- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
SURYA Dikala SENJA (Horor, Komedi)
TS
ayahnyabinbun
SURYA Dikala SENJA (Horor, Komedi)
Assalamualaikum semua.
Ini hanya goresan tinta imajinasi seorang lelaki tua yang telat menemukan hasratnya dalam hal menulis.
No Junk.
No Spam.
Pokoknya ikuti Rules dari Kaskus ya.
Cerita ini murni Fiksi, jadi kalau ada kesamaan nama tokoh dan tempat mohon di maklumi.
Terakhir.
Selamat menikmati bacaan ringan ini.
Spoiler for Prolog:
-Jakarta-
UGD RS di jakarta.
"Bagaimana istri saya sus!? " tanya seorang pria kepada suster yang baru saja keluar dari ruang UGD.
"Maaf pak masih kritis saya tidak bisa memberitahu lebih rinci kondisi istri bapak, itu wewenang dokter," jawab suster cepat kemudian dia berlalu meninggalkan lelaki itu.
Lelaki itu pun bersandar di tembok rumah sakit, raut mukanya terlihat lemas dan pucat kedua tangannya gemetar tatkala menutup wajahnya.
"Maafkan aku Naura, hiks, maafkan aku, " gumam lelaki itu sambil terisak menangis tersedu-sedu.
Seberkas cahaya membentuk sosok manusia berjongkok di depan lelaki itu, "jangan menangis sayang, ini memang sudah waktuku, jaga anak kita ya, dia ganteng seperti kamu, cup. " seru sesosok cahaya tersebut sambil mencium kening sang lelaki, dan cahaya itu pun berlalu bersama sesosok laki-laki berjubah putih yang menemaninya.
Lelaki itu mengangguk lesu sambil tersenyum tipis, melihat ruh istrinya menghilang menuju ufuk matahari dikala senja.
"Krieeek" suara pintu UGD terbuka, keluar seorang dokter dan beberapa suster menggendong seorang bayi.
"Pak Bagas, bayi bapak kami bersihkan dulu di ruang bayi ya pak, dokter ingin bicara dengan bapak," jawab suster dengan lemah lembut ke lelaki itu.
Lelaki itu pun berdiri, berjalan pelan menuju dokter yang menundukkan kepala di depan lelaki itu, gurat penyesalan terlihat dari wajah sang dokter.
"Sudah tidak apa-apa dok, saya sudah tahu, sehebat apapun anda tidak bisa melawan takdir, " jawab lelaki itu sambil menepuk pundak sang dokter.
"Ba-bagaimana bapak bisa tahu!? " jawab dokter dengan rona kebingungan.
Lelaki itu kemudian berlalu menuju ruangan bayi, langkah demi langkah terasa berat, tangisan tak terbendung dari kedua matanya, lelaki itu memukul-mukul dadanya agar menyisakan kelegaan saat ia bernafas.
"OOOEeeeK...OOOEEEEK...OOOEEEK," seketika tangis bayi memecah kesunyian lorong rumah sakit, lelaki itu mempercepat langkah demi langkahnya, terlihat seorang bayi sedang di gendong suster, menangis dengan kencangnya.
"Silakan pak di gendong anaknya, sudah saya bersihkan dedek bayinya," jawab suster ke lelaki itu.
Sang lelaki menerima si bayi dari tangan suster, menggendong dengan penuh kehati-hatian, sang bayi yang tadi menangis kencang seketika terdiam di pelukan lembut sang ayah.
"Mau di beri nama siapa pak bayinya?" tanya suster.
"Surya, Surya dikala senja. " jawab bapak Bagas lirih.
Spoiler for Chapter 1 : sang Surya:
Jakarta, 2018.
"TENG!! TENG!! TENG!!" bunyi bel terdengar hingga ujung jalan setapak depan sebuah sekolah, segerombolan anak tunggang langgang berlarian menuju gerbang sekolah tersebut.
Pak Kusni penjaga sekolah, merangkap satpam, merangkap manusia terlihat mendorong gerbang dengan kepayahan, faktor usia seperti menggerogoti tenaganya yang dulu seperti kuda jantan, nafasnya terdengar mengebu-gebu seperti pemain film erotis tahun 80an, padahal gerbang sekolahnya hanya ada satu, bayangkan bila sekolah ini memiliki 7 gerbang layaknya pintu neraka, mungkin senin beliau sudah di kebumikan.
Dari ufuk timur terdengar suara dengan lantang.
"HEI KUSNI!!! HENTIKAN!!! GUA MASIH MAU SEKOLAH KUSNI!!!"
Remaja itu berlari bersama gerombolan murid yang telat bagai babi hutan.
Pak Kusni yang sedang mendorong gerbang terdiam sesaat, lalu melihat asal suara tersebut, matanya melotot melihat remaja tersebut berlari seperti maling BH yang dikejar warga, dengan sisa tenaga tuanya di dorong gerbang itu dengan tergesa-gesa,
"bocah sialan itu tak boleh masuk..! TIDAK BOLEH MASUK..! YOU SHALL NOT PASS..!" gumam lelaki tua itu sambil mengutip kata-kata Gandalf Lord Of The Ring.
"SIALAN KAU KUSNI! GUA TIDAK AKAN KALAH DENGAN TUA BANGKA MACAM KAU KUSNI!!" teriak lagi remaja itu dengan lantang, langkah kakinya semakin kencang ia sampai lupa resleting celananya masih menganga memberikan sensasi cooling breeze di sekujur pangkal pahanya.
Mendengar itu Kusni geram, ia semakin menggebu-gebu mendorong gerbang, akan tetapi, "KREEK!!" suara tulang bergeser bersua, teriakan tertahan mengema di kalbu Kusni.
"AAARRRGGHH!! AMPUN GUSTI!! PINGGANGKU!!" sakit encok strata tiga Kusni kambuh, tubuh kusni tertahan gerbang, tanpa adanya gerbang mungkin tubuh Kusni akan tersungkur ke tanah, ada hubungan simbiosis mutualisme yang ironis antara Kusni dan gerbang.
"Pagi beh, kambuh?! AHAAY!" ejek remaja itu ke pak Kusni sambil berlenggang menuju kelas.
Sakit, malu, vertigo menjadi satu, itulah yang di rasakan Kusni sekarang, melihat murid itu berlalu membuat matanya berkaca-kaca seutas kata terucap dari bibir Kusni.
"Dasar bocah KAMPRET!!" Kusni tertahan mematung sambil menggenggam gerbang sekolah yang masih seperempat terbuka.
Kelas 2-A sudah di penuhi manusia-manusia unggulan, datang setiap pagi untuk mencari ilmu, bersiap-siap menatap masa depan dengan penuh harapan cemerlang, di belakang dua insan lelaki saling bercakap.
"Cok, film bokep yang kemaren elu kirim crash, kirim lagi dong bro," celoteh Bambang ke Ucok di baris belakang.
