- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
AKU, KAMU, DAN LEMON : SETELAH SEMUANYA BERAKHIR
TS
beavermoon
AKU, KAMU, DAN LEMON : SETELAH SEMUANYA BERAKHIR
Setelah beberapa tahun memutuskan untuk beristirahat, akhirnya Beavermoon kembali untuk menyelesaikan apa yang seharusnya bisa diselesaikan lebih cepat.
Sedikit bercerita bahwa cerita ini adalah akhir dari serial Aku, Kamu, dan Lemon. Cerita ini tidak lagi mengisahkan tentang Bram, Widya, Dinda, dan yang lainnya. Cerita ini akan mengisahkan tentang sang penulis dari Aku, Kamu, dan Lemon setelah seri Buku Harian Airin berakhir. Bagaimana ia harus menjalani hidup setelah semuanya berakhir, bagaimana ia harus menyelesaikan dan menjelaskan semua cerita yang sudah ia tulis.
Lalu kenapa cerita ini masih menjadi bagian Aku, Kamu, dan Lemon jika sudah tidak ada lagi para tokoh utama dari cerita tersebut? Mungkin, apa yang dirasakan oleh sang penulis bisa menjadi penutup dari serial ini, dengan catatan telah mendapatkan izin dari beberapa orang yang "namanya" pernah tercantum di cerita sebelumnya.
Untuk kalian yang baru bergabung, mungkin bisa baca seri sebelumnya terlebih dahulu sebelum membaca seri terakhir ini.
AKU, KAMU, DAN LEMON
AKU, KAMU, DAN LEMON : BUKU HARIAN AIRIN
Dan bagi kalian yang sudah mengikuti dari seri pertama, selamat datang kembali. Semoga apa yang menjadi pertanyaan selama ini bisa terjawab, jika tidak terjawab maka lebih baik bertanya di kolom komentar. Satu info terakhir, seri ini akan update 3X dalam seminggu (Senin, Rabu, Jum'at) agar tidak terlalu lama. Enjoy!
Spoiler for Index:
Episode 1
Episode 2
Episode 3
Episode 4
Episode 5
Episode 6
Episode 7
Episode 8A
Episode 8B
Episode 9
Episode 10
Episode 11
Episode 12
Episode 13
Episode 14
Episode 15
Episode 16
Episode 17
Episode 18A
Episode 18B
Episode 19
Episode 20
Episode 21
Episode 22
Episode 23
Episode 24
Episode 25
Episode 26
Episode 27
Episode 28
Episode 29
Episode 30
Episode 31
Episode 32
Episode 33
Episode 34 (Finale)
Episode 35A (Extended)
Episode 35B (Extended)
Episode 2
Episode 3
Episode 4
Episode 5
Episode 6
Episode 7
Episode 8A
Episode 8B
Episode 9
Episode 10
Episode 11
Episode 12
Episode 13
Episode 14
Episode 15
Episode 16
Episode 17
Episode 18A
Episode 18B
Episode 19
Episode 20
Episode 21
Episode 22
Episode 23
Episode 24
Episode 25
Episode 26
Episode 27
Episode 28
Episode 29
Episode 30
Episode 31
Episode 32
Episode 33
Episode 34 (Finale)
Episode 35A (Extended)
Episode 35B (Extended)
Diubah oleh beavermoon 27-06-2020 11:27
khuman dan 29 lainnya memberi reputasi
30
26.4K
Kutip
395
Balasan
Thread Digembok
Tampilkan semua post
TS
beavermoon
#154
Spoiler for Episode 24:
Spoiler for Sepucuk Surat Dari Renata:
"Aku membuka pintu kamar, aku berjalan masuk untuk meletakkan tas sambil melihat ke arah kalender yang menggantung. Aku pun baru menyadari bahwa ini sudah masuk bulan April, bulan April yang ke sekian kalinya sudah aku lalui. Kali ini tidak sendiri, melainkan ada kamu.
Hai Adrian, apa kabarnya? Aku selalu berdo'a dan berharap agar kamu selalu diberikan kesehatan. Ngga cuma kamu sih, orang-orang yang kita sayangi pun semoga selalu di berikan berkah oleh Tuhan.
