- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
SURYA Dikala SENJA (Horor, Komedi)
TS
ayahnyabinbun
SURYA Dikala SENJA (Horor, Komedi)
Assalamualaikum semua.
Ini hanya goresan tinta imajinasi seorang lelaki tua yang telat menemukan hasratnya dalam hal menulis.
No Junk.
No Spam.
Pokoknya ikuti Rules dari Kaskus ya.
Cerita ini murni Fiksi, jadi kalau ada kesamaan nama tokoh dan tempat mohon di maklumi.
Terakhir.
Selamat menikmati bacaan ringan ini.
Spoiler for Prolog:
-Jakarta-
UGD RS di jakarta.
"Bagaimana istri saya sus!? " tanya seorang pria kepada suster yang baru saja keluar dari ruang UGD.
"Maaf pak masih kritis saya tidak bisa memberitahu lebih rinci kondisi istri bapak, itu wewenang dokter," jawab suster cepat kemudian dia berlalu meninggalkan lelaki itu.
Lelaki itu pun bersandar di tembok rumah sakit, raut mukanya terlihat lemas dan pucat kedua tangannya gemetar tatkala menutup wajahnya.
"Maafkan aku Naura, hiks, maafkan aku, " gumam lelaki itu sambil terisak menangis tersedu-sedu.
Seberkas cahaya membentuk sosok manusia berjongkok di depan lelaki itu, "jangan menangis sayang, ini memang sudah waktuku, jaga anak kita ya, dia ganteng seperti kamu, cup. " seru sesosok cahaya tersebut sambil mencium kening sang lelaki, dan cahaya itu pun berlalu bersama sesosok laki-laki berjubah putih yang menemaninya.
Lelaki itu mengangguk lesu sambil tersenyum tipis, melihat ruh istrinya menghilang menuju ufuk matahari dikala senja.
"Krieeek" suara pintu UGD terbuka, keluar seorang dokter dan beberapa suster menggendong seorang bayi.
"Pak Bagas, bayi bapak kami bersihkan dulu di ruang bayi ya pak, dokter ingin bicara dengan bapak," jawab suster dengan lemah lembut ke lelaki itu.
Lelaki itu pun berdiri, berjalan pelan menuju dokter yang menundukkan kepala di depan lelaki itu, gurat penyesalan terlihat dari wajah sang dokter.
"Sudah tidak apa-apa dok, saya sudah tahu, sehebat apapun anda tidak bisa melawan takdir, " jawab lelaki itu sambil menepuk pundak sang dokter.
"Ba-bagaimana bapak bisa tahu!? " jawab dokter dengan rona kebingungan.
Lelaki itu kemudian berlalu menuju ruangan bayi, langkah demi langkah terasa berat, tangisan tak terbendung dari kedua matanya, lelaki itu memukul-mukul dadanya agar menyisakan kelegaan saat ia bernafas.
"OOOEeeeK...OOOEEEEK...OOOEEEK," seketika tangis bayi memecah kesunyian lorong rumah sakit, lelaki itu mempercepat langkah demi langkahnya, terlihat seorang bayi sedang di gendong suster, menangis dengan kencangnya.
"Silakan pak di gendong anaknya, sudah saya bersihkan dedek bayinya," jawab suster ke lelaki itu.
Sang lelaki menerima si bayi dari tangan suster, menggendong dengan penuh kehati-hatian, sang bayi yang tadi menangis kencang seketika terdiam di pelukan lembut sang ayah.
"Mau di beri nama siapa pak bayinya?" tanya suster.
"Surya, Surya dikala senja. " jawab bapak Bagas lirih.
Spoiler for Chapter 1 : sang Surya:
Jakarta, 2018.
"TENG!! TENG!! TENG!!" bunyi bel terdengar hingga ujung jalan setapak depan sebuah sekolah, segerombolan anak tunggang langgang berlarian menuju gerbang sekolah tersebut.
Pak Kusni penjaga sekolah, merangkap satpam, merangkap manusia terlihat mendorong gerbang dengan kepayahan, faktor usia seperti menggerogoti tenaganya yang dulu seperti kuda jantan, nafasnya terdengar mengebu-gebu seperti pemain film erotis tahun 80an, padahal gerbang sekolahnya hanya ada satu, bayangkan bila sekolah ini memiliki 7 gerbang layaknya pintu neraka, mungkin senin beliau sudah di kebumikan.
Dari ufuk timur terdengar suara dengan lantang.
"HEI KUSNI!!! HENTIKAN!!! GUA MASIH MAU SEKOLAH KUSNI!!!"
Remaja itu berlari bersama gerombolan murid yang telat bagai babi hutan.
Pak Kusni yang sedang mendorong gerbang terdiam sesaat, lalu melihat asal suara tersebut, matanya melotot melihat remaja tersebut berlari seperti maling BH yang dikejar warga, dengan sisa tenaga tuanya di dorong gerbang itu dengan tergesa-gesa,
"bocah sialan itu tak boleh masuk..! TIDAK BOLEH MASUK..! YOU SHALL NOT PASS..!" gumam lelaki tua itu sambil mengutip kata-kata Gandalf Lord Of The Ring.
"SIALAN KAU KUSNI! GUA TIDAK AKAN KALAH DENGAN TUA BANGKA MACAM KAU KUSNI!!" teriak lagi remaja itu dengan lantang, langkah kakinya semakin kencang ia sampai lupa resleting celananya masih menganga memberikan sensasi cooling breeze di sekujur pangkal pahanya.
Mendengar itu Kusni geram, ia semakin menggebu-gebu mendorong gerbang, akan tetapi, "KREEK!!" suara tulang bergeser bersua, teriakan tertahan mengema di kalbu Kusni.
"AAARRRGGHH!! AMPUN GUSTI!! PINGGANGKU!!" sakit encok strata tiga Kusni kambuh, tubuh kusni tertahan gerbang, tanpa adanya gerbang mungkin tubuh Kusni akan tersungkur ke tanah, ada hubungan simbiosis mutualisme yang ironis antara Kusni dan gerbang.
"Pagi beh, kambuh?! AHAAY!" ejek remaja itu ke pak Kusni sambil berlenggang menuju kelas.