"BAH!! Handphone kau saza yang zadul Bams, buktinya zalan-zalan zaja tuh di hp ku, makanya beli hape zangan di pasar malam lai," jawab Ucok dengan logat medannya yang kental, sungguh percakapan yang menginspirasi kaum muda mudi INDONESIA.
"Eh eh eh, guru guru guru!" riuh anak-anak kelas 2-a, sesosok lelaki tinggi, atletis nan tampan terlihat di depan pintu, kemudian berlalu, berganti menjadi lelaki pendek, tambun dengan kepala botak di tengah layaknya lapangan bola, sekilas adegan tadi seperti iklan L-men yang gagal.
Pak Hartono masuk ke dalam kelas, melihat sekeliling kelas sambil menyapa.
"Pagi anak-anak!!", sapa pak Hartono.
"PAGI PAK GURUUU!!" Jawab murid-murid dengan serentak dan kompak.
Tiba-tiba seorang anak berdiri di depan pintu kelas, wajahnya terlihat kecapaian dan pucat.
"Yaaah! Telat!" ujar anak itu, pak Hartono menelisik dengan teliti anak yang terlambat itu, kemudian berujar "hei kamu! Berani kamu telat di jam saya! Kesini kamu!" perintah pak Hartono dengan galaknya, anak itu pun maju dengan perlahan, kepalanya menunduk malu tidak bisa menatap pak Hartono, "Push up 25 kali! Jikalau tidak sanggup silakan keluar kelas saya!!" ujar pak Hartono dengan tegas, ketika anak itu mengambil ancang-ancang untuk melakukan push up, sesosok mahkluk mengintip dari balik jendela di barisan pojok kanan belakang, matanya nanar namun tajam melihat situasi kelas.
"oke situasi aman," ujarnya dengan percaya diri, dengan mode silent ia menyelundupkan tasnya dari balik jendela menuju bangku belajar, lalu ia merangsek masuk dari celah jendela, bak ular kadut dengan licinnya ia masuk melewati celah lumayan sempit itu, setengah badannya sudah masuk ke dalam ruang kelas, tangan kirinya menyentuh meja kemudian ia mendorong sisa tubuhnya melalui tembok menggunakan tangan kanan, dengan sangat cepat dan tanpa satu makhluk pun mengetahui ia sudah masuk ke dalam kelas, dengan posisi menungging di atas meja, misi pun berhasil, ia turun dari meja kemudian menikmati pemandangan Budi yang sedang push up.
"Budi, terima kasih ya, tanpa elu sebagai pengalih perhatian gua ngak bisa sampai di dalam kelas, Budi, kamu, numero uno," gumam pria itu di dalam hati.
Iya, pria itu tidak lain dan tidak bukan adalah Surya, anak dari bapak Bagas prakasa yang kalian liat kisah pilunya di prolog, anak ini tumbuh besar menjadi sosok lelaki tampan, pintar dan soleh, itu hanya menurut penuturan bapaknya sendiri.
Push up Budi sudah berada di angka 23 kali, keringat bercucuran dari kening sampai badan Budi, bahkan sampai muncul bercak basah di daerah selangkangannya, pergelangan tangannya mulai goyah, lututnya bergetar 4,5 skala richter, tubuh yang di rancang untuk main warnet seharian itu tidak mampu menerima push up lebih dari 20 kali.
"Pak, sudah ya pak, saya sudah tidak sanggup," nego Budi ke pak Hartono.
Pak Hartono sedikit terenyuh melihat Budi yang kecapaian, "aduh, kasihan kamu nak, ya sudah … tambah lima lagi push upnya, biar genap jadi 30," tutur pak Hartono dengan melepas topeng kesedihannya, mata Budi nanar namun kosong menatap lantai, terlihat raut penyesalan teramat sangat dari wajah Budi.
Pak Hartono mulai menuju meja ia mengambil daftar absensi lalu mulai mengabsen satu per satu muridnya, dimulai dari Ani, Deni dan seterusnya, murid-murid saling bersahutan saat nama mereka disebut pak Hartono, ketika mulut pak Hartono menyebut nama Surya, "HADIR PAK..!" sahut seseorang pemuda dari belakang dengan lantang.
Seisi kelas kaget, terperanga sambil menganga melihat Surya sudah di dalam kelas, pertanyaan dan praduga berkecamuk di hati mereka.
"Bagaimana ia bisa masuk!?"
"Sejak kapan ia ada di kelas?!"
"Kenapa aku ada di kelas ini!!" gumam Ari yang seharusnya masuk kelas 2-d.
semua perhatian itu berbanding terbalik dengan kondisi Budi yang tanpa perhatian satupun dari teman-temannya.
"Sakit, banget, tapi tak berdarah, sungguh biadab temen-temen gua, kata mereka kita teman sejati, selalu di hati, HILIH KINTHIL!!" ujar Budi di dalam hati kesal dengan teman-temannya.
Pelajaran berjalan setelah sesi absensi, pak Hartono mulai menjelaskan di depan kelas, suasana hening terasa, murid-murid mulai mendengarkan dengan seksama, kecuali Surya yang sedang terlelap di mejanya, posisinya yang berada paling belakang dan di tutupi Bambang yang jangkung dan Ucok yang bulat menjadikan tempat duduknya seperti vila di puncak, tempat paling nyaman untuk beristirahat.
"TOK TOK TOK TOK" bunyi ketukan pintu memecah keheningan kelas, pak Zul sang kepala sekolah sedang berdiri dengan seorang gadis cantik nan manis di sebelahnya, "pagi pak, maaf ganggu kelasnya, ini ada murid baru kelas 2-a," ujar pak Zul, "oh iya pak, silakan neng masuk, perkenalkan diri dulu sama teman yang lain," jawab pak Hartono sambil mempersilakan gadis itu masuk.
Sesosok gadis manis memakai hijab putih berjalan perlahan menuju depan kelas, wajah manisnya terlihat malu-malu ketika bertatap muka dengan murid-murid kelas 2-A, "pagi semua, nama aku Naura kelana subhi, panggil saja Naura," jawab Naura sambil tersenyum simpul memperlihatkan lesung pipinya, seketika itu juga rentetan panah asmara menusuk hati para lelaki di kelas 2-A, kecuali Surya yang sedang berkelana di pulau kapuk dan para murid perempuan yang menunjukkan ekspresi tersaingi secara jasmani dan rohani.
"kamu duduk di belakang ya nak Naura, soalnya bangku yang kosong cuman ada di sebelah sana, " ujar pak Hartono sambil menunjuk bangku disebelah Surya.
Naura pun berjalan menuju bangkunya, diiringi tatapan nakal murid laki-laki di kelas itu, ia kemudian duduk sambil mulai mengeluarkan peralatan belajarnya.
Bambang dan Ucok yang duduk di depan Naura pun sontak membalikkan badan untuk berkenalan.
