- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
ANGKUHNYA CINTA (Part 1)
TS
Leny.Khan
ANGKUHNYA CINTA (Part 1)
ANGKUHNYA CINTA (PART 1-22 ending)
LENY KHAN
Aku memungut lembaran daun kering yang berguguran. Menyeret kaki menuju sebuah bangku taman bercat putih. Lalu mulai kutuliskan sebuah nama di atas daun kering itu menggunakan pulpen bertinta hitam yang selalu kubawa kemana saja. Entah kenapa, aku sangat suka sekali menulis di lembaran daun kering, meskipun akhirnya daun-daun itu kubuang juga.
Nama yang sama, aksara yang sama, hanya itu yang selalu kutuliskan. Senyumku selalu merekah saat menatap aksara yang sudah tertulis. Membuat sebuah rasa yang telah kupendam selama hampir tiga tahun ini semakin membara. Walau aku sendiri sadar, tak mungkin memiliki pria itu. Pria bernama Devan yang saat ini berstatus duda, setelah istrinya yang tak lain adalah Meera, kakak kandungku sendiri meninggal dunia akibat kecelakaan mobil saat usia pernikahan mereka baru menginjak tiga bulan. [/font][/size]
Namun aku jatuh cinta pada Devan jauh sebelum itu. Aku merasakan jantungku berdebar saat pertama kali ia datang bersama Ayahnya ke rumah kami. Di mana saat itu aku baru tahu, jika dia adalah lelaki yang sudah dijodohkan Ayah untuk Meera. Begitu patah hatinya aku kala itu, mengingat cintaku yang layu sebelum sempat berkembang.
Tapi begitulah jodoh, Allah yang menentukan. Bahkan Devan harus merelakan kepergian Meera, saat mereka masih mereguk indahnya pernikahan dan bulan madu. Ketika bunga cinta baru mulai merekah di hati mereka.
Dan kini, dua tahun sudah kepergian Meera, namun aku tak melihat ada tanda-tanda Devan menemukan pengganti. Bahkan ia terlihat lebih fokus dengan urusan kantornya. Ia juga sering mampir ke rumah menemui Ayah dan Mami. Mungkin hanya sekedar silaturahmi atau sekedar menemani Ayah bermain catur di teras depan.
“Pu?” Sebuah suara bariton menyapaku. Aku terperanjat, walau tanpa menoleh pun aku sudah tahu siapa pemilik suara itu.
“Bang Dev?” Aku menatap tak percaya. Lelaki itu langsung mendaratkan tubuhnya yang berbalut kemeja biru muda dan dasi biru dongker bermotif abstrak, lengan kemeja ia gulung sampai ke siku. Aku sangat suka dengan gayanya itu.
Andai ia bisa mendengar detak jantungku saat mencium aroma parfumnya yang begitu elegan, tentu ia akan tahu apa yang tengah gadis berusia 24 tahun ini rasakan.
“Susah banget ya nyari kamu di kampus ini,” celetuknya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling taman yang sedikit sepi. “Kamu ngapain di sini? Niat kuliah nggak sih?”
“Aku lagi nyari angin segar aja kok, Bang. Dosennya ada halangan, jadi jam kuliahnya tertunda dua jam, mau pulang nanggung banget. Capek bolak-balik.”
“Makanya, mendingan nikah aja dari pada ngejar gelar terus, ntar ketuaan nggak ada yang mau baru tahu rasa kamu!"candanya sambil tertawa.
Aku terdiam. ‘Andai kamu tahu, Bang. Aku memilih meneruskan S2-ku karena ingin melupakanmu sejenak. Walau sudah tak ada Meera di sampingmu, tapi aku tahu kamu begitu sulit melupakannya. Buktinya sudah dua tahun kepergian Meera, kamu masih saja sendiri.’
“Hei, dibilangin malah ngelamun nih anak.” Devan mengibaskan tangannya di depan wajahku. “Itu apaan pegang-pegang daun kering begitu?” Ia menunjuk lembaran daun kering yang masih ku genggam.
Aku tergagap, segera kubuang daun-daun itu. “Nggak apa-apa Bang, iseng aja lihat bentuk daunnya yang bermacam-macam.” jawabku sekenanya.
“Ngomong apa sih kamu, Pu? Ngaco!” Lagi-lagi Devan tertawa.
“Abang ngapain ke sini? Tumben nyari aku?”
Gantian Devan yang terdiam. Ia menatapku sebentar, sebelum kembali menatap ke depan. “Temani abang makan siang, yuk!” ajaknya.
Dahiku berkerut. “Makan siang? Tumben! Dalam rangka apa?” Pura-pura bertanya padahal aku girang banget diajak Devan.
“Tidak dalam rangka apa-apa, hanya ingin mengajak kamu saja. Mau nggak?”
“Aku ....“
“Jangan takut, aku sudah minta izin Ayah dan Mami untuk mengajakmu, dan mereka mengizinkan.”
Mataku membesar. “Benarkah?”
Devan mengangguk seraya tesenyum.
“Asiiiik, ayo kita pergi!”
Aku pun bangkit dari duduk dan berjalan penuh semangat, aku lupa kalau sudah meninggalkan lelaki yang masih duduk di bangku putih itu. Langkahku terhenti dan aku memutar badan, menemukan lelaki itu tengah membungkuk memungut dedaunan kering yang tadi kubuang. Jantungku berdetak sangat kencang saat melihat Devan memperhatikan sebuah nama yang tadi kutulis di sana. Kugigit bibir bawahku agar tak gemetar.
Aku terpaku. Menduga-duga apa yang akan Devan katakan saat ia tahu, namanya yang tertulis di helaian daun kering itu.
Devan menoleh dengan raut yang sulit ditebak. Lalu dengan pelan ia berjalan mendekatiku. Embusan angin mempermainkan rambut hitam kecoklatan yang kumiliki. Aku menunduk saat ia berdiri tepat di depanku.
“Puja ... apa ini?” Ia menunjukkan daun kering itu padaku.
Tak berani mengangkat kepala, aku meremas-remas jemariku sendiri.
“Puja, jawab Abang, apa maksud semua ini?”
“Aku ... aku hanya ... aku ... itu ....”
“Kamu mencintai Abang?” tanyanya pelan dan hati-hati. Aku semakin menundukkan kepala. Mataku mulai terasa panas dan berkabut.