Mungkin kamu lagi baca surat ini, sendiri, berdua dengan siapa, atau mungkin kamu ngga baca isi surat ini? Itu hak kamu kok, aku ngga maksain kamu buat buka dan baca surat yang udah aku tulis ini. Dan seandainya kamu mau baca, ada yang mau aku ceritain ke kamu.
Klise, aku ngga bilang ke kamu kalau aku mau pergi. Mungkin kamu pun ngga mau tau kenapa aku pergi apapun alasannya, aku bisa terima kok.
Aku cuma bisa bilang maaf, karena tanpa ada pembicaraan sebelumnya, tanpa ada perpisahan, aku pergi begitu aja.
Adrian, kamu inget ngga beberapa tahun lalu? Ketika kita baru ketemu dan kerja bareng, rasanya baru sebentar tapi ternyata udah beberapa tahun yang lalu. Aku inget ketika kamu gugup terus gerak-gerakin kaki, aku inget ketika kamu tersenyum gugup sambil menunggu acara, dan aku inget banget ekspresi kamu ketika tau kalau aku salah satu pembaca cerita kamu. Rasanya kayak mimpi ya, antara penulis dan pembaca yang sama sekali ngga tau tapi akhirnya dipertemukan begitu aja.
Di hari pertama kita ketemu aja, aku udah beberapa kali dibuat kagum sama kamu. Pertama, ketika kamu bawain sepatu aku untuk turun tangga karena kaki aku pegel. Aku masih mikir kalau itu cuma akal-akalan kamu aja biar bisa deket sama aku atau semacamnya. Kedua, ketika kamu balik dari kantin terus bukain tutup botol minuman buat aku. Simpel sih buat sebagian besar orang, itu cuma bukain tutup botol kok. Tapi aku punya perspektif lain bahwa itu soal perilaku. Berlanjut ke hal-hal kecil yang kamu lakuin bikin aku tambah yakin kalau kamu adalah orang yang punya perilaku baik dari awalnya, bukan cuma mau dilihat baik aja. Dan mungkin karena perilaku kamu pula, yang bikin aku bisa untuk membuka hati lagi.
Ada alasan kenapa bertahun-tahun aku menutup diri, bahkan sampai aku bersumpah serapah kalau aku ngga bakalan mau jatuh cinta lagi. Pengalaman-pengalaman pahit yang aku lalui sama mantan aku sebelumnya yang bikin aku berkata demikian. Bahkan, bisa dibilang pengalaman pertama yang menyakitkan.
Kekerasan fisik, aku udah ngga bisa inget berapa kali aku harus ngalamin itu. Dari yang awalnya dia genggam tangan aku dengan kerasnya, tamparan demi tamparan, hingga beberapa pukulan udah aku rasain.
Posesif, sangat posesif. Aku masih ngga ngerti kenapa ada orang yang bisa berkelakuan seperti itu padahal kita masih pacaran belum ke hal yang serius. Beberapa kali aku harus diam-diam untuk ketemu sama temen aku, karena dia ngga bolehin aku untuk keluar. Dan kalau sampai ketahuan, baca aja paragraf sebelumnya.
Kamu tau ngga sih, kenapa bisa dua orang yang pacaran sampai melakukan hubungan intim? Aku pun sampai akhirnya menyudahi hubungan dengan dia pun ngga tau kenapa awalnya aku mau. Sebenernya kalau bicara zaman sekarang, mungkin ngga heran sih untuk ngelakuin hal itu.
Dan mungkin beberapa kali, sampai akhirnya aku muak. Aku bilang sama dia kalau aku ngga mau ngelakuin hal itu lagi, cukup pacaran yang biasa-biasa aja. Dan hal yang ngga aku duga pun terjadi. Ketika aku menolak, dia melakukan dengan pemaksaan dan kekerasan atau bisa dibilang pemerkosaan. Hal yang ngga bakalan aku lupa sampai sekarang.
Hingga akhirnya beberapa tahun berlalu, aku ketemu kamu, kita saling deket satu sama lain, dan aku pun memberanikan diri untuk cerita ke kamu.
Adrian, aku ngga paham kenapa kamu bisa sesabar itu. Aku ngga paham kenapa kamu dengan gampangnya menerima keadaan aku sebelumnya kayak ya ngga ada masalah. Aku masih ngga paham.
