Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

shirazy02Avatar border
TS
shirazy02
Rekan kerja


Prolog

Pesan terakhir almarhum Ayah Dani kepada mantan rekan kerjanya, membuat Dani keterima kerja di sebuah perusahaan benefit dengan cuma-cuma. Namun, ada suatu kesalah pahaman yang membuat ia selalu bersitegang dengan Rian, rekan kerjanya satu bagian. Setiap hari selalu saja ada masalah di kantor. Tak hanya itu, ia juga terjebak dalam hubungan rumit bersama teman semasa kuliahnya. Sementara di lain sisi, ia tak sengaja menaruh hati dengan calon tunangan Rian. Akankah Dani mampu melewati semua godaan itu?

Rekan Kerja adalah sebuah cerita (nyata) yang menceritakan perjuangan seorang anak muda bernama Dani (nama disamarkan). Sosok pendiam, penyabar, tapi kepeduliannya sangat tinggi. Ia merasa bahwa dirinya adalah pengaruh utama yang bertanggung jawab atas keluarganya. Segala hiruk-pikuk kehidupan dan masalah yang terjadi di sekitarnya tak luput selalu menjadi beban pikiran, tapi ia selalu tegar bagaimanapun keadaannya, karena ia merasa harapan dan kebaikan selalu ada di setiap jalan.

Cerita ini sangat menarik dan kupastikan kalian akan selalu terbawa untuk mengikutinya, karena jalan ceritanya lain daripada yang lain. Yuk, cekidot!


INDEKS
Spoiler for .:


Spoiler for Sekuel Rekan Kerja:


(Part 1)

Mataku masih tak beralih memandangi Bobi, ponakanku yang berumur setahun itu. Dia berjalan tertatih-tatih mengejar kupu-kupu yang beterbangan. Ibunya, yang tak lain adalah kakakku, berjalan di belakangnya sambil mengomel tiada henti. Ya, baru sebulan ini Bobi bisa jalan. Caranya melangkah lucu sekali ....

Tiba-tiba, dari dalam rumah ibu berseru memanggilku dengan terburu-buru. Di tangannya tergenggam sebuah ponsel milik ayah.

"Dan, Dani ... ayo diangkat cepat! Atasan ayah telpon."

Atasan? Bukannya ayah sudah pensiun setahun yang lalu. Kira-kira ada urusan apa?

"Angkat aja lah, Bu ... mungkin mau ngucapin bela sungkawa. Kan, baru sebulan ayah meninggal," tukasku.

"Ayolaaahh, angkat! Ibu takut gak bisa ngomong."

Akhirnya, dengan gugup kucoba mengangkat telpon darinya.
"Hallo!" seruku.

Kami mengobrol sepuluh menitan.

Intinya, Pak Dika memintaku datang ke kantor besok. Aku bingung dan heran, ada apa aku disuruh ke kantor?
Karena paksaan dari ibu, akhirnya aku memutuskan menemuinya keesokan hari.

****

Kulangkahkan kakiku menyusuri koridor, menuju bilik ruangan paling pojok. Aku hafal betul ruangan ini, karena sudah pernah magang jaman kuliah dulu. Ayahku yang dulu memintaku magang di tempat ini. Dia berharap aku bisa meneruskan bekerja di sini sepertinya, di salah satu pabrik benefit yang ada di kota kami. Alasannya, selain dekat dengan rumah, gaji pun sudah jelas jika karyawan. Selain itu pabrik ini memang memberi fasilitas tunjangan cukup menarik.

Ketika mau memasuki ruangan Pak Dika, sontak mataku tertuju pada tembok di sebelahku. Terlihat foto almarhum ayah terpampang jelas pada bingkai ukuran 10Rs itu. Dibawah bingkai foto itu bertuliskan "SUJIWO-Supervisor Gd.PM 09"
Wajah ayahku paling terlihat khas dengan kumis tebalnya, berjajar dengan beberapa puluh foto di sampingnya.

Ada rasa heran menyeruak dalam benak. Ayah bukan lagi supervisor di pabrik ini, kenapa fotonya masih saja dipasang? Bahkan foto teman-teman yang lainnya sudah berganti dengan posisi SPV yang baru.

Belum lama aku memandangi foto almarhum ayah, Pak Dika sudah menegurku dari dalam ruangannya. "Hei kamu yang di depan pintu! Kenapa terus berdiri disitu?"

Seketika aku langsung berbalik menghadap ke pintu semi-transparan itu. Mengetuk kecil pintu ruangannya, kemudian melangkahkan kaki pelan masuk ke dalam.

"Oohh, kamu ... yang saya telpon kemarin, ya? Anak Pak Sujiwo?" Pak Dika beranjak dari kursinya menyambutku.

Kusalami tangan Pak Dika seraya memperkenalkan diri, "saya Dani, Pak."

"Ya,ya, ayo duduk!"

Mendengar itu, aku pun mengambil duduk di sebuah kursi yang ada di depannya.

"Heeeemm, kamu anak Pak Sujiwo?" tanyanya lagi dengan raut wajah seperti tak percaya.