“Katakan Puja, apakah kamu mencintai Abang? Kenapa nama Abang ada di lembaran daun kering ini? Apakah Abang adalah seseorang yang spesial untukmu?” tanyanya antusias.
Dengan lembut jemarinya menyentuh daguku, lalu ia mencoba mengangkat wajahku sehingga mata kami saling bertatapan. Aku tenggelam dalam tatapan netra bermanik hitam itu. Satu persatu butiran bening membasahi pipi.
“Katakan, Puja!”
“Ya, aku mencintai Abang, sejak pertama kali Abang datang ke rumah, tapi aku begitu terluka saat tahu ... kalau Meera sudah dijodohkan dengan Abang,” uraiku jujur. Entah dapat keberanian dari mana aku mampu mengakuinya.
“Kenapa tidak mengatakannya sejak dulu?”
“Karena aku tahu diri, Meera lebih pantas untuk Abang, sedang aku dianggap masih terlalu muda untuk sebuah urusan cinta kala itu. Hingga tak ada yang menyadari perasanku ini.”
“Maafkan Abang yang juga tak peka dengan perasaanmu. Tapi ....“ Devan mengusap wajahnya. “Abang belum bisa menggantikan Meera dengan siapa pun saat ini, Abang terlanjur mencintai Meera. Kamu sudah Abang anggap adik kandung abang sendiri.”
“Aku tak berharap menjadi pengganti Meera, aku mencintai Abang, tanpa berniat ingin memiliki Abang. Hanya mencintai, meskipun dalam diam. Maafkan jika Abang harus tahu semua ini. Aku sama sekali tak pernah berharap Abang membalas cintaku. Mencintaimu adalah sebuah kebahagiaan tersendiri untukku.” Kuhapus air mata dengan punggung tangan dan bergegas meninggalkannya. Aku lupa kalau tadi ia mengajakku makan siang.
“Puja! Puja tunggu!” Devan mengejar dan berhasil mencekal pergelangan tanganku.
“Tolong jangan permalukan aku di kampus ini, Bang!” pintaku sambil menepis tangannya.
Devan terdiam, dan membiarkanku berlalu dari hadapannya.
[size=3][font="Times New Roman", serif][i]‘Ah, kenapa dia harus tahu tentang semua ini? Padahal aku sudah cukup bahagia mencintainya seperti ini. Sekarang apa yang harus kulakukan? Menghadapinya harus seperti apa? Pasti akan ada yang mengganjal saat ia datang ke rumah nanti. Ataukah ia tidak akan mengunjungi Ayah da Mami lagi karena semua ini?
Part 2 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...518b1e4a7ec131
Part 3 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957bc23a7240
Part 4 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957c6646c76f
Part 5 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...20846ce047af3e
Part 6
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4dc1102d78507e
Part 7
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...70af7d8c39474e
Part 8
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8f2d50b72ecf6e
Part 9
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...7d824cfa30ea0d
Part 10
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...35f9528b60b399
Part 11
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...51b66d22320f6d
Part 12
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...12384692137baf
Part 13
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...069f1892000380
Part 14
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...114e534d170179
Part 15
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8c56678b0247ad
Part 16 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...e4bc6bc03f2c31
Part 17 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...c5f237fc65f77a
Part 18 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4035383a112c41
Part 19 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...f9a504f732ba96
Part 20 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b64526fe580b43
Part 21 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...a1b175b268b213
Part 22 (ending) https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b16a2d3955aa48
LENY KHAN
Aku memungut lembaran daun kering yang berguguran. Menyeret kaki menuju sebuah bangku taman bercat putih. Lalu mulai kutuliskan sebuah nama di atas daun kering itu menggunakan pulpen bertinta hitam yang selalu kubawa kemana saja. Entah kenapa, aku sangat suka sekali menulis di lembaran daun kering, meskipun akhirnya daun-daun itu kubuang juga.
Nama yang sama, aksara yang sama, hanya itu yang selalu kutuliskan. Senyumku selalu merekah saat menatap aksara yang sudah tertulis. Membuat sebuah rasa yang telah kupendam selama hampir tiga tahun ini semakin membara. Walau aku sendiri sadar, tak mungkin memiliki pria itu. Pria bernama Devan yang saat ini berstatus duda, setelah istrinya yang tak lain adalah Meera, kakak kandungku sendiri meninggal dunia akibat kecelakaan mobil saat usia pernikahan mereka baru menginjak tiga bulan. [/font][/size]
Namun aku jatuh cinta pada Devan jauh sebelum itu. Aku merasakan jantungku berdebar saat pertama kali ia datang bersama Ayahnya ke rumah kami. Di mana saat itu aku baru tahu, jika dia adalah lelaki yang sudah dijodohkan Ayah untuk Meera. Begitu patah hatinya aku kala itu, mengingat cintaku yang layu sebelum sempat berkembang.
Tapi begitulah jodoh, Allah yang menentukan. Bahkan Devan harus merelakan kepergian Meera, saat mereka masih mereguk indahnya pernikahan dan bulan madu. Ketika bunga cinta baru mulai merekah di hati mereka.
Dan kini, dua tahun sudah kepergian Meera, namun aku tak melihat ada tanda-tanda Devan menemukan pengganti. Bahkan ia terlihat lebih fokus dengan urusan kantornya. Ia juga sering mampir ke rumah menemui Ayah dan Mami. Mungkin hanya sekedar silaturahmi atau sekedar menemani Ayah bermain catur di teras depan.
“Pu?” Sebuah suara bariton menyapaku. Aku terperanjat, walau tanpa menoleh pun aku sudah tahu siapa pemilik suara itu.
“Bang Dev?” Aku menatap tak percaya. Lelaki itu langsung mendaratkan tubuhnya yang berbalut kemeja biru muda dan dasi biru dongker bermotif abstrak, lengan kemeja ia gulung sampai ke siku. Aku sangat suka dengan gayanya itu.
Andai ia bisa mendengar detak jantungku saat mencium aroma parfumnya yang begitu elegan, tentu ia akan tahu apa yang tengah gadis berusia 24 tahun ini rasakan.
“Susah banget ya nyari kamu di kampus ini,” celetuknya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling taman yang sedikit sepi. “Kamu ngapain di sini? Niat kuliah nggak sih?”
“Aku lagi nyari angin segar aja kok, Bang. Dosennya ada halangan, jadi jam kuliahnya tertunda dua jam, mau pulang nanggung banget. Capek bolak-balik.”