Tapi satu yang aku tau, kamu berbeda. Kamu bukan laki-laki yang ambil kesempatan, kamu bukan laki-laki yang aji mumpung. Mungkin kamu adalah orang asing terbaik yang pernah aku kenal selama ini.
Kamu masih baca surat ini kan? Atau udah kamu buang?
Kenapa Copenhagen? Kenapa harus Eropa? Apa yang aku lakuin di sana? Mungkin itu pertanyaan yang ada di kepala kamu begitu tau kabar tentang aku. Apa aku salah?
Jawabannya sederhana, ada sesuatu yang harus aku kejar. Keegoisan yang selama ini aku simpan akhirnya mungkin meledak juga, hingga akhirnya aku memaksakan untuk ngejar itu. Dan kenapa aku ngga mau bilang sama kamu, sesederhana aku percaya sama kamu.
Egois banget ngga sih? Aku minta maaf kalau emang ternyata aku seegois itu. Aku ngerasa takut kalau aku bilang sama kamu, aku takut terjadi apa-apa ngga tau kenapa. Sampai akhirnya aku mutusin buat ngga ngasih tau kamu.
Adrian, setelah ini aku bisa nerima kok kalau kamu akhirnya mau cari pasangan. Aku bakalan ngelakuin hal yang sama kayak apa yang udah kamu lakuin ke aku. Ketika kamu ngebolehin orang lain ngedeketin aku, rasanya masih ngga percaya aja sekalipun emang kita ngga ada hubungan lain.
Lucu ya, semuanya terasa cepet padahal banyak banget yang udah kita lalui berdua. Dan tibalah di akhir surat ini. Mungkin ketika kamu baca surat ini, aku udah di perjalanan.
Adrian, kamu laki-laki yang baik. Terima kasih udah mau nemenin aku untuk beberapa tahun terakhir.
Tak for altid at være min regnbue efter stormen. Hvis jeg skulle leve mit liv igen, ville jeg finde dig tidligere."
(Terima kasih telah menjadi orang yang selalu ada bersamaku bagaimanapun keadaannya. Mungkin jika aku harus menjalani hidup seperti ini lagi di kehidupan berikutnya, aku akan mencari kamu lebih cepat.)
Hai Adrian, apa kabarnya? Aku selalu berdo'a dan berharap agar kamu selalu diberikan kesehatan. Ngga cuma kamu sih, orang-orang yang kita sayangi pun semoga selalu di berikan berkah oleh Tuhan.
Mungkin kamu lagi baca surat ini, sendiri, berdua dengan siapa, atau mungkin kamu ngga baca isi surat ini? Itu hak kamu kok, aku ngga maksain kamu buat buka dan baca surat yang udah aku tulis ini. Dan seandainya kamu mau baca, ada yang mau aku ceritain ke kamu.
Klise, aku ngga bilang ke kamu kalau aku mau pergi. Mungkin kamu pun ngga mau tau kenapa aku pergi apapun alasannya, aku bisa terima kok.
Aku cuma bisa bilang maaf, karena tanpa ada pembicaraan sebelumnya, tanpa ada perpisahan, aku pergi begitu aja.
Adrian, kamu inget ngga beberapa tahun lalu? Ketika kita baru ketemu dan kerja bareng, rasanya baru sebentar tapi ternyata udah beberapa tahun yang lalu. Aku inget ketika kamu gugup terus gerak-gerakin kaki, aku inget ketika kamu tersenyum gugup sambil menunggu acara, dan aku inget banget ekspresi kamu ketika tau kalau aku salah satu pembaca cerita kamu. Rasanya kayak mimpi ya, antara penulis dan pembaca yang sama sekali ngga tau tapi akhirnya dipertemukan begitu aja.
Di hari pertama kita ketemu aja, aku udah beberapa kali dibuat kagum sama kamu. Pertama, ketika kamu bawain sepatu aku untuk turun tangga karena kaki aku pegel. Aku masih mikir kalau itu cuma akal-akalan kamu aja biar bisa deket sama aku atau semacamnya. Kedua, ketika kamu balik dari kantin terus bukain tutup botol minuman buat aku. Simpel sih buat sebagian besar orang, itu cuma bukain tutup botol kok. Tapi aku punya perspektif lain bahwa itu soal perilaku. Berlanjut ke hal-hal kecil yang kamu lakuin bikin aku tambah yakin kalau kamu adalah orang yang punya perilaku baik dari awalnya, bukan cuma mau dilihat baik aja. Dan mungkin karena perilaku kamu pula, yang bikin aku bisa untuk membuka hati lagi.