"Ya, Pak. Benar." Kujawab tegas pertanyaan Pak Dika dengan seulas senyum. Lelaki itu kemudian manggut-manggut menatapku. "Kamu yang baru wisuda bulan kemarin itu, kan? Yang besoknya ayah kamu meninggal?"

"Ya, Pak. Benar."

"Hem, yaaa, yaaa ...." Pak Dika beranjak lagi dari tempat duduknya, mengambil sebuah buku bersampul hitam tebal dari rak di belakangnya. Dia buka halaman pertama, lalu menyodorkannya padaku.

"Itu kenangan foto-foto ayah kamu semenjak bekerja di sini, banyak. Saya merasa baru kemarin ayah kamu pamit berhenti kerja, kok tahu-tahu sudah meninggal. Kena apa?" tanya Pak Dika sembari lebih mendekatkan wajahnya padaku.

"Saya kurang tahu, Pak. Ayah saat itu sedang melayani pembeli di toko. Saya tak tahu persis kejadian ayah saya jatuh di dalam toko itu, tahu-tahu ketika saya masuk, saya sudah menemukan ayah saya jatuh sekarat."

"Lho? Memang ada riwayat penyakit apa? Jangan-jangan jantung?"

"Kemungkinan vertigonya kambuh, Pak. Kami sekeluarga telat menolong. Tapi, entahlah ... sebelumnya pernah mengeluh sama tetangga, jika dadanya nyeri. Banyak juga yang bilang jantung, karena jatuhnya menelungkup."

Pak Dika kembali manggut-manggut. Dia bersidekap sembari menyandarkan punggungnya di kursi duduknya.

"Mengagetkan sekali tentunya, ya. Ya sudah, saya sedikit mau cerita. Jadi, begini ... seminggu sebelum ayahmu wafat, dia telepon saya. Dia bilang kamu mau wisuda, lalu dia titipkan kamu pada saya." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, sambil memungut album di depannya, lalu membuka-bukanya.

".... sebenarnya saya tak bisa asal nerima karyawan seperti ini. Tapi, karena ini amanah terakhir beliau, dan saya yakin, kamu menuruni sifat tegas seperti bapak kamu. Jadi ... kamu besok kesini ya, berpakaian rapi. Seragam ayah kamu masih ada, kan? Dipakai saja!"

"Lho, Pak? Maksudnya ... saya bekerja di sini?" Mataku membelalak seolah tak percaya dengan berita yang barusan kudengar.

"Iya. Kamu besok mulai kerja. Sudah, belakangan saja lamarannya kalau kamu tak sempat, yang penting kamu masuk dulu."

Sontak kedua netra berbinar kala mendengar perkataan itu. Ini benar-benar kejutan di pagi hari.
Tanpa banyak pertimbangan, keesokannya aku pun masuk jam delapan pagi berseragam lengkap sesuai yang diminta.

Sungguh keberuntungan bagiku. Disaat semua berlomba-lomba mengikuti tes agar bisa masuk di perusahaan benefit ini, aku malah dengan mudahnya bisa langsung bergabung sebagai karyawan. Aku ingat pesan ibuku, agar selalu bisa bekerja dengan baik, berteman dengan semua karyawan dengan baik, menunjukkan kinerja yang baik, dan bisa menjaga tata tertib perusahaan dengan baik. Aku tahu, semua ini karena almarhum ayah. Kalau bukan karena ayah, tak mungkin aku bisa segampang ini masuk perusahaan.

Di saat briefing, Pak Dika mulai mengenalkanku pada beberapa karyawan yang lain. Kemudian aku ditunjuknya sebagai admin, dan di training oleh salah seorang admin lawas bernama Rian.

Rian ....
Ya, aku mengenalnya. Dia kebetulan juga tetangga desa. Umurnya selisih dua tahun di atasku. Ayahnya pun bekerja di perusahaan ini, namanya Pak Heri. Pak Heri dulu juga teman satu bagian almarhum ayah. Dia juga seorang Supervisor.

Kuikuti langkah santai Rian menuju sebuah ruangan. Dia menyuruhku masuk lebih dulu.

"Ruangan ini khusus admin. Nah, adminnya kita berdua. Itu tempatmu!" Rian menunjuk sebuah meja di paling belakang.

"Terima kasih," ucapku.

"Jangan duduk di sana dulu! ambil saja kursinya, bawa kemari! Lihat caraku bekerja di sini, kalau sudah paham, baru kerjakan di mejamu," tukasnya.

Tanpa menjawab, segera kuambil kursi duduk di meja belakang, dan meletakkannya di samping kursinya.

Rian mulai mengoperasikan komputer, seraya menunjukkan berkas-berkas di mejanya.

"Ini berkas sebelum di-input, kamu ambili dulu dari beberapa gudang yang kamu pegang. Kamu bawa motor yang disediakan, jangan lupa pake helm keselamatan warna kuning yang ada di luar itu!" Ia menunjukkan sebuah helm yang seperti helm pekerja proyekan.

"Cara nginputnya gini ...." Ia lalu mulai mencontohkan cara bekerja dengan secarik kertas yang dipegangnya, dan aku tentu mengamati setiap penuturan Rian dari awal sampai akhir.