“Makanya, mendingan nikah aja dari pada ngejar gelar terus, ntar ketuaan nggak ada yang mau baru tahu rasa kamu!"candanya sambil tertawa.
Aku terdiam. ‘Andai kamu tahu, Bang. Aku memilih meneruskan S2-ku karena ingin melupakanmu sejenak. Walau sudah tak ada Meera di sampingmu, tapi aku tahu kamu begitu sulit melupakannya. Buktinya sudah dua tahun kepergian Meera, kamu masih saja sendiri.’
“Hei, dibilangin malah ngelamun nih anak.” Devan mengibaskan tangannya di depan wajahku. “Itu apaan pegang-pegang daun kering begitu?” Ia menunjuk lembaran daun kering yang masih ku genggam.
Aku tergagap, segera kubuang daun-daun itu. “Nggak apa-apa Bang, iseng aja lihat bentuk daunnya yang bermacam-macam.” jawabku sekenanya.
“Ngomong apa sih kamu, Pu? Ngaco!” Lagi-lagi Devan tertawa.
“Abang ngapain ke sini? Tumben nyari aku?”
Gantian Devan yang terdiam. Ia menatapku sebentar, sebelum kembali menatap ke depan. “Temani abang makan siang, yuk!” ajaknya.
Dahiku berkerut. “Makan siang? Tumben! Dalam rangka apa?” Pura-pura bertanya padahal aku girang banget diajak Devan.
“Tidak dalam rangka apa-apa, hanya ingin mengajak kamu saja. Mau nggak?”
“Aku ....“
“Jangan takut, aku sudah minta izin Ayah dan Mami untuk mengajakmu, dan mereka mengizinkan.”
Mataku membesar. “Benarkah?”
Devan mengangguk seraya tesenyum.
“Asiiiik, ayo kita pergi!”
Aku pun bangkit dari duduk dan berjalan penuh semangat, aku lupa kalau sudah meninggalkan lelaki yang masih duduk di bangku putih itu. Langkahku terhenti dan aku memutar badan, menemukan lelaki itu tengah membungkuk memungut dedaunan kering yang tadi kubuang. Jantungku berdetak sangat kencang saat melihat Devan memperhatikan sebuah nama yang tadi kutulis di sana. Kugigit bibir bawahku agar tak gemetar.
Aku terpaku. Menduga-duga apa yang akan Devan katakan saat ia tahu, namanya yang tertulis di helaian daun kering itu.
Devan menoleh dengan raut yang sulit ditebak. Lalu dengan pelan ia berjalan mendekatiku. Embusan angin mempermainkan rambut hitam kecoklatan yang kumiliki. Aku menunduk saat ia berdiri tepat di depanku.
“Puja ... apa ini?” Ia menunjukkan daun kering itu padaku.
Tak berani mengangkat kepala, aku meremas-remas jemariku sendiri.
“Puja, jawab Abang, apa maksud semua ini?”
“Aku ... aku hanya ... aku ... itu ....”
“Kamu mencintai Abang?” tanyanya pelan dan hati-hati. Aku semakin menundukkan kepala. Mataku mulai terasa panas dan berkabut.
“Katakan Puja, apakah kamu mencintai Abang? Kenapa nama Abang ada di lembaran daun kering ini? Apakah Abang adalah seseorang yang spesial untukmu?” tanyanya antusias.
Dengan lembut jemarinya menyentuh daguku, lalu ia mencoba mengangkat wajahku sehingga mata kami saling bertatapan. Aku tenggelam dalam tatapan netra bermanik hitam itu. Satu persatu butiran bening membasahi pipi.
“Katakan, Puja!”
“Ya, aku mencintai Abang, sejak pertama kali Abang datang ke rumah, tapi aku begitu terluka saat tahu ... kalau Meera sudah dijodohkan dengan Abang,” uraiku jujur. Entah dapat keberanian dari mana aku mampu mengakuinya.
“Kenapa tidak mengatakannya sejak dulu?”
“Karena aku tahu diri, Meera lebih pantas untuk Abang, sedang aku dianggap masih terlalu muda untuk sebuah urusan cinta kala itu. Hingga tak ada yang menyadari perasanku ini.”
“Maafkan Abang yang juga tak peka dengan perasaanmu. Tapi ....“ Devan mengusap wajahnya. “Abang belum bisa menggantikan Meera dengan siapa pun saat ini, Abang terlanjur mencintai Meera. Kamu sudah Abang anggap adik kandung abang sendiri.”
“Aku tak berharap menjadi pengganti Meera, aku mencintai Abang, tanpa berniat ingin memiliki Abang. Hanya mencintai, meskipun dalam diam. Maafkan jika Abang harus tahu semua ini. Aku sama sekali tak pernah berharap Abang membalas cintaku. Mencintaimu adalah sebuah kebahagiaan tersendiri untukku.” Kuhapus air mata dengan punggung tangan dan bergegas meninggalkannya. Aku lupa kalau tadi ia mengajakku makan siang.
“Puja! Puja tunggu!” Devan mengejar dan berhasil mencekal pergelangan tanganku.
“Tolong jangan permalukan aku di kampus ini, Bang!” pintaku sambil menepis tangannya.
Devan terdiam, dan membiarkanku berlalu dari hadapannya.
[size=3][font="Times New Roman", serif][i]‘Ah, kenapa dia harus tahu tentang semua ini? Padahal aku sudah cukup bahagia mencintainya seperti ini. Sekarang apa yang harus kulakukan? Menghadapinya harus seperti apa? Pasti akan ada yang mengganjal saat ia datang ke rumah nanti. Ataukah ia tidak akan mengunjungi Ayah da Mami lagi karena semua ini?
Part 2 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...518b1e4a7ec131
Part 3 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957bc23a7240
Part 4 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957c6646c76f
Part 5 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...20846ce047af3e
Part 6
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4dc1102d78507e
Part 7
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...70af7d8c39474e
Part 8
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8f2d50b72ecf6e
Part 9
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...7d824cfa30ea0d
Part 10
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...35f9528b60b399
Part 11
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...51b66d22320f6d
Part 12
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...12384692137baf
Part 13
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...069f1892000380
Part 14
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...114e534d170179
Part 15
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8c56678b0247ad
Part 16 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...e4bc6bc03f2c31
Part 17 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...c5f237fc65f77a
Part 18 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4035383a112c41
Part 19 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...f9a504f732ba96
Part 20 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b64526fe580b43
Part 21 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...a1b175b268b213
Part 22 (ending) https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b16a2d3955aa48
Diubah oleh Leny.Khan 29-07-2023 17:52
bukhorigan dan 17 lainnya memberi reputasi
16
11K
64
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
TS
Leny.Khan
#10
#ANGKUH NYA_CINTA
#PART_3
Devan mengantarku hingga gerbang kampus pagi ini sebelum ia berangkat ke kantor. Aku langsung turun begitu mobil berhenti.
