bingung, angkutan mana yang menuju kampusku.
Tak lama sebuah mobil berwarna silver berhenti tepat di depanku. Kaca hitamnya terbuka.
“Pak Ramzi?”
“Puja? Kamu ngapain di sini?”
“Saya mau ke kampus, Pak. Lagi menunggu angkutan umum.” jawabku sambil tersenyum.
“Oh ya, kalau begitu bareng saya saja. Saya juga mau ke kampus.” Ramzi menawarkan.
“Boleh, Pak?”
“Boleh, ayo naik!”
Betapa leganya aku mendapat tumpangan dosen keren ini. Akhirnya aku terbebas dari tatapan liar kaum Adam yang begitu membuatku risih.
“Kenapa kamu naik angkutan umum? Tidak diantar suamimu?” tanyanya begitu mobil bergerak membelah jalan raya.
“Eh, enggak Pak, dia ada meeting pagi ini, jadi tidak sempat mengantar saya,” jawabku berbohong.
“Lalu kenapa kamu tidak naik taxi online saja? Dari pada harus menunggu di pinggir jalan begitu,”
“Saya takut naik taxi online, Pak. Soalnya saya sendirian,”
“Ooh,” timpalnya singkat. Dosen keren ini tak pernah mau terlalu menatapku kalau sedang bicara. “Apa kamu tidak risih dengan pakaianmu yang seperti ini?”
“Maksud Bapak?”
“Yaaah, sebagai kaum Adam saya akui kamu itu terlalu cantik. Apalagi dengan pakaianmu seperti ini, mengundang syahwat mata lelaki yang melihat,” urainya dengan tatapan mata lurus ke depan.
Aku terdiam. Melirik pakaian yang kukenakan, pakaian yang menurutku masih di batas wajar.
“Dari dulu saya sudah ingatkan kamu bukan? Gunakan pakaian longgar, tutup seluruh tubuhmu.”
Kutelan saliva yang terasa tersekat di tenggorokan. Ada rasa malu seketika menyergap, saat mengingat setiap nasehat yang sering dia berikan padaku sejak pertama kali aku kuliah di kampus itu. Nasehat yang tak satu pun kulaksanakan dan selalu kuabaikan.
“Jagalah pandangan kami kaum Adam, apalagi kamu ... kamu itu terlalu menggoda bagi kami.” Tangannya sibuk mengendalikan benda bulat berwarna abu-abu tua itu.
Wajahku terasa panas, mungkin warnanya sudah seperti kepiting rebus. Merah merona.
‘Aku menggoda? Benarkah? Tapi masa sih? Devan saja tidak pernah tergoda denganku, buktinya sampai detik ini aku masih perawan.’
“Kamu dengar ‘kan kata-kata saya?”
Aku terperanjat, “i-iya, Pak. Baik, terima kasih atas nasehatnya.” jawabku gugup. Entah mengapa, aku tak pernah berani menentang ucapannya. Dia seolah menghipnotis setiap lawan bicaranya, sehingga tak mampu membantah secara langsung.
Mobil yang dikendarai Ramzi berhenti di gerbang kampus.
“Lho, Bapak tidak ke kampus? Kenapa berhenti di sini?” tanyaku heran.
“Kamu lupa? Jadwal saya nanti siang pukul sebelas,”
“Lho? Jadi ... “
“Sudah jangan banyak tanya, sana masuk!” perintahnya.
Tanpa berani bertanya lagi aku pun turun dari mobil Ramzi, “terima kasih tumpangannya, Pak!”
“Sama-sama.” Sahutnya tanpa menoleh. Lalu ia kembali melaju kencang meninggalkanku yang masih berdiri keheranan.
“Laki-laki aneh,” desisku, “baik sekali dia mau mengantarku.” Aku tersenyum jahil. Kulirik jam di pergelangan tangan, masih pagi sekali. Lalu memutuskan untuk ke kantin membeli sarapan.
Sebuah burger dan segelas es jeruk menemaniku duduk di sudut taman. Tempatku biasa menghabiskan waktu sendiri. Pagi yang cerah, ada embusan angin sejuk menyapa wajah.
Baru saja potongan burger itu habis kulahap, ponselku berteriak-teriak minta diangkat. ‘Ternyata Devan, ada apa dia meneleponku? Ah, malas sekali mengangkatnya, biarkan saja.’ Memasukkan kembali benda persegi itu ke dalam tas. Bahkan hingga puluhan kali ia menelepon tetap tak kuhiraukan. Aku sedang malas mendengar suaranya, apalagi berdebat dengannya.