Sakit, malu, vertigo menjadi satu, itulah yang di rasakan Kusni sekarang, melihat murid itu berlalu membuat matanya berkaca-kaca seutas kata terucap dari bibir Kusni.
"Dasar bocah KAMPRET!!" Kusni tertahan mematung sambil menggenggam gerbang sekolah yang masih seperempat terbuka.
Kelas 2-A sudah di penuhi manusia-manusia unggulan, datang setiap pagi untuk mencari ilmu, bersiap-siap menatap masa depan dengan penuh harapan cemerlang, di belakang dua insan lelaki saling bercakap.
"Cok, film bokep yang kemaren elu kirim crash, kirim lagi dong bro," celoteh Bambang ke Ucok di baris belakang.
"BAH!! Handphone kau saza yang zadul Bams, buktinya zalan-zalan zaja tuh di hp ku, makanya beli hape zangan di pasar malam lai," jawab Ucok dengan logat medannya yang kental, sungguh percakapan yang menginspirasi kaum muda mudi INDONESIA.
"Eh eh eh, guru guru guru!" riuh anak-anak kelas 2-a, sesosok lelaki tinggi, atletis nan tampan terlihat di depan pintu, kemudian berlalu, berganti menjadi lelaki pendek, tambun dengan kepala botak di tengah layaknya lapangan bola, sekilas adegan tadi seperti iklan L-men yang gagal.
Pak Hartono masuk ke dalam kelas, melihat sekeliling kelas sambil menyapa.
"Pagi anak-anak!!", sapa pak Hartono.
"PAGI PAK GURUUU!!" Jawab murid-murid dengan serentak dan kompak.
Tiba-tiba seorang anak berdiri di depan pintu kelas, wajahnya terlihat kecapaian dan pucat.
"Yaaah! Telat!" ujar anak itu, pak Hartono menelisik dengan teliti anak yang terlambat itu, kemudian berujar "hei kamu! Berani kamu telat di jam saya! Kesini kamu!" perintah pak Hartono dengan galaknya, anak itu pun maju dengan perlahan, kepalanya menunduk malu tidak bisa menatap pak Hartono, "Push up 25 kali! Jikalau tidak sanggup silakan keluar kelas saya!!" ujar pak Hartono dengan tegas, ketika anak itu mengambil ancang-ancang untuk melakukan push up, sesosok mahkluk mengintip dari balik jendela di barisan pojok kanan belakang, matanya nanar namun tajam melihat situasi kelas.
"oke situasi aman," ujarnya dengan percaya diri, dengan mode silent ia menyelundupkan tasnya dari balik jendela menuju bangku belajar, lalu ia merangsek masuk dari celah jendela, bak ular kadut dengan licinnya ia masuk melewati celah lumayan sempit itu, setengah badannya sudah masuk ke dalam ruang kelas, tangan kirinya menyentuh meja kemudian ia mendorong sisa tubuhnya melalui tembok menggunakan tangan kanan, dengan sangat cepat dan tanpa satu makhluk pun mengetahui ia sudah masuk ke dalam kelas, dengan posisi menungging di atas meja, misi pun berhasil, ia turun dari meja kemudian menikmati pemandangan Budi yang sedang push up.
"Budi, terima kasih ya, tanpa elu sebagai pengalih perhatian gua ngak bisa sampai di dalam kelas, Budi, kamu, numero uno," gumam pria itu di dalam hati.
Iya, pria itu tidak lain dan tidak bukan adalah Surya, anak dari bapak Bagas prakasa yang kalian liat kisah pilunya di prolog, anak ini tumbuh besar menjadi sosok lelaki tampan, pintar dan soleh, itu hanya menurut penuturan bapaknya sendiri.
Push up Budi sudah berada di angka 23 kali, keringat bercucuran dari kening sampai badan Budi, bahkan sampai muncul bercak basah di daerah selangkangannya, pergelangan tangannya mulai goyah, lututnya bergetar 4,5 skala richter, tubuh yang di rancang untuk main warnet seharian itu tidak mampu menerima push up lebih dari 20 kali.
"Pak, sudah ya pak, saya sudah tidak sanggup," nego Budi ke pak Hartono.
Pak Hartono sedikit terenyuh melihat Budi yang kecapaian, "aduh, kasihan kamu nak, ya sudah … tambah lima lagi push upnya, biar genap jadi 30," tutur pak Hartono dengan melepas topeng kesedihannya, mata Budi nanar namun kosong menatap lantai, terlihat raut penyesalan teramat sangat dari wajah Budi.
Pak Hartono mulai menuju meja ia mengambil daftar absensi lalu mulai mengabsen satu per satu muridnya, dimulai dari Ani, Deni dan seterusnya, murid-murid saling bersahutan saat nama mereka disebut pak Hartono, ketika mulut pak Hartono menyebut nama Surya, "HADIR PAK..!" sahut seseorang pemuda dari belakang dengan lantang.
Seisi kelas kaget, terperanga sambil menganga melihat Surya sudah di dalam kelas, pertanyaan dan praduga berkecamuk di hati mereka.
"Bagaimana ia bisa masuk!?"
"Sejak kapan ia ada di kelas?!"
"Kenapa aku ada di kelas ini!!" gumam Ari yang seharusnya masuk kelas 2-d.
semua perhatian itu berbanding terbalik dengan kondisi Budi yang tanpa perhatian satupun dari teman-temannya.
"Sakit, banget, tapi tak berdarah, sungguh biadab temen-temen gua, kata mereka kita teman sejati, selalu di hati, HILIH KINTHIL!!" ujar Budi di dalam hati kesal dengan teman-temannya.
Pelajaran berjalan setelah sesi absensi, pak Hartono mulai menjelaskan di depan kelas, suasana hening terasa, murid-murid mulai mendengarkan dengan seksama, kecuali Surya yang sedang terlelap di mejanya, posisinya yang berada paling belakang dan di tutupi Bambang yang jangkung dan Ucok yang bulat menjadikan tempat duduknya seperti vila di puncak, tempat paling nyaman untuk beristirahat.
"TOK TOK TOK TOK" bunyi ketukan pintu memecah keheningan kelas, pak Zul sang kepala sekolah sedang berdiri dengan seorang gadis cantik nan manis di sebelahnya, "pagi pak, maaf ganggu kelasnya, ini ada murid baru kelas 2-a," ujar pak Zul, "oh iya pak, silakan neng masuk, perkenalkan diri dulu sama teman yang lain," jawab pak Hartono sambil mempersilakan gadis itu masuk.