"Hai Naura, namanya cantik secantik orangnya," puji Bambang dengan gaya sok coolnya.
"hei Naura, cantik kali kau, nanti pulang ku antar pakai motor ninja ku mau tak?" goda Ucok sambil menyisir jambul khatulistiwa miliknya.
Melihat gelagat kedua lelaki di depannya naura langsung ilfeel stadium akhir, didalam hatinya ia berteriak "TIDAAAAAAK..!" akan tetapi Naura hanya membalas dengan senyum malu tapi palsu ke kedua orang utan itu.
"ikh amit-amit jabang bayi, masa hari pertama di sekolah baru gua udah di godain cowok alay macem keset kayak gini, Ya tuhan salah apa hambamu ini, " ketus Naura di dalam hati.
"Jangan di anggap serius, mereka cuman bercanda."
"DEG...!!"
Rona wajah Naura terlihat terkejut, sebuah telepati terkirim langsung menuju fikirannya, ia mencari sumber telepati itu, dan matanya tertuju pada punggung lelaki teman sebangkunya, Surya.
Spoiler for Index:
PART 1
CHAPTER 1
CHAPTER 2
CHAPTER 3
CHAPTER 4
CHAPTER 5
CHAPTER 6
CHAPTER 7
CHAPTER 8
CHAPTER 9
CHAPTER 10
CHAPTER 11
CHAPTER 12
CHAPTER 13
CHAPTER 14
CHAPTER 15
CHAPTER 16
CHAPTER 17
CHAPTER 18
CHAPTER 19
CHAPTER 20
CHAPTER 21
CHAPTER 22
CHAPTER 23
CHAPTER 24
CHAPTER 25
CHAPTER 26
CHAPTER 27
CHAPTER 28
CHAPTER 29
CHAPTER 30
PART 2
CHAPTER 2.1
CHAPTER 2.2
CHAPTER 2.3
CHAPTER 2.4
CHAPTER 2.5
CHAPTER 2.6
CHAPTER 2.7
CHAPTER 2.8
CHAPTER 2.9
CHAPTER 2.10
CHAPTER 2.11
CHAPTER 2.12
CHAPTER 2.13
CHAPTER 2.14
CHAPTER 2.15
CHAPTER 2.16
CHAPTER 2.17
CHAPTER 2.18
CHAPTER 2.19
CHAPTER 2.20
CHAPTER 2.21
CHAPTER 2.22
CHAPTER 2.23
CHAPTER 2.24
CHAPTER 2.25
CHAPTER 2.26
CHAPTER 2.27
CHAPTER 2.28
CHAPTER 2.29
Diubah oleh ayahnyabinbun 28-05-2022 17:42
namakuve dan 116 lainnya memberi reputasi
115
159.9K
Kutip
916
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
ayahnyabinbun
#671
Chapter 2.21
Spoiler for damastra melik:
Gelap malam menyelimuti langit diatas kerajaan Pujakerana namun gelapnya malam tidak dapat menutupi riuh rendah suara yang sayup-sayup terdengar dari balik aula barak di belakang kerajaan Pujakerana, kerumunan jin kera yang merupakan penduduk kerajaan Pujakerana yang sebelumnya ditahan Gundara tengah berkerumun dengan tatapan mata sendu tertuju kepada seekor jin kera besar berbulu merah, tubuhnya yang lemah tengah terbaring tak berdaya dengan sesosok gadis manusia yang duduk bersimpuh disebelahnya, sang gadis manis dengan hijab putih itu bersimpuh disebelah sang kera merah dengan kedua telapak tangannya yang menyala berselimutkan kobaran api kecil berwarna hijau muda.
"Urgh …"
Tiba-tiba suara tercipta dari mulut sang kera.
"Tu..tuan Arga! Syukurlah anda sudah sadar!" pekik sang gadis manis berhijab itu dengan senyum lega tersungging indah dibibirnya.
Para jin kera yang berkerumun Ikut berucap syukur kepada dewa mereka tatkala sang jendral kebanggaan sudah sadar dari tidurnya.
"Ugh … nona Naura!? A..apa yang terjadi? Ini dimana? Dimana Gundara keparat itu!? Bagaimana anda bisa ada disini dengan saya? Bukankah anda sudah pergi bersama rombongan agen Other yang lain?" tanya Arga dengan rentetan pertanyaan untuk Naura.
"Jangan banyak bergerak dulu jendral Arga, luka-luka anda masih belum sembuh seutuhnya," seru Naura dengan telapak tangan berselimutkan api hijau yang kembali menekan luka ditubuh jendral Arga.
-Brak!!-
-Bruk!!-
-Brak!!-
Bunyi gaduh dari benda jatuh terdengar disisi kanan aula barak, disana Devan dan Saka tengah menjatuhkan senjata-senjata yang dapat mereka temukan di gudang persenjataan barak.
"Bagi kalian yang masih bisa bertarung kemarilah dan ambil senjata-senjata ini!" seru Devan kearah kerumunan jin kera, satu persatu dari para jin kera Pujakerana yang masih terlihat sehat berjalan mendekati Devan dan Saka untuk mempersenjatai diri mereka.
"Tuan Devan dan Saka ada disini juga!? Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Arga kembali.
"Anda baru saja terlepas dari mantra gendam milik Gundara tuan, sekarang anda tengah berada di barak Pujakerana," jawab Naura.
Arga memijat keningnya berusaha mengingat-ingat apa yang sudah terjadi sebelumnya, "saya hanya ingat Gundara datang ke dalam markas kami di tengah hutan dan menyerang saya dengan tiba-tiba dan disaat saya lengah semua sudah menjadi gelap," jelas jendral Arga.
"Sebenarnya Gundara sudah menghipnotis dan menjadikan anda penjaga dibarak ini, untungnya Devan dan Saka dapat mengalahkan anda dan mematahkan mantra gendam yang mengendalikan anda jendral," jelas Naura kembali.
"Lalu kemana nona Luna? Mengapa dia tidak bersama anda?" tanya Arga kembali dengan tatapan khawatir.
Pada akhirnya Naura menceritakan seluruh kejadian yang terjadi kepada dirinya kepada Arga setelah ia pergi meninggalkan markas para pembebas Pujakerana.
"Jadi anda tenang saja dia baik-baik saja, namun sekarang sedang tidak bersama kita, dia sedang pergi bersama putri Karina dan om Bagas menuju kuil Kerana," seru Naura.
"U..untuk apa mereka kesana? Apa mereka ingin berdoa?"
"Mereka ingin mengambil sebuah benda pusaka, engh namanya … dam.."
"Damastra melik!!!" seru Arga dengan mata membulat sempurna seakan tidak percaya dengan apa yang ia dengar.
"Iya benar itu namanya! Damastra melik," pungkas Naura "loh tuan Arga anda jangan banyak bergerak!" pinta Naura.