Memungut lembaran daun kering, menatapnya sejenak, sebelum akhirnya daun itu kuremas dan kuhancurkan. Membuangnya dengan kasar, hingga serpihannya ikut terbang bersama angin. Aku berjanji, takkan menulis namanya lagi di sana. Aku takkan peduli lagi betapa aku mencintainya. Biarkan angin membawanya pergi, sejauh mana pun ia suka. Lebih baik aku fokus pada diri sendiri, juga pada kuliahku yang hanya tinggal hitungan bulan saja.
“Tidak sopan sekali pergi dari rumah tanpa izin suami.”
Aku terperanjat, menoleh ke arah suara itu. ‘Devan?’
“Kenapa pergi begitu saja? Apa salahnya menunggu Abang? Bukannya kuliahmu di mulai pukul sepuluh?” tanyanya antusias sambil mendratkan tubuhnya di sampingku. “Bahkan kata Mbak rima, kamu tidak sarapan di rumah. Kamu mau jatuh sakit? Kalau sakit siapa yang repot?” cecarnya tanpa henti.
Aku hanya diam mendengarkan.
“Kenapa diam?”
Kutatap wajah tampan dan mata elangnya, “bisakah berhenti menggangguku?”
“Mengganggu katamu? Abang ini suamimu Puja, kamu bilang Abang mengganggu?” Matanya terbelalak.
“Abang lupa perjanjian kita sebelum menikah?”
“Perjanjian apa?”
“Bukankah pernikahan ini demi orang tua kita? Bukankah pernikahan ini bukan atas dasar cinta? Bukankah Abang berjanji untuk belajar mencintaiku? Lalu jika Abang tidak bisa mencintaiku ... maka aku boleh berbuat apa saja dan meminta apa saja ‘kan?”
Devan tertegun, seolah memorinya sedang mencari sesuatu, hingga akhirnya ia sadar dan berkata, “ya, kamu benar.”
Aku tersenyum sinis, “dan permintaanku adalah ... jangan pernah mencampuri urusanku, kita urus urusan kita masing-masing, bagaimana?”
“Itu tidak adil Puja,”
“Lalu apakah adil jika aku hidup bersama orang yang sama sekali tidak peduli dengan perasaanku? Apakah adil jika aku selalu dianggap orang lain di hati suamiku sendiri? Apakah itu adil, Bang?” Suaraku sedikit meninggi dengan mata yang mulai berkabut. Dan perlahan, telaga itu tumpah, membasahi pipi. Devan bergeming, menatapku nanar. Tak tahu apa yang sedang ia pikirkan saat ini.
Detik dan menit berlalu, aku sibuk melerai air mata yang terus mengalir, sedang lelaki itu tak berusaha memeluk atau menghapus air mataku, dia hanya diam mematung melihat tumpahan telaga beningku.
“Aku mau ke perpustakaan, ada buku yang harus kucari.” ujarku sambil mengusap air mata dan bangkit hendak meninggalkan pria itu.
“Kamu pulang jam berapa? Biar Abang jemput.”
“Tidak usah, biar aku pulang sendiri,” tolakku.
“Tidak, Abang akan tetap menjemputmu. Abang tidak bisa membiarkanmu sendiri.”
Aku diam saja, terus melangkah meninggalkan pria yang terus menatap hingga aku menjauh. Sejenak aku menoleh ke belakang, dan pria itu masih berdiri di sana. Membiarkan dirinya menjadi tatapan aneh orang-orang yang lewat. ‘Dasar egois!’ umpatku dalam hati.
***
“Puja? Sudah mau pulang?” sapa Ramzi siang menjelang sore itu. Aku masih sengaja menghabiskan hariku di perpustakaan. Hingga pukul satu aku merasa jenuh dan bermaksud hendak ke rumah Mami mengambil mobilku.
“Eh, Bapak, iya Pak.”
“Suamimu menjemput?” Selidiknya.
Aku menggeleng, “tidak.”
“Mau naik angkutan umum lagi?” tanyanya sambil tertawa kecil. Ah, raut wajahnya terlihat begitu keren saat tertawa begitu.
Aku jadi ikut tertawa, “saya juga nggak tahu, Pak. Bapak mau antar saya lagi?” tantangku, entah keberanian dari mana aku bertanya begitu padanya.
“Boleh kalau mau,” jawabnya.
“Bapak berani bawa istri orang?”
“Kenapa tidak?” sahutnya lagi sambil terbahak.
“Ayo kalau gitu, pak. Amtar saya ke rumah orang tua saya, ya?”
“Oke, kemana pun kamu mau saya antar.”
“Aduh, ada yang gombalin saya nih kayaknya.”