“Thank’s, Bang!” ucapku seraya membawa beberapa diktat tebal.
“Kok ngomongnya gitu?” timpal Devan.
“Salahnya di mana?” Mengurungkan niat untuk turun.
“Abang ini suamimu, kenapa jadi kayak temenan gitu?”
“Oh, salah ya? Jadi maunya Abang aku bagaimana?”
“Berlakulah layaknya seorang istri pada suami, seperti Meera.”
Mataku membesar, darahku mendidih. Lagi-lagi itu yang dia katakan. Dia pikir aku ini apa?
“Tidak akan pernah, sampai Abang sadar bahwa aku adalah Puja ... i’m not Meera!” geramku. “Jadi berhenti memaksaku untuk menjadi bayang-bayang Meera. Mencintaimu, bukan berarti aku harus mengikuti apa yang Abang inginkan, meskipun di atas kertas dan dalam agama kita sah sebagai suami istri. Namun perlu Abang ingat, pernikahan ini untuk orang tua kita, aku memang pengganti Meera, tapi bukan untuk menjadikanku sebagai Meera di sisimu.” Aku membuka pintu mobil dengan kasar. “Terima kasih telah mengantarku.” Bergegas kutinggalkan Devan yang masih tercenung mendengar kata-kataku. Hingga beberapa menit kemudian, dari kejauhan kulihat mobilnya bergerak meninggalkan halaman kampus.
Kuhela napas dalam, menahan rasa sesak di dada. Aku tak ingin menangis di sini. Lalu mengayun langkah menuju taman kampus, sebuah tempat yang begitu nyaman buatku. Bangku putih yang terletak di sudut taman dekat sebuah pohon yang mana daun keringnya sering kujadikan media untuk melukis nama lelaki yang kucintai, Devan.
Satu persatu air mataku jatuh membasahi selembar daun kering yang baru saja kutulis nama Devan di sana. Dia tidak tahu betapa aku sangat terluka saat ini. Apa memang ini yang dia inginkan setelah dia tahu bahwa aku mencintainya? Apa dia menghukumku karena rasa cinta ini? Dia selalu ingin aku menjadi Meera, dia ingin aku hidup di bawah bayang-bayang Meera. Apakah dengan memintaku menjadi Meera, itu caranya belajar mencintaiku?
“Kamu kejam, Dev!” lirihku sembari mengusap air mata.
***
“Puja, ada yang mencarimu.” bisik Disha saat aku sedang asyik membaca di perpustakaan. Aku sengaja berlama-lama di sini karena malas sekali rasanya untuk pulang, bertemu dengan Devan. Apalagi kuliahku cuma tiga kali seminggu, pasti waktuku akan lebih banyak bersama lelaki itu.
“Siapa?” tanyaku tanpa mengeluarkan suara.
“Your husband.”
“WHAT?”
“Sssttt!” Disha menempelkan telunjuk ke bibirnya. Semua yang berada di ruangan itu menoleh padaku, merasa terganggu dengan suaraku barusan.
“Mau ngapain dia ke sini?”
“Ya jemput kamu lah Pu, pertanyaan aneh!” Disha mengerutkan dahinya.
Aku menghela napas kesal, lalu menutup buku yang sedang kubaca. “Nanti tolong kembalikan buku ini ke tempatnya ya, Sha?” pintaku.
Gadis keturunan Sunda-Pakistan itu hanya mengangguk sambil tersenyum. “Have a nice day, Pu!”
Mataku mendelik dan memberi seulas senyum pada sahabatku itu. “Thank’s, Sha!”
Kuayunkan langkah dengan malas keluar dari ruangan itu. ‘Ada apa Devan sampai menjemputku? Bukankah aku bukan siapa-siapa baginya? Bukankah aku hanya istri di atas kertas bukan di hatinya? Meskipun kuakui, aku merasa bahagia saat Disha bilang Devan datang. Tapi ... jika ingat perlakuannya yang selalu ingin aku seperti Meera, rasa bahagia itu lenyap.’
Kulihat Devan tengah berdiri menyandar di salah satu tiang depan perpustakaan, dengan ragu kudekati dia. “Bang Devan?”
Pria itu terkejut dan menoleh, memutar tubuh hingga kini kami berdiri berhadapan.
“Ada apa mencariku?” tanyaku datar.
Sepertinya Devan baru pulang dari kantor, sebab bajunya masih baju yang tadi pagi ia pakai. Wajahnya terlihat sedikit lelah.
“Sudah sore begini aku tak menemukanmu di rumah, di rumah Mami juga tidak ada, ponsel pun tidak aktif, kenapa? Kamu lupa kalau sudah menikah? Kamu lupa kalau kamu bukan perempuan bebas lagi?” Mata elangnya menatapku tajam.
“Maaf, aku tadi sedang membaca di perpustakaan, hingga aku lupa waktu.” jawabku cuek, aku tak mau berdebat di depan umum. “Ayo kita pulang!” ajakku sambil berjalan mendahuluinya.
Dengan sigap Devan menyambar tanganku dan menggandengnya. Aku terkesiap, jantungku kembali berdetak kencang. Tak berusaha menolak, sebab aku suka diperlakukan seperti ini, meski mungkin hanya sebagai bentuk rasa peduli atau rasa memiliki saja bagi Devan.
Devan seolah tak peduli tatapan cemburu orang-orang, ia semakin mengeratkan genggamannya saat beberapa teman lelakiku menyapa.
“Puja? Sudah mau pulang?” sapa Ramzi, dosen termuda di kampus ini. Aku dan dia lumayan akrab, sebab kami pernah mengerjakan sebuah proyek bersama.
“Iya, Pak!” sahutku sambil melepas seulas senyum pada lelaki itu.
“Hati-hati ya?”
“Puja akan aman karena ada saya, suaminya!” Devan menyela dengan nada sedikit jengkel.
Ramzi terdiam, melirik Devan, lalu mencoba tersenyum. “Maaf jika kata-kata saya menyinggung Anda,” ujarnya.
Aku jadi merasa tidak enak dengan Ramzi atas sikap Devan.