Ada alasan kenapa bertahun-tahun aku menutup diri, bahkan sampai aku bersumpah serapah kalau aku ngga bakalan mau jatuh cinta lagi. Pengalaman-pengalaman pahit yang aku lalui sama mantan aku sebelumnya yang bikin aku berkata demikian. Bahkan, bisa dibilang pengalaman pertama yang menyakitkan.
Kekerasan fisik, aku udah ngga bisa inget berapa kali aku harus ngalamin itu. Dari yang awalnya dia genggam tangan aku dengan kerasnya, tamparan demi tamparan, hingga beberapa pukulan udah aku rasain.
Posesif, sangat posesif. Aku masih ngga ngerti kenapa ada orang yang bisa berkelakuan seperti itu padahal kita masih pacaran belum ke hal yang serius. Beberapa kali aku harus diam-diam untuk ketemu sama temen aku, karena dia ngga bolehin aku untuk keluar. Dan kalau sampai ketahuan, baca aja paragraf sebelumnya.
Kamu tau ngga sih, kenapa bisa dua orang yang pacaran sampai melakukan hubungan intim? Aku pun sampai akhirnya menyudahi hubungan dengan dia pun ngga tau kenapa awalnya aku mau. Sebenernya kalau bicara zaman sekarang, mungkin ngga heran sih untuk ngelakuin hal itu.
Dan mungkin beberapa kali, sampai akhirnya aku muak. Aku bilang sama dia kalau aku ngga mau ngelakuin hal itu lagi, cukup pacaran yang biasa-biasa aja. Dan hal yang ngga aku duga pun terjadi. Ketika aku menolak, dia melakukan dengan pemaksaan dan kekerasan atau bisa dibilang pemerkosaan. Hal yang ngga bakalan aku lupa sampai sekarang.
Hingga akhirnya beberapa tahun berlalu, aku ketemu kamu, kita saling deket satu sama lain, dan aku pun memberanikan diri untuk cerita ke kamu.
Adrian, aku ngga paham kenapa kamu bisa sesabar itu. Aku ngga paham kenapa kamu dengan gampangnya menerima keadaan aku sebelumnya kayak ya ngga ada masalah. Aku masih ngga paham.
Tapi satu yang aku tau, kamu berbeda. Kamu bukan laki-laki yang ambil kesempatan, kamu bukan laki-laki yang aji mumpung. Mungkin kamu adalah orang asing terbaik yang pernah aku kenal selama ini.
Kamu masih baca surat ini kan? Atau udah kamu buang?
Kenapa Copenhagen? Kenapa harus Eropa? Apa yang aku lakuin di sana? Mungkin itu pertanyaan yang ada di kepala kamu begitu tau kabar tentang aku. Apa aku salah?
Jawabannya sederhana, ada sesuatu yang harus aku kejar. Keegoisan yang selama ini aku simpan akhirnya mungkin meledak juga, hingga akhirnya aku memaksakan untuk ngejar itu. Dan kenapa aku ngga mau bilang sama kamu, sesederhana aku percaya sama kamu.
Egois banget ngga sih? Aku minta maaf kalau emang ternyata aku seegois itu. Aku ngerasa takut kalau aku bilang sama kamu, aku takut terjadi apa-apa ngga tau kenapa. Sampai akhirnya aku mutusin buat ngga ngasih tau kamu.
Adrian, setelah ini aku bisa nerima kok kalau kamu akhirnya mau cari pasangan. Aku bakalan ngelakuin hal yang sama kayak apa yang udah kamu lakuin ke aku. Ketika kamu ngebolehin orang lain ngedeketin aku, rasanya masih ngga percaya aja sekalipun emang kita ngga ada hubungan lain.
Lucu ya, semuanya terasa cepet padahal banyak banget yang udah kita lalui berdua. Dan tibalah di akhir surat ini. Mungkin ketika kamu baca surat ini, aku udah di perjalanan.