“Whatever!” Ramzi mengibaskan tangannya. “Let’s go!”
Aku tersenyum sumringah sambil mensejajari langkahnya. Tak kupedulikan tatapan berpasang mata yang memandang aneh. Mungkin mereka berpikir aku ada sesuatu dengan dosen keren ini, ah masa bodoh. Yang jelas aku dapat tumpangan gratis siang ini.
Sayangnya keberuntungan tidak berpihak padaku, dari kejauhan kulihat Devan sudah berdiri menyandarkan tubuh di mobilnya.
“Sepertinya suamimu sudah menunggu, Puja. Kalau begitu saya duluan ya, saya takut suamimu marah lagi.” ujar Ramzi.
Aku menghela napas kecewa, sebelum akhirnya mengangguk dan membiarkan pria itu jalan duluan menjauhiku.
‘Devan, buat apa dia datang kemari? Bukankah aku sudah bilang tidak usah menjemput?’ batinku kesal. Aku beranjak memutar arah sebelum pria itu menangkap kehadiranku, mencoba mencari jalan lain agar tak bertemu dengannya.
Aku tiba di belakang kampus, setahuku di sini ada jalan kecil yang akan tembus ke jalan raya, melewati gang sempit milik warga. Belum pernah sih lewat sana, cuma dengar cerita teman-teman saja, dan tidak ada salahnya mencoba. ‘Huh! Gara-gara pria itu aku jadi seperti buronan saja!’
Susah payah aku mencoba memanjat pagar setinggi satu setengah meter itu, benar-benar persis penjahat yang sedang melarikan diri.
“Puja!” Sebuah tangan kekar menarik tubuhku saat satu kaki berhasil naik ke pagar.
Betapa terkejutnya aku saat menyadari pemilik tangan itu. “Bang dev?” Mataku membulat.
“Apa yang kamu lakukan?”
“Aku ... aku ... “
“Ayo pulang!” Dia menarik paksa tanganku. Berusaha menepis tapi aku tak kuasa, tenaganya lebih kuat dariku.
“Bang Dev, lepaskan! Aku nggak mau pulang!”
Akan tetapi pria itu tak peduli, ia terus menarik tanganku.
“Lepaskan! Aku mau sendiri!”
“Sssttt, diamlah! Kamu mau jadi pusat perhatian di sini?” ancamnya setengah berbisik.
Akhirnya aku terdiam, mencoba mengikuti apa maunya. Dari pada nanti aku jadi pusat perhatian dan bahan gunjingan di kampus ini.
Sepanjang perjalanan aku hanya diam, Devan pun tak berusaha angkat bicara, hingga kebisuan terus menghias hingga kami sampai di rumah.
“Hidup seperti apa ini, Bang?” tanyaku datar saat mobil baru saja masuk ke garasi.
“Apa yang kamu inginkan?” Devan balik bertanya.
“Lepaskan aku, biarkan aku dengan hidupku. Meskipun cintaku seluas langit dan bumi, takkan pernah bisa menggantikan Meera di hatimu. Jadi untuk apa aku terus mendampingimu?”
Devan diam, hening menyeruak.
“Aku perempuan, juga punya perasaan. Hargai juga keinginanku. Mencintaimu, bukan berarti aku bisa Abang perlakukan sesuka hati. Aku sudah bilang, biarkan aku mencintaimu dalam diam, tapi apa? Abang bersikeras menikahiku karena permintaan orang tua kita. Lalu Abang membawaku ke lembah duka, hidup di bawah bayang-bayang Meera. Membiarkanku kesepian setiap kali aku menyadari kalau aku sudah memiliki suami. Aku tak berharap Abang membalas cintaku, tapi tolong, hargai aku. Jangan buat aku hidup dalam kebimbangan dalam menyikapi perlakuan Abang. Perlakuan yang teramat manis ... namun terasa menyakitkan!”
Devan tetap bergeming meskipun aku sudah bicara panjang kali lebar. Dengan kesal aku turun dari mobilnya, dan setengah berlari masuk ke rumah. Mengunci diri dalam kamar. Melempar tas dan buku yang kubawa. Melempar semua barang yang ada di meja rias, berikut membongkar alas ranjang yang sudah begitu rapi beserta bantal-bantalnya hingga berserakan di lantai, untuk melampiaskan kekesalanku.
“Bodooooooooooh!” teriakku. “Kenapa kamu jadi perempuan sebodoh ini Puja? Kamu sudah tahu Devan tidak mencintaimu, tapi kenapa kamu dulu mau menerima pinangannya? Apa yang kamu harapkan, ha? Cinta? Cinta seperti apa? Sedang dia tak pernah peduli denganmu, sedang bibirnya tak pernah menyatakan cinta untukmu. Bodoooooh!”