Sesosok gadis manis memakai hijab putih berjalan perlahan menuju depan kelas, wajah manisnya terlihat malu-malu ketika bertatap muka dengan murid-murid kelas 2-A, "pagi semua, nama aku Naura kelana subhi, panggil saja Naura," jawab Naura sambil tersenyum simpul memperlihatkan lesung pipinya, seketika itu juga rentetan panah asmara menusuk hati para lelaki di kelas 2-A, kecuali Surya yang sedang berkelana di pulau kapuk dan para murid perempuan yang menunjukkan ekspresi tersaingi secara jasmani dan rohani.
"kamu duduk di belakang ya nak Naura, soalnya bangku yang kosong cuman ada di sebelah sana, " ujar pak Hartono sambil menunjuk bangku disebelah Surya.
Naura pun berjalan menuju bangkunya, diiringi tatapan nakal murid laki-laki di kelas itu, ia kemudian duduk sambil mulai mengeluarkan peralatan belajarnya.
Bambang dan Ucok yang duduk di depan Naura pun sontak membalikkan badan untuk berkenalan.
"Hai Naura, namanya cantik secantik orangnya," puji Bambang dengan gaya sok coolnya.
"hei Naura, cantik kali kau, nanti pulang ku antar pakai motor ninja ku mau tak?" goda Ucok sambil menyisir jambul khatulistiwa miliknya.
Melihat gelagat kedua lelaki di depannya naura langsung ilfeel stadium akhir, didalam hatinya ia berteriak "TIDAAAAAAK..!" akan tetapi Naura hanya membalas dengan senyum malu tapi palsu ke kedua orang utan itu.
"ikh amit-amit jabang bayi, masa hari pertama di sekolah baru gua udah di godain cowok alay macem keset kayak gini, Ya tuhan salah apa hambamu ini, " ketus Naura di dalam hati.
"Jangan di anggap serius, mereka cuman bercanda."
"DEG...!!"
Rona wajah Naura terlihat terkejut, sebuah telepati terkirim langsung menuju fikirannya, ia mencari sumber telepati itu, dan matanya tertuju pada punggung lelaki teman sebangkunya, Surya.
Spoiler for Index:
PART 1
CHAPTER 1
CHAPTER 2
CHAPTER 3
CHAPTER 4
CHAPTER 5
CHAPTER 6
CHAPTER 7
CHAPTER 8
CHAPTER 9
CHAPTER 10
CHAPTER 11
CHAPTER 12
CHAPTER 13
CHAPTER 14
CHAPTER 15
CHAPTER 16
CHAPTER 17
CHAPTER 18
CHAPTER 19
CHAPTER 20
CHAPTER 21
CHAPTER 22
CHAPTER 23
CHAPTER 24
CHAPTER 25
CHAPTER 26
CHAPTER 27
CHAPTER 28
CHAPTER 29
CHAPTER 30
PART 2
CHAPTER 2.1
CHAPTER 2.2
CHAPTER 2.3
CHAPTER 2.4
CHAPTER 2.5
CHAPTER 2.6
CHAPTER 2.7
CHAPTER 2.8
CHAPTER 2.9
CHAPTER 2.10
CHAPTER 2.11
CHAPTER 2.12
CHAPTER 2.13
CHAPTER 2.14
CHAPTER 2.15
CHAPTER 2.16
CHAPTER 2.17
CHAPTER 2.18
CHAPTER 2.19
CHAPTER 2.20
CHAPTER 2.21
CHAPTER 2.22
CHAPTER 2.23
CHAPTER 2.24
CHAPTER 2.25
CHAPTER 2.26
CHAPTER 2.27
CHAPTER 2.28
CHAPTER 2.29
Diubah oleh ayahnyabinbun 28-05-2022 17:42
namakuve dan 116 lainnya memberi reputasi
115
159.9K
Kutip
916
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
ayahnyabinbun
#660
Chapter 2.20
Spoiler for tuai semai:
Dibawah naungan sang langit kelam rintik hujan mengguyur padang rerumputan dengan derasnya, bunyi dentuman dan bunyi benda tajam yang saling merajam kian bersahutan lantang silih berganti menemani tiap titik-titik air yang berjatuhan.
Satu per satu jin kera yang tengah melawan jin hitam ditengah tanah lapang tumbang bergelimpangan meregang nyawa dengan sekujur tubuh yang bersimbah lumpur bercampur darah, ditengah gempuran mahluk-mahluk hitam yang kian buas hanya tersisa seekor kera putih yang dengan mati-matian menahan setiap serangan dari para jin-jin tersebut, hingga pada satu titik nadir kera tersebut terkena tebasan kemudian tidak mampu bertahan dan tersungkur diatas rerumputan.
Para jin hitam mulai mendekat dan berusaha menghabisi sang kera putih namun sebuah aura violet menyeruak dari sisi belakang membuat mereka tersentak kemudian langsung terdiam dan mundur dengan perlahan. Sesosok wanita berjalan anggun dengan tudung hitam menutupi wajahnya dan selendang hitam panjang menutupi tubuh langsing miliknya, dari belakang ia berjalan perlahan kearah sang kera putih dengan senyum tipis menghiasi bibir merah.
"CEPAT BUNUH AKU!! APA LAGI YANG KALIAN TUNGGU!!" teriak sang kera putih dengan sisa tenaga yang ia miliki.
Sang wanita membuka tudung yang menutupi kepalanya dan terlihat sesosok paras cantik menatap kera putih tersebut dengan tatapan sayu.
"Ck..ck..ck..ck … lihat siapa yang tersungkur disini … seorang martir yang diutus kerajaannya untuk mati dengan sia-sia, hmmm … sangat disayangkan," seru Evelin sembari menyilangkan kedua tangannya didepan dadanya.
"Cih!! Akan aku bunuh kau penyihir!!" gertak Gundara.
"Membunuhku?! Hihihihi … lihatlah dirimu sendiri jendral, kau tidak dalam keadaan untuk berkata demikian … namun dilain pihak," kata-kata Evelin terhenti tatkala ia mengangkat satu jarinya keatas dan membuat tubuh besar Gundara melayang diudara, "namun aku bisa membunuhmu kapanpun aku inginkan," seru Evelin kembali sembari mengelus lembut pipi Gundara.