Adrian, kamu laki-laki yang baik. Terima kasih udah mau nemenin aku untuk beberapa tahun terakhir.
Tak for altid at være min regnbue efter stormen. Hvis jeg skulle leve mit liv igen, ville jeg finde dig tidligere."
(Terima kasih telah menjadi orang yang selalu ada bersamaku bagaimanapun keadaannya. Mungkin jika aku harus menjalani hidup seperti ini lagi di kehidupan berikutnya, aku akan mencari kamu lebih cepat.)
Surat ini telah selesai ku baca, aku kembali melipatnya sesuai dengan bentuknya semula. Ku masukan kembali ke dalam amplop yang datang bersamaan, lalu aku meletakannya di dalam tas yang ku bawa.
Aku tersenyum, masih mengingat kata-kata yang ia tulis di kertas tersebut. Rasanya semua ini hanya mimpi, aku hanya perlu untuk bangun dari tidur lalu menjalani hidup seperti biasanya. Beberapa kali aku memejamkan mata, beberapa kali pula aku membuka mata. Ini bukan mimpi yang menemani tidurku, ini bukan khayalan yang biasa ku lakukan untuk membangun sebuah cerita, ini kenyataan yang terjadi.
Menerima kenyataan setelah melalui perjuangan demi perjuangan, jujur saja semuanya nampak tidak sesuai dengan apa yang aku pikirkan. Semuanya jauh dari apa yang aku bayangkan dan nampaknya semua ini sia-sia.
"Ngga ada yang sia-sia..."
Aku mencoba untuk mematahkan apa yang ku rasakan, aku mencoba untuk bisa menerima apa yang telah terjadi. Entah apakah yang ku lakukan benar atau hanya penyangkalan agar semua terlihat baik-baik saja, aku pun tidak tau.
Ku matikan rokok yang sudah mau habis ke dalam asbak, aku bangun dari duduk lalu beranjak menuju Syailendra. Ku lajukan motor ini lebih cepat dari biasanya hingga aku dapat merasakan getaran yang luar biasa dari motor ini.
Tik! Tik! Tik!Perlahan-lahan air jatuh dari langit, tidak terlalu deras namun cukup untuk membuat pakaianku basah. Aku tidak menepi untuk mengenakan jas hujan, tidak seperti biasanya. Aku tetap melajukan motor ini tanpa mengurangi kecepatannya.
Aku kembali tersenyum, sambil tetap mengemudikan motor ini dengan kecepatan tinggi. Sesekali aku melepas tangan kiriku untuk mengusap wajahku dengan lengan sweater yang ku kenakan. Bukan untuk mengusap air hujan yang menerpa wajahku, melainkan untuk mengusap air mata yang mengalir. Hujan semakin deras, hingga aku pun tidak perlu mengusap wajahku lagi.
"Semesta memang selalu mendukung..."
*
"Aku bener-bener kaget kemarin." Ucap Gigi.
Keadaan kedai cukup ramai, semuanya berjalan sesuai dengan alurnya hingga tidak ada satu pun yang tertinggal. Mita, Rara dan Bella pun mendekat ke arah Gigi untuk menanggapi apa yang baru saja ia katakan.
"Maksudnya gimana Gi?" Tanya Mita.
"Mas Adrian sama Ka Renata." Katanya.
"Kalau aku sama Rara sebenernnya sih udah tau dari lama, cuma untuk akhir yang kayak gini emang ngga disangka-sangka banget. Ngga pernah kebayang sedikitpun kalau Ka Renata ninggalin Mas Adrian tanpa kabar kayak gitu." Jelas Bella.
"Iya, bukan tipikal Ka Renata banget. Aneh sih tau kejadiannya kayak gitu, entah emang Ka Renata lagi ada masalah aja makanya bisa kayak gitu." Sahut Rara.
"Kasian Mas Adrian, kalau aku jadi Mas Adrian kayaknya aku bakalan hancur berantakan." Ucap Mita.
"Ngga mungkin lah Mas Adrian kayak gitu, dia laki-laki tangguh dari tampaknya." Kata Gigi.
"Isi hati orang siapa yang tau sih Gi." Kata Mita.
"Sst!..." Bella menepuk meja pelan, "Mas Adrian dateng."