“Maafkan suami saya, Pak!” ucapku.
“Tidak masalah, Puja. Ya sudah saya duluan, mari!”
Lelaki itu pun berlalu.
“Abang apa-apaan sih? Dia itu dosenku!” ucapku geram.
“Oh ya?” Kembali ia menarik tanganku untuk melangkah menuju parkiran.
“Abang kenapa bersikap begini? Aku tidak suka!” bentakku tertahan.
“I don’t care. Yang jelas, abang tidak suka jika ada laki-laki lain yang sok perhatian padamu.” tegasnya.
“Dia hanya menyapa, dan hanya bilang hati-hati apa itu berlebihan?”
“Sudah, diamlah!”
Kami sampai di samping mobil, ia membuka pintu dan mendorongku masuk dengan pelan. Tak ada yang bisa kulakukan selain menurut. Menghempaskan tubuhku ke atas jok dengan kesal.
“Abang cemburu?”
Devan bergeming, matanya terus menatap lurus ke depan, konsentrasi dalam menyetir.
“Bang Dev ... “
“Cemburu atau tidak, yang jelas abang tidak suka jika ada lelaki lain yang memperhatikan istriku. Apalagi tipe dosenmu itu,” potongnya, “tatapan matanya juga genit sama kamu, apa dia nggak tahu kalau kamu sudah menikah?”
Kutatap wajah kusut itu dari samping sambil menahan senyum. ‘Apa benar pria ini tengah cemburu? Apa dia sudah mulai membuka hatinya untukku? Ah, tidak, tidak! Jangan berharap banyak dulu Puja!’
“Kamu nggak usah ge-er! Abang hanya tidak suka apa yang sudah abang miliki diusik orang lain.” tegasnya seolah tahu isi pikiranku.
“Aku cukup tahu diri untuk itu, Bang. Aku takkan pernah berharap lebih darimu. Tapi aku berterima kasih, sudah menganggap aku ada, meskipun hanya secara lahir, bukan secara batin.”
Hening. Hingga kami berdua sampai di rumah.
***
Aku terkejut saat mendapati meja makan sudah tertata rapi lengkap dengan hidangan makan malam begitu kami sampai di rumah. Seorang wanita berusia kira-kira 40 tahun sibuk mondar mandir dari dapur ke meja makan.
“Mulai hari ini kamu tidak perlu turun ke dapur, sebab Mamaku sudah mengirimkan pembantu untuk kita tadi siang.” celetuknya saat melihat wajah bingungku.
“Oh, baguslah. Berarti aku tak perlu lagi menjadi Meera ketika memasak makanan untukmu.” Sahutku cuek sambil melangkah menuju kamarku.
Devan terdiam, lalu mengekoriku, ikut masuk ke dalam kamar yang sama.
“Heiii, Abang ngapain ke sini? Salah kamar, ya? Sana keluar, aku mau mandi dan ganti baju!”
“Kuliahmu masih berapa lama lagi?” Devan bertanya tanpa mengindahkan ucapanku barusan.
“Kenapa?”
“Jawab saja, jangan malah balik bertanya!”
“Sudah berjalan satu tahun, maunya sih satu setengah tahun selesai, tapiiii ... kayaknya membosankan kalau di rumah terus, nggak apa-apa deh setahun lagi aja biar ada kegiatan.”
Raut wajah Devan terlihat tak senang. “Selesaikan saja dalam enam bulan lagi, kalau tidak selesai, berhenti saja kuliah!” tandasnya sebelum meninggalkan kamarku.
“Bang Dev!”
Langkahnya terhenti di ambang pintu. “Ada apa? Keberatan?”
“Berikan aku alasan yang masuk akal untuk permintaanmu itu!”
Devan memutar badan, lalu kembali melangkah mendekatiku. Jantungku kembali berdetak kencang saat tubuh kami hanya berjarak beberapa senti saja.
“Alasan seperti apa yang kamu inginkan? Tak cukupkah aku sebagai suamimu yang jadi alasan?” Manik matanya menatapku dalam, seolah ingin menerkam dan menelan bulat-bulat tubuhku. “Kamu terlalu cantik untuk sering berkeliaran di luar sana, aku tidak ingin, ada yang mencoba mengambilmu dariku.” ujarnya setengah berbisik sambil memegang lembut daguku.
Kutelan saliva yang tercekat dengan susah payah. Debaran jantungku memacu kecepatan deru napas yang berembus.
“Sudah sana mandi, bau asem!” Tiba-tiba ia mengacak rambutku, tersenyum jahil. Lalu kembali melenggang ke luar dari kamar. Meninggalkanku yang masih terpaku di tempat, mencoba menata irama jantung agar normal kembali. Devan bertingkah seolah aku adalah adiknya, bukan istrinya.
“Oh ya,” Devan mendorong pintu yang hampir kututup, “Abang tunggu kamu makan malam jam tujuh nanti, jangan tidur!”
“Iya, Bang,” sahutku singkat, kututup pintu dan menguncinya. Lalu menyandarkan tubuh sambil memejamkan mata, mencoba menguasai diri saat sebuah gejolak asmara mampir menggoda jiwa. “Devan, sampai kapan kamu mau menyiksaku seperti ini?” bisikku pada diri sendiri. Setetes air mata mengalir membasahi pipi.
***
Dengan menggunakan dress pendek selutut bermotif kembang kecil-kecil tanpa lengan yang di belikan Devan tempo hari, aku merasa begitu percaya diri. Warna pastelnya membuat kulitku semakin bercahaya. Rambut panjang sesiku berwarna hitam kecoklatan kuikat menjadi satu, menyisakan sedikit helaiannya di kiri kanan telinga. Mataku yang bermanik coklat tua, hidungku yang bangir serta bibir sensualku yang selalu memikat banyak teman lelaki yang pernah dekat denganku tak mampu membuat Devan begitu saja jatuh cinta padaku.
“Eh, Non ... Puja ya?” sapa wanita itu. Penampilannya aneh di mataku, mengenakan gamis longgar lengkap dengan kaos kaki serta jilbab lebar menutup hingga pergelangan tangannya. Begitu rapi dan terlihat menyejukkan mata.
“Iya, Mbak, saya Puja.” Kuulurkan tanganku padanya. Ragu wanita itu menyambut tanganku.
“Saya Rima, semoga Non Puja dan Tuan Devan suka dengan maskan dan pekerjaan saya.” ujarnya sambil menunduk.