‘Tok!Tok!Tok!’
“Non Puja! Non Puja, buka pintunya!” Terdengar suara cemas Mbak Rima dari luar menggedor-gedor pintuku. “Non, ada apa Non? Non baik-baik saja?”
“Ada apa, Mbak?” kudengar suara Devan bertanya.
“Saya tidak tahu Tuan, saya hanya mendengar Non Puja teriak-teriak dan bunyi barang-barang pecah di dalam,” sahutnya.
Hening beberapa detik, mungkin Mbak Rima sudah pergi.
“Puja! Buka pintunya, Pu!” Kali ini Devan yang memanggil.
Aku tak menjawab, menangis di sudut kamar, menangisi kebodohanku. Andai dulu aku menolak keras pernikahan ini, tentu aku tidak akan menderita seperti ini. Batinku terasa begitu sakit. Lelah menjalani hari-hari yang begitu memuakkan.
Entah berapa lama aku menangis, hingga akhirnya aku lelah, dan tertidur di lantai.
***
“Kamu tahu Pu, sungguh aku sangat mencintaimu.” Sayup, terdengar antara mimpi dan nyata saat telingaku mendengar ucapan itu, “jauh sebelum aku tahu, kalau kamu juga sangat mencintaiku. Maafkan ... maafkan aku yang tak mampu mengatakan semuanya. Karena suatu saat, kamu juga akan tahu dan mengerti, apa yang sebenarnya terjadi.”
Perlahan aku membuka mata yang terasa berat, sembab karena tangis yang terlalu lama. Ternyata aku sudah berada di atas ranjangku. Kutemukan Devan tengah menatapku dengan mata yang basah. Ia terkesiap, dan buru-buru menghapus air matanya.
‘Bagaimana cara dia masuk ke kamarku?’
“Bang Dev?” Serak suaraku menyebut namanya.
Devan kembali menatapku. “Apa yang kamu lakukan? Kenapa tidak memukul Abang saja? Lampiaskan semuanya pada Abang, Abang rela,”
“Kenapa? Apakah karena Abang juga mencintaiku?”
Ia terdiam sejenak.
“Sudah pukul tujuh malam, bangunlah! Sebentar lagi kita makan malam, sana mandi dulu!” kilahnya.
Devan bangkit, lalu berjongkok memungut beberapa pecahan kosmetikku di lantai, lalu memasukkannya ke tong sampah. “Biar Mbak rima yang membersihkan semuanya nanti.” ujarnya sambil kembali berdiri. Lalu melangkah gontai ke luar dari kamar.
“Bang Dev!”
Ia berhenti, menoleh padaku, “ada apa, Pu?”
“Maaf,”
Pria itu tersenyum. “Tidak apa-apa, Pu.”
Aku memaksa tubuh lelahku bangun, lalu beringsut turun dan mengejar Devan, berlari ke dalam pelukannya. Betapa terkejutnya lelaki itu menerima tingkahku. Tanganku melingkar erat di pinggangnya, aku tak peduli dia suka atau tidak.
“I love you.” ucapku, kembali melakukan kebodohan.
***
#PART_5
Sejak kejadian itu, aku memilih menghindari Devan. Aku masih sakit hati dengan perlakuannya tempo hari. Dia anggap apa aku ini? Sesuka hatinya memperlakukanku.
“Mbak rima, saya mau kuliah dulu, tolong siapkan saja sarapan buat Tuan.” ujarku sembari mengikat rambut.
Mbak Rima yang tengah asik menyeduh segelas susu menoleh, “lho? Non Puja nggak sarapan?”
“Nanti saja di kampus, Mbak.”
“Ini, minum susu saja kalau begitu.” Bergegas ia mendekatiku, menyodorkan segelas susu hangat.
“Terima kasih, Mbak!” Kuterima dengan senang hati.
“Eeeh, Non, kalau minum itu sunnahnya duduk, biar tidak jadi teman syaitan!” Wanita itu mendorong tubuhku pelan agar duduk. Aku menurut saja. Entahlah, pelajaran dari mana itu aku tidak tahu. Tapi aku yakin, ucapan wanita ini pasti benar dan selalu mengandung kebaikan.
Mbak Rima tersenyum melihatku menenggak susu itu sampai habis.
“Alhamdulillaah,” ucapnya saat kusodorkan kembali gelas kosong itu.
