- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
ANGKUHNYA CINTA (Part 1)
TS
Leny.Khan
ANGKUHNYA CINTA (Part 1)
ANGKUHNYA CINTA (PART 1-22 ending)
LENY KHAN
Aku memungut lembaran daun kering yang berguguran. Menyeret kaki menuju sebuah bangku taman bercat putih. Lalu mulai kutuliskan sebuah nama di atas daun kering itu menggunakan pulpen bertinta hitam yang selalu kubawa kemana saja. Entah kenapa, aku sangat suka sekali menulis di lembaran daun kering, meskipun akhirnya daun-daun itu kubuang juga.
Nama yang sama, aksara yang sama, hanya itu yang selalu kutuliskan. Senyumku selalu merekah saat menatap aksara yang sudah tertulis. Membuat sebuah rasa yang telah kupendam selama hampir tiga tahun ini semakin membara. Walau aku sendiri sadar, tak mungkin memiliki pria itu. Pria bernama Devan yang saat ini berstatus duda, setelah istrinya yang tak lain adalah Meera, kakak kandungku sendiri meninggal dunia akibat kecelakaan mobil saat usia pernikahan mereka baru menginjak tiga bulan. [/font][/size]
Namun aku jatuh cinta pada Devan jauh sebelum itu. Aku merasakan jantungku berdebar saat pertama kali ia datang bersama Ayahnya ke rumah kami. Di mana saat itu aku baru tahu, jika dia adalah lelaki yang sudah dijodohkan Ayah untuk Meera. Begitu patah hatinya aku kala itu, mengingat cintaku yang layu sebelum sempat berkembang.
Tapi begitulah jodoh, Allah yang menentukan. Bahkan Devan harus merelakan kepergian Meera, saat mereka masih mereguk indahnya pernikahan dan bulan madu. Ketika bunga cinta baru mulai merekah di hati mereka.
Dan kini, dua tahun sudah kepergian Meera, namun aku tak melihat ada tanda-tanda Devan menemukan pengganti. Bahkan ia terlihat lebih fokus dengan urusan kantornya. Ia juga sering mampir ke rumah menemui Ayah dan Mami. Mungkin hanya sekedar silaturahmi atau sekedar menemani Ayah bermain catur di teras depan.
“Pu?” Sebuah suara bariton menyapaku. Aku terperanjat, walau tanpa menoleh pun aku sudah tahu siapa pemilik suara itu.
“Bang Dev?” Aku menatap tak percaya. Lelaki itu langsung mendaratkan tubuhnya yang berbalut kemeja biru muda dan dasi biru dongker bermotif abstrak, lengan kemeja ia gulung sampai ke siku. Aku sangat suka dengan gayanya itu.
Andai ia bisa mendengar detak jantungku saat mencium aroma parfumnya yang begitu elegan, tentu ia akan tahu apa yang tengah gadis berusia 24 tahun ini rasakan.
“Susah banget ya nyari kamu di kampus ini,” celetuknya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling taman yang sedikit sepi. “Kamu ngapain di sini? Niat kuliah nggak sih?”
“Aku lagi nyari angin segar aja kok, Bang. Dosennya ada halangan, jadi jam kuliahnya tertunda dua jam, mau pulang nanggung banget. Capek bolak-balik.”
“Makanya, mendingan nikah aja dari pada ngejar gelar terus, ntar ketuaan nggak ada yang mau baru tahu rasa kamu!"candanya sambil tertawa.
Aku terdiam. ‘Andai kamu tahu, Bang. Aku memilih meneruskan S2-ku karena ingin melupakanmu sejenak. Walau sudah tak ada Meera di sampingmu, tapi aku tahu kamu begitu sulit melupakannya. Buktinya sudah dua tahun kepergian Meera, kamu masih saja sendiri.’
“Hei, dibilangin malah ngelamun nih anak.” Devan mengibaskan tangannya di depan wajahku. “Itu apaan pegang-pegang daun kering begitu?” Ia menunjuk lembaran daun kering yang masih ku genggam.
Aku tergagap, segera kubuang daun-daun itu. “Nggak apa-apa Bang, iseng aja lihat bentuk daunnya yang bermacam-macam.” jawabku sekenanya.
“Ngomong apa sih kamu, Pu? Ngaco!” Lagi-lagi Devan tertawa.
“Abang ngapain ke sini? Tumben nyari aku?”
Gantian Devan yang terdiam. Ia menatapku sebentar, sebelum kembali menatap ke depan. “Temani abang makan siang, yuk!” ajaknya.
Dahiku berkerut. “Makan siang? Tumben! Dalam rangka apa?” Pura-pura bertanya padahal aku girang banget diajak Devan.
“Tidak dalam rangka apa-apa, hanya ingin mengajak kamu saja. Mau nggak?”
“Aku ....“
“Jangan takut, aku sudah minta izin Ayah dan Mami untuk mengajakmu, dan mereka mengizinkan.”
Mataku membesar. “Benarkah?”
Devan mengangguk seraya tesenyum.
“Asiiiik, ayo kita pergi!”
Aku pun bangkit dari duduk dan berjalan penuh semangat, aku lupa kalau sudah meninggalkan lelaki yang masih duduk di bangku putih itu. Langkahku terhenti dan aku memutar badan, menemukan lelaki itu tengah membungkuk memungut dedaunan kering yang tadi kubuang. Jantungku berdetak sangat kencang saat melihat Devan memperhatikan sebuah nama yang tadi kutulis di sana. Kugigit bibir bawahku agar tak gemetar.
Aku terpaku. Menduga-duga apa yang akan Devan katakan saat ia tahu, namanya yang tertulis di helaian daun kering itu.
Devan menoleh dengan raut yang sulit ditebak. Lalu dengan pelan ia berjalan mendekatiku. Embusan angin mempermainkan rambut hitam kecoklatan yang kumiliki. Aku menunduk saat ia berdiri tepat di depanku.
“Puja ... apa ini?” Ia menunjukkan daun kering itu padaku.
Tak berani mengangkat kepala, aku meremas-remas jemariku sendiri.
“Puja, jawab Abang, apa maksud semua ini?”
“Aku ... aku hanya ... aku ... itu ....”
“Kamu mencintai Abang?” tanyanya pelan dan hati-hati. Aku semakin menundukkan kepala. Mataku mulai terasa panas dan berkabut.
“Katakan Puja, apakah kamu mencintai Abang? Kenapa nama Abang ada di lembaran daun kering ini? Apakah Abang adalah seseorang yang spesial untukmu?” tanyanya antusias.
Dengan lembut jemarinya menyentuh daguku, lalu ia mencoba mengangkat wajahku sehingga mata kami saling bertatapan. Aku tenggelam dalam tatapan netra bermanik hitam itu. Satu persatu butiran bening membasahi pipi.
“Katakan, Puja!”
“Ya, aku mencintai Abang, sejak pertama kali Abang datang ke rumah, tapi aku begitu terluka saat tahu ... kalau Meera sudah dijodohkan dengan Abang,” uraiku jujur. Entah dapat keberanian dari mana aku mampu mengakuinya.
“Kenapa tidak mengatakannya sejak dulu?”
“Karena aku tahu diri, Meera lebih pantas untuk Abang, sedang aku dianggap masih terlalu muda untuk sebuah urusan cinta kala itu. Hingga tak ada yang menyadari perasanku ini.”