"Sudah, kamu kerjakan berkasku dulu. Kan, belum dibagi sama Pak Dika, kamu megang gudang mana saja" ucapnya lagi sembari menyodorkan setumpuk berkas setebal kira-kira seratus halaman lebih itu ke tanganku. Lalu dia beranjak dari duduknya seraya berucap, "Aku tinggal dulu."

"Lho, Mas? Ini harus selesai hari ini?"

"Nggak harus. Kalau kamu sanggup ya lebih bagus, sih."

Seusai berkata begitu, Rian pergi berlalu dari ruangan.

Kupandang tumpukan berkas di tanganku kali ini. Sebanyak ini mana mungkin selesai dalam satu hari? Namun, kuoptimiskan diriku sendiri bahwa 'AKU BISA!' Akhirnya kupungut secarik kertas hadapan, dan mulai mengerjakan tugas.

-----

Jam istirahat ....

"Siang, Mas!"
Suara seorang lelaki tua paruh baya menegurku dari belakang. Ia mengambil duduk di sebelahku sambil meletakkan bekal makannya yang terbungkus kertas minyak itu.

"Podo mbontote, Mas. Enak masakane bojo (sama bawa bekalnya, Mas. Enak masakan istri)," Lelaki itu terkekeh padaku seraya membuka bekal yang dibawanya.

"Ya, Pak. Lebih hemat juga," balasku.

"Ngomong-ngomong, sampean anak Pak Wo, ya?"

"Pak Sujiwo."

"Lah, nggih.... Itu maksud saya. Orang di gudang semua manggilnya pak Wo,Mas. Eh, tapi wajahnya kok beda, ya?"

Aku tertawa lucu mendengar ucapan bapak itu. Memang, wajahku tirus,sama seperti ibu. Hidungku juga mancung. Kalau ayah berhidung pesek, wajahnya persegi, menurun ke kakak perempuanku.

Lelaki paruh baya itu lalu menceritakan tentang sosok ayah yang disegani para anak buahnya. Caranya bekerja, yang tak disukainya apa, dan banyak lagi yang lainnya. Sepertinya peran ayahku penting bagi yang lain, sehingga mereka semua merasa kaget dan sangat kehilangan saat mendengar ayah meninggal.

Tiba-tiba, bapak paruh baya ini menghentikan ceritanya saat seorang lelaki kebetulan melintas di depan kami.

"Itu tuh, si Bambang. Bocah ndablek! Banyak banget bikin kesalahan, tapi dibelain terus sama Pak Wo. Semua anak segudang gak ada yang suka, banyak mengeluh karenanya, tapi pak Wo selalu membelanya."

Aku terdiam sejenak memandang pria berwajah tirus dengan banyak jambang tak beraturan di wajahnya. Kali ini, akhirnya kulihat sendiri pria bernama Bambang itu. Ya, dulu aku sering mendengar namanya dari ayah. Di mata ayah, Bambang sebenarnya pekerja keras. Hanya saja hutangnya banyak di luar sana, yang kemudian membuatnya malas bekerja. Dia hampir di PHK, tapi ayah terus membelanya.

"Begitulah, Nak, kalau salah langkah sedikit. Semuanya hancur. Hutangnya banyak, rumah tangga berantakan, kerja seperti apapun tetap saja terasa malas nggak ada semangat. Karena apa? Karena dia merasa gajinya selalu kurang untuk menutup hutang. Makanya, ayah peringatkan kamu sebagai laki-laki, jangan sekali-kali mengenal judi, narkoba, ataupun bermain-main perempuan!" Aku ingat betul nasehat ayah saat itu.

Kulihat ID card yang tergantung di leher bapak sebelahku itu. Membaca namanya. Syaiful.

"Saya tadi lihat anaknya Pak Heri asyik merokok, Mas." Pak Syaiful menghentikan bicaranya, melempar kertas minyak pembungkus bekalnya tepat ke lubang kotak sampah.

"Ealah, Mas ... yang sabar satu bagian sama Mas Rian. Mentang-mentang anaknya Pak Heri, kerja sak enak'e dewe (kerja seenaknya saja)," ungkapnya lagi.

Hmmmmm ... seperti itukah? Aku tak seberapa akrab mengenalnya di rumah. Namun, kebanyakan temanku memang berkata dia anak yang sombong. Karena merasa anak orang kaya, bicaranya terlalu tinggi.
Ah, kalau cuma masalah gaya bicara, aku tak terlalu mempedulikan. Itu sudah karakter, dan aku tak selalu mengambil hati setiap perkataan orang yang terasa aneh.

Sorenya, aku pulang dengan badan yang begitu lunglai. Hari pertamaku bekerja sungguh capek luar biasa. Tak hanya duduk di depan monitor, tapi juga pergi ke sana- ke mari mengambil berkas dari satu gudang ke gudang yang lain, yang tak cukup sekali jalan. Terkadang ikut memeriksa truk besar masuk menurunkan barang mentah, memeriksa kode barcode, dan lain-lain. Sebenarnya tugasku tak serumit ini, tapi Rian berkata, Pak Dika yang memintaku seperti itu. Sekalian menghafal lokasi gudang A,B,C bagianku. Serta agar mengetahui proses keluar-masuknya barang.