Mereka pun kembali ke posisi semula seolah tidak terjadi pembicaraan apa-apa. Aku pun mematikan mesin motor, beberapa detik berselang masuklah mobil Ferdi ke tempat parkir. Ia pun menghampiriku selagi aku meletakkan helm di atas spion motor.
"Cuk! Yakin lu mau masuk hari ini? Kan udah gue suruh libur." Ucap Ferdi.
"Dateng-dateng kok malah ngusir, orang ngucapin salam dulu kek." Kataku.
"Oiya lupa, Assalamualaikum. Selamat pagi Adrian." Ucapnya lagi.
"Wa'alaikumsalam. Ngga usah pakai selamat pagi juga, jijik gue dengernya dari lu." Kataku.
"Bajing*n, maunya apa sih..." Ferdi menepuk pundakku, "yaudah jawab pertanyaan gue yang tadi."
"Biasa aja dong. Pengennya sih libur cuma tadi abis sarapan kepikiran Kivandra, jadi ya gue dateng aja lah sekalipun ngga megang dia. Lagian gue juga ngga enak sama yang lain Fer." Jelasku.
"Gila sih, gue ngebayangin kalau punya bos kayak lu hidup gue damai banget pasti. Sayang aja gue juga yang punya usaha. Yaudah lah ayo masuk." Kata Ferdi.
Aku berjalan masuk diikuti oleh Ferdi, seperti biasa aku berlalu sambil menyapa mereka. Kemudian aku meletakkan tas di tempat biasa sambil melihat-lihat bagaimana keadaan sekitar. Aku berjalan mendekat ke arah Bella, ia pun memberikan catatan kepadaku.
"Semuanya aman Mas, paling untuk susu besok harus pesen lagi." Jelas Bella.
Aku mengangguk sambil membaca catatan yang ia berikan. Bella menggenggam tangan kiriku yang membuatku menatapnya dengan cepat.
"Mas Adrian nggapapa?" Tanyanya pelan.
"I'm okay..."
Aku tersenyum setelah menjawab pertanyaannya sambil menggelengkan kepala sepelan mungkin. Bella mengerti ke mana arah jawabanku, ia menghela nafas pelan kemudian mengusap punggung tangan kiriku. Aku menurunkan catatan ke arah tangan kiriku kemudian ku hela nafas panjang. Bella berbicara tanpa suara, ia hanya menggerakkan bibirnya lalu merangkai kata-kata. Aku dapat membacanya dengan jelas, "Sabar Mas Adrian."
Aku tersenyum, ia mengambil catatan yang ku pegang lalu kembali menuju mesin kopi. Tak lama berselang datanglah Ferdi sekembalinya dari kamar mandi sambil mengusap-usap perutnya.
"Perut gue kok panas banget ya?" Ucap Ferdi.
"Hamil?" Tanyaku singkat.
"Matamu hamil! Mana bisa gue hamil cuk." Sanggahnya.
"Bel, kamu kemarin ngajak dia makan sambel lagi?" Tanyaku.
"Sambel?..." Bella menoleh ke arahku, "Aku ngga tau Mas, kemarin kan mas Ferdi pulang duluan. Aku sama Rara belakangan naik motor."
"Nah loh, berarti udah pasti banget hamil jawabannya." Kataku.
Mereka yang mendengar pun tertawa sementara Ferdi sibuk memukul tanganku, "Nih orang diajak ngobrol serius malah bercanda, giliran bercanda dibawa ke arah serius."
"Yaudah kan lu tau harus beli obat apa di apotek sebelah." Kataku.
"Oiya bener juga lu Dri, ke apotek dulu deh."
Waktu berjalan seperti biasa, tak terasa malam pun sudah menyambut. Aku selesai mengunci rolling door dan berjalan ke arah Bella duduk. Ku ambil sebatang rokok lalu ku nyalakan menggunakan korek milik Bella. Hanya tersisa kami saja, yang lain sudah pulang terlebih dahulu.
"Gimana kamu sama Ferdi?" Tanyaku.
"Aku ngga mau maksain Mas, biar aku aja yang suka sama Bang Ferdi. Aku kan ngga bisa maksa dia juga buat tau kalau aku suka sama dia." Jelas Bella.