“Maafkan Abang yang juga tak peka dengan perasaanmu. Tapi ....“ Devan mengusap wajahnya. “Abang belum bisa menggantikan Meera dengan siapa pun saat ini, Abang terlanjur mencintai Meera. Kamu sudah Abang anggap adik kandung abang sendiri.”
“Aku tak berharap menjadi pengganti Meera, aku mencintai Abang, tanpa berniat ingin memiliki Abang. Hanya mencintai, meskipun dalam diam. Maafkan jika Abang harus tahu semua ini. Aku sama sekali tak pernah berharap Abang membalas cintaku. Mencintaimu adalah sebuah kebahagiaan tersendiri untukku.” Kuhapus air mata dengan punggung tangan dan bergegas meninggalkannya. Aku lupa kalau tadi ia mengajakku makan siang.
“Puja! Puja tunggu!” Devan mengejar dan berhasil mencekal pergelangan tanganku.
“Tolong jangan permalukan aku di kampus ini, Bang!” pintaku sambil menepis tangannya.
Devan terdiam, dan membiarkanku berlalu dari hadapannya.
[size=3][font="Times New Roman", serif][i]‘Ah, kenapa dia harus tahu tentang semua ini? Padahal aku sudah cukup bahagia mencintainya seperti ini. Sekarang apa yang harus kulakukan? Menghadapinya harus seperti apa? Pasti akan ada yang mengganjal saat ia datang ke rumah nanti. Ataukah ia tidak akan mengunjungi Ayah da Mami lagi karena semua ini?
Part 2 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...518b1e4a7ec131
Part 3 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957bc23a7240
Part 4 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957c6646c76f
Part 5 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...20846ce047af3e
Part 6
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4dc1102d78507e
Part 7
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...70af7d8c39474e
Part 8
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8f2d50b72ecf6e
Part 9
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...7d824cfa30ea0d
Part 10
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...35f9528b60b399
Part 11
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...51b66d22320f6d
Part 12
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...12384692137baf
Part 13
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...069f1892000380
Part 14
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...114e534d170179
Part 15
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8c56678b0247ad
Part 16 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...e4bc6bc03f2c31
Part 17 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...c5f237fc65f77a
Part 18 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4035383a112c41
Part 19 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...f9a504f732ba96
Part 20 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b64526fe580b43
Part 21 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...a1b175b268b213
Part 22 (ending) https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b16a2d3955aa48
LENY KHAN
Aku memungut lembaran daun kering yang berguguran. Menyeret kaki menuju sebuah bangku taman bercat putih. Lalu mulai kutuliskan sebuah nama di atas daun kering itu menggunakan pulpen bertinta hitam yang selalu kubawa kemana saja. Entah kenapa, aku sangat suka sekali menulis di lembaran daun kering, meskipun akhirnya daun-daun itu kubuang juga.
Nama yang sama, aksara yang sama, hanya itu yang selalu kutuliskan. Senyumku selalu merekah saat menatap aksara yang sudah tertulis. Membuat sebuah rasa yang telah kupendam selama hampir tiga tahun ini semakin membara. Walau aku sendiri sadar, tak mungkin memiliki pria itu. Pria bernama Devan yang saat ini berstatus duda, setelah istrinya yang tak lain adalah Meera, kakak kandungku sendiri meninggal dunia akibat kecelakaan mobil saat usia pernikahan mereka baru menginjak tiga bulan. [/font][/size]
Namun aku jatuh cinta pada Devan jauh sebelum itu. Aku merasakan jantungku berdebar saat pertama kali ia datang bersama Ayahnya ke rumah kami. Di mana saat itu aku baru tahu, jika dia adalah lelaki yang sudah dijodohkan Ayah untuk Meera. Begitu patah hatinya aku kala itu, mengingat cintaku yang layu sebelum sempat berkembang.
Tapi begitulah jodoh, Allah yang menentukan. Bahkan Devan harus merelakan kepergian Meera, saat mereka masih mereguk indahnya pernikahan dan bulan madu. Ketika bunga cinta baru mulai merekah di hati mereka.
Dan kini, dua tahun sudah kepergian Meera, namun aku tak melihat ada tanda-tanda Devan menemukan pengganti. Bahkan ia terlihat lebih fokus dengan urusan kantornya. Ia juga sering mampir ke rumah menemui Ayah dan Mami. Mungkin hanya sekedar silaturahmi atau sekedar menemani Ayah bermain catur di teras depan.
“Pu?” Sebuah suara bariton menyapaku. Aku terperanjat, walau tanpa menoleh pun aku sudah tahu siapa pemilik suara itu.
“Bang Dev?” Aku menatap tak percaya. Lelaki itu langsung mendaratkan tubuhnya yang berbalut kemeja biru muda dan dasi biru dongker bermotif abstrak, lengan kemeja ia gulung sampai ke siku. Aku sangat suka dengan gayanya itu.
Andai ia bisa mendengar detak jantungku saat mencium aroma parfumnya yang begitu elegan, tentu ia akan tahu apa yang tengah gadis berusia 24 tahun ini rasakan.
“Susah banget ya nyari kamu di kampus ini,” celetuknya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling taman yang sedikit sepi. “Kamu ngapain di sini? Niat kuliah nggak sih?”
“Aku lagi nyari angin segar aja kok, Bang. Dosennya ada halangan, jadi jam kuliahnya tertunda dua jam, mau pulang nanggung banget. Capek bolak-balik.”
“Makanya, mendingan nikah aja dari pada ngejar gelar terus, ntar ketuaan nggak ada yang mau baru tahu rasa kamu!"candanya sambil tertawa.
Aku terdiam. ‘Andai kamu tahu, Bang. Aku memilih meneruskan S2-ku karena ingin melupakanmu sejenak. Walau sudah tak ada Meera di sampingmu, tapi aku tahu kamu begitu sulit melupakannya. Buktinya sudah dua tahun kepergian Meera, kamu masih saja sendiri.’
“Hei, dibilangin malah ngelamun nih anak.” Devan mengibaskan tangannya di depan wajahku. “Itu apaan pegang-pegang daun kering begitu?” Ia menunjuk lembaran daun kering yang masih ku genggam.
Aku tergagap, segera kubuang daun-daun itu. “Nggak apa-apa Bang, iseng aja lihat bentuk daunnya yang bermacam-macam.” jawabku sekenanya.
“Ngomong apa sih kamu, Pu? Ngaco!” Lagi-lagi Devan tertawa.
“Abang ngapain ke sini? Tumben nyari aku?”
Gantian Devan yang terdiam. Ia menatapku sebentar, sebelum kembali menatap ke depan. “Temani abang makan siang, yuk!” ajaknya.
Dahiku berkerut. “Makan siang? Tumben! Dalam rangka apa?” Pura-pura bertanya padahal aku girang banget diajak Devan.
“Tidak dalam rangka apa-apa, hanya ingin mengajak kamu saja. Mau nggak?”
“Aku ....“
“Jangan takut, aku sudah minta izin Ayah dan Mami untuk mengajakmu, dan mereka mengizinkan.”
Mataku membesar. “Benarkah?”
Devan mengangguk seraya tesenyum.
“Asiiiik, ayo kita pergi!”