“Saya jalan dulu ya?” Bergegas aku melangkah menuju pintu ke luar. Sinar mentari pagi masuk menerobos melalui jendela kaca besar yang terdapat di beberapa sisi rumah. Sementara jam dinding baru menunjukkan pukul tujuh pagi. Terlalu pagi sebenarnya untuk ke kampus, tapi aku sedang tidak ingin bertemu dengan pria itu.
Dengan terpaksa aku harus berjalan kaki ke luar dari komplek perumahan elite ini. Biarlah kalau harus naik angkutan umum, yang penting aku tidak bertemu dengan Devan. Capek juga rasanya harus berjalan kaki seperti ini, tapi tidak apa-apalah, hitung-hitung olah raga biar sehat.
Sekitar lima belas menit aku pun sampai di pinggir jalan raya. Begitu padatnya jalanan pagi ini, maklaumlah jamnya anak sekolahan. Debu-debu jalanan langsung menyergapku, membuat napasku sedikit sesak dan mataku terasa perih oleh asap kendaraan yang lalu lalang. Mata-mata jahil pria yang lewat menatapku jalang, seolah ingin menelanjangiku. Padahal aku hanya menggunakan celana jeans ketat dengan t-shirt pendek. Tidak menunjukkan sesuatu yang seharusnya tidak terlihat. Risih rasanya ditatap seperti itu. Apalagi aku bingung, angkutan mana yang menuju kampusku.
Tak lama sebuah mobil berwarna silver berhenti tepat di depanku. Kaca hitamnya terbuka.
“Pak Ramzi?”
“Puja? Kamu ngapain di sini?”
“Saya mau ke kampus, Pak. Lagi menunggu angkutan umum.” jawabku sambil tersenyum.
“Oh ya, kalau begitu bareng saya saja. Saya juga mau ke kampus.” Ramzi menawarkan.
“Boleh, Pak?”
“Boleh, ayo naik!”
Betapa leganya aku mendapat tumpangan dosen keren ini. Akhirnya aku terbebas dari tatapan liar kaum Adam yang begitu membuatku risih.
“Kenapa kamu naik angkutan umum? Tidak diantar suamimu?” tanyanya begitu mobil bergerak membelah jalan raya.
“Eh, enggak Pak, dia ada meeting pagi ini, jadi tidak sempat mengantar saya,” jawabku berbohong.
“Lalu kenapa kamu tidak naik taxi online saja? Dari pada harus menunggu di pinggir jalan begitu,”
“Saya takut naik taxi online, Pak. Soalnya saya sendirian,”
“Ooh,” timpalnya singkat. Dosen keren ini tak pernah mau terlalu menatapku kalau sedang bicara. “Apa kamu tidak risih dengan pakaianmu yang seperti ini?”
“Maksud Bapak?”
“Yaaah, sebagai kaum Adam saya akui kamu itu terlalu cantik. Apalagi dengan pakaianmu seperti ini, mengundang syahwat mata lelaki yang melihat,” urainya dengan tatapan mata lurus ke depan.
Aku terdiam. Melirik pakaian yang kukenakan, pakaian yang menurutku masih di batas wajar.
“Dari dulu saya sudah ingatkan kamu bukan? Gunakan pakaian longgar, tutup seluruh tubuhmu.”
Kutelan saliva yang terasa tersekat di tenggorokan. Ada rasa malu seketika menyergap, saat mengingat setiap nasehat yang sering dia berikan padaku sejak pertama kali aku kuliah di kampus itu. Nasehat yang tak satu pun kulaksanakan dan selalu kuabaikan.
“Jagalah pandangan kami kaum Adam, apalagi kamu ... kamu itu terlalu menggoda bagi kami.” Tangannya sibuk mengendalikan benda bulat berwarna abu-abu tua itu.
Wajahku terasa panas, mungkin warnanya sudah seperti kepiting rebus. Merah merona.
‘Aku menggoda? Benarkah? Tapi masa sih? Devan saja tidak pernah tergoda denganku, buktinya sampai detik ini aku masih perawan.’
“Kamu dengar ‘kan kata-kata saya?”
Aku terperanjat, “i-iya, Pak. Baik, terima kasih atas nasehatnya.” jawabku gugup. Entah mengapa, aku tak pernah berani menentang ucapannya. Dia seolah menghipnotis setiap lawan bicaranya, sehingga tak mampu membantah secara langsung.
Mobil yang dikendarai Ramzi berhenti di gerbang kampus.
“Lho, Bapak tidak ke kampus? Kenapa berhenti di sini?” tanyaku heran.
“Kamu lupa? Jadwal saya nanti siang pukul sebelas,”
“Lho? Jadi ... “
“Sudah jangan banyak tanya, sana masuk!” perintahnya.