"Yakin?" Tanyaku lagi.
Bella menganggukkan kepalanya pasti, "Harus Mas, kalau ngga ya mau sampai kapan begini terus. Yang ada malah capek sendiri, jadi aku harus yakin gimanapun caranya."
"Kamu tau ngga? Jawaban kamu barusan bikin aku kayak jadi orang paling bodoh se kota ini." Kataku.
"He? Aku salah jawab ya Mas?" Tanya Bella dengan cepat.
"Ngga kok, jawaban kamu ngga salah. Aku iri aja sama kamu yang bisa ngambil keputusan dengan berani. Apa yang aku lakuin ke Renata beberapa tahun ke belakang itu sebuah ketidakpastian." Jawabku.
"Ngomongin soal Ka Renata, Mas Adrian ngga dapet kabar dari dia? Atau Mas Adrian coba hubungin dia gitu?" Tanya Bella.
"Nomornya ngga bisa dihubungin. Sampai Ari pun ngga tau gimana kabar kakaknya." Jawabku.
"Aku ngerasa kok Ka Renata bukan cuma ninggalin Mas Adrian deh, tapi sampai keluarganya pun ditinggalin." Ucap Bella.
Ku matikan rokok ke dalam asbak, "Aku pun ngga paham Bel gimana kebenarannya. Toh semuanya udah kejadian, aku cuma bisa jalanin semua aja kayak biasa. Bukan kayak biasa sih, kayak ngga terjadi apa-apa."
"You're strong outside, but you're broken inside..."
Aku menatap ke arah Bella, kemudian aku tersenyum kepadanya. Mungkin benar apa yang dikatakan Bella, semuanya nampak baik-baik saja karena aku tidak mau menunjukannya. Jauh di dalam perasaanku, aku hancur.
Bella mendekat lalu mendekapku dalam pelukannya, sesekali ia mengelus pundakku pelan. Aku hanya bisa terdiam membiarkan semua ini terjadi, sesekali aku hanya bisa menghela nafas.
"Sabar ya Mas..."
Aku hanya bisa mengangguk untuk menanggapi perkataannya. Mungkin memang seperti inilah akhirnya, aku dan Renata tidak akan pernah bisa bersatu. Sekeras apapun kami berusaha, sekuat apapun kami mencoba, semesta tetap akan menentukan jalannya untuk kami. Entah itu sesuai dengan apa yang kita harapkan, atau mungkin sesuatu yang tidak pernah kita duga sebelumnya. Aku percaya, mungkin ini adalah sesuatu yang tidak ku duga sebelumnya.
*
Prang! Semua mata tertuju pada suara tersebut pada pagi hari ini, bukan hanya aku tapi semua orang yang ada di dalam ruangan ini pun melihat ke arah sumber suara tersebut. Dengan cepat Bella berjalan menuju ke arahku.
"Mas Adrian nggapapa?" Tanyanya.
Mita kembali membawakan sapu dan kain pel dari kamar mandi untuk membersihkan sisa-sisa gelas yang pecah dan air yang tumpah di lantai.
"Mas Adrian tangannya berdarah?" Tanya Mita.
Bella membalikkan tanganku, ia sempat terkejut setelah menemukan pecahan gelas yang menusuk telapak tanganku. Dengan cepat ia menarik tangannku yang membuatku berdiri, kemudian aku mengikuti ke mana ia akan membawaku.
"Bawa ke sebelah aja Bel." Ucap Ferdi.
Bella sempat mengangguk, kami pun berjalan cukup cepat untuk memasuki apotek yang berada di sebelah kedai. Tentu saja dari luar sudah nampak bahwa kami akan masuk ke dalam apotek yang membuat beberapa orang yang menjaga di sana memandangi kami.
"Mba, tolong..."
"Tenang Mba..." ucap Penjaga memotong pembicaraan, "Mas silahkan duduk dulu di sini."
Aku dan Bella pun duduk bersampingan, tak lama berselang penjaga tersebut kembali datang membawa alat-alat untuk mengobatiku. Pecahan-pecahan gelas tersebut mulai dikeluarkan satu persatu, kemudian dimulailah jahitan untuk bagian dalam. Aku dapat merasakan dengan jelas bagaimana rasanya sebuah jarum dan benang masuk di antara tanganku.