“Mbak Rima, kalau lagi ngomong sama saya jangan nunduk begitu, saya nggak suka. Kita sama-sama manusia biasa kok,” kusentuh pundaknya hingga ia mengangkat kepala.
“I-iya Non,”
“Tuan ke mana ya, Mbak? Belum ke luar dari kamar?”
“Lho? Tuan Devan kan suaminya Non, apa ... “ dahi Mbak Rima berkerut.
Aku tertawa kecil,”Devan itu lagi ngambek, jadi kita pisah kamar,” bisikku diiringi tawa tertahan dari Rima. Kami cekikikan berdua, entah kenapa aku merasa nyaman ngobrol dengan Mbak Rima.
Walau bagaimanapun, aku harus menutupi apa yang sebenarnya terjadi.
“Ehem,” kami terperanjat saat mendengar suara Devan.
“Ya sudah, Mbak ke dapur dulu ya, Non. Tuan sudah datang. Kalau ada apa-apa panggil saja Mbak ya?”
“Baik, Mbak. Terima kasih.”
“Maaf abang telat, tadi ketiduran.” Devan menyeret kursi di depanku. Kami duduk berseberangan.
Aku tak menjawab. Tanganku sibuk menyendok nasi ke piringku dan mengambil lauk yang kusuka. Sementara Devan hanya memperhatikanku tanpa berbuat apa-apa.
“Abang nggak makan? Kok malah bengong?”
“Nungguin ada yang ngambilin.”
Aku mendelik, lalu mengambil piring kosong, mengisinya dengan nasi dan lauk yang dia minta. Kemudian kami sama-sama menyantap hidangan tanpa bicara sepatah kata pun bahkan hingga makanan di piring kami habis.
Setelahnya aku membantu Mbak Rima membereskan meja makan, sementara Devan sudah duduk di ruang tengah sambil menyalakan TV.
“Bang Dev,” panggilku sambil duduk di sampingnya.
“Ya?”
“Antar aku ke rumah Mami dong!”
“Mau ngapain?”
“Mau ambil mobilku. Biar Abang nggak repot lagi mengantarku.”
Devan menghela napas, menatapku dengan dahi berkerut, “apa Abang pernah bilang kalau Abang repot mengantar jemputmu kuliah?”
Aku menggeleng. “Tapi susah rasanya, apa-apa tergantung sama Abang. Aku kan kadang juga pengen jalan sama teman-temanku, Bang.”
“Jalan dengan teman atau dosenmu itu?” tanyanya datar.
“Kok nanyanya gitu?”
“Pokoknya apa pun alasanmu, Abang akan tetap mengantar jemputmu kuliah. Jangan membantah lagi. Kemana pun kamu pergi, harus seizin Abang dan harus Abang yang mengantar. Paham?”
“Begitukah?” Kutatap iris matanya. “Lalu apakah aku juga boleh tidur di kamar Abang selayaknya istri? Apakah sudah boleh aku hidup tanpa bayang-bayang Meera?”
Devan tertegun, menatapku seakan tak percaya kalau pertanyaan itu akan kulontarkan.
Hening.
Hingga akhirnya ia bangkit menuju kamar, meninggalkanku sendiri dengan sebuah rasa yang tak pernah pudar. Aku tak mampu memiliki jiwa ... bahkan raganya pun tak mampu aku kuasai.
***
#PART_3
Devan mengantarku hingga gerbang kampus pagi ini sebelum ia berangkat ke kantor. Aku langsung turun begitu mobil berhenti.
“Thank’s, Bang!” ucapku seraya membawa beberapa diktat tebal.
“Kok ngomongnya gitu?” timpal Devan.
“Salahnya di mana?” Mengurungkan niat untuk turun.
“Abang ini suamimu, kenapa jadi kayak temenan gitu?”
“Oh, salah ya? Jadi maunya Abang aku bagaimana?”
“Berlakulah layaknya seorang istri pada suami, seperti Meera.”
Mataku membesar, darahku mendidih. Lagi-lagi itu yang dia katakan. Dia pikir aku ini apa?
“Tidak akan pernah, sampai Abang sadar bahwa aku adalah Puja ... i’m not Meera!” geramku. “Jadi berhenti memaksaku untuk menjadi bayang-bayang Meera. Mencintaimu, bukan berarti aku harus mengikuti apa yang Abang inginkan, meskipun di atas kertas dan dalam agama kita sah sebagai suami istri. Namun perlu Abang ingat, pernikahan ini untuk orang tua kita, aku memang pengganti Meera, tapi bukan untuk menjadikanku sebagai Meera di sisimu.” Aku membuka pintu mobil dengan kasar. “Terima kasih telah mengantarku.” Bergegas kutinggalkan Devan yang masih tercenung mendengar kata-kataku. Hingga beberapa menit kemudian, dari kejauhan kulihat mobilnya bergerak meninggalkan halaman kampus.
Kuhela napas dalam, menahan rasa sesak di dada. Aku tak ingin menangis di sini. Lalu mengayun langkah menuju taman kampus, sebuah tempat yang begitu nyaman buatku. Bangku putih yang terletak di sudut taman dekat sebuah pohon yang mana daun keringnya sering kujadikan media untuk melukis nama lelaki yang kucintai, Devan.
Satu persatu air mataku jatuh membasahi selembar daun kering yang baru saja kutulis nama Devan di sana. Dia tidak tahu betapa aku sangat terluka saat ini. Apa memang ini yang dia inginkan setelah dia tahu bahwa aku mencintainya? Apa dia menghukumku karena rasa cinta ini? Dia selalu ingin aku menjadi Meera, dia ingin aku hidup di bawah bayang-bayang Meera. Apakah dengan memintaku menjadi Meera, itu caranya belajar mencintaiku?
“Kamu kejam, Dev!” lirihku sembari mengusap air mata.
***
“Puja, ada yang mencarimu.” bisik Disha saat aku sedang asyik membaca di perpustakaan. Aku sengaja berlama-lama di sini karena malas sekali rasanya untuk pulang, bertemu dengan Devan. Apalagi kuliahku cuma tiga kali seminggu, pasti waktuku akan lebih banyak bersama lelaki itu.
“Siapa?” tanyaku tanpa mengeluarkan suara.
“Your husband.”
“WHAT?”
“Sssttt!” Disha menempelkan telunjuk ke bibirnya. Semua yang berada di ruangan itu menoleh padaku, merasa terganggu dengan suaraku barusan.