-bruk-
Gundara langsung terjatuh disaat Evelin menurunkan jarinya, ia mulai berbalik arah dan meninggalkan kera putih tersebut, para jin-jin hitam mulai mendekat dan berkerumun untuk menghabisi Gundara namun disaat mereka siap menghunuskan senjata Evelin bersuara.
"Bawa kera putih itu, ada sesuatu yang harus aku lakukan untuk dia," perintahnya kepada para jin hitam.
Mendengar perintah sang ratu mereka segera mengikat Gundara pada sebuah tiang dan membopongnya pergi bersamaan dengan gemuruh hujan.
Beberapa hari setelah kejadian itu disebuah ruangan lembab nan gelap Gundara terduduk dengan tangan dan kaki yang terikat rantai, luka-luka ditubuhnya sudah di obati dan terlihat makanan sudah tersedia didepan dirinya.
-Klang-
Bunyi pintu besi terbuka dan sesosok wanita berdiri di bibir pintu dengan dua ekor jin hitam yang mengawalnya.
"Kau sudah bangun Gundara?" tanya Evelin dengan senyum tipis tersungging dibibirnya.
Gundara membuka matanya dan menatap tajam kearah Evelin, "sebenarnya apa yang engkau inginkan dariku penyihir?" tanya Gundara.
Evelin menatap kera putih didepannya dan tersenyum miring mendengar pertanyaan tersebut.
"Hei kalian … buka rantainya," perintah Evelin pada para jin hitam penjaga dibelakang dirinya.
Dengan sigap para jin hitam penjaga langsung melangkah kearah Gundara dan langsung membuka rantai yang membelenggu sang kera putih tersebut.
"Makanlah … kau tidak berguna jika mati disini," seru Evelin kala itu.
"Cih!! Aku tidak sudi mendapatkan belas kasih darimu!" decih Gundara sembari membuang muka dari tatapan manusia didepannya.
Evelin menatap benda yang terkalung dileher sang kera, "itu pemberian ibumu bukan?" tanya Evelin.
Bola mata Gundara membulat menatap Evelin seraya berucap, "b-bagaimana kau tahu!? Yang mengetahui asal usul kalung ini hanya aku dan ibuku sendiri."
"Aku adalah seorang retrof … sang pembaca masa lalu, jika kau ingin mengetahui tentang ibumu dan kebenaran tentang hidupnya segera makanlah dan ikuti aku," ucap Evelin.
Selesai berbicara wanita cantik itu membalikkan badannya dengan anggun dan melangkah pergi meninggalkan ruang tahanan tersebut dengan pintu yang ia biarkan terbuka, sedangkan disatu sisi Gundara menatap perlahan makanan yang ada di depannya dan tanpa ia pikir panjang langsung mengambil sepotong daging diatas nampan dan berdiri seraya mengikuti langkah Evelin keluar dari ruang tahanan itu.
Tidak memakan waktu lama mereka berdua telah berjalan hingga sampai disebuah ruangan gelap dengan aura yang mencekam, diruangan itu dihiasi pilar-pilar besar dan beberapa api obor yang menempel ditiap dinding, ditengah ruangan terdapat sebuah cermin raksasa yang disekelilingnya dihiasi ukiran pentagram dengan bau darah yang menyengat penciuman.
Evelin berdiri didepan cermin tersebut dengan Gundara berdiri dibelakangnya.
"Ini adalah cermin kalanik … sekarang lihat cermin ini baik-baik," seru Evelin dengan aura violet yang mulai melingkupi tangan kanannya.
Gundara menatap lurus kearah cermin dan dengan samar-samar ia melihat wajah mendiang ibunya yang tercinta dikala ia masih bekerja ditempat hiburan malam.
"Ibu …" lirih Gundara.
Evelin menggapai kalung yang berada di dada sang kera dan menyalurkan energi gelap kedalamnya, bagai diorama Gundara dapat melihat segala kejadian yang terjadi saat itu hingga saat ini didalam cermin dan apa yang terjadi dengan ibunya menjadi jelas baginya.
Segala tindak tanduk sang raja kala itu terpampang jelas di dalam cermin tersebut, disaat sang raja mendekati ibunya dan menyuruh beliau untuk merahasiakan hubungan terlarang itu sampai sang ibu membesarkan Gundara seorang diri hingga akhirnya beliau meregang nyawa karena penyakit yang selama ini ia derita ketika bekerja di rumah bordil. Pemandangan di cermin terus silih berganti hingga ia memperlihatkan sang raja tengah menceritakan segalanya kepada kekasih hatinya yaitu putri Karina, sang raja mengatakan untuk mengakhiri hubungan mereka berdua yang selama ini telah terjalin.
Gundara membuang pandangannya kesamping seraya berjalan perlahan menjauh.
"A..aku tidak percaya dengan semua ini … semua pemandangan di cermin itu hanya sihir yang sudah engkau manipulasi kemudian kau perlihatkan kepadaku!" cebik Gundara memantapkan keteguhan hatinya namun Evelin membalikkan tubuhnya seraya menatap balik Gundara, "lalu … menurutmu apa alasan sang ratu mengirim salah satu jendral terbaiknya ke dalam medan perang yang mustahil untuk ia menangkan?" tanya Evelin sembari menyilangkan kedua tangannya didepan dada.
Gundara terdiam … hatinya mulai dihiasi kabut kelam yang semakin pekat penuh kecurigaan.
"Lihat cermin itu kembali dan katakan kepadaku bahwa semua ini hanya sebuah ilusi," seru Evelin yang berjalan melewati Gundara dan beranjak pergi menuju ruang singgasana.
Dengan lemah Gundara mengangkat kepalanya dan mulai berjalan kembali kearah cermin dan menatap dalam-dalam cermin didepannya. Didalam cermin terlihat sang ratu yang tengah naik pitam sedang mengacak-acak isi kamarnya.
"Akan kubunuh kau!! ANAK HARAM ITU AKAN AKU BUNUUUUH!!!" teriak sang ratu lantang.
Dan seketika cermin itu redup tidak lagi memperlihatkan potongan-potongan adegan masa lalu kepada Gundara.