Aku pun bangkit dari duduk dan berjalan penuh semangat, aku lupa kalau sudah meninggalkan lelaki yang masih duduk di bangku putih itu. Langkahku terhenti dan aku memutar badan, menemukan lelaki itu tengah membungkuk memungut dedaunan kering yang tadi kubuang. Jantungku berdetak sangat kencang saat melihat Devan memperhatikan sebuah nama yang tadi kutulis di sana. Kugigit bibir bawahku agar tak gemetar.
Aku terpaku. Menduga-duga apa yang akan Devan katakan saat ia tahu, namanya yang tertulis di helaian daun kering itu.
Devan menoleh dengan raut yang sulit ditebak. Lalu dengan pelan ia berjalan mendekatiku. Embusan angin mempermainkan rambut hitam kecoklatan yang kumiliki. Aku menunduk saat ia berdiri tepat di depanku.
“Puja ... apa ini?” Ia menunjukkan daun kering itu padaku.
Tak berani mengangkat kepala, aku meremas-remas jemariku sendiri.
“Puja, jawab Abang, apa maksud semua ini?”
“Aku ... aku hanya ... aku ... itu ....”
“Kamu mencintai Abang?” tanyanya pelan dan hati-hati. Aku semakin menundukkan kepala. Mataku mulai terasa panas dan berkabut.
“Katakan Puja, apakah kamu mencintai Abang? Kenapa nama Abang ada di lembaran daun kering ini? Apakah Abang adalah seseorang yang spesial untukmu?” tanyanya antusias.
Dengan lembut jemarinya menyentuh daguku, lalu ia mencoba mengangkat wajahku sehingga mata kami saling bertatapan. Aku tenggelam dalam tatapan netra bermanik hitam itu. Satu persatu butiran bening membasahi pipi.
“Katakan, Puja!”
“Ya, aku mencintai Abang, sejak pertama kali Abang datang ke rumah, tapi aku begitu terluka saat tahu ... kalau Meera sudah dijodohkan dengan Abang,” uraiku jujur. Entah dapat keberanian dari mana aku mampu mengakuinya.
“Kenapa tidak mengatakannya sejak dulu?”
“Karena aku tahu diri, Meera lebih pantas untuk Abang, sedang aku dianggap masih terlalu muda untuk sebuah urusan cinta kala itu. Hingga tak ada yang menyadari perasanku ini.”
“Maafkan Abang yang juga tak peka dengan perasaanmu. Tapi ....“ Devan mengusap wajahnya. “Abang belum bisa menggantikan Meera dengan siapa pun saat ini, Abang terlanjur mencintai Meera. Kamu sudah Abang anggap adik kandung abang sendiri.”
“Aku tak berharap menjadi pengganti Meera, aku mencintai Abang, tanpa berniat ingin memiliki Abang. Hanya mencintai, meskipun dalam diam. Maafkan jika Abang harus tahu semua ini. Aku sama sekali tak pernah berharap Abang membalas cintaku. Mencintaimu adalah sebuah kebahagiaan tersendiri untukku.” Kuhapus air mata dengan punggung tangan dan bergegas meninggalkannya. Aku lupa kalau tadi ia mengajakku makan siang.
“Puja! Puja tunggu!” Devan mengejar dan berhasil mencekal pergelangan tanganku.
“Tolong jangan permalukan aku di kampus ini, Bang!” pintaku sambil menepis tangannya.
Devan terdiam, dan membiarkanku berlalu dari hadapannya.
[size=3][font="Times New Roman", serif][i]‘Ah, kenapa dia harus tahu tentang semua ini? Padahal aku sudah cukup bahagia mencintainya seperti ini. Sekarang apa yang harus kulakukan? Menghadapinya harus seperti apa? Pasti akan ada yang mengganjal saat ia datang ke rumah nanti. Ataukah ia tidak akan mengunjungi Ayah da Mami lagi karena semua ini?
Part 2 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...518b1e4a7ec131
Part 3 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957bc23a7240
Part 4 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957c6646c76f
Part 5 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...20846ce047af3e
Part 6
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4dc1102d78507e
Part 7
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...70af7d8c39474e
Part 8
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8f2d50b72ecf6e
Part 9
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...7d824cfa30ea0d
Part 10
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...35f9528b60b399
Part 11
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...51b66d22320f6d
Part 12
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...12384692137baf
Part 13
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...069f1892000380
Part 14
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...114e534d170179
Part 15
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8c56678b0247ad
Part 16 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...e4bc6bc03f2c31
Part 17 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...c5f237fc65f77a
Part 18 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4035383a112c41
Part 19 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...f9a504f732ba96
Part 20 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b64526fe580b43
Part 21 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...a1b175b268b213
Part 22 (ending) https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b16a2d3955aa48
Diubah oleh Leny.Khan 29-07-2023 17:52
bukhorigan dan 17 lainnya memberi reputasi
16
11K
64
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
TS
Leny.Khan
#9
#ANGKUHNYA_CINTA
#PART_2
“Apa? Menikah?” begitu terperanjatnya aku ketika mendengar permintaan Ayah dan Mami malam ini.
Mereka saling berpandangan dan tersenyum sumringah.
“Kuliahku belum selesai, Yah, Mi,”
“Kamu masih bisa kok menyelesaikan kuliahmu setelah menikah, Devan tak keberatan.”
Aku terbelalak, “Devan???”
Mereka mengangguk bersamaan.
“Kamu mau ‘kan menikah dengannya? Gantikan posisi Meera di hatinya. Begitu permintaan Devan pada kami tadi siang.” Mami angkat bicara.
‘Skenario apa ini, Tuhan? Bukankah beberapa hari yang lalu Devan bilang kalau dia tidak mencintaiku? Bukankah tak ada yang bisa menggantikan Meera di sisinya? Lalu kenapa tiba-tiba saja dia ingin menikah denganku? Ada apa ini?’ batinku bertanya-tanya.
“Puja, kamu mau ‘kan, Sayang?” Ayah menegaskan.
Aku terdiam tak percaya. Bagaimana Devan bisa membuat keputusan secepat ini? Memang benar aku mencintainya, tapi bukan berarti aku percaya begitu saja dengan semua ini.
“Puja,”
“Tunggu dulu, Yah. Aku mau menemui Devan sebentar!” Bangkit dan setengah berlari menuju garasi, mengeluarkan mobil sedan hitam milikku dan melesat menuju rumah Devan untuk mencari sebuah kebenaran akan semua yang dikatakan orang tuaku.
***
Hening. Hanya suara jangkrik yang sesekali terdengar saat aku dan Devan duduk di bangku taman depan rumah megah milik orang tuanya.
“Apa yang sedang terjadi, Bang? Kenapa tiba-tiba ingin menikah denganku? Bukankah Abang tidak mencintaiku?”
Terdengar helaan napas beratnya. “Aku memang tidak mencintaimu. Semua atas permintaan orang tuaku, mereka tak ingin hubungan kekeluargaan ini putus begitu saja.” sahutnya datar.
Aku terdiam. Mencoba mencerna semua yang akan segera terjadi. Menikah dengan seorang lelaki yang sangat kucintai, namun dia tak pernah mencintaiku. Akan seperti apa kehidupan rumah tangga kami nanti.
“Aku tidak bisa, Bang! Lebih baik tolak saja permintaan orang tua Abang.”
“Kenapa tidak bisa? Bukankah kamu mencintai Abang?”