Tanpa berani bertanya lagi aku pun turun dari mobil Ramzi, “terima kasih tumpangannya, Pak!”
“Sama-sama.” Sahutnya tanpa menoleh. Lalu ia kembali melaju kencang meninggalkanku yang masih berdiri keheranan.
“Laki-laki aneh,” desisku, “baik sekali dia mau mengantarku.” Aku tersenyum jahil. Kulirik jam di pergelangan tangan, masih pagi sekali. Lalu memutuskan untuk ke kantin membeli sarapan.
Sebuah burger dan segelas es jeruk menemaniku duduk di sudut taman. Tempatku biasa menghabiskan waktu sendiri. Pagi yang cerah, ada embusan angin sejuk menyapa wajah.
Baru saja potongan burger itu habis kulahap, ponselku berteriak-teriak minta diangkat. ‘Ternyata Devan, ada apa dia meneleponku? Ah, malas sekali mengangkatnya, biarkan saja.’ Memasukkan kembali benda persegi itu ke dalam tas. Bahkan hingga puluhan kali ia menelepon tetap tak kuhiraukan. Aku sedang malas mendengar suaranya, apalagi berdebat dengannya.
Memungut lembaran daun kering, menatapnya sejenak, sebelum akhirnya daun itu kuremas dan kuhancurkan. Membuangnya dengan kasar, hingga serpihannya ikut terbang bersama angin. Aku berjanji, takkan menulis namanya lagi di sana. Aku takkan peduli lagi betapa aku mencintainya. Biarkan angin membawanya pergi, sejauh mana pun ia suka. Lebih baik aku fokus pada diri sendiri, juga pada kuliahku yang hanya tinggal hitungan bulan saja.
“Tidak sopan sekali pergi dari rumah tanpa izin suami.”
Aku terperanjat, menoleh ke arah suara itu. ‘Devan?’
“Kenapa pergi begitu saja? Apa salahnya menunggu Abang? Bukannya kuliahmu di mulai pukul sepuluh?” tanyanya antusias sambil mendratkan tubuhnya di sampingku. “Bahkan kata Mbak rima, kamu tidak sarapan di rumah. Kamu mau jatuh sakit? Kalau sakit siapa yang repot?” cecarnya tanpa henti.
Aku hanya diam mendengarkan.
“Kenapa diam?”
Kutatap wajah tampan dan mata elangnya, “bisakah berhenti menggangguku?”
“Mengganggu katamu? Abang ini suamimu Puja, kamu bilang Abang mengganggu?” Matanya terbelalak.
“Abang lupa perjanjian kita sebelum menikah?”
“Perjanjian apa?”
“Bukankah pernikahan ini demi orang tua kita? Bukankah pernikahan ini bukan atas dasar cinta? Bukankah Abang berjanji untuk belajar mencintaiku? Lalu jika Abang tidak bisa mencintaiku ... maka aku boleh berbuat apa saja dan meminta apa saja ‘kan?”
Devan tertegun, seolah memorinya sedang mencari sesuatu, hingga akhirnya ia sadar dan berkata, “ya, kamu benar.”
Aku tersenyum sinis, “dan permintaanku adalah ... jangan pernah mencampuri urusanku, kita urus urusan kita masing-masing, bagaimana?”
“Itu tidak adil Puja,”
“Lalu apakah adil jika aku hidup bersama orang yang sama sekali tidak peduli dengan perasaanku? Apakah adil jika aku selalu dianggap orang lain di hati suamiku sendiri? Apakah itu adil, Bang?” Suaraku sedikit meninggi dengan mata yang mulai berkabut. Dan perlahan, telaga itu tumpah, membasahi pipi. Devan bergeming, menatapku nanar. Tak tahu apa yang sedang ia pikirkan saat ini.
Detik dan menit berlalu, aku sibuk melerai air mata yang terus mengalir, sedang lelaki itu tak berusaha memeluk atau menghapus air mataku, dia hanya diam mematung melihat tumpahan telaga beningku.
“Aku mau ke perpustakaan, ada buku yang harus kucari.” ujarku sambil mengusap air mata dan bangkit hendak meninggalkan pria itu.
“Kamu pulang jam berapa? Biar Abang jemput.”
“Tidak usah, biar aku pulang sendiri,” tolakku.
“Tidak, Abang akan tetap menjemputmu. Abang tidak bisa membiarkanmu sendiri.”
Aku diam saja, terus melangkah meninggalkan pria yang terus menatap hingga aku menjauh. Sejenak aku menoleh ke belakang, dan pria itu masih berdiri di sana. Membiarkan dirinya menjadi tatapan aneh orang-orang yang lewat. ‘Dasar egois!’ umpatku dalam hati.