Gundara mengepalkan kedua tangannya erat seraya membalikkan badan dan berjalan kearah Evelin yang tengah berada di ruang singgasana.
"Jadi apa keputusanmu wahai kera putih? Masih berfikir semua ini ilusi yang kuciptakan untukmu?" tanya Evelin dari singgasananya.
"Sebenarnya apa maumu? Mengapa kau membiarkan aku hidup?" tanya Gundara.
Evelin menatap sayu kera putih didepannya, "aku akan memberitahukanmu sebuah rahasia, mengapa aku tidak langsung membunuhmu … ibumu … adalah salah satu anak buahku … disaat itu ia pergi meninggalkan tempat ini untuk mendapatkan hidup yang lebih baik diluar sana, namun … sepertinya takdir berkata lain … ia hanya berakhir menjadi barang pemuas nafsu di rumah bordil itu, bahkan pencapaian terbaiknya hanya menjadi gundik seorang raja yang pada akhirnya ditinggalkan seorang diri bersama buah hatinya," seru Evelin.
Gundara menatap tajam wanita didepannya itu dengan tangan yang terkepal kencang.
"Kau pasti butuh bukti wahai kera putih, bukti dari semua perkataanku," Evelin mengangkat tangannya kedepan dan mulai merogoh kedalam selipan atas baju miliknya, dengan perlahan ia mengeluarkan sebuah kalung dan memperlihatkannya kepada Gundara, "kalung yang sekarang engkau pakai … adalah pemberianku, tanda dari seorang guru kepada muridnya, semua bawahanku memiliki kalung ini," seru Evelin sembari memperlihatkan kalung yang sama persis dengan milik Gundara, sebuah kalung berbatu merah delima dengan tali jerami terpampang jelas didepan hadapan Gundara.
Gundara menoleh menatap sekitar dan melihat para jin-jin hitam yang tengah berada di dalam ruangan tersebut mulai mengangkat tangan mereka dan mendapati kenyataan bahwa hampir semua dari mereka memakai kalung yang sama dengan miliknya.
Gundara terdiam lemas dan kemudian terjatuh sembari bersimpuh didepan Evelin.
"Sekarang aku akan memberikan kau pilihan Gundara, kau bisa pergi meninggalkan tempat ini dan kembali kepada kerajaan yang membuangmu karena menganggap kau adalah aib bagi mereka … atau … kau bisa berada disini menjadi salah satu muridku dan ketika waktunya tiba … kita akan merenggut hakmu sebagai raja Pujakerana dan membalaskan kematian ibumu," seru Evelin sembari berdiri dan melangkah perlahan kedepan Gundara.
Gundara menengadahkan kepala dan menatap wajah cantik wanita didepannya.
"Bagaimana? Tertarik?" tanya Evelin sembari merentangkan telapak tangan kanannya kearah wajah sang kera.
Gundara meraih telapak tangan wanita tersebut dan mencium lembut punggung tangan Evelin, "mulai sekarang raga ini milikmu ratuku."
Saat ini dikerajaan Pujakerana...
-Drap-
-Drap-
-Drap-
-Drap-
-Drap-
-Drap-
Derap langkah terdengar riuh ramai disepanjang lorong kerajaan Pujakerana, para jin-jin hitam berlalu lalang menuju kearah depan gerbang dengan berbondong-bondong, beberapa membawa senjata berupa kapak dan pedang bergerigih bagai gergaji, adapula beberapa jin hitam dengan tubuh lebih kurus menenteng busur panah di punggungnya berlompat-lompatan dari satu atap rumah ke atap rumah yang lain menuju kearah gerbang depan.
Gundara berjalan diantara para jin hitam dengan gada emas di pundaknya, ia berjalan dengan laju yang cepat kearah reruntuhan gerbang depan kerajaan Pujakerana.
Tak lama suasana hening tercipta tatkala para jin hitam berlalu pergi meninggalkan lorong-lorong kerajaan Pujakerana. Perlahan dari sebuah pintu tengah mengintip sepasang mata yang melirak-lirik keadaan disana.
"Sudah aman," bisik Popeng kepada yang lain.
Dari pintu tersebut keluar Popeng dan Bagas, diikuti Karina, Naura dan Luna yang mengekor dibelakang.
"Sekarang kita harus kemana?" tanya Luna dengan menggenggam senjata laras pendek di kedua tangannya.
"Kita kearah barak yang berada dibelakang kerajaan, mari ikuti hamba," seru Popeng memimpin rombongan tersebut.
Sepanjang jalan dilorong istana rombongan putri Karina bertemu beberapa penjaga jin hitam namun mereka dapat mengalahkannya dengan mudah, langkah kaki mereka terhenti tatkala melihat sebuah jalan keluar diujung lorong istana yang menuju kearah barak.
"Disana tuan! Kita hampir sampa…"
Belum selesai berbicara sebuah tangan besar berayun dengan kencang dan menghantam tubuh kecil Popeng.
"POPENG!!" teriak Bagas yang kemudian langsung melompat dan menahan tubuh Popeng agar tidak terbentur dengan tembok.
Seekor jin hitam dengan tubuh yang besar tiba-tiba datang dan menutupi jalan keluar menuju kearah barak.
"Penyusup!!" seru sang jin hitam besar sembari mengeluarkan gada yang bertengger di punggungnya dan tak lama beberapa jin hitam yang lebih kecil ikut berkumpul dibelakangnya.
"Naura … tolong sembuh kan Popeng," seru Bagas sembari menaruh tubuh kecil Popeng.
"Iya om," jawab Naura yang langsung mengeluarkan jilatan api berwarna hijau di kedua telapak tangannya.
"Luna tolong jaga mereka," perintah Bagas yang dibalas anggukan mengerti dari Luna.
Bagas berdiri dan melangkah kearah kerumunan jin hitam diujung lorong, aura hitam melingkupi tubuhnya dan berubah menjadi belati hitam ditangan kanannya.
"KUMBANG!" serunya lantang.
Seketika seekor macan kumbang merembes keluar dari bayangan Bagas dan berdiri disebelahnya dengan posisi siap menyerang.
"Kau habisi yang kecil sedangkan aku akan habisi yang besar," seru Bagas kepada macan kumbang tersebut.