“Iya, benar. Lalu?”
“Bukankah ini yang kamu inginkan?”
“Kata siapa?” Kutatap mata elangnya di bawah temaramnya cahaya lampu taman. Embusan angin malam mempermainkan anak rambut di dahiku. “Mencintai bukan berarti harus memiliki, dan aku takkan pernah mau menikah dengan orang yang sama sekali tidak mencintaiku. Meskipun itu adalah Abang.” pungkasku.
Devan bergeming.
“Sudah malam, aku pulang dulu!” Bangkit dari duduk dan bersiap meninggalkan Devan kalau saja cekalan tangannya tak menahan langkahku.
“Abang mohon, menikahlah dengan Abang!” pintanya memelas.
“Aku tak punya alasan kuat untuk menikah dengan Abang, sebab takkan mungkin kita bisa bersatu jika cinta hanya ada padaku.”
“Abang berjanji, akan mencoba mencintaimu. Semua demi orang tua kita, dan ... “
“Bagaimana jika nanti Abang tidak bisa mencintaiku?” potongku.
Devan terdiam. “Abang bersedia melakukan apa saja, asal kamu mau menikah dengan Abang. Jika nanti Abang tak mampu mencintaimu, kamu berhak mengambil keputusan apa pun.” pungkasnya.
Tercenung mendengar penuturannya. Ya Tuhan! Apa yang harus kulakukan? Sungguh aku sangat mencintainya, tapi aku tak ingin ia menikahiku karena sebuah paksaan, aku ingin dia menikahiku karena keinginannya sendiri.
“Abang mohon kali ini, menikahlah dengan Abang!”
Kutepis cekalan tangannya, “akan kupikirkan.” sahutku singkat.
Seulas senyum terukir di bibirnya,”terima kasih, Puja!”
Kubalas senyuman itu dengan senyuman termanis yang kumiliki.
“Aku pulang dulu.”
“Biar Abang antar!”
‘No, thanks. Aku bawa mobil sendiri.” tolakku halus.
“Izinkan Abang mengantarmu kali ini, biar Abang yang bawa mobilmu. Nanti Abang bisa naik taxi online untuk pulang.” pintanya sedikit memohon.
Setelah berpikir sejenak, akhirnya kuserahkan kunci mobilku. Devan sumringah, lalu kami berjalan beriringan. Pria itu merangkul bahuku, aku terkejut karena tak siap mendapat perlakuan itu darinya. Entah apa yang terjadi jika Devan mendengar debaran jantungku saat ini. Sebuah debaran yang selalu hadir saat aku berdekatan dengannya.
‘Dev, andai kamu juga mencintaiku, tentu semua akan terasa lebih indah,’ jerit hatiku.
***
Entah ini mimpi atau kenyataan. Yang jelas saat ini aku sudah resmi menjadi istri Devan. Keputusan yang kuambil setelah berpikir selama seminggu. Menikahi Devan karena keinginan kedua orang tua kami, agar hubungan kekeluargaan kami tidak putus begitu saja setelah kepergian Meera. Meski pun aku sangat mencintai Devan, namun menjadi istrinya adalah suatu beban berat untukku. Aku harus bersabar menunggu sampai Devan mencintaiku.
Malam ini Devan langsung memboyongku ke rumah yang pernah ia tinggali bersama Meera dulu. Sebuah hadiah dari kedua orang tua kami. Pesta megah itu membuat tubuhku begitu lelah, tapi Devan memaksa untuk tetap ke sini, tanpa mau menunggu esok hari.
Tangannya menggandengku hingga ke depan pintu kamar. Di bukanya perlahan, dan mempersilahkan aku masuk duluan. Bau harum semerbak segera memenuhi rongga hidung. Kuperhatikan sekeliling kamar yang sudah di hias sedemikian rupa. Namun seketika senyumku surut saat menemukan foto-foto Meera terpampang di setiap sudut kamar. Ada foto mereka berdua juga di atas nakas dan meja rias.
Aku menoleh padanya, “ini kamar kita?”
Devan mengangguk yakin.
“Apakah bisa tanpa foto Meera?’
“Tidak, biarkan foto itu tetap di sana, jangan di ganggu sedikit pun.”
“Apakah aku akan hidup di bawah bayang-bayang kakakku sendiri?”
Devan terdiam.
“Beri aku kamar lain!” pintaku.
“Baiklah! Tapi aku akan tetap tidur di sini. Kamu tidurlah di kamar sebelah.”
“Maksud Abang apa? Kita tidur terpisah?” Mataku membesar.
Devan mengangguk yakin.
“Bukankah kita suami istri? Bukankah kita ...”
“Kamu tahu aku tidak mencintaimu kan? Lalu bagaimana bisa kita tidur sekamar?” ucapnya dengan nada dingin.
Aku terperanjat mendengar nada bicaranya. Bukankah baru saja ia menggandeng tanganku dengan hangat? Bukankah baru saja aku melihat secercah harapan di matanya saat ijab qabul diucapkan? Bukankah pernikahan ini keinginannya meski ia tak mencintaiku? Tapi kenapa harus sedingin ini? Sedangkan ia berjanji untuk belajar mencintaiku.
“Baiklah, kalau begitu keinginan Abang. Selamat malam, semoga bertemu Meera dalam mimpimu.” Bergegas aku melangkah keluar kamar, menuju sebuah kamar yang terletak persis di sebelah kamar Devan. Sebuah kamar yang cukup luas dan begitu nyaman.
Segera kurebahkan diri tanpa mengganti gaun pengantin yang masih melekat di tubuhku. Aku benar-benar lelah, apalagi menghadapi sikap Devan yang tiba-tiba saja begitu dingin. Semoga saat mataku terbuka, aku menemukan cinta di mata Devan, dan ia kembali bersikap seperti biasa.
‘Ya Tuhan, apakah aku akan terjebak dalam pernikahan yang telah tercipta ini?’
***
Aku mengusap mata saat merasa ada cahaya yang menyilaukan. Ternyata sudah pagi, jendela sudah terbuka, dan tubuhku ... siapa yang menyelimuti? Apakah Devan diam-diam masuk ke kamarku? Lalu apakah kecupan di dahiku semalam itu bukan mimpi? Apakah itu juga Devan? Wajahku terasa panas. Sebuah kecupan yang terasa begitu nyata. Ingin membuka mata untuk memastikan namun rasa kantuk lebih hebat menguasai, hingga semalam aku menyimpulkan itu hanyalah mimpi. Aku tersipu malu membayangkan jika benar itu adalah kecupan dari Devan.
Lalu aku membawa tubuhku bangkit dan duduk di sisi ranjang yang begitu mewah. Gaun pengantin berwarna kuning keemasan masih melekat di tubuh. Mataku melirik jam dinding, sudah pukul sembilan ternyata. Ya Tuhan, aku kesiangan, kenapa Devan tidak membangunkanku? Aku beringsut turun, membuka gaun pengantinku dan meletakkannnya begitu saja di atas ranjang. Sebelum ke kamar mandi aku menuju meja rias, kulihat bayangan tubuhku di kaca itu. ‘Aku jauh lebih cantik dari Meera, semua orang pun mengakui. Lalu kenapa Devan tak bisa mencintaiku?’ batinku.
Menghela napas panjang, sebelum akhirnya aku masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Menyegarkan tubuh dengan air hangat untuk menghilangkan penat.