***
“Puja? Sudah mau pulang?” sapa Ramzi siang menjelang sore itu. Aku masih sengaja menghabiskan hariku di perpustakaan. Hingga pukul satu aku merasa jenuh dan bermaksud hendak ke rumah Mami mengambil mobilku.
“Eh, Bapak, iya Pak.”
“Suamimu menjemput?” Selidiknya.
Aku menggeleng, “tidak.”
“Mau naik angkutan umum lagi?” tanyanya sambil tertawa kecil. Ah, raut wajahnya terlihat begitu keren saat tertawa begitu.
Aku jadi ikut tertawa, “saya juga nggak tahu, Pak. Bapak mau antar saya lagi?” tantangku, entah keberanian dari mana aku bertanya begitu padanya.
“Boleh kalau mau,” jawabnya.
“Bapak berani bawa istri orang?”
“Kenapa tidak?” sahutnya lagi sambil terbahak.
“Ayo kalau gitu, pak. Amtar saya ke rumah orang tua saya, ya?”
“Oke, kemana pun kamu mau saya antar.”
“Aduh, ada yang gombalin saya nih kayaknya.”
“Whatever!” Ramzi mengibaskan tangannya. “Let’s go!”
Aku tersenyum sumringah sambil mensejajari langkahnya. Tak kupedulikan tatapan berpasang mata yang memandang aneh. Mungkin mereka berpikir aku ada sesuatu dengan dosen keren ini, ah masa bodoh. Yang jelas aku dapat tumpangan gratis siang ini.
Sayangnya keberuntungan tidak berpihak padaku, dari kejauhan kulihat Devan sudah berdiri menyandarkan tubuh di mobilnya.
“Sepertinya suamimu sudah menunggu, Puja. Kalau begitu saya duluan ya, saya takut suamimu marah lagi.” ujar Ramzi.
Aku menghela napas kecewa, sebelum akhirnya mengangguk dan membiarkan pria itu jalan duluan menjauhiku.
‘Devan, buat apa dia datang kemari? Bukankah aku sudah bilang tidak usah menjemput?’ batinku kesal. Aku beranjak memutar arah sebelum pria itu menangkap kehadiranku, mencoba mencari jalan lain agar tak bertemu dengannya.
Aku tiba di belakang kampus, setahuku di sini ada jalan kecil yang akan tembus ke jalan raya, melewati gang sempit milik warga. Belum pernah sih lewat sana, cuma dengar cerita teman-teman saja, dan tidak ada salahnya mencoba. ‘Huh! Gara-gara pria itu aku jadi seperti buronan saja!’
Susah payah aku mencoba memanjat pagar setinggi satu setengah meter itu, benar-benar persis penjahat yang sedang melarikan diri.
“Puja!” Sebuah tangan kekar menarik tubuhku saat satu kaki berhasil naik ke pagar.
Betapa terkejutnya aku saat menyadari pemilik tangan itu. “Bang dev?” Mataku membulat.
“Apa yang kamu lakukan?”
“Aku ... aku ... “
“Ayo pulang!” Dia menarik paksa tanganku. Berusaha menepis tapi aku tak kuasa, tenaganya lebih kuat dariku.
“Bang Dev, lepaskan! Aku nggak mau pulang!”
Akan tetapi pria itu tak peduli, ia terus menarik tanganku.
“Lepaskan! Aku mau sendiri!”
“Sssttt, diamlah! Kamu mau jadi pusat perhatian di sini?” ancamnya setengah berbisik.
Akhirnya aku terdiam, mencoba mengikuti apa maunya. Dari pada nanti aku jadi pusat perhatian dan bahan gunjingan di kampus ini.
Sepanjang perjalanan aku hanya diam, Devan pun tak berusaha angkat bicara, hingga kebisuan terus menghias hingga kami sampai di rumah.
“Hidup seperti apa ini, Bang?” tanyaku datar saat mobil baru saja masuk ke garasi.
“Apa yang kamu inginkan?” Devan balik bertanya.
“Lepaskan aku, biarkan aku dengan hidupku. Meskipun cintaku seluas langit dan bumi, takkan pernah bisa menggantikan Meera di hatimu. Jadi untuk apa aku terus mendampingimu?”
Devan diam, hening menyeruak.