"Rawr…Rawr!!" Kumbang sang macan hitam melesat kedepan dan langsung menerkam leher salah satu jin hitam kemudian melemparnya kearah gerombolan jin hitam lainnya.
Cakar tajam keluar dari sela jari Kumbang dan sekejap macan itu menerkam dan mencabik-cabik tubuh jin hitam satu demi satu yang berada dihadapannya.
Jin hitam dengan tubuh paling besar mengangkat gada miliknya dan berusaha menghantam Kumbang namun karena serangan yang terlalu lambat Kumbang dapat dengan mudah menghindari serangan demi serangan dari jin hitam tersebut.
"Hei buruk rupa! Lawanmu disini!" seru Bagas sembari memainkan belati hitam ditangan kanannya.
"Grrrr!!!"
Jin hitam yang paling besar dilorong tersebut beralih melihat Bagas dan sejurus kemudian melancarkan serangan kearahnya.
-BOOM!!-
Bunyi gada menghantam lantai dan seketika menghancurkan sekitarnya, senyum penuh kemenangan tersungging dibibir jin hitam tersebut namun senyum itu berubah menjadi tatapan keheranan disaat melihat manusia yang tadi dihantam gada miliknya menghilang tanpa jejak dari pandangan dan sudah berada dibelakang dirinya.
-tap-
-tap-
-tap-
Langkah pelan Bagas melewati sang jin hitam begitu saja dengan tatapan dingin.
"Graaaaa!!!" sang jin hitam besar murka dan berbalik arah hendak memukul Bagas kembali dengan gada besarnya, namun … disaat ia berusaha membalikkan badannya dan mengangkat gada miliknya lengan yang menggenggam gada tersebut tiba-tiba terputus.
Belum selesai rasa kaget sang jin hitam yang mendapati tangan kanannya putus, semburan darah hitam keluar dari kaki, pinggang, dada hingga leher sang jin hitam besar tersebut dan satu persatu bagian tubuh sang jin hitam besar itu termutilasi dengan luka tebasan belati yang rapih.
"Ini terlalu mudah," gumam Bagas sembari terus melangkah menatap gerombolan jin-jin hitam didepannya.
Satu per satu jin kera yang tengah melawan jin hitam ditengah tanah lapang tumbang bergelimpangan meregang nyawa dengan sekujur tubuh yang bersimbah lumpur bercampur darah, ditengah gempuran mahluk-mahluk hitam yang kian buas hanya tersisa seekor kera putih yang dengan mati-matian menahan setiap serangan dari para jin-jin tersebut, hingga pada satu titik nadir kera tersebut terkena tebasan kemudian tidak mampu bertahan dan tersungkur diatas rerumputan.
Para jin hitam mulai mendekat dan berusaha menghabisi sang kera putih namun sebuah aura violet menyeruak dari sisi belakang membuat mereka tersentak kemudian langsung terdiam dan mundur dengan perlahan. Sesosok wanita berjalan anggun dengan tudung hitam menutupi wajahnya dan selendang hitam panjang menutupi tubuh langsing miliknya, dari belakang ia berjalan perlahan kearah sang kera putih dengan senyum tipis menghiasi bibir merah.
"CEPAT BUNUH AKU!! APA LAGI YANG KALIAN TUNGGU!!" teriak sang kera putih dengan sisa tenaga yang ia miliki.
Sang wanita membuka tudung yang menutupi kepalanya dan terlihat sesosok paras cantik menatap kera putih tersebut dengan tatapan sayu.
"Ck..ck..ck..ck … lihat siapa yang tersungkur disini … seorang martir yang diutus kerajaannya untuk mati dengan sia-sia, hmmm … sangat disayangkan," seru Evelin sembari menyilangkan kedua tangannya didepan dadanya.
"Cih!! Akan aku bunuh kau penyihir!!" gertak Gundara.
"Membunuhku?! Hihihihi … lihatlah dirimu sendiri jendral, kau tidak dalam keadaan untuk berkata demikian … namun dilain pihak," kata-kata Evelin terhenti tatkala ia mengangkat satu jarinya keatas dan membuat tubuh besar Gundara melayang diudara, "namun aku bisa membunuhmu kapanpun aku inginkan," seru Evelin kembali sembari mengelus lembut pipi Gundara.
-bruk-
Gundara langsung terjatuh disaat Evelin menurunkan jarinya, ia mulai berbalik arah dan meninggalkan kera putih tersebut, para jin-jin hitam mulai mendekat dan berkerumun untuk menghabisi Gundara namun disaat mereka siap menghunuskan senjata Evelin bersuara.
"Bawa kera putih itu, ada sesuatu yang harus aku lakukan untuk dia," perintahnya kepada para jin hitam.
Mendengar perintah sang ratu mereka segera mengikat Gundara pada sebuah tiang dan membopongnya pergi bersamaan dengan gemuruh hujan.
Beberapa hari setelah kejadian itu disebuah ruangan lembab nan gelap Gundara terduduk dengan tangan dan kaki yang terikat rantai, luka-luka ditubuhnya sudah di obati dan terlihat makanan sudah tersedia didepan dirinya.
-Klang-
Bunyi pintu besi terbuka dan sesosok wanita berdiri di bibir pintu dengan dua ekor jin hitam yang mengawalnya.
"Kau sudah bangun Gundara?" tanya Evelin dengan senyum tipis tersungging dibibirnya.
Gundara membuka matanya dan menatap tajam kearah Evelin, "sebenarnya apa yang engkau inginkan dariku penyihir?" tanya Gundara.
Evelin menatap kera putih didepannya dan tersenyum miring mendengar pertanyaan tersebut.
"Hei kalian … buka rantainya," perintah Evelin pada para jin hitam penjaga dibelakang dirinya.
Dengan sigap para jin hitam penjaga langsung melangkah kearah Gundara dan langsung membuka rantai yang membelenggu sang kera putih tersebut.
"Makanlah … kau tidak berguna jika mati disini," seru Evelin kala itu.
"Cih!! Aku tidak sudi mendapatkan belas kasih darimu!" decih Gundara sembari membuang muka dari tatapan manusia didepannya.
Evelin menatap benda yang terkalung dileher sang kera, "itu pemberian ibumu bukan?" tanya Evelin.