Arga memaksakan tubuhnya untuk berdiri walau luka-lukanya belum sembuh seutuhnya, Naura berusaha untuk menghentikan gerak sang jendral kera namun tubuh besarnya bukan tandingan untuk gadis tersebut.
"Jadi di kuil itu Damastra melik disembunyikan … urgh … saya harus menghentikan mereka! Benda itu terkutuk dan tidak seharusnya digunakan kembali!!" seru Arga dengan keringat dingin bercucuran dari keningnya.
Sementara itu dilain tempat Karina, Luna dan Bagas tengah berdiri didepan sebuah kuil yang terbengkalai.
"Disini tempatnya?" tanya Luna sembari menyarungkan senjata laras pendek miliknya.
"Iya nona Luna, disinilah Damastra melik bersemayam," jawab Karina.
"Waktu semakin menipis, ayo kita masuk," seru Bagas yang langsung mengambil langkah kedepan kearah anak tangga kuil Kerana.
-Krieeeek-
Bunyi pintu kayu besar yang usang terbuka secara perlahan memperlihatkan beberapa patung kera yang penuh debu dan sebuah patung raksasa ditengah kuil, semua patung ini dahulu dipakai untuk para jin kera memanjatkan doa kepada dewa mereka sebelum Gundara melarang semua orang untuk berdoa.
Bagas memasuki kuil Kerana diikuti Luna dan Kirana dibelakang dirinya, disaat Bagas tengah melihat kemegahan kuil tersebut Kirana langsung berlari kecil kearah sebuah patung di pinggir kuil dan terlihat sedang mencari-cari sesuatu.
-KLIK- -KLIK- -KLIK-
-KLIK- -KLIK- -KLIK-
-KLIK- -KLIK- -KLIK-
Tiba-tiba bunyi bersua dari arah patung paling besar disana, bunyi tersebut seakan membuka rentetan kunci didalam kuil dan getaran hebat tercipta dari patung kera raksasa didepan mereka. Seketika patung raksasa itu saling bergeser membelah menjadi dua bagian dan memperlihatkan sebuah lorong rahasia yang menuju kearah bawah kuil Kerana.
"Mari ikuti saya," seru Kirana yang melangkah lebih dahulu kedalam lorong rahasia tersebut.
Langkah-langkah kaki bergema didalam lorong gelap tanpa adanya sumber cahaya sedikitpun, suasana gelap mencekam kian terasa disaat mereka berjalan semakin dalam, perasaan tertekan kian terasa bagai sebuah ruang hampa datang mendekat dan melumat energi jiwa mereka, rasa mencekam itu semakin merambat hingga langkah kaki mereka telah sampai diujung ruang bawah tanah tersebut.
"Fiuh … syukurlah Gundara belum menemukan tempat ini," seru Kirana bernafas lega sembari menatap pintu besar didepannya yang masih tertutup rapat.
Bagas melangkah perlahan dan berdiri tegak didepan pintu besar tersebut, pintu besar nan megah dengan ukiran sosok kera raksasa yang terlihat sedang terlilit ular besar diseluruh tubuhnya.
"Ukiran ini … apakah dia raja Kerana?" tanya Luna singkat.
"Iya nona Luna, ukiran dipintu ini adalah representasi dari raja Kerana yang sudah termakan oleh ketamakan dan mati disaat menggunakan Damastra melik, anak raja Kerana yang merupakan raja selanjutnya membuat ukiran ini agar mengingatkan raja-raja setelahnya untuk tidak menggunakan senjata terkutuk ini dikemudian hari," jelas Karina sembari berjalan kearah Bagas.
"Jadi bisa dibilang pintu ini tidak ada seorangpun yang membukanya setelah raja Kerana wafat?" tanya Bagas melihat sekeliling pintu tersebut.
Karina mengangguk, "iya tuan, bahkan saya juga tidak mengetahui bentuk dari Damastra melik, karena untuk membicarakan senjata itu saja adalah hal yang tabu bagi kami," jawab Karina.
"tuan putri," panggil Bagas.
"I..iya tuan Bagas?"
"Mundurlah bersama Luna, saya akan membuka pintu ini secara paksa," seru Bagas dengan tatapan mata tajam.
Karina mengangguk mengerti dan berlari pelan kearah belakang bersama dengan Luna, mereka berdua berlindung dibalik sebuah batu besar dan mengintip kearah Bagas untuk melihat apa yang dilakukan Bagas disaat membuka pintu rahasia tersebut.
Sementara didepan pintu Bagas menutup mata seraya mulai merapal doa, sekejap energi sukma berwarna hitam bagai kobaran api keluar dari dalam tubuh lelaki tegap itu dan mengalir perlahan menyelimuti kedua lengan ditubuhnya.
Energi hitam dari dalam tubuh Bagas semakin besar berkobar menyelimuti kedua tangannya, sekejap energi sukma berwarna hitam itu berubah bentuk bagai telapak macan kumbang lengkap dengan cakarnya yang tajam.
"Kekuatan itu … pantas saja ia mendapatkan gelar satriya," gumam Luna dalam hati sembari menatap lekat kearah Bagas.
Bagas mengambil ancang-ancang dan sejurus kemudian ia melesat kedepan berlari kencang mendekati pintu dengan sekejap mata menancapkan kuku tangannya kearah pintu tersebut.
-TASSSH-
Pintu yang awalnya terlihat polos mulai memperlihatkan wujud aslinya, sebuah tirai pelindung tidak kasat mata melingkupi sepanjang pintu itu berada.
"Graaaaaaaaa!!" teriak Bagas berusaha merobek tirai pelindung di pintu rahasia tersebut.
Kilatan cahaya saling bersinggungan mulai berpendar dari tirai pelindung dan perlahan tapi pasti tirai itu semakin memudar seiring kekuatan Bagas yang semakin besar mengoyak tirai pelindung tersebut.
-BLAAAR!!!-
-PYAAAR!!!-
Layaknya kaca yang terhantam batu besar, tirai pelindung itupun hancur berkeping-keping menyisakan sebuah pintu biasa yang sedikit terbuka.
Melihat situasi sudah aman, Luna dan Karina berjalan perlahan kearah Bagas. Tiba-tiba pintu terbuka seluruhnya disaat Karina mendekati pintu tersebut.
Didalam ruangan itu terpampang ratusan keris yang tertata rapih dengan sebuah keris besar ditengah ruangan.
"Jadi yang mana Damastra melik?" tanya Luna sembari menatap kearah Bagas.
Bagas menatap sekitar ruangan rahasia dan melihat satu persatu-satu dari keris yang terpajang di dinding ruangan tersebut, "hmm … ini semakin rumit, terlebih tidak ada satupun dari kita yang mengetahui bentuk dari Damastra melik," seru Bagas.
"Tuan lihat!! Itu pasti Damastra melik! Iyakan?!" seru Karina penuh keraguan sembari menunjuk jari kearah keris yang paling besar di tengah ruangan.