Malam ini kuistirahatkan total badan, setelah ibu dan kakak menginterogasiku di hari pertama masuk kerja. Tak pakai mandi,tak pakai ganti seragam, langsung kupejamkan mataku kala itu juga ....

****

Pukul 08.30 WIB

Tak terasa sudah sebulan aku bekerja di perusahaan ini. Begitu senangnya saat aku menerima gaji pertamaku kemarin.
Kupastikan pertama kalinya aku pegang uang sebanyak itu.

Selesai menata berkas,kuhidupkan tombol On/Off komputer di hadapan. Sembari menunggu, kuambil dompet dari saku celana, mengeluarkan secarik foto. Yups, foto terakhirku bersama ayah saat aku wisuda. Di foto itu ada pula ibu, kakak perempuanku dan kedua anaknya.

Aku tersenyum memandang mereka dalam foto. Lalu, kuselipkan foto itu di meja kerjaku yang bertumpuk dengan kaca tebal. Wajah kedua orangtua terlihat tersenyum di foto itu, seolah bahagia. Kemudian, kualihkan pandangan kembali pada monitor. Sejenak, memilah-milah berkas di atas meja. Menyendirikan berkas yang sudah kuinput dan yang baru kuterima.

Tak lama Rian masuk ke ruangan. Matanya masih awas menatap gawai digenggamannya. "Gimana? Sudah kau kerjakan sampai mana?" tanyanya tanpa menoleh sedikit pun.

"Yang kemarin hampir selesai, Mas. Ini aku juga mau ngerjain yang baru kuambil."

Lelaki berkulit putih itu lalu berjalan ke arahku, menarik posisi monitor menghadap kepadanya.

"Ini tanggalnya rubah saja! Pakai tanggal kemarin." Ia mulai menggerakkan mouse. Mengganti angka 14 menjadi 12 di kolom yang menunjukkan tanggal.

"Emang gak apa, Mas, kalo nggak sama dengan yang di form?"

"Siapa yang mau lihat berkas segitu banyaknya? Yang pasti dilihat itu langsung di komputer," jawabnya enteng. Aku bergeming mendengar itu.

Rian pun kembali ke meja kerjanya, sambil menyalakan rokok. "Sudah, cepat kerjakan!" titahnya.

Memandang sekilas, membuat perasaanku sedikit gemas karenanya. Sedari awal aku bekerja, ia hanya menyerahkan berkas-berkasnya padaku. Yang dilakukannya hanya menatap gawai, main game online berjam-jam, dan berkas yang di mejanya hanyalah kamuflase untuk mengelabuhi Pak Dika atau Pak Heri yang muncul tiba-tiba. Jika pekerjaanku sudah selesai, baru dia tukarkan berkasnya itu dengan milikku. Aku merasa dia menjadikanku sebagai budak!

Ah, sudahlah! Aku ingat omongan kakakku, bahwa yang namanya kerja pertama kali, tentu wajib disuruh-suruh. Apalagi disuruh yang mentraining kita. Ini hanyalah sementara. Ini tak akan lama ....

"Gimana, Mas ... kerja satu bagian sama Mas Rian?" tanya Pak Syaiful padaku.

Beginilah, setiap jam istirahat Pak Syaiful selalu mendekatiku, bertanya-tanya.

Aku tersenyum dan berkata, "Biasa saja, Pak."

"Sing betah, Mas. (yang betah, Mas). Dia memang suka mentang-mentang karena ada bapaknya disitu."

"Nggih, Pak."

Kami tak lagi bercerita. Fokus melahap makanan masing-masing.

Seusai makan dan minum, aku langsung balik ke ruanganku.

Ketika kaki melangkah hendak memasuki ruangan, betapa kagetnya kedua netra saat menemui Pak Dika sudah berada di sana dengan raut wajah seperti kesal.

"Siang, Pak." Aku menyapanya sembari tersenyum.

"Sini, Mas!" Pak Dika melambaikan tangan padaku, yang akhirnya membuatku menghampirinya.

"Mas, kalau kerja itu yang jujur! Kalau di form ini bertanggal sekian, ngetiknya juga tanggal sekian. Tolong, ya ... ini sama saja melimpahkan kesalahan pada orang gudang. Saya dari kemarin marah-marah, lho, sama supervisornya. Saya pikir mereka yang lelet, ternyata samean yang gak bisa kerja dengan benar!"

"...." Aku tak bisa berkata.

"Kerja pertama-kedua, nginput molor gak masalah bagi saya, Mas. Ini kan udah sebulan, ya? Coba kontrol diri sendiri, Mas. Misal berkasnya ada seratus lembar, paling tidak selesai dua hari. Samean, kan, kerja berdua, Mas ... masa' satu orang pegang tujuh gudang saja, kerja sampai lima-enam hari?"

Aku menunduk. Bingung. Bagaimana bisa aku menjelaskan kalau selama ini yang bekerja hanyalah aku. Sementara Rian sibuk dengan HP-nya.