Bola mata Gundara membulat menatap Evelin seraya berucap, "b-bagaimana kau tahu!? Yang mengetahui asal usul kalung ini hanya aku dan ibuku sendiri."
"Aku adalah seorang retrof … sang pembaca masa lalu, jika kau ingin mengetahui tentang ibumu dan kebenaran tentang hidupnya segera makanlah dan ikuti aku," ucap Evelin.
Selesai berbicara wanita cantik itu membalikkan badannya dengan anggun dan melangkah pergi meninggalkan ruang tahanan tersebut dengan pintu yang ia biarkan terbuka, sedangkan disatu sisi Gundara menatap perlahan makanan yang ada di depannya dan tanpa ia pikir panjang langsung mengambil sepotong daging diatas nampan dan berdiri seraya mengikuti langkah Evelin keluar dari ruang tahanan itu.
Tidak memakan waktu lama mereka berdua telah berjalan hingga sampai disebuah ruangan gelap dengan aura yang mencekam, diruangan itu dihiasi pilar-pilar besar dan beberapa api obor yang menempel ditiap dinding, ditengah ruangan terdapat sebuah cermin raksasa yang disekelilingnya dihiasi ukiran pentagram dengan bau darah yang menyengat penciuman.
Evelin berdiri didepan cermin tersebut dengan Gundara berdiri dibelakangnya.
"Ini adalah cermin kalanik … sekarang lihat cermin ini baik-baik," seru Evelin dengan aura violet yang mulai melingkupi tangan kanannya.
Gundara menatap lurus kearah cermin dan dengan samar-samar ia melihat wajah mendiang ibunya yang tercinta dikala ia masih bekerja ditempat hiburan malam.
"Ibu …" lirih Gundara.
Evelin menggapai kalung yang berada di dada sang kera dan menyalurkan energi gelap kedalamnya, bagai diorama Gundara dapat melihat segala kejadian yang terjadi saat itu hingga saat ini didalam cermin dan apa yang terjadi dengan ibunya menjadi jelas baginya.
Segala tindak tanduk sang raja kala itu terpampang jelas di dalam cermin tersebut, disaat sang raja mendekati ibunya dan menyuruh beliau untuk merahasiakan hubungan terlarang itu sampai sang ibu membesarkan Gundara seorang diri hingga akhirnya beliau meregang nyawa karena penyakit yang selama ini ia derita ketika bekerja di rumah bordil. Pemandangan di cermin terus silih berganti hingga ia memperlihatkan sang raja tengah menceritakan segalanya kepada kekasih hatinya yaitu putri Karina, sang raja mengatakan untuk mengakhiri hubungan mereka berdua yang selama ini telah terjalin.
Gundara membuang pandangannya kesamping seraya berjalan perlahan menjauh.
"A..aku tidak percaya dengan semua ini … semua pemandangan di cermin itu hanya sihir yang sudah engkau manipulasi kemudian kau perlihatkan kepadaku!" cebik Gundara memantapkan keteguhan hatinya namun Evelin membalikkan tubuhnya seraya menatap balik Gundara, "lalu … menurutmu apa alasan sang ratu mengirim salah satu jendral terbaiknya ke dalam medan perang yang mustahil untuk ia menangkan?" tanya Evelin sembari menyilangkan kedua tangannya didepan dada.
Gundara terdiam … hatinya mulai dihiasi kabut kelam yang semakin pekat penuh kecurigaan.
"Lihat cermin itu kembali dan katakan kepadaku bahwa semua ini hanya sebuah ilusi," seru Evelin yang berjalan melewati Gundara dan beranjak pergi menuju ruang singgasana.
Dengan lemah Gundara mengangkat kepalanya dan mulai berjalan kembali kearah cermin dan menatap dalam-dalam cermin didepannya. Didalam cermin terlihat sang ratu yang tengah naik pitam sedang mengacak-acak isi kamarnya.
"Akan kubunuh kau!! ANAK HARAM ITU AKAN AKU BUNUUUUH!!!" teriak sang ratu lantang.
Dan seketika cermin itu redup tidak lagi memperlihatkan potongan-potongan adegan masa lalu kepada Gundara.
Gundara mengepalkan kedua tangannya erat seraya membalikkan badan dan berjalan kearah Evelin yang tengah berada di ruang singgasana.
"Jadi apa keputusanmu wahai kera putih? Masih berfikir semua ini ilusi yang kuciptakan untukmu?" tanya Evelin dari singgasananya.
"Sebenarnya apa maumu? Mengapa kau membiarkan aku hidup?" tanya Gundara.
Evelin menatap sayu kera putih didepannya, "aku akan memberitahukanmu sebuah rahasia, mengapa aku tidak langsung membunuhmu … ibumu … adalah salah satu anak buahku … disaat itu ia pergi meninggalkan tempat ini untuk mendapatkan hidup yang lebih baik diluar sana, namun … sepertinya takdir berkata lain … ia hanya berakhir menjadi barang pemuas nafsu di rumah bordil itu, bahkan pencapaian terbaiknya hanya menjadi gundik seorang raja yang pada akhirnya ditinggalkan seorang diri bersama buah hatinya," seru Evelin.
Gundara menatap tajam wanita didepannya itu dengan tangan yang terkepal kencang.
"Kau pasti butuh bukti wahai kera putih, bukti dari semua perkataanku," Evelin mengangkat tangannya kedepan dan mulai merogoh kedalam selipan atas baju miliknya, dengan perlahan ia mengeluarkan sebuah kalung dan memperlihatkannya kepada Gundara, "kalung yang sekarang engkau pakai … adalah pemberianku, tanda dari seorang guru kepada muridnya, semua bawahanku memiliki kalung ini," seru Evelin sembari memperlihatkan kalung yang sama persis dengan milik Gundara, sebuah kalung berbatu merah delima dengan tali jerami terpampang jelas didepan hadapan Gundara.
Gundara menoleh menatap sekitar dan melihat para jin-jin hitam yang tengah berada di dalam ruangan tersebut mulai mengangkat tangan mereka dan mendapati kenyataan bahwa hampir semua dari mereka memakai kalung yang sama dengan miliknya.
Gundara terdiam lemas dan kemudian terjatuh sembari bersimpuh didepan Evelin.