Jahitan di bagian dalam pun selesai, sekarang waktunya untuk jahitan bagian luar. Beberapa menit berlalu, akhirnya jahitan pun selesai dikerjakan. Penjaga ini kemudian memasangkan perban lalu melilitnya di telapak tanganku.
"Biar ngga infeksi dulu Mas jadi kita tutup." Katanya.
Aku hanya mengangguk untuk menanggapinya, kemudian semuanya pun selesai. Ferdi ikut masuk ke dalam apotek lalu ia menuju kasir.
"Bel, temenin dia di halaman belakang." Ucap Ferdi.
Bella mengangguk lalu kami pun berjalan meninggalkan apotek ini. Kami masuk ke dalam kedai untuk menuju halaman belakang, di belakang menyusul Ferdi mengikuti kami. Ia menuju ke arah di mana Rara berdiri.
"Geser dong, aku udah kangen sama mesin ini." Ucap Ferdi.
"Sang Empu telah kembali." Ucap Rara.
Mereka pun sempat tertawa sebentar, sampai akhirnya Gigi menatap ke arah halaman belakang di mana aku dan Bella berada.
"Mas Adrian kenapa Bang Fer?" Tanya Gigi.
Ferdi menghela nafas, "Ada yang ngga beres nih sama Adrian, aku ngga tau sih apa. Tapi sekarang biarin dia sama Bella aja dulu. Kalau ada pelanggan yang tanya lagi, jawab aja tadi ada ulet kadut."
Mereka kembali tertawa. Aku bangga dengan apa yang Ferdi lakukan, ia membuat keadaan menjadi normal tanpa ada tensi tinggi mengenai apa yang baru saja terjadi. Meninggalkan mereka di dalam sana, aku dan Bella sedang duduk berdampingan menatap pepohonan yang sudah mulai tumbuh rindang. Di sana juga ada beberapa tanaman yang memang sengaja diletakkan sebagai penghias meskipun hanya kami saja yang bisa menikmatinya.
Bella mengusap punggung tanganku yang terluka, sesekali aku dapat mendengar ia menghela nafas. Sementara aku hanya bisa diam tanpa mengeluarkan satu kata.
"Sakit ya?" Tanya Bella.
Aku menggelengkan kepalaku.
"Bukan tangan Mas Adrian..."
Perkataannya berhasil membuatku menoleh ke arahnya.
"...Aku tau dari beberapa hari yang lalu Mas Adrian selalu ngelamun di jam makan siang, cuma aku ngga mau negor takut ngerusak sesuatu yang bisa bikin Mas Adrian begitu..."
"..."
"...Sampai kejadian tadi bikin aku tambah yakin kalau cuma tubuh Mas Adrian aja yang ada di sini, pikiran sama jiwanya melayang entah kemana..."
"..."
"...Mas Adrian kangen ya sama Ka Renata?" Tanya Bella.
Angin siang ini terasa sejuk, daun-daun bergerak mengikuti ke mana angin itu berhembus. Sinar mentari tak terlalu nampak, ada kumpulan awan-awan yang dapat meredam sinarnya. Aku menganggukkan kepala beberapa kali dengan sangat pelan, aku dapat melihat Bella tersenyum kecil menatap ke arahku. Hingga aku menyadari, Bella tak lagi tersenyum. Wajahnya menatapku dengan iba, ketika ada setetes air mata yang mengalir di pipiku.
"Mas Adrian..."
Aku masih saja tersenyum, namun tetap saja air mata ini tidak dapat terbendung lagi hingga Bella pun memelukku.
Aku pikir, aku akan baik-baik saja. Ku pikir meskipun Renata pergi, setidaknya akan ada kabar dengan cepat darinya. Satu hari, dua hari, satu minggu, satu bulan, hingga beberapa bulan berlalu hingga aku pun lupa, tidak ada satu kabarpun yang ku dapat darinya.
Ku kira semuanya akan baik-baik saja jika aku membiarkannya, kenyataannya tidak. Aku benar-benar kehilangan, semakin hari semakin terasa. Ya, aku merindukannya. Aku merindukan Renata. Meskipun semuanya sudah terlambat, namun aku tetap merindukannya.
***
oktavp dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Kutip
Balas