Dengan menggunakan handuk yang tersedia aku keluar dari kamar mandi setelah hampir setengah jam lamanya aku memanjakan diri. Langsung menuju lemari pakaian, dan aku terkejut ketika menemukan lemari itu kosong, tak sehelai baju pun ada di sana. Menepuk dahi sendiri, karena aku baru sadar kalau koper bajuku lupa kumasukkan ke bagasi mobil Devan semalam. Gara-gara pria itu buru-buru ingin segera pergi.
“Apa yang harus kulakukan?” gumamku pada diri sendiri. “Haruskah aku minta tolong Devan? Bagaimana kalau aku telpon Mami saja dan minta tolong supir antar ke sini? Ah, iya benar, sebaiknya begitu saja.”
Aku menuju ranjang mencari ponselku, tapi tak kutemukan. Seluruh sudut kamar sudah kutelusuri tapi tetap saja nihil. ‘Cerobohnya aku, bahkan ponsel pun sampai lupa kubawa.’ umpatku dalam hati.
“Aduuuuh, terus aku harus bagaimana ini?”
Aku memutar otak mencari cara. Tetap saja buntu. Cara satu-satunya adalah meminta tolong pada Devan. Tapi apa iya menemuinya hanya dengan balutan handuk seperti ini? Yang benar saja Puja! Tapi tidak mungkin juga aku seharian di kamar seperti ini, bisa masuk angin badanku.
Tanpa banyak pikir akhirnya kuberanikan diri keluar dari kamar meski hanya menggunakan handuk yang hanya menutupi dada hingga atas lutut. Merelakan sebagian tubuhku terlihat oleh Devan.
Tok!Tok!Tok!
“Bang Dev!” panggilku ragu.
Tak ada sahutan.
“Bang Dev buka pintunya! Bang Dev ... “
“Puja? Ngapain setengah telanjang begitu di depan kamar Abang?”
Aku terperanjat, hampir saja handukku terlepas. Memutar tubuh dan menemukan Devan sudah berdiri di belakangku. Iris kami saling bertemu. Devan meneliti tubuhku dari ujung rambut sampai ujung kaki, dan jantungku terasa hampir lepas dari tempatnya, menduga-duga apa yang selanjutnya akan di lakukan Devan pada istrinya ini.
Pria itu maju mendekatiku, hingga jarak kami hanya tinggal beberapa puluh senti saja. Aku bisa mencium aroma segar napasnya yang terdengar sedikit memburu, dan aku berharap mendapat perlakuan istimewa pagi ini darinya.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya dengan tatapan tajam menghunjam dada. Pupus sudah harapanku.
“Aku ... aku ... aku lupa memasukkan kper bajuku semalam, dan aku sama sekali tidak punya baju ... bahkan pakaian dalam pun aku tidak bawa.” sahutku sambil menunduk malu.
“Ya ampun Puja, dasar ceroboh!” Ia mengacak rambut basahku. “Tunggu di sini!” Devan membuka pintu kamarnya.
“Aku tidak mau jika Abang suruh aku untuk memakai baju Meera!” ucapku mewanti-wanti.
“Tenang saja, aku ke kamar hanya mau mengambil ponsel. Kamu tunggu saja di kamarmu, aku akan membelikanmu beberapa baju dan juga pakaian dalam.” Devan kembali keluar dari kamar dan bergegas menuju pintu depan.
“Bang Dev!” panggilku.
Langkahnya terhenti, dan ia menoleh padaku, “ada apa lagi?”
“Apa Abang tahu ... ukuran... pakaian ... dalamku?” tanyaku gugup dan begitu malu rasanya.
Devan tertawa. “Bukankah dengan menggunakan handuk itu kamu sudah memberitahu Abang secara tidak langsung?” godanya sambil berlalu, membuat wajahku kembali terasa panas. Ah, kecerobohan yang membuatku melupakan rasa malu. Eh tapi kenapa aku harus malu? Bukankah Devan adalah suamiku?
***
Pintu kamarku di buka begitu saja, Devan muncul dengan beberapa tas belanjaan. Sepertinya ia habis memborong setengah dari isi sebuah butik ternama.
“Ketuk dulu kek Bang pintunya!” sungutku.
“Kamu istri Abang, apa perlunya Abang minta izin?”
Deg! Ucapannya membuatku melayang.
“Sana pakai bajumu! Nanti masuk angin malah repot. Abang tunggu di meja makan, kamu lama banget sih bangunnya , Abang belum sarapan sampai jam segini.” omelnya sambil berlalu.
Aku tertegun. Devan rela menungguku untuk bisa sarapan bersama? OMG so sweeet!
Segera kubongkar baju-baju itu. Semua bagus-bagus dan sesuai dengan seleraku. Kenapa dia bisa tahu model dan warna kesukaanku? Pakaian dalamnya juga bagus-bagus, dan mereknya? O my God! Ini kan merk favoritku, dia juga tahu? Apa dia pernah menyelidiki pakaian dalamku selama ini? Aku tertawa sendiri, menertawai kebodohanku sendiri karena sudah berpikir yang tidak-tidak. Tapi selera belanjanya bagus juga, dia tahu apa yang perempuan mau. Pantas saja Meera begitu mencintainya.
***
“Abang mau dibikinin apa?” tanyaku sambil mengikat rambutku yang masih basah.
Devan tak menjawab, ia hanya memandangiku tanpa kedip.
“Bang Dev!”
“Oh, eh, iya, Abang, kamu eh ... kamu cantik sekali,” devan begitu gugup.
“Apa?”
“Eh, enggak ... Abang ... aku .. aduh! Apa sih?” Devan menutup mulutnya dengan tangan kanannya.
“Abang ngomong apa sih?”
“Maaf, Abang ... mau di bikinkan nasi goreng saja. Kamu bisa?”
“Jangan remehkan kemampuan memasakku, Bang. Walau aku di bilang anak manja, tapi aku sering belajar memasak sama Bi Esi di rumah, Abang tenang saja.” Sahutku percaya diri sambil melangkah ke dapur. Kulihat sudah ada nasi matang di dalam rice cooker, mungkin Devan yang memasaknya tadi pagi.
“Bisakah kamu membuat nasi goreng seperti yang pernah Meera buatkan untuk Abang?”
Pertanyaan Devan membuatku tertegun, menghentikan aktivitasku yang tengah mencuci peralatan masak.
“Berarti aku harus datang dulu ke makam Meera untuk bertanya resepnya.” sahutku ketus dan bersiap meninggalkan dapur. Sungguh permintaannya membuatku muak. Tak bisakah ia lepas bayangan Meera saat bersamaku? Bukankah ia berjanji untuk belajar mencintaiku?
“Puja!”
“Aku mau ke rumah Ayah, ponselku tertinggal di sana. Sekalian aku mau mengambil buku-buku kuliahku, karena besok lusa aku mulai kuliah lagi.”
Aku menuju pintu depan.
“Biar Abang yang antar kamu!”
“Tidak usah! Aku bisa sendiri,” tolakku.
“Tapi mobilmu ... “
“Aku masih bisa naik angkutan umum, jangan khawatir. Karena aku tak selalu harus bergantung dengan benda-benda mewah itu. Bernostalgialah dengan Meera-mu selama aku pergi.” Membawa kakiku berlari menuju gerbang dan menyusuri jalan komplek perumahan mewah itu untuk menuju jalan raya.