"Mungkin … saya minta izin untuk memasuki ruang ini tuan putri," seru Bagas yang dibalas anggukan Karina, Bagas pun melangkah perlahan memasuki ruangan rahasia yang dipenuhi keris tersebut, energi dari keris-keris tersebut terasa disekitar Bagas namun ia merasakan sesuatu yang janggal seakan ada satu benda didalam ruangan tersebut yang menghisap paksa seluruh energi dari keris-keris tersebut.
Bagas memejamkan matanya berusaha untuk merasakan getaran tipis energi sukma disekitar tubuhnya, dengan penuh konsentrasi ia merasakan energi sukma bergerak beriringan melewati tubuhnya, energi-energi itu berkumpul menjadi satu tepat dibawah kaki Bagas yang tengah berdiri.
Bagas membuka kedua matanya dan segera bersimpuh sembari melihat kearah bawah, disana terlihat sebuah buntalan kain lusuh setengah terkubur dibawah gundukan kecil tanah merah darah.
Dengan hati-hati Bagas hendak menyentuh kain lusuh tersebut, namun disaat jemari tangannya menggenggem kain tersebut, ratusan senjata keris yang berada didalam ruangan bergetar hebat seakan sebuah gempa bumi menggetarkan dinding ruang rahasia itu dengan kuat.
Dengan perlahan Bagas mengangkat buntalan kain berbentuk kotak tersebut, semakin terangkat benda tersebut dari atas tanah semakin hebat getaran yang terjadi, disaat buntalan itu sudah sejajar dengan dada Bagas seluruh keris didalam ruangan itu berhenti bergetar dan sejurus kemudian satu keris melayang dengan cepat kearah kepala Bagas.
-Jleb-
Bunyi salah satu keris menancap tanah, dengan reflek yang cepat Bagas dapat melompat kebelakang menghindari keris yang tiba-tiba meluncur kearahnya tersebut, belum berlalu rasa kaget Bagas satu persatu keris didalam ruangan itu melayang dan mulai mengarahkan bilahnya kearah Bagas.
"Cih … sial," runtuk Bagas yang langsung berbalik arah dan berlari keluar dari ruang rahasia tersebut.
Energi sukma berwarna hitam kembali keluar dari tubuh Bagas dan langsung menyelimuti kedua kaki lelaki itu, energi sukma itu langsung merubah bentuk kaki Bagas menjadi kaki macan kumbang.
-Jleb-
-Jleb-
-Jleb-
-Jleb-
Beberapa keris menancap ke tanah disaat Bagas mampu menghidari terjangan keris tersebut, dengan kecepatan diluar nalar manusia Bagas bergerak zig zag menghindari ratusan keris yang mengejar dirinya dan melompat dari satu batu kebatu yang lain, belum selesai menghindari keris-keris tersebut didalam ruang rahasia keris yang paling besar mulai bergetar hebat dan mulai melayang.
"TUAN!! BUKA PEMBUNGKUSNYA!" teriak seekor kera merah dari belakang.
Dengan cekatan Bagas langsung membuka ikatan pembungkus kotak tersebut seraya merobeknya
dan seketika ratusan keris yang mengejar dirinya diam melayang dan sekejap melebur menjadi debu.
"Fiuh," desal gadis berhijab putih yang berdiri disebelah sang kera merah.
Kedua mata Bagas menatap lekat sang kera sembari tersenyum tipis, "terima kasih," ucap Bagas pada sang kera merah.
"Tuan Arga!! Syukurlah anda baik-baik saja," pekik Karina yang langsung memeluk erat sang jendral kera.
Arga menatap teduh sang putri sembari mengusap puncak kepalanya, "lama tidak berjumpa putri Karina, syukurlah keadaan anda baik-baik saja," seru Arga.
Luna berdiri kemudian menghampiri Naura, "Naura bagaimana dengan keadaan diluar?" tanya Luna.
"Semua sudah siap, Devan dan Saka sudah mempersenjatai para penduduk dan sedang menunggu aba-aba selanjutnya dari jendral Arga dan om Bagas," jawab Naura dengan senyum menghiasi bibirnya.
Dengan perlahan Arga melepas pelukan putri Karina dan langsung melangkah cepat kearah Bagas, sang kera merah langsung bersimpuh sembari bersujud didepan Bagas, "saya mohon kepada tuan, tolong urungkan menggunakan benda terkutuk itu!" seru Arga dihadapan Bagas.
Bagas menatap sang jendral kera seraya ikut bersimpuh, "apa alasannya?" tanya Bagas singkat.
Arga mengangkat kepalanya seraya berucap, "leluhur saya adalah prajurit yang berjuang bersama dengan raja Kerana dan dengan mata kepalanya sendiri ia melihat raja Kerana bermandikan darah mahluk-mahluk yang tidak berdosa, itu semua hanya untuk memenuhi ketamakan yang ditimbulkan oleh benda terkutuk itu hingga akhir hayat sang raja jadi saya…"
"Maaf, akan tetapi saya tidak bisa mengabulkan permintaan anda jendral," potong Bagas sembari menepuk pundak Arga.
"Karena benda ini bukan milik Pujakerana lagi, benda ini sekarang milik anak saya, jika anda tidak percaya tanyakan sendiri pada putri Karina," seru Bagas.
Kedua mata Arga membulat sempurna sembari menoleh kebelakang menatap sang putri yang tengah berjalan kearah Arga dan Bagas, "benarkah yang dikatakan oleh manusia ini putri?" tanya Arga.
Putri Karina mengangguk pelan sembari bersua, "apapun demi kebebasan Pujakerana akan saya berikan jendral, Damastra melik hanya bayaran yang kecil untuk segala upaya kita selama ini agar terbebas dari belenggu Gundara."
"T..tapi…" Arga terdiam sesaat kemudian berdiri dengan tegap, "baiklah jika ini adalah titah anda putri, saya akan mematuhinya," Arga beralih memandang Bagas, "namun … saya ingatkan sekali lagi tuan … benda terkutuk ini hanya akan membawa malapetaka dikemudian hari," pungkas Arga kembali.
"Jendral … daripada kutukan saya lebih takut dengan kemarahan Surya jika rencananya gagal, lagipula ada yang lebih terkutuk didalam tubuh anak saya dibandingkan dengan benda ini," seru Bagas santai sembari menggoyang-goyangkan kotak tersebut didepan Arga.
Arga dan putri Karina mengangguk mengerti kemudian beranjak pergi keluar dari ruang rahasia tersebut sementara Bagas mengekor mengikuti langkah kaki mereka, disaat Bagas berpapasan dengan Luna gerak kakinya sesaat terhenti.
"Apa anda yakin itu damastra melik? Terlihat hanya seperti sebuah kotak biasa," seru Luna.
Bagas tersenyum miring sembari mendengus pelan, ia menyodorkan kotak tersebut didepan Luna sembari bersua, "pegang kotak ini."