“Mau ngapain dia ke sini?”
“Ya jemput kamu lah Pu, pertanyaan aneh!” Disha mengerutkan dahinya.
Aku menghela napas kesal, lalu menutup buku yang sedang kubaca. “Nanti tolong kembalikan buku ini ke tempatnya ya, Sha?” pintaku.
Gadis keturunan Sunda-Pakistan itu hanya mengangguk sambil tersenyum. “Have a nice day, Pu!”
Mataku mendelik dan memberi seulas senyum pada sahabatku itu. “Thank’s, Sha!”
Kuayunkan langkah dengan malas keluar dari ruangan itu. ‘Ada apa Devan sampai menjemputku? Bukankah aku bukan siapa-siapa baginya? Bukankah aku hanya istri di atas kertas bukan di hatinya? Meskipun kuakui, aku merasa bahagia saat Disha bilang Devan datang. Tapi ... jika ingat perlakuannya yang selalu ingin aku seperti Meera, rasa bahagia itu lenyap.’
Kulihat Devan tengah berdiri menyandar di salah satu tiang depan perpustakaan, dengan ragu kudekati dia. “Bang Devan?”
Pria itu terkejut dan menoleh, memutar tubuh hingga kini kami berdiri berhadapan.
“Ada apa mencariku?” tanyaku datar.
Sepertinya Devan baru pulang dari kantor, sebab bajunya masih baju yang tadi pagi ia pakai. Wajahnya terlihat sedikit lelah.
“Sudah sore begini aku tak menemukanmu di rumah, di rumah Mami juga tidak ada, ponsel pun tidak aktif, kenapa? Kamu lupa kalau sudah menikah? Kamu lupa kalau kamu bukan perempuan bebas lagi?” Mata elangnya menatapku tajam.
“Maaf, aku tadi sedang membaca di perpustakaan, hingga aku lupa waktu.” jawabku cuek, aku tak mau berdebat di depan umum. “Ayo kita pulang!” ajakku sambil berjalan mendahuluinya.
Dengan sigap Devan menyambar tanganku dan menggandengnya. Aku terkesiap, jantungku kembali berdetak kencang. Tak berusaha menolak, sebab aku suka diperlakukan seperti ini, meski mungkin hanya sebagai bentuk rasa peduli atau rasa memiliki saja bagi Devan.
Devan seolah tak peduli tatapan cemburu orang-orang, ia semakin mengeratkan genggamannya saat beberapa teman lelakiku menyapa.
“Puja? Sudah mau pulang?” sapa Ramzi, dosen termuda di kampus ini. Aku dan dia lumayan akrab, sebab kami pernah mengerjakan sebuah proyek bersama.
“Iya, Pak!” sahutku sambil melepas seulas senyum pada lelaki itu.
“Hati-hati ya?”
“Puja akan aman karena ada saya, suaminya!” Devan menyela dengan nada sedikit jengkel.
Ramzi terdiam, melirik Devan, lalu mencoba tersenyum. “Maaf jika kata-kata saya menyinggung Anda,” ujarnya.
Aku jadi merasa tidak enak dengan Ramzi atas sikap Devan.
“Maafkan suami saya, Pak!” ucapku.
“Tidak masalah, Puja. Ya sudah saya duluan, mari!”
Lelaki itu pun berlalu.
“Abang apa-apaan sih? Dia itu dosenku!” ucapku geram.
“Oh ya?” Kembali ia menarik tanganku untuk melangkah menuju parkiran.
“Abang kenapa bersikap begini? Aku tidak suka!” bentakku tertahan.
“I don’t care. Yang jelas, abang tidak suka jika ada laki-laki lain yang sok perhatian padamu.” tegasnya.
“Dia hanya menyapa, dan hanya bilang hati-hati apa itu berlebihan?”
“Sudah, diamlah!”
Kami sampai di samping mobil, ia membuka pintu dan mendorongku masuk dengan pelan. Tak ada yang bisa kulakukan selain menurut. Menghempaskan tubuhku ke atas jok dengan kesal.
“Abang cemburu?”
Devan bergeming, matanya terus menatap lurus ke depan, konsentrasi dalam menyetir.
“Bang Dev ... “
“Cemburu atau tidak, yang jelas abang tidak suka jika ada lelaki lain yang memperhatikan istriku. Apalagi tipe dosenmu itu,” potongnya, “tatapan matanya juga genit sama kamu, apa dia nggak tahu kalau kamu sudah menikah?”
Kutatap wajah kusut itu dari samping sambil menahan senyum. ‘Apa benar pria ini tengah cemburu? Apa dia sudah mulai membuka hatinya untukku? Ah, tidak, tidak! Jangan berharap banyak dulu Puja!’
“Kamu nggak usah ge-er! Abang hanya tidak suka apa yang sudah abang miliki diusik orang lain.” tegasnya seolah tahu isi pikiranku.
“Aku cukup tahu diri untuk itu, Bang. Aku takkan pernah berharap lebih darimu. Tapi aku berterima kasih, sudah menganggap aku ada, meskipun hanya secara lahir, bukan secara batin.”
Hening. Hingga kami berdua sampai di rumah.
***
Aku terkejut saat mendapati meja makan sudah tertata rapi lengkap dengan hidangan makan malam begitu kami sampai di rumah. Seorang wanita berusia kira-kira 40 tahun sibuk mondar mandir dari dapur ke meja makan.
“Mulai hari ini kamu tidak perlu turun ke dapur, sebab Mamaku sudah mengirimkan pembantu untuk kita tadi siang.” celetuknya saat melihat wajah bingungku.
“Oh, baguslah. Berarti aku tak perlu lagi menjadi Meera ketika memasak makanan untukmu.” Sahutku cuek sambil melangkah menuju kamarku.
Devan terdiam, lalu mengekoriku, ikut masuk ke dalam kamar yang sama.
“Heiii, Abang ngapain ke sini? Salah kamar, ya? Sana keluar, aku mau mandi dan ganti baju!”
“Kuliahmu masih berapa lama lagi?” Devan bertanya tanpa mengindahkan ucapanku barusan.
“Kenapa?”
“Jawab saja, jangan malah balik bertanya!”
“Sudah berjalan satu tahun, maunya sih satu setengah tahun selesai, tapiiii ... kayaknya membosankan kalau di rumah terus, nggak apa-apa deh setahun lagi aja biar ada kegiatan.”