"Sekarang aku akan memberikan kau pilihan Gundara, kau bisa pergi meninggalkan tempat ini dan kembali kepada kerajaan yang membuangmu karena menganggap kau adalah aib bagi mereka … atau … kau bisa berada disini menjadi salah satu muridku dan ketika waktunya tiba … kita akan merenggut hakmu sebagai raja Pujakerana dan membalaskan kematian ibumu," seru Evelin sembari berdiri dan melangkah perlahan kedepan Gundara.
Gundara menengadahkan kepala dan menatap wajah cantik wanita didepannya.
"Bagaimana? Tertarik?" tanya Evelin sembari merentangkan telapak tangan kanannya kearah wajah sang kera.
Gundara meraih telapak tangan wanita tersebut dan mencium lembut punggung tangan Evelin, "mulai sekarang raga ini milikmu ratuku."
Saat ini dikerajaan Pujakerana...
-Drap-
-Drap-
-Drap-
-Drap-
-Drap-
-Drap-
Derap langkah terdengar riuh ramai disepanjang lorong kerajaan Pujakerana, para jin-jin hitam berlalu lalang menuju kearah depan gerbang dengan berbondong-bondong, beberapa membawa senjata berupa kapak dan pedang bergerigih bagai gergaji, adapula beberapa jin hitam dengan tubuh lebih kurus menenteng busur panah di punggungnya berlompat-lompatan dari satu atap rumah ke atap rumah yang lain menuju kearah gerbang depan.
Gundara berjalan diantara para jin hitam dengan gada emas di pundaknya, ia berjalan dengan laju yang cepat kearah reruntuhan gerbang depan kerajaan Pujakerana.
Tak lama suasana hening tercipta tatkala para jin hitam berlalu pergi meninggalkan lorong-lorong kerajaan Pujakerana. Perlahan dari sebuah pintu tengah mengintip sepasang mata yang melirak-lirik keadaan disana.
"Sudah aman," bisik Popeng kepada yang lain.
Dari pintu tersebut keluar Popeng dan Bagas, diikuti Karina, Naura dan Luna yang mengekor dibelakang.
"Sekarang kita harus kemana?" tanya Luna dengan menggenggam senjata laras pendek di kedua tangannya.
"Kita kearah barak yang berada dibelakang kerajaan, mari ikuti hamba," seru Popeng memimpin rombongan tersebut.
Sepanjang jalan dilorong istana rombongan putri Karina bertemu beberapa penjaga jin hitam namun mereka dapat mengalahkannya dengan mudah, langkah kaki mereka terhenti tatkala melihat sebuah jalan keluar diujung lorong istana yang menuju kearah barak.
"Disana tuan! Kita hampir sampa…"
Belum selesai berbicara sebuah tangan besar berayun dengan kencang dan menghantam tubuh kecil Popeng.
"POPENG!!" teriak Bagas yang kemudian langsung melompat dan menahan tubuh Popeng agar tidak terbentur dengan tembok.
Seekor jin hitam dengan tubuh yang besar tiba-tiba datang dan menutupi jalan keluar menuju kearah barak.
"Penyusup!!" seru sang jin hitam besar sembari mengeluarkan gada yang bertengger di punggungnya dan tak lama beberapa jin hitam yang lebih kecil ikut berkumpul dibelakangnya.
"Naura … tolong sembuh kan Popeng," seru Bagas sembari menaruh tubuh kecil Popeng.
"Iya om," jawab Naura yang langsung mengeluarkan jilatan api berwarna hijau di kedua telapak tangannya.
"Luna tolong jaga mereka," perintah Bagas yang dibalas anggukan mengerti dari Luna.
Bagas berdiri dan melangkah kearah kerumunan jin hitam diujung lorong, aura hitam melingkupi tubuhnya dan berubah menjadi belati hitam ditangan kanannya.
"KUMBANG!" serunya lantang.
Seketika seekor macan kumbang merembes keluar dari bayangan Bagas dan berdiri disebelahnya dengan posisi siap menyerang.
"Kau habisi yang kecil sedangkan aku akan habisi yang besar," seru Bagas kepada macan kumbang tersebut.
"Rawr…Rawr!!" Kumbang sang macan hitam melesat kedepan dan langsung menerkam leher salah satu jin hitam kemudian melemparnya kearah gerombolan jin hitam lainnya.
Cakar tajam keluar dari sela jari Kumbang dan sekejap macan itu menerkam dan mencabik-cabik tubuh jin hitam satu demi satu yang berada dihadapannya.
Jin hitam dengan tubuh paling besar mengangkat gada miliknya dan berusaha menghantam Kumbang namun karena serangan yang terlalu lambat Kumbang dapat dengan mudah menghindari serangan demi serangan dari jin hitam tersebut.
"Hei buruk rupa! Lawanmu disini!" seru Bagas sembari memainkan belati hitam ditangan kanannya.
"Grrrr!!!"
Jin hitam yang paling besar dilorong tersebut beralih melihat Bagas dan sejurus kemudian melancarkan serangan kearahnya.
-BOOM!!-
Bunyi gada menghantam lantai dan seketika menghancurkan sekitarnya, senyum penuh kemenangan tersungging dibibir jin hitam tersebut namun senyum itu berubah menjadi tatapan keheranan disaat melihat manusia yang tadi dihantam gada miliknya menghilang tanpa jejak dari pandangan dan sudah berada dibelakang dirinya.
-tap-
-tap-
-tap-
Langkah pelan Bagas melewati sang jin hitam begitu saja dengan tatapan dingin.
"Graaaaa!!!" sang jin hitam besar murka dan berbalik arah hendak memukul Bagas kembali dengan gada besarnya, namun … disaat ia berusaha membalikkan badannya dan mengangkat gada miliknya lengan yang menggenggam gada tersebut tiba-tiba terputus.
Belum selesai rasa kaget sang jin hitam yang mendapati tangan kanannya putus, semburan darah hitam keluar dari kaki, pinggang, dada hingga leher sang jin hitam besar tersebut dan satu persatu bagian tubuh sang jin hitam besar itu termutilasi dengan luka tebasan belati yang rapih.
"Ini terlalu mudah," gumam Bagas sembari terus melangkah menatap gerombolan jin-jin hitam didepannya.
ariefdias dan 14 lainnya memberi reputasi
15
Kutip
Balas
Tutup