"Mas Rian training samean bagaimana, Mas? Apa memang tanggalnya disuruh ngerubah? Masalahnya, baru kali ini, lho, tanggal bisa salah."

Tiba-tiba, omongan Pak Dika membuatku tersentak. Baru mau membuka mulut, Rian datang membuka pintu. Matanya masih awas dengan ponsel di tangan, sehingga ia tak mengetahui ada Pak Dika di depannya.

"Mas Rian!" Tampaknya suara dari Pak Dika membuatnya kaget luar biasa. Rian segera menyaku HPnya dan menghampiri.

"Saya curiga dari awal, sudah saya duga kalau Mas Dani ini bekerja sendirian ...." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, beranjak dari kursi dan menghadapkan posisi berdirinya di antara kami.

"Kalau Mas Dani tak bekerja sendiri, mana mungkin dia bisa lelet seperti ini! Telat kirim form, mana dia sampai mengganti tanggal di komputernya. Ckckck ...." Pak Dika menggeleng-gelengkan kepala menatapnya.

Keringatku mulai bercucuran dingin. Sekilas kutatap Rian memicing sinis padaku.

"Bagaimanapun, kau yang salah! Mentraining bukan berarti melimpahkan kerjaanmu padanya. Bukankah sudah saya bagi, kamu pegang gudang mana saja? Kerjaan itu dikerjakan Mas Dani sendiri, jelas saja dia tak sanggup!" Suara Pak Dika mulai meninggi.

"Ayo, kamu ke ruangan saya! Saya panggil Pak Heri juga!"
Seusai berkata begitu, Pak Dika pun berlalu.

Wajah Rian mulai memerah. Ia menatapku awas, dengan napas yang memburu kesal.

"Awas kau!" Ancamnya kemudian.

Dia lalu pergi meninggalkan ruangan.

Kini tinggal aku sendiri di dalam ruangan. Kutelan ludah pahit, seiring dengan rasa cemas yang menggebu.
Wah, rasa-rasanya bakal meledak ini ....

(bersambung)
Diubah oleh shirazy02 24-02-2020 15:24
erman123
OkkyVanessaM
manik.01
manik.01 dan 46 lainnya memberi reputasi
45
74.3K
739
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
shirazy02Avatar border
TS
shirazy02
#579
Part 7

"Kau sengaja mempermainkanku, ya?" Adel memicingkan mata, bersungut seraya menghampiri sang suami. Berbeda dengan lelaki di hadapannya yang tampak berkerut dahi.

"Di dalam kamarmu ada sebuah rekaman yang kau putar dengan timer, dan kau muncul di belakang sana seolah-olah sedang mengejutkanku. Kau berbuat semua ini berharap agar aku takut?" Adel menunjuk koridor di depannya dengan napas terengah. Hal itu membuat Enver spontan memalingkan wajah ke belakang. Jelas terkesan raut mukanya keheranan di depan sang istri. "Aku? Untuk apa?" katanya kemudian.

Melihat gerak bibir Adel yang seakan meremehkan, ia tak tahan untuk berkata lagi, "Heiiiii, aku tak mengerti apa katamu. Jadi menurutmu, ada sebuah rekaman yang diputar di dalam kamarku memakai timer? Wah, aku baru tahu darimu jika sebuah rekaman bisa diputar memakai timer."

"Bisa berkelit kau," Adel mencebik.

"Kenapa bisa, katamu? Apa gunaku berkelit, coba katakan! Benar, aku tak paham jika ada sebuah rekaman bisa diputar menggunakan timer. Aku baru tahu sekarang. Mungkin aku yang bodoh. Ha ha ha ...."

"Dasar mulut perempuan! Sekarang, buka kamarmu. Cepat!" Adel mulai kehabisan kesabaran. Lalu berpaling, mundur beberapa langkah, seakan memberi celah pada lelaki itu untuk menuruti apa yang dikatanya. Namun, bukannya mengiyakan, Enver malah ikut-ikutan sinis. "Aku bukan layaknya perempuan yang suka menghabiskan waktu di dalam kamar. Perlu apa aku harus ke sana? Aku ada kepentingan. Kalau kau penasaran, kenapa tak masuk saja sendiri? Sorry, aku buru-buru ..." Baru saja berbalik badan, langkah Enver tercekat dengan seruan lantang Adel.

"Hei, bisa-bisanya kau, ya?"

"Apalagi? Kenapa aku harus meladenimu? Sudahi sifat kekanakanmu!"

"Orang dewasa pun tahu, pintu mana yang bisa dibuka dan tidak. Jangan belaga bodoh! Buka pintu kamarnya!"

Lelaki itu diam sejenak, lamat memandangi wanita di depannya. Seperti kehabisan kesabaran. Sesaat ia menarik napas, kemudian berkata datar, "Senajis itu kah tanganmu menyentuh pintunya? Apa yang salah memang?"

"Kau ini benar-benar membuatku kesal, ya? Lihat, apa yang ...." Adel menghentikan omongan saat tangannya ternyata berhasil membuka pintu kamar itu. Mendadak kaget, dan langsung saja melongo tak percaya. "Lho? Ta-tadi, tadi kekunci di dalem. I-ini ...." Di luar dugaan, pintu yang sebelumnya tak bisa dibuka, tahu-tahu semudah itu terkuak. Entah apa yang terjadi?