Tak lama sebuah mobil berhenti di depanku, yang tak lain adalah milik Devan. Tampak pria itu turun dan menghampiriku.
“Ayo naik!” perintahnya.
“Nggak mau, aku mau naik angkutan umum saja.”
“Dasar anak kecil! Apa kamu punya uang untuk naik angkutan umum? Bagaimana kalau ada preman yang mengganggumu dan membawamu kabur? Siapa yang akan tahu?” Devan menakutiku.
Baru aku sadar kalau aku tidak memegang uang sepeser pun.
Devan menarik tanganku untuk masuk ke dalam mobil. Tanpa penolakan aku menurut saja. Daripada aku harus malu naik angkutan umum tapi tidak punya uang.
“Kamu itu memang kayak anak kecil ya? Apa-apa ngambek, apa-apa ngambek,” celetuknya saat mobil mulai melaju membelah jalan raya.
“Abang juga kan yang mulai, bukankah Abang berjanji untuk belajar mencintaiku? Tapi kenapa selalu membawa-bawa nama Meera? Abang mau membanding-bandingkan aku dengannya?” kejarku.
“Abang sudah bilang bukan? Jika Abang tidak bisa melupakan Meera begitu saja. Karena belum ada yang bisa menggantikannya. Termasuk kamu.”
“Oh ya? Lalu apa artinya aku bagimu?”
“Kamu kenapa jadi marah? Bukankah sebelum menikah kita sudah membahas hal ini dan kita sepakat kalau semua ini hanya untuk membahagiakan kedua orang tua kita. Tentang cinta ... bukankah kamu bersedia menunggu?”
Aku terdiam. Devan benar, bukankah semua ini sudah kami bahas sebelum memutuskan menikah? Kenapa aku harus marah? Tugasku hanya sebagai istri dalam status keluarganya, bukan istri dalam arti yang sebenarnya. Lalu kapan ia akan mulai belajar mencintaiku? Ataukah aku yang terlalu berharap banyak karena rasa cintaku yang begitu dalam padanya?
Wake up Puja! Lihatlah dirimu! Gadis berusia 24 tahun, yang mencintai pria berusia 33 tahun, dan cintamu sama sekali tak terbalas. Apa yang kau tunggu? Kau sudah terjebak dalam pernikahanmu sendiri.
***
#PART_2
“Apa? Menikah?” begitu terperanjatnya aku ketika mendengar permintaan Ayah dan Mami malam ini.
Mereka saling berpandangan dan tersenyum sumringah.
“Kuliahku belum selesai, Yah, Mi,”
“Kamu masih bisa kok menyelesaikan kuliahmu setelah menikah, Devan tak keberatan.”
Aku terbelalak, “Devan???”
Mereka mengangguk bersamaan.
“Kamu mau ‘kan menikah dengannya? Gantikan posisi Meera di hatinya. Begitu permintaan Devan pada kami tadi siang.” Mami angkat bicara.
‘Skenario apa ini, Tuhan? Bukankah beberapa hari yang lalu Devan bilang kalau dia tidak mencintaiku? Bukankah tak ada yang bisa menggantikan Meera di sisinya? Lalu kenapa tiba-tiba saja dia ingin menikah denganku? Ada apa ini?’ batinku bertanya-tanya.
“Puja, kamu mau ‘kan, Sayang?” Ayah menegaskan.
Aku terdiam tak percaya. Bagaimana Devan bisa membuat keputusan secepat ini? Memang benar aku mencintainya, tapi bukan berarti aku percaya begitu saja dengan semua ini.
“Puja,”
“Tunggu dulu, Yah. Aku mau menemui Devan sebentar!” Bangkit dan setengah berlari menuju garasi, mengeluarkan mobil sedan hitam milikku dan melesat menuju rumah Devan untuk mencari sebuah kebenaran akan semua yang dikatakan orang tuaku.
***
Hening. Hanya suara jangkrik yang sesekali terdengar saat aku dan Devan duduk di bangku taman depan rumah megah milik orang tuanya.
“Apa yang sedang terjadi, Bang? Kenapa tiba-tiba ingin menikah denganku? Bukankah Abang tidak mencintaiku?”
Terdengar helaan napas beratnya. “Aku memang tidak mencintaimu. Semua atas permintaan orang tuaku, mereka tak ingin hubungan kekeluargaan ini putus begitu saja.” sahutnya datar.
Aku terdiam. Mencoba mencerna semua yang akan segera terjadi. Menikah dengan seorang lelaki yang sangat kucintai, namun dia tak pernah mencintaiku. Akan seperti apa kehidupan rumah tangga kami nanti.
“Aku tidak bisa, Bang! Lebih baik tolak saja permintaan orang tua Abang.”
“Kenapa tidak bisa? Bukankah kamu mencintai Abang?”
“Iya, benar. Lalu?”
“Bukankah ini yang kamu inginkan?”
“Kata siapa?” Kutatap mata elangnya di bawah temaramnya cahaya lampu taman. Embusan angin malam mempermainkan anak rambut di dahiku. “Mencintai bukan berarti harus memiliki, dan aku takkan pernah mau menikah dengan orang yang sama sekali tidak mencintaiku. Meskipun itu adalah Abang.” pungkasku.
Devan bergeming.
“Sudah malam, aku pulang dulu!” Bangkit dari duduk dan bersiap meninggalkan Devan kalau saja cekalan tangannya tak menahan langkahku.
“Abang mohon, menikahlah dengan Abang!” pintanya memelas.
“Aku tak punya alasan kuat untuk menikah dengan Abang, sebab takkan mungkin kita bisa bersatu jika cinta hanya ada padaku.”
“Abang berjanji, akan mencoba mencintaimu. Semua demi orang tua kita, dan ... “
“Bagaimana jika nanti Abang tidak bisa mencintaiku?” potongku.
Devan terdiam. “Abang bersedia melakukan apa saja, asal kamu mau menikah dengan Abang. Jika nanti Abang tak mampu mencintaimu, kamu berhak mengambil keputusan apa pun.” pungkasnya.
Tercenung mendengar penuturannya. Ya Tuhan! Apa yang harus kulakukan? Sungguh aku sangat mencintainya, tapi aku tak ingin ia menikahiku karena sebuah paksaan, aku ingin dia menikahiku karena keinginannya sendiri.
“Abang mohon kali ini, menikahlah dengan Abang!”
Kutepis cekalan tangannya, “akan kupikirkan.” sahutku singkat.
Seulas senyum terukir di bibirnya,”terima kasih, Puja!”
Kubalas senyuman itu dengan senyuman termanis yang kumiliki.
“Aku pulang dulu.”
“Biar Abang antar!”
‘No, thanks. Aku bawa mobil sendiri.” tolakku halus.
“Izinkan Abang mengantarmu kali ini, biar Abang yang bawa mobilmu. Nanti Abang bisa naik taxi online untuk pulang.” pintanya sedikit memohon.
Setelah berpikir sejenak, akhirnya kuserahkan kunci mobilku. Devan sumringah, lalu kami berjalan beriringan. Pria itu merangkul bahuku, aku terkejut karena tak siap mendapat perlakuan itu darinya. Entah apa yang terjadi jika Devan mendengar debaran jantungku saat ini. Sebuah debaran yang selalu hadir saat aku berdekatan dengannya.