Luna menatap dingin Bagas dan tanpa ragu menyentuh kotak tersebut, seketika aura kehampaan menyeruak seluruh relung tubuh Luna dan membuah tubuhnya setengah lunglai seakan setengah energi sukma miliknya terserap kedalam kotak tersebut.
-Bruk-
"Luna! Kamu tidak apa-apa!?" tanya Naura dengan nada khawatir melihat Luna yang tiba-tiba terjatuh.
Bagas bersimpuh didepan Luna yang terjatuh sembari tersenyum tipis, "sekarang kamu percaya kan?" tanya Bagas yang di alas anggukan Luna.
"Naura … tolong bantu Luna berjalan keatas," pinta Bagas.
Naura mengangguk sembari merangkul Luna, "lalu om sendiri?" tanya Naura heran dengan Bagas yang tidak beranjak dari tempatnya berdiri.
"Masih ada yang om harus lakukan," terang Bagas.
Naura pun mengangguk mengerti kemudian berlalu pergi dengan Luna kepermukaan.
Sesaat setelah semuanya pergi meninggalkan dirinya sendiri, Bagas segera menggenggam kotak berisikan Damastra melik dengan kedua tangannya sembari menutup kedua mata.
Dengan perlahan Bagas membuka kedua matanya dan menyadari ia telah memasuki alam bawah sadar didalan Damastra melik, lingkungan disekeliling Bagas berubah menjadi ruangan hitam dengan pepohonan rindang yang dihiasi akar-akarnya yang besar mengelilingi dirinya, terlihat pula ditengah ruangan itu sebuah kuil dengan sebuah pohon yang rindang dengan dedaunan hitam berdiri kokoh diatasnya.
Bersambung...
"Urgh …"
Tiba-tiba suara tercipta dari mulut sang kera.
"Tu..tuan Arga! Syukurlah anda sudah sadar!" pekik sang gadis manis berhijab itu dengan senyum lega tersungging indah dibibirnya.
Para jin kera yang berkerumun Ikut berucap syukur kepada dewa mereka tatkala sang jendral kebanggaan sudah sadar dari tidurnya.
"Ugh … nona Naura!? A..apa yang terjadi? Ini dimana? Dimana Gundara keparat itu!? Bagaimana anda bisa ada disini dengan saya? Bukankah anda sudah pergi bersama rombongan agen Other yang lain?" tanya Arga dengan rentetan pertanyaan untuk Naura.
"Jangan banyak bergerak dulu jendral Arga, luka-luka anda masih belum sembuh seutuhnya," seru Naura dengan telapak tangan berselimutkan api hijau yang kembali menekan luka ditubuh jendral Arga.
-Brak!!-
-Bruk!!-
-Brak!!-
Bunyi gaduh dari benda jatuh terdengar disisi kanan aula barak, disana Devan dan Saka tengah menjatuhkan senjata-senjata yang dapat mereka temukan di gudang persenjataan barak.
"Bagi kalian yang masih bisa bertarung kemarilah dan ambil senjata-senjata ini!" seru Devan kearah kerumunan jin kera, satu persatu dari para jin kera Pujakerana yang masih terlihat sehat berjalan mendekati Devan dan Saka untuk mempersenjatai diri mereka.
"Tuan Devan dan Saka ada disini juga!? Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Arga kembali.
"Anda baru saja terlepas dari mantra gendam milik Gundara tuan, sekarang anda tengah berada di barak Pujakerana," jawab Naura.
Arga memijat keningnya berusaha mengingat-ingat apa yang sudah terjadi sebelumnya, "saya hanya ingat Gundara datang ke dalam markas kami di tengah hutan dan menyerang saya dengan tiba-tiba dan disaat saya lengah semua sudah menjadi gelap," jelas jendral Arga.
"Sebenarnya Gundara sudah menghipnotis dan menjadikan anda penjaga dibarak ini, untungnya Devan dan Saka dapat mengalahkan anda dan mematahkan mantra gendam yang mengendalikan anda jendral," jelas Naura kembali.
"Lalu kemana nona Luna? Mengapa dia tidak bersama anda?" tanya Arga kembali dengan tatapan khawatir.
Pada akhirnya Naura menceritakan seluruh kejadian yang terjadi kepada dirinya kepada Arga setelah ia pergi meninggalkan markas para pembebas Pujakerana.
"Jadi anda tenang saja dia baik-baik saja, namun sekarang sedang tidak bersama kita, dia sedang pergi bersama putri Karina dan om Bagas menuju kuil Kerana," seru Naura.
"U..untuk apa mereka kesana? Apa mereka ingin berdoa?"
"Mereka ingin mengambil sebuah benda pusaka, engh namanya … dam.."
"Damastra melik!!!" seru Arga dengan mata membulat sempurna seakan tidak percaya dengan apa yang ia dengar.
"Iya benar itu namanya! Damastra melik," pungkas Naura "loh tuan Arga anda jangan banyak bergerak!" pinta Naura.
Arga memaksakan tubuhnya untuk berdiri walau luka-lukanya belum sembuh seutuhnya, Naura berusaha untuk menghentikan gerak sang jendral kera namun tubuh besarnya bukan tandingan untuk gadis tersebut.
"Jadi di kuil itu Damastra melik disembunyikan … urgh … saya harus menghentikan mereka! Benda itu terkutuk dan tidak seharusnya digunakan kembali!!" seru Arga dengan keringat dingin bercucuran dari keningnya.
Sementara itu dilain tempat Karina, Luna dan Bagas tengah berdiri didepan sebuah kuil yang terbengkalai.
"Disini tempatnya?" tanya Luna sembari menyarungkan senjata laras pendek miliknya.
"Iya nona Luna, disinilah Damastra melik bersemayam," jawab Karina.
"Waktu semakin menipis, ayo kita masuk," seru Bagas yang langsung mengambil langkah kedepan kearah anak tangga kuil Kerana.
-Krieeeek-
Bunyi pintu kayu besar yang usang terbuka secara perlahan memperlihatkan beberapa patung kera yang penuh debu dan sebuah patung raksasa ditengah kuil, semua patung ini dahulu dipakai untuk para jin kera memanjatkan doa kepada dewa mereka sebelum Gundara melarang semua orang untuk berdoa.
Bagas memasuki kuil Kerana diikuti Luna dan Kirana dibelakang dirinya, disaat Bagas tengah melihat kemegahan kuil tersebut Kirana langsung berlari kecil kearah sebuah patung di pinggir kuil dan terlihat sedang mencari-cari sesuatu.
-KLIK- -KLIK- -KLIK-
-KLIK- -KLIK- -KLIK-
-KLIK- -KLIK- -KLIK-
Tiba-tiba bunyi bersua dari arah patung paling besar disana, bunyi tersebut seakan membuka rentetan kunci didalam kuil dan getaran hebat tercipta dari patung kera raksasa didepan mereka. Seketika patung raksasa itu saling bergeser membelah menjadi dua bagian dan memperlihatkan sebuah lorong rahasia yang menuju kearah bawah kuil Kerana.