Raut wajah Devan terlihat tak senang. “Selesaikan saja dalam enam bulan lagi, kalau tidak selesai, berhenti saja kuliah!” tandasnya sebelum meninggalkan kamarku.
“Bang Dev!”
Langkahnya terhenti di ambang pintu. “Ada apa? Keberatan?”
“Berikan aku alasan yang masuk akal untuk permintaanmu itu!”
Devan memutar badan, lalu kembali melangkah mendekatiku. Jantungku kembali berdetak kencang saat tubuh kami hanya berjarak beberapa senti saja.
“Alasan seperti apa yang kamu inginkan? Tak cukupkah aku sebagai suamimu yang jadi alasan?” Manik matanya menatapku dalam, seolah ingin menerkam dan menelan bulat-bulat tubuhku. “Kamu terlalu cantik untuk sering berkeliaran di luar sana, aku tidak ingin, ada yang mencoba mengambilmu dariku.” ujarnya setengah berbisik sambil memegang lembut daguku.
Kutelan saliva yang tercekat dengan susah payah. Debaran jantungku memacu kecepatan deru napas yang berembus.
“Sudah sana mandi, bau asem!” Tiba-tiba ia mengacak rambutku, tersenyum jahil. Lalu kembali melenggang ke luar dari kamar. Meninggalkanku yang masih terpaku di tempat, mencoba menata irama jantung agar normal kembali. Devan bertingkah seolah aku adalah adiknya, bukan istrinya.
“Oh ya,” Devan mendorong pintu yang hampir kututup, “Abang tunggu kamu makan malam jam tujuh nanti, jangan tidur!”
“Iya, Bang,” sahutku singkat, kututup pintu dan menguncinya. Lalu menyandarkan tubuh sambil memejamkan mata, mencoba menguasai diri saat sebuah gejolak asmara mampir menggoda jiwa. “Devan, sampai kapan kamu mau menyiksaku seperti ini?” bisikku pada diri sendiri. Setetes air mata mengalir membasahi pipi.
***
Dengan menggunakan dress pendek selutut bermotif kembang kecil-kecil tanpa lengan yang di belikan Devan tempo hari, aku merasa begitu percaya diri. Warna pastelnya membuat kulitku semakin bercahaya. Rambut panjang sesiku berwarna hitam kecoklatan kuikat menjadi satu, menyisakan sedikit helaiannya di kiri kanan telinga. Mataku yang bermanik coklat tua, hidungku yang bangir serta bibir sensualku yang selalu memikat banyak teman lelaki yang pernah dekat denganku tak mampu membuat Devan begitu saja jatuh cinta padaku.
“Eh, Non ... Puja ya?” sapa wanita itu. Penampilannya aneh di mataku, mengenakan gamis longgar lengkap dengan kaos kaki serta jilbab lebar menutup hingga pergelangan tangannya. Begitu rapi dan terlihat menyejukkan mata.
“Iya, Mbak, saya Puja.” Kuulurkan tanganku padanya. Ragu wanita itu menyambut tanganku.
“Saya Rima, semoga Non Puja dan Tuan Devan suka dengan maskan dan pekerjaan saya.” ujarnya sambil menunduk.
“Mbak Rima, kalau lagi ngomong sama saya jangan nunduk begitu, saya nggak suka. Kita sama-sama manusia biasa kok,” kusentuh pundaknya hingga ia mengangkat kepala.
“I-iya Non,”
“Tuan ke mana ya, Mbak? Belum ke luar dari kamar?”
“Lho? Tuan Devan kan suaminya Non, apa ... “ dahi Mbak Rima berkerut.
Aku tertawa kecil,”Devan itu lagi ngambek, jadi kita pisah kamar,” bisikku diiringi tawa tertahan dari Rima. Kami cekikikan berdua, entah kenapa aku merasa nyaman ngobrol dengan Mbak Rima.
Walau bagaimanapun, aku harus menutupi apa yang sebenarnya terjadi.
“Ehem,” kami terperanjat saat mendengar suara Devan.
“Ya sudah, Mbak ke dapur dulu ya, Non. Tuan sudah datang. Kalau ada apa-apa panggil saja Mbak ya?”
“Baik, Mbak. Terima kasih.”
“Maaf abang telat, tadi ketiduran.” Devan menyeret kursi di depanku. Kami duduk berseberangan.
Aku tak menjawab. Tanganku sibuk menyendok nasi ke piringku dan mengambil lauk yang kusuka. Sementara Devan hanya memperhatikanku tanpa berbuat apa-apa.
“Abang nggak makan? Kok malah bengong?”
“Nungguin ada yang ngambilin.”
Aku mendelik, lalu mengambil piring kosong, mengisinya dengan nasi dan lauk yang dia minta. Kemudian kami sama-sama menyantap hidangan tanpa bicara sepatah kata pun bahkan hingga makanan di piring kami habis.
Setelahnya aku membantu Mbak Rima membereskan meja makan, sementara Devan sudah duduk di ruang tengah sambil menyalakan TV.
“Bang Dev,” panggilku sambil duduk di sampingnya.
“Ya?”
“Antar aku ke rumah Mami dong!”
“Mau ngapain?”
“Mau ambil mobilku. Biar Abang nggak repot lagi mengantarku.”
Devan menghela napas, menatapku dengan dahi berkerut, “apa Abang pernah bilang kalau Abang repot mengantar jemputmu kuliah?”
Aku menggeleng. “Tapi susah rasanya, apa-apa tergantung sama Abang. Aku kan kadang juga pengen jalan sama teman-temanku, Bang.”
“Jalan dengan teman atau dosenmu itu?” tanyanya datar.
“Kok nanyanya gitu?”
“Pokoknya apa pun alasanmu, Abang akan tetap mengantar jemputmu kuliah. Jangan membantah lagi. Kemana pun kamu pergi, harus seizin Abang dan harus Abang yang mengantar. Paham?”
“Begitukah?” Kutatap iris matanya. “Lalu apakah aku juga boleh tidur di kamar Abang selayaknya istri? Apakah sudah boleh aku hidup tanpa bayang-bayang Meera?”
Devan tertegun, menatapku seakan tak percaya kalau pertanyaan itu akan kulontarkan.
Hening.
Hingga akhirnya ia bangkit menuju kamar, meninggalkanku sendiri dengan sebuah rasa yang tak pernah pudar. Aku tak mampu memiliki jiwa ... bahkan raganya pun tak mampu aku kuasai.
***
fitrijunita dan 2 lainnya memberi reputasi
3
Tutup