Belum sempat Adel melanjutkan bicaranya, Enver terburu menyahut, "Ini kehaluan yang hakiki. Kenapa juga, aku harus mengunci pintu kamar, sementara aku masih ada di dalam rumah. Bepergian pun, tak perlu aku serepot itu melindungi kamarku. Tak ada apa-apanya di dalam sana. Sini kita lihat!"

Amarah Adel yang awalnya membuncah, perlahan berubah menjadi rasa gemetar yang luar biasa. Sedangkan lelaki itu menyerobot masuk ke dalam kamarnya, membuka pintu lebar-lebar, serta meneriaki istrinya agar mau melihat ke dalam. "Sini, masuk! Ayo periksa! Katamu ada perempuan di dalam sini. Mana? Lalu, rekaman yang kau duga sebelumnya, mana?" Enver mulai memporak-porandakan apa yang ada di dalam kamarnya. Selimut ditarik, lemari-lemari dibuka, berjalan ke sana-kemari menyereti segala benda. Namun, Adel tetap saja bergeming di tempat.

Dengan geram, lelaki itu berkata, "Kau mungkin butuh psikolog. Terlalu banyak memimpikan lelaki orang, jadi stres!" Seusai berkata begitu, ia keluar dari kamarnya. Terdiam beberapa detik di hadapan perempuan yang masih terpaku tanpa suara itu.

Enver tak peduli bagaimana ekspresinya, ia berbalik dan mulai melangkahkan kaki menuruni tangga. Tentu saja, gadis yang kini mulai terbiasa melepaskan jilbabnya itu, turut pergi menyusul. Ia tak berani berlama-lama di tempat. Bahkan, untuk menoleh ke kamar Enver pun, ia tak sanggup.

Dalam separuh perjalanan di tengah anak tangga, matanya kembali ingin meloncat melihat apa yang terjadi. "Sial! Kau mengerjaiku ternyata," pekik Adel, dengan tawa tertahan.

"Mengerjaimu? Mengerjai apa?" Lagi-lagi Enver berkerut dahi menolehkan pandangannya pada sang istri.

"Ckckck!" Ucapannya dibalas dengan cebikan dari Adel. Perempuan itu lalu melewati suaminya, menuruni tangga terlebih dulu hingga sampai di lantai dasar. Kemudian, berbalik sembari berpangku tangan. Seringai sinis mengembang pada senyumnya. Masih dengan berkali gelengan.

"Dasar aneh!" Enver tertawa kemudian. Menyusulnya turun.

"Kau yang aneh. Apa maksudmu, setelah memberiku kejutan ribuan bunga di lantai ini, lalu jelang sekejap, bunga-bunga tersebut musnah begitu bersih. Kau kemanakan semuanya? Jawab, ayo! Adakah orang lain di rumah ini yang sengaja kau taruh untuk membereskan semuanya?"

"Heeeiii, GR tingkat dewa! Kau ini bicara apa? Untuk apa aku memberimu semua itu? Aku tak seromantis Dani-mu. Sejak kapan ada ribuan bunga di lantai ini? Jangan bicara halu!"

"Halu katamu? Masih bisa mengelak rupanya?"

"Kenapa harus mengelak, jika nyatanya begitu? Kau lihat, ada CCTV kupasang sejak kapan hari. Coba lihat saja dulu! Biar tahu kamu, yang gila di sini siapa? Di atas barusan saja, bicaramu sudah banyak ngelantur!"

Penuturan Enver yang bernada meyakinkan itu, terkesan membingungkan juga bagi Adel. Ia kembali bergeming, memikirkan sesuatu. Lagi-lagi, ketakutannya muncul.

Kenapa bisa? Lalu, tadi-tadi itu apa?

Enver tersenyum sinis menatap wajah tanpa ekspresi itu. Merasa lucu. Sebelum akhirnya ia angkat kaki dari rumah, kembali ia berkata, "Sudah kubilang, kau butuh perginke psikolog!"

*****

Sefti merasa tak enak hati. Ia tatap di kursi ruang tengah, rokok itu masih tak koyak juga sampul plastiknya. Bahkan, kopi yang ia buatkan, tak jua berkurang dari takaran. Tak menunggu lama, diambilnya cangkir berisi kopi tersebut. Maksud hati ingin diantarkan ke toko, tapi saat ia rasakan, tak ada hangat sedikit pun menjalar di tangannya. Kopinya sudah dingin.

Berbalik, ia menuju dapur. Dilihatnya ibu yang sedang menyibukkan diri mencabuti rumput di pekarangan belakang. Dari ventilasi, ia berteriak, "Bu, jangan capek-capek!" Setelah itu, mulai memasak air.

"Aduh, panggulku kenapa berat begini, ya?" batinnya sembari meringis. Tiba-tiba saja ia merasa bagian panggulnya tertekan. Seperti kram, dibuat bergerak sedikit nyeri. "Ah, dedek kecapekan, ya?" Ia menghibur janin yang dikandungnya sambil terus mengelus-elus. Sedetik setelahnya, ia mulai menerawangkan pandang.