"Mari ikuti saya," seru Kirana yang melangkah lebih dahulu kedalam lorong rahasia tersebut.
Langkah-langkah kaki bergema didalam lorong gelap tanpa adanya sumber cahaya sedikitpun, suasana gelap mencekam kian terasa disaat mereka berjalan semakin dalam, perasaan tertekan kian terasa bagai sebuah ruang hampa datang mendekat dan melumat energi jiwa mereka, rasa mencekam itu semakin merambat hingga langkah kaki mereka telah sampai diujung ruang bawah tanah tersebut.
"Fiuh … syukurlah Gundara belum menemukan tempat ini," seru Kirana bernafas lega sembari menatap pintu besar didepannya yang masih tertutup rapat.
Bagas melangkah perlahan dan berdiri tegak didepan pintu besar tersebut, pintu besar nan megah dengan ukiran sosok kera raksasa yang terlihat sedang terlilit ular besar diseluruh tubuhnya.
"Ukiran ini … apakah dia raja Kerana?" tanya Luna singkat.
"Iya nona Luna, ukiran dipintu ini adalah representasi dari raja Kerana yang sudah termakan oleh ketamakan dan mati disaat menggunakan Damastra melik, anak raja Kerana yang merupakan raja selanjutnya membuat ukiran ini agar mengingatkan raja-raja setelahnya untuk tidak menggunakan senjata terkutuk ini dikemudian hari," jelas Karina sembari berjalan kearah Bagas.
"Jadi bisa dibilang pintu ini tidak ada seorangpun yang membukanya setelah raja Kerana wafat?" tanya Bagas melihat sekeliling pintu tersebut.
Karina mengangguk, "iya tuan, bahkan saya juga tidak mengetahui bentuk dari Damastra melik, karena untuk membicarakan senjata itu saja adalah hal yang tabu bagi kami," jawab Karina.
"tuan putri," panggil Bagas.
"I..iya tuan Bagas?"
"Mundurlah bersama Luna, saya akan membuka pintu ini secara paksa," seru Bagas dengan tatapan mata tajam.
Karina mengangguk mengerti dan berlari pelan kearah belakang bersama dengan Luna, mereka berdua berlindung dibalik sebuah batu besar dan mengintip kearah Bagas untuk melihat apa yang dilakukan Bagas disaat membuka pintu rahasia tersebut.
Sementara didepan pintu Bagas menutup mata seraya mulai merapal doa, sekejap energi sukma berwarna hitam bagai kobaran api keluar dari dalam tubuh lelaki tegap itu dan mengalir perlahan menyelimuti kedua lengan ditubuhnya.
Energi hitam dari dalam tubuh Bagas semakin besar berkobar menyelimuti kedua tangannya, sekejap energi sukma berwarna hitam itu berubah bentuk bagai telapak macan kumbang lengkap dengan cakarnya yang tajam.
"Kekuatan itu … pantas saja ia mendapatkan gelar satriya," gumam Luna dalam hati sembari menatap lekat kearah Bagas.
Bagas mengambil ancang-ancang dan sejurus kemudian ia melesat kedepan berlari kencang mendekati pintu dengan sekejap mata menancapkan kuku tangannya kearah pintu tersebut.
-TASSSH-
Pintu yang awalnya terlihat polos mulai memperlihatkan wujud aslinya, sebuah tirai pelindung tidak kasat mata melingkupi sepanjang pintu itu berada.
"Graaaaaaaaa!!" teriak Bagas berusaha merobek tirai pelindung di pintu rahasia tersebut.
Kilatan cahaya saling bersinggungan mulai berpendar dari tirai pelindung dan perlahan tapi pasti tirai itu semakin memudar seiring kekuatan Bagas yang semakin besar mengoyak tirai pelindung tersebut.
-BLAAAR!!!-
-PYAAAR!!!-
Layaknya kaca yang terhantam batu besar, tirai pelindung itupun hancur berkeping-keping menyisakan sebuah pintu biasa yang sedikit terbuka.
Melihat situasi sudah aman, Luna dan Karina berjalan perlahan kearah Bagas. Tiba-tiba pintu terbuka seluruhnya disaat Karina mendekati pintu tersebut.
Didalam ruangan itu terpampang ratusan keris yang tertata rapih dengan sebuah keris besar ditengah ruangan.
"Jadi yang mana Damastra melik?" tanya Luna sembari menatap kearah Bagas.
Bagas menatap sekitar ruangan rahasia dan melihat satu persatu-satu dari keris yang terpajang di dinding ruangan tersebut, "hmm … ini semakin rumit, terlebih tidak ada satupun dari kita yang mengetahui bentuk dari Damastra melik," seru Bagas.
"Tuan lihat!! Itu pasti Damastra melik! Iyakan?!" seru Karina penuh keraguan sembari menunjuk jari kearah keris yang paling besar di tengah ruangan.
"Mungkin … saya minta izin untuk memasuki ruang ini tuan putri," seru Bagas yang dibalas anggukan Karina, Bagas pun melangkah perlahan memasuki ruangan rahasia yang dipenuhi keris tersebut, energi dari keris-keris tersebut terasa disekitar Bagas namun ia merasakan sesuatu yang janggal seakan ada satu benda didalam ruangan tersebut yang menghisap paksa seluruh energi dari keris-keris tersebut.
Bagas memejamkan matanya berusaha untuk merasakan getaran tipis energi sukma disekitar tubuhnya, dengan penuh konsentrasi ia merasakan energi sukma bergerak beriringan melewati tubuhnya, energi-energi itu berkumpul menjadi satu tepat dibawah kaki Bagas yang tengah berdiri.
Bagas membuka kedua matanya dan segera bersimpuh sembari melihat kearah bawah, disana terlihat sebuah buntalan kain lusuh setengah terkubur dibawah gundukan kecil tanah merah darah.
Dengan hati-hati Bagas hendak menyentuh kain lusuh tersebut, namun disaat jemari tangannya menggenggem kain tersebut, ratusan senjata keris yang berada didalam ruangan bergetar hebat seakan sebuah gempa bumi menggetarkan dinding ruang rahasia itu dengan kuat.
Dengan perlahan Bagas mengangkat buntalan kain berbentuk kotak tersebut, semakin terangkat benda tersebut dari atas tanah semakin hebat getaran yang terjadi, disaat buntalan itu sudah sejajar dengan dada Bagas seluruh keris didalam ruangan itu berhenti bergetar dan sejurus kemudian satu keris melayang dengan cepat kearah kepala Bagas.