‘Dev, andai kamu juga mencintaiku, tentu semua akan terasa lebih indah,’ jerit hatiku.
***
Entah ini mimpi atau kenyataan. Yang jelas saat ini aku sudah resmi menjadi istri Devan. Keputusan yang kuambil setelah berpikir selama seminggu. Menikahi Devan karena keinginan kedua orang tua kami, agar hubungan kekeluargaan kami tidak putus begitu saja setelah kepergian Meera. Meski pun aku sangat mencintai Devan, namun menjadi istrinya adalah suatu beban berat untukku. Aku harus bersabar menunggu sampai Devan mencintaiku.
Malam ini Devan langsung memboyongku ke rumah yang pernah ia tinggali bersama Meera dulu. Sebuah hadiah dari kedua orang tua kami. Pesta megah itu membuat tubuhku begitu lelah, tapi Devan memaksa untuk tetap ke sini, tanpa mau menunggu esok hari.
Tangannya menggandengku hingga ke depan pintu kamar. Di bukanya perlahan, dan mempersilahkan aku masuk duluan. Bau harum semerbak segera memenuhi rongga hidung. Kuperhatikan sekeliling kamar yang sudah di hias sedemikian rupa. Namun seketika senyumku surut saat menemukan foto-foto Meera terpampang di setiap sudut kamar. Ada foto mereka berdua juga di atas nakas dan meja rias.
Aku menoleh padanya, “ini kamar kita?”
Devan mengangguk yakin.
“Apakah bisa tanpa foto Meera?’
“Tidak, biarkan foto itu tetap di sana, jangan di ganggu sedikit pun.”
“Apakah aku akan hidup di bawah bayang-bayang kakakku sendiri?”
Devan terdiam.
“Beri aku kamar lain!” pintaku.
“Baiklah! Tapi aku akan tetap tidur di sini. Kamu tidurlah di kamar sebelah.”
“Maksud Abang apa? Kita tidur terpisah?” Mataku membesar.
Devan mengangguk yakin.
“Bukankah kita suami istri? Bukankah kita ...”
“Kamu tahu aku tidak mencintaimu kan? Lalu bagaimana bisa kita tidur sekamar?” ucapnya dengan nada dingin.
Aku terperanjat mendengar nada bicaranya. Bukankah baru saja ia menggandeng tanganku dengan hangat? Bukankah baru saja aku melihat secercah harapan di matanya saat ijab qabul diucapkan? Bukankah pernikahan ini keinginannya meski ia tak mencintaiku? Tapi kenapa harus sedingin ini? Sedangkan ia berjanji untuk belajar mencintaiku.
“Baiklah, kalau begitu keinginan Abang. Selamat malam, semoga bertemu Meera dalam mimpimu.” Bergegas aku melangkah keluar kamar, menuju sebuah kamar yang terletak persis di sebelah kamar Devan. Sebuah kamar yang cukup luas dan begitu nyaman.
Segera kurebahkan diri tanpa mengganti gaun pengantin yang masih melekat di tubuhku. Aku benar-benar lelah, apalagi menghadapi sikap Devan yang tiba-tiba saja begitu dingin. Semoga saat mataku terbuka, aku menemukan cinta di mata Devan, dan ia kembali bersikap seperti biasa.
‘Ya Tuhan, apakah aku akan terjebak dalam pernikahan yang telah tercipta ini?’
***
Aku mengusap mata saat merasa ada cahaya yang menyilaukan. Ternyata sudah pagi, jendela sudah terbuka, dan tubuhku ... siapa yang menyelimuti? Apakah Devan diam-diam masuk ke kamarku? Lalu apakah kecupan di dahiku semalam itu bukan mimpi? Apakah itu juga Devan? Wajahku terasa panas. Sebuah kecupan yang terasa begitu nyata. Ingin membuka mata untuk memastikan namun rasa kantuk lebih hebat menguasai, hingga semalam aku menyimpulkan itu hanyalah mimpi. Aku tersipu malu membayangkan jika benar itu adalah kecupan dari Devan.
Lalu aku membawa tubuhku bangkit dan duduk di sisi ranjang yang begitu mewah. Gaun pengantin berwarna kuning keemasan masih melekat di tubuh. Mataku melirik jam dinding, sudah pukul sembilan ternyata. Ya Tuhan, aku kesiangan, kenapa Devan tidak membangunkanku? Aku beringsut turun, membuka gaun pengantinku dan meletakkannnya begitu saja di atas ranjang. Sebelum ke kamar mandi aku menuju meja rias, kulihat bayangan tubuhku di kaca itu. ‘Aku jauh lebih cantik dari Meera, semua orang pun mengakui. Lalu kenapa Devan tak bisa mencintaiku?’ batinku.
Menghela napas panjang, sebelum akhirnya aku masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Menyegarkan tubuh dengan air hangat untuk menghilangkan penat.
Dengan menggunakan handuk yang tersedia aku keluar dari kamar mandi setelah hampir setengah jam lamanya aku memanjakan diri. Langsung menuju lemari pakaian, dan aku terkejut ketika menemukan lemari itu kosong, tak sehelai baju pun ada di sana. Menepuk dahi sendiri, karena aku baru sadar kalau koper bajuku lupa kumasukkan ke bagasi mobil Devan semalam. Gara-gara pria itu buru-buru ingin segera pergi.
“Apa yang harus kulakukan?” gumamku pada diri sendiri. “Haruskah aku minta tolong Devan? Bagaimana kalau aku telpon Mami saja dan minta tolong supir antar ke sini? Ah, iya benar, sebaiknya begitu saja.”
Aku menuju ranjang mencari ponselku, tapi tak kutemukan. Seluruh sudut kamar sudah kutelusuri tapi tetap saja nihil. ‘Cerobohnya aku, bahkan ponsel pun sampai lupa kubawa.’ umpatku dalam hati.
“Aduuuuh, terus aku harus bagaimana ini?”
Aku memutar otak mencari cara. Tetap saja buntu. Cara satu-satunya adalah meminta tolong pada Devan. Tapi apa iya menemuinya hanya dengan balutan handuk seperti ini? Yang benar saja Puja! Tapi tidak mungkin juga aku seharian di kamar seperti ini, bisa masuk angin badanku.
Tanpa banyak pikir akhirnya kuberanikan diri keluar dari kamar meski hanya menggunakan handuk yang hanya menutupi dada hingga atas lutut. Merelakan sebagian tubuhku terlihat oleh Devan.
Tok!Tok!Tok!
“Bang Dev!” panggilku ragu.
Tak ada sahutan.
“Bang Dev buka pintunya! Bang Dev ... “
“Puja? Ngapain setengah telanjang begitu di depan kamar Abang?”
Aku terperanjat, hampir saja handukku terlepas. Memutar tubuh dan menemukan Devan sudah berdiri di belakangku. Iris kami saling bertemu. Devan meneliti tubuhku dari ujung rambut sampai ujung kaki, dan jantungku terasa hampir lepas dari tempatnya, menduga-duga apa yang selanjutnya akan di lakukan Devan pada istrinya ini.