Pikiran perempuan itu banyak menerka-nerka. Ia penasaran dengan kondisi Mbak Diah, tapi juga tak nyaman karena salah paham dari suami. Sefti sedikit takut, mengingat Dani tak pernah bicara seserius itu kepadanya. Marahnya suami mulai terasa.

"Setidaknya, kopi panas akan mencairkan pikiran ayahmu yang kaku, Sayang!" Sefti mengelus-elus perutnya dengan penuh kasih, kemudian menuangkan air panas ke wadah baru yang sudah diberinya gula dan kopi. "Semoga, ayahmu melunak, ya?" ucapnya lagi. Lirih.

Seusai menyiapkan kopi baru, Sefti bergegas menuju depan. Tak lupa, diraih dan dibawanya serta wadah rokok yang masih utuh itu. Sesampainya di toko, ia hanya menyapa sekilas dua pegawainya yang tengah sibuk membuka toko. Setelah itu, tak memedulikan. Karena yang dipikirnya sekarang adalah, bagaimana cara mengembalikan mood suami dengan segera.

"Mas, Mas!" panggilnya lirih di ambang pintu belakang.

"Ya, Mbak?" Dani mengira, ada pembeli. Sehingga dengan gesit, ia beranjak menatap depan. Kaget kemudian, karena tak menjumpai siapapun. Adel langsung tertawa, membuat suaminya menolehkan pandang karena bingung. Mengetahui istrinya yang memanggil, bibirnya datar kembali. Ia lalu duduk lagi, sementara sang istri menghampiri, masuk ke toko, meletakkan kopi tersebut di meja Dani.

"Kopi panas ulalaaa dari calon bayi yang dinanti," seru Sefti riang, sembari mengeluskan tangan Dani pada perutnya yang buncit. Dani tak berekspresi.

"Minum selagi panas. Nih, liat! Tendangan si dedek kenceng banget diajak kemari. Mungkin pengen menikmati kopi bareng ayahnya." Sefti berseru lagi, dan masih tak ada lagi wajah nyaman suami seperti biasanya.

"Sayang ...." Ia memanggil lirih. Disodorkannya rokok tersebut ke meja Dani, lalu mengambil duduk di sebelahnya. "Aku pernah bilang, kan, hubungan itu harus sering diisi dengan komunikasi yang baik. Jangan sampai ada kesalah pahaman yang membuat semuanya buruk di belakang."

Dani tetap tak berkata.

"Maafkan, jika aku punya salah. Aku tak mengerti apa salahku. Aku takut kamu salah paham. Jadi, bicarakan apa yang mengganjal di hatimu. Agar aku tahu apa yang membuat suamiku begini. Jika aku salah, aku akan berbenah diri menjadi lebih baik lagi." Sefti berkata pelan sampai tak berani mengambil napas sesaat.

Beberapa menit mereka terdiam. Sengaja Sefti tak bicara. Ia ingin memberi ruang pada Dani untuk menyampaikan segala uneg-unegnya. Sampai kemudian, ia berkata, "Nggak ada salah. Dari dulu, kamu nggak pernah salah. Aku yang salah."

Mendengar itu, Sefti menahan tawanya. Ia pegang pundak suami, menyandarkan kepalanya perlahan, lalu membalas, "Aku kenal kamu nggak sebulan-dua bulan, dari nada bicaranya, kamu ini sedang uring-uringan, lho. Ngaku, ah! Malu sama debay di perut."

"Aaah, sudahlah! Kamu memang pandai merayu."

"Bilang dulu! Kamu kesal karena apa? Tentang ucapan ibu, aku bisa jelaskan. Aku menunggu ungkapanmu!"

Dani menarik napas sejenak. Semerbak harum kopi buatan istri merasuk ke indera penciumannya. Ingin minum, tapi malas, ingin jual mahal saja di depan istri. Ia sedikit kesal memang.

"Sayang, kamu yang terbuka sama aku." Sefti menggelayut manja di lengan suaminya. Ucapan itu kemudian dibalas, "Dari dulu bukannya aku selalu terbuka denganmu? Kamu saja yang sekarang lebih menutup diri."

"Lho? Menutup diri yang bagaimana?"

"Aku sering berkata 'kan, apa aku harus kerja di luar saja? Kamu biar nggak terbebani. Kamu bilang selama ini, kamu fine-fine saja menanggung segala biaya, asal aku tetap fokus mengelola toko onderdil. Eeeh, nyatanya, kamu sering ngeluh sama ibu. Jangan begitulah! Kamu 'kan tahu, ibu gak bisa mikir-mikir begitu. Drop nanti!"

"Lho??" Sefti bertambah tercengang, sampai-sampai melepaskan dekapannya. Berganti menatap lamat lelaki yang ada di sisinya tersebut. "Memang, ibu bicara apa?" pancingnya kemudian.