-Jleb-
Bunyi salah satu keris menancap tanah, dengan reflek yang cepat Bagas dapat melompat kebelakang menghindari keris yang tiba-tiba meluncur kearahnya tersebut, belum berlalu rasa kaget Bagas satu persatu keris didalam ruangan itu melayang dan mulai mengarahkan bilahnya kearah Bagas.
"Cih … sial," runtuk Bagas yang langsung berbalik arah dan berlari keluar dari ruang rahasia tersebut.
Energi sukma berwarna hitam kembali keluar dari tubuh Bagas dan langsung menyelimuti kedua kaki lelaki itu, energi sukma itu langsung merubah bentuk kaki Bagas menjadi kaki macan kumbang.
-Jleb-
-Jleb-
-Jleb-
-Jleb-
Beberapa keris menancap ke tanah disaat Bagas mampu menghidari terjangan keris tersebut, dengan kecepatan diluar nalar manusia Bagas bergerak zig zag menghindari ratusan keris yang mengejar dirinya dan melompat dari satu batu kebatu yang lain, belum selesai menghindari keris-keris tersebut didalam ruang rahasia keris yang paling besar mulai bergetar hebat dan mulai melayang.
"TUAN!! BUKA PEMBUNGKUSNYA!" teriak seekor kera merah dari belakang.
Dengan cekatan Bagas langsung membuka ikatan pembungkus kotak tersebut seraya merobeknya
dan seketika ratusan keris yang mengejar dirinya diam melayang dan sekejap melebur menjadi debu.
"Fiuh," desal gadis berhijab putih yang berdiri disebelah sang kera merah.
Kedua mata Bagas menatap lekat sang kera sembari tersenyum tipis, "terima kasih," ucap Bagas pada sang kera merah.
"Tuan Arga!! Syukurlah anda baik-baik saja," pekik Karina yang langsung memeluk erat sang jendral kera.
Arga menatap teduh sang putri sembari mengusap puncak kepalanya, "lama tidak berjumpa putri Karina, syukurlah keadaan anda baik-baik saja," seru Arga.
Luna berdiri kemudian menghampiri Naura, "Naura bagaimana dengan keadaan diluar?" tanya Luna.
"Semua sudah siap, Devan dan Saka sudah mempersenjatai para penduduk dan sedang menunggu aba-aba selanjutnya dari jendral Arga dan om Bagas," jawab Naura dengan senyum menghiasi bibirnya.
Dengan perlahan Arga melepas pelukan putri Karina dan langsung melangkah cepat kearah Bagas, sang kera merah langsung bersimpuh sembari bersujud didepan Bagas, "saya mohon kepada tuan, tolong urungkan menggunakan benda terkutuk itu!" seru Arga dihadapan Bagas.
Bagas menatap sang jendral kera seraya ikut bersimpuh, "apa alasannya?" tanya Bagas singkat.
Arga mengangkat kepalanya seraya berucap, "leluhur saya adalah prajurit yang berjuang bersama dengan raja Kerana dan dengan mata kepalanya sendiri ia melihat raja Kerana bermandikan darah mahluk-mahluk yang tidak berdosa, itu semua hanya untuk memenuhi ketamakan yang ditimbulkan oleh benda terkutuk itu hingga akhir hayat sang raja jadi saya…"
"Maaf, akan tetapi saya tidak bisa mengabulkan permintaan anda jendral," potong Bagas sembari menepuk pundak Arga.
"Karena benda ini bukan milik Pujakerana lagi, benda ini sekarang milik anak saya, jika anda tidak percaya tanyakan sendiri pada putri Karina," seru Bagas.
Kedua mata Arga membulat sempurna sembari menoleh kebelakang menatap sang putri yang tengah berjalan kearah Arga dan Bagas, "benarkah yang dikatakan oleh manusia ini putri?" tanya Arga.
Putri Karina mengangguk pelan sembari bersua, "apapun demi kebebasan Pujakerana akan saya berikan jendral, Damastra melik hanya bayaran yang kecil untuk segala upaya kita selama ini agar terbebas dari belenggu Gundara."
"T..tapi…" Arga terdiam sesaat kemudian berdiri dengan tegap, "baiklah jika ini adalah titah anda putri, saya akan mematuhinya," Arga beralih memandang Bagas, "namun … saya ingatkan sekali lagi tuan … benda terkutuk ini hanya akan membawa malapetaka dikemudian hari," pungkas Arga kembali.
"Jendral … daripada kutukan saya lebih takut dengan kemarahan Surya jika rencananya gagal, lagipula ada yang lebih terkutuk didalam tubuh anak saya dibandingkan dengan benda ini," seru Bagas santai sembari menggoyang-goyangkan kotak tersebut didepan Arga.
Arga dan putri Karina mengangguk mengerti kemudian beranjak pergi keluar dari ruang rahasia tersebut sementara Bagas mengekor mengikuti langkah kaki mereka, disaat Bagas berpapasan dengan Luna gerak kakinya sesaat terhenti.
"Apa anda yakin itu damastra melik? Terlihat hanya seperti sebuah kotak biasa," seru Luna.
Bagas tersenyum miring sembari mendengus pelan, ia menyodorkan kotak tersebut didepan Luna sembari bersua, "pegang kotak ini."
Luna menatap dingin Bagas dan tanpa ragu menyentuh kotak tersebut, seketika aura kehampaan menyeruak seluruh relung tubuh Luna dan membuah tubuhnya setengah lunglai seakan setengah energi sukma miliknya terserap kedalam kotak tersebut.
-Bruk-
"Luna! Kamu tidak apa-apa!?" tanya Naura dengan nada khawatir melihat Luna yang tiba-tiba terjatuh.
Bagas bersimpuh didepan Luna yang terjatuh sembari tersenyum tipis, "sekarang kamu percaya kan?" tanya Bagas yang di alas anggukan Luna.
"Naura … tolong bantu Luna berjalan keatas," pinta Bagas.
Naura mengangguk sembari merangkul Luna, "lalu om sendiri?" tanya Naura heran dengan Bagas yang tidak beranjak dari tempatnya berdiri.
"Masih ada yang om harus lakukan," terang Bagas.
Naura pun mengangguk mengerti kemudian berlalu pergi dengan Luna kepermukaan.
Sesaat setelah semuanya pergi meninggalkan dirinya sendiri, Bagas segera menggenggam kotak berisikan Damastra melik dengan kedua tangannya sembari menutup kedua mata.
Dengan perlahan Bagas membuka kedua matanya dan menyadari ia telah memasuki alam bawah sadar didalan Damastra melik, lingkungan disekeliling Bagas berubah menjadi ruangan hitam dengan pepohonan rindang yang dihiasi akar-akarnya yang besar mengelilingi dirinya, terlihat pula ditengah ruangan itu sebuah kuil dengan sebuah pohon yang rindang dengan dedaunan hitam berdiri kokoh diatasnya.
Bersambung...
ariefdias dan 16 lainnya memberi reputasi
17
Kutip
Balas
Tutup