Pria itu maju mendekatiku, hingga jarak kami hanya tinggal beberapa puluh senti saja. Aku bisa mencium aroma segar napasnya yang terdengar sedikit memburu, dan aku berharap mendapat perlakuan istimewa pagi ini darinya.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya dengan tatapan tajam menghunjam dada. Pupus sudah harapanku.
“Aku ... aku ... aku lupa memasukkan kper bajuku semalam, dan aku sama sekali tidak punya baju ... bahkan pakaian dalam pun aku tidak bawa.” sahutku sambil menunduk malu.
“Ya ampun Puja, dasar ceroboh!” Ia mengacak rambut basahku. “Tunggu di sini!” Devan membuka pintu kamarnya.
“Aku tidak mau jika Abang suruh aku untuk memakai baju Meera!” ucapku mewanti-wanti.
“Tenang saja, aku ke kamar hanya mau mengambil ponsel. Kamu tunggu saja di kamarmu, aku akan membelikanmu beberapa baju dan juga pakaian dalam.” Devan kembali keluar dari kamar dan bergegas menuju pintu depan.
“Bang Dev!” panggilku.
Langkahnya terhenti, dan ia menoleh padaku, “ada apa lagi?”
“Apa Abang tahu ... ukuran... pakaian ... dalamku?” tanyaku gugup dan begitu malu rasanya.
Devan tertawa. “Bukankah dengan menggunakan handuk itu kamu sudah memberitahu Abang secara tidak langsung?” godanya sambil berlalu, membuat wajahku kembali terasa panas. Ah, kecerobohan yang membuatku melupakan rasa malu. Eh tapi kenapa aku harus malu? Bukankah Devan adalah suamiku?
***
Pintu kamarku di buka begitu saja, Devan muncul dengan beberapa tas belanjaan. Sepertinya ia habis memborong setengah dari isi sebuah butik ternama.
“Ketuk dulu kek Bang pintunya!” sungutku.
“Kamu istri Abang, apa perlunya Abang minta izin?”
Deg! Ucapannya membuatku melayang.
“Sana pakai bajumu! Nanti masuk angin malah repot. Abang tunggu di meja makan, kamu lama banget sih bangunnya , Abang belum sarapan sampai jam segini.” omelnya sambil berlalu.
Aku tertegun. Devan rela menungguku untuk bisa sarapan bersama? OMG so sweeet!
Segera kubongkar baju-baju itu. Semua bagus-bagus dan sesuai dengan seleraku. Kenapa dia bisa tahu model dan warna kesukaanku? Pakaian dalamnya juga bagus-bagus, dan mereknya? O my God! Ini kan merk favoritku, dia juga tahu? Apa dia pernah menyelidiki pakaian dalamku selama ini? Aku tertawa sendiri, menertawai kebodohanku sendiri karena sudah berpikir yang tidak-tidak. Tapi selera belanjanya bagus juga, dia tahu apa yang perempuan mau. Pantas saja Meera begitu mencintainya.
***
“Abang mau dibikinin apa?” tanyaku sambil mengikat rambutku yang masih basah.
Devan tak menjawab, ia hanya memandangiku tanpa kedip.
“Bang Dev!”
“Oh, eh, iya, Abang, kamu eh ... kamu cantik sekali,” devan begitu gugup.
“Apa?”
“Eh, enggak ... Abang ... aku .. aduh! Apa sih?” Devan menutup mulutnya dengan tangan kanannya.
“Abang ngomong apa sih?”
“Maaf, Abang ... mau di bikinkan nasi goreng saja. Kamu bisa?”
“Jangan remehkan kemampuan memasakku, Bang. Walau aku di bilang anak manja, tapi aku sering belajar memasak sama Bi Esi di rumah, Abang tenang saja.” Sahutku percaya diri sambil melangkah ke dapur. Kulihat sudah ada nasi matang di dalam rice cooker, mungkin Devan yang memasaknya tadi pagi.
“Bisakah kamu membuat nasi goreng seperti yang pernah Meera buatkan untuk Abang?”
Pertanyaan Devan membuatku tertegun, menghentikan aktivitasku yang tengah mencuci peralatan masak.
“Berarti aku harus datang dulu ke makam Meera untuk bertanya resepnya.” sahutku ketus dan bersiap meninggalkan dapur. Sungguh permintaannya membuatku muak. Tak bisakah ia lepas bayangan Meera saat bersamaku? Bukankah ia berjanji untuk belajar mencintaiku?
“Puja!”
“Aku mau ke rumah Ayah, ponselku tertinggal di sana. Sekalian aku mau mengambil buku-buku kuliahku, karena besok lusa aku mulai kuliah lagi.”
Aku menuju pintu depan.
“Biar Abang yang antar kamu!”
“Tidak usah! Aku bisa sendiri,” tolakku.
“Tapi mobilmu ... “
“Aku masih bisa naik angkutan umum, jangan khawatir. Karena aku tak selalu harus bergantung dengan benda-benda mewah itu. Bernostalgialah dengan Meera-mu selama aku pergi.” Membawa kakiku berlari menuju gerbang dan menyusuri jalan komplek perumahan mewah itu untuk menuju jalan raya.
Tak lama sebuah mobil berhenti di depanku, yang tak lain adalah milik Devan. Tampak pria itu turun dan menghampiriku.
“Ayo naik!” perintahnya.
“Nggak mau, aku mau naik angkutan umum saja.”
“Dasar anak kecil! Apa kamu punya uang untuk naik angkutan umum? Bagaimana kalau ada preman yang mengganggumu dan membawamu kabur? Siapa yang akan tahu?” Devan menakutiku.
Baru aku sadar kalau aku tidak memegang uang sepeser pun.
Devan menarik tanganku untuk masuk ke dalam mobil. Tanpa penolakan aku menurut saja. Daripada aku harus malu naik angkutan umum tapi tidak punya uang.
“Kamu itu memang kayak anak kecil ya? Apa-apa ngambek, apa-apa ngambek,” celetuknya saat mobil mulai melaju membelah jalan raya.
“Abang juga kan yang mulai, bukankah Abang berjanji untuk belajar mencintaiku? Tapi kenapa selalu membawa-bawa nama Meera? Abang mau membanding-bandingkan aku dengannya?” kejarku.
“Abang sudah bilang bukan? Jika Abang tidak bisa melupakan Meera begitu saja. Karena belum ada yang bisa menggantikannya. Termasuk kamu.”
“Oh ya? Lalu apa artinya aku bagimu?”
“Kamu kenapa jadi marah? Bukankah sebelum menikah kita sudah membahas hal ini dan kita sepakat kalau semua ini hanya untuk membahagiakan kedua orang tua kita. Tentang cinta ... bukankah kamu bersedia menunggu?”
Aku terdiam. Devan benar, bukankah semua ini sudah kami bahas sebelum memutuskan menikah? Kenapa aku harus marah? Tugasku hanya sebagai istri dalam status keluarganya, bukan istri dalam arti yang sebenarnya. Lalu kapan ia akan mulai belajar mencintaiku? Ataukah aku yang terlalu berharap banyak karena rasa cintaku yang begitu dalam padanya?
Wake up Puja! Lihatlah dirimu! Gadis berusia 24 tahun, yang mencintai pria berusia 33 tahun, dan cintamu sama sekali tak terbalas. Apa yang kau tunggu? Kau sudah terjebak dalam pernikahanmu sendiri.
***
fitrijunita dan rohannarambe memberi reputasi
2
Tutup