"Bicara apa, katanya? Tolonglah, aku tahu sebagaimana buruknya aku menjadi seorang lelaki. Aku suami tidak becus! Aku pantas kamu salahkan. Tapi, bicaralah padaku. Jangan bicara yang tidak-tidak pada ibu. Seharusnya kamu sudah paham kondisi ini, kan?"

"Stop! Stop dulu! Tarik napas dulu. Bicara pelan-pelan, dan ceritakan keseluruhan. Yang detail, biar aku paham."

"Alah, kamu suka begitu. Aku malas bahas ini. Malas!! Intinya, kamu tak menghargaiku. Kamu tak menghargai pilihanku untuk kerja ke luar, sementara di lain sisi, kamu banyak mengadu pada ibu!"

"Ya ampun, Sayang. Mengadu apa, sih? Coba jabarkan apa saja pengaduan yang kamu maksud?"

"Nah, perempuan ya suka begini ini. Berbelit-belit! Ah, sudahlah. Pusing aku. Kepala mau pecah!"

"Justru kamu yang dari dulu begini ini. Aduuuhh, to the point lah. Pengaduan apa yang kamu maksud? Kamu harus tegas, dong. Kalaupun yang salah aku, oke, aku minta maaf. Aku bakal perbaiki apa yang sudah menjadi salahku. Tapi aku beneran bingung, salahku apa? Aku sudah sangat menjaga keluarga kita seharmonis impian orang. Entah dimana salahku?"

"Sudah kubilang, kamu nggak salah. Aku yang salah. Aku yang banyak merepotkanmu, tapi nggak begitu juga caramu menggugah hati suami. Buktinya, aku sama ibu jadi kayak tadi, kan?"

"Aduh, aduh, aku kok pusing? Kamu bisa apa nggak, langsung kasih tahu pokok masalahnya di mana?" Sefti menahan kepalanya dengan sebelah tangan yang bertumpu pada meja.

"Pokok masalahnya ada di aku. Aku yang salah. Sudah!" sahut Dani, dengan nada sedikit tinggi.

"Tapi, aku masih bingung. Kamu bisa tegas dikit, nggak? Duh, sikapmu yang dulu kambuh lagi. Bikin pusing orang dengan omongan yang diputar-putar." Sefti mulai merasakan kepalanya pening.

"Oke, pusing. Pusing karena aku?"

Pyarr!!

Dengan amarah yang tak terbendung, Dani menyenggol secangkir kopi yang masih mengepul itu. Beruntung, suara gaduhnya tak menimbulkan keributan di kios Sefti, karena musik yang lumayan keras disetel pegawainya.

"Memang aku bodoh. Aku nggak tegas. Aku hanya bikin pusing kamu. Tapi, seorang lelaki juga bakalan pusing, jika istrinya tak lagi bisa menghargai. Selama ini bukannya aku nurut sama kamu. Aku ingin kita saling menghargai dan melwngkapi. Kamu nggak ngizinin cari kerja, oke aku nurut. Gak sekali-dua kali aku minta izin kerja kamu, kan? Kamu bilang, tak ada masalah aku nggak kerja. Sayang jika usaha peninggalan ayah ditinggal. Tapi di belakang, kamu ngomongin belanja kamu yang dijatah dua puluh ribu. Kamu ngomongin permintaan laukku yang enak-enak, sementara kamu ngirit makan sayuran. Bukannya kamu sendirinjuga dengar omongan ibu tadi pagi?"

Tes!

Satu butiran kristal jatuh dari pelupuk mata Sefti. Dani tentu melihat itu, dan ia mengira, tangisan itu adalah rasa bersalahnya yang tak bisa terungkap. Sementara di dalam kepala Sefti sekarang adalah, rasa pusing. Rasa kepala yang berputar-putar tak karuan secara mendadak dan entah kenapa, baru pertama itu terjadi padanya. Ia bahkan tak sanggup berkata. Hanya menumpukan kepalanya pada meja di depan. Menahan sakit yang tak kunjung usai.

"Percuma kamu menyesali semuanya. Aku sangat sakit hati, Sef. Seharusnya kamu terbuka padaku. Tidak malah seperti ini. Memang, ya, penyesalan selalu ada di belakang. Aku juga menyesal, menuruti apa katamu. Seharusnya aku dari dulu sudah cari kerja. Aku tak mau istriku mengeluh karenaku." Melihat tangisan Sefti, nada bicara Dani mulai melunak.

Sefti masih tak bisa berkata. Ia masih pening merasakan kepalanya.

"Maafkan aku!" Kali ini, Dani terbawa suasana. Ia peluk sigap tubuh istrinya yang lemas. "Maafkan aku, ya, Sayang? Semuanya salahku. Aku yang salah. Bukan kamu," lanjut Dani lagi. Dibelainya rambut sang istri dengan penuh rasa kasih. Bermenit-menit mereka terdiam dengan posisi seperti demikian. Hingga tiba-tiba, ibunya mengejutkan di belakang, "D-Dan?? Banyu opo iku? (air apa itu)"

Mata ibu melotot melihat bawah. Tentu saja Dani terbawa mengikutinya.

(Bersambung ....)
i4munited
pulaukapok
erman123
erman123 dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Tutup