“Aku perempuan, juga punya perasaan. Hargai juga keinginanku. Mencintaimu, bukan berarti aku bisa Abang perlakukan sesuka hati. Aku sudah bilang, biarkan aku mencintaimu dalam diam, tapi apa? Abang bersikeras menikahiku karena permintaan orang tua kita. Lalu Abang membawaku ke lembah duka, hidup di bawah bayang-bayang Meera. Membiarkanku kesepian setiap kali aku menyadari kalau aku sudah memiliki suami. Aku tak berharap Abang membalas cintaku, tapi tolong, hargai aku. Jangan buat aku hidup dalam kebimbangan dalam menyikapi perlakuan Abang. Perlakuan yang teramat manis ... namun terasa menyakitkan!”
Devan tetap bergeming meskipun aku sudah bicara panjang kali lebar. Dengan kesal aku turun dari mobilnya, dan setengah berlari masuk ke rumah. Mengunci diri dalam kamar. Melempar tas dan buku yang kubawa. Melempar semua barang yang ada di meja rias, berikut membongkar alas ranjang yang sudah begitu rapi beserta bantal-bantalnya hingga berserakan di lantai, untuk melampiaskan kekesalanku.
“Bodooooooooooh!” teriakku. “Kenapa kamu jadi perempuan sebodoh ini Puja? Kamu sudah tahu Devan tidak mencintaimu, tapi kenapa kamu dulu mau menerima pinangannya? Apa yang kamu harapkan, ha? Cinta? Cinta seperti apa? Sedang dia tak pernah peduli denganmu, sedang bibirnya tak pernah menyatakan cinta untukmu. Bodoooooh!”
‘Tok!Tok!Tok!’
“Non Puja! Non Puja, buka pintunya!” Terdengar suara cemas Mbak Rima dari luar menggedor-gedor pintuku. “Non, ada apa Non? Non baik-baik saja?”
“Ada apa, Mbak?” kudengar suara Devan bertanya.
“Saya tidak tahu Tuan, saya hanya mendengar Non Puja teriak-teriak dan bunyi barang-barang pecah di dalam,” sahutnya.
Hening beberapa detik, mungkin Mbak Rima sudah pergi.
“Puja! Buka pintunya, Pu!” Kali ini Devan yang memanggil.
Aku tak menjawab, menangis di sudut kamar, menangisi kebodohanku. Andai dulu aku menolak keras pernikahan ini, tentu aku tidak akan menderita seperti ini. Batinku terasa begitu sakit. Lelah menjalani hari-hari yang begitu memuakkan.
Entah berapa lama aku menangis, hingga akhirnya aku lelah, dan tertidur di lantai.
***
“Kamu tahu Pu, sungguh aku sangat mencintaimu.” Sayup, terdengar antara mimpi dan nyata saat telingaku mendengar ucapan itu, “jauh sebelum aku tahu, kalau kamu juga sangat mencintaiku. Maafkan ... maafkan aku yang tak mampu mengatakan semuanya. Karena suatu saat, kamu juga akan tahu dan mengerti, apa yang sebenarnya terjadi.”
Perlahan aku membuka mata yang terasa berat, sembab karena tangis yang terlalu lama. Ternyata aku sudah berada di atas ranjangku. Kutemukan Devan tengah menatapku dengan mata yang basah. Ia terkesiap, dan buru-buru menghapus air matanya.
‘Bagaimana cara dia masuk ke kamarku?’
“Bang Dev?” Serak suaraku menyebut namanya.
Devan kembali menatapku. “Apa yang kamu lakukan? Kenapa tidak memukul Abang saja? Lampiaskan semuanya pada Abang, Abang rela,”
“Kenapa? Apakah karena Abang juga mencintaiku?”
Ia terdiam sejenak.
“Sudah pukul tujuh malam, bangunlah! Sebentar lagi kita makan malam, sana mandi dulu!” kilahnya.
Devan bangkit, lalu berjongkok memungut beberapa pecahan kosmetikku di lantai, lalu memasukkannya ke tong sampah. “Biar Mbak rima yang membersihkan semuanya nanti.” ujarnya sambil kembali berdiri. Lalu melangkah gontai ke luar dari kamar.
“Bang Dev!”
Ia berhenti, menoleh padaku, “ada apa, Pu?”
“Maaf,”
Pria itu tersenyum. “Tidak apa-apa, Pu.”
Aku memaksa tubuh lelahku bangun, lalu beringsut turun dan mengejar Devan, berlari ke dalam pelukannya. Betapa terkejutnya lelaki itu menerima tingkahku. Tanganku melingkar erat di pinggangnya, aku tak peduli dia suka atau tidak.
“I love you.” ucapku, kembali melakukan kebodohan.
***
Tole1224 dan 2 lainnya memberi reputasi
3
Tutup