Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

amyjk02Avatar border
TS
amyjk02
Jemari Amy (Kumpulan Cerpen Berbagai Genre)


Wellcome to my imagine castle. Mau yang romantis? Ada. Mau yang horor? Ada juga. Mau yang sadis dan gore? Ada banget. Atau mau yang bikin ngakak? Ada juga, lho.

Selamat menikmati hasil kehaluan saya 🥰🥰



Jacka Taroob VS Vampire


Fantasi







***

Aku merapatkan jaket, gemetar kedinginan. Tak peduli gelap dan jalanan licin, terus kubawa langkah menyusuri hutan. Sepi dan semakin dingin.

Terkejut ketika mataku menangkap sebuah kelebat bayangan. Bau anyir menguar, memenuhi hidung. Aku segera menggenggam senjataku dengan erat. Bersiap siaga. Kusembunyikan tubuh di balik pokok pohon besar dengan mata yang terus mengawasi sekitar.

Benar saja! Tidak jauh dari tempatku berdiri, dua makhluk berjubah hitam terbang rendah mengejar sesuatu.

"Tolong!" teriak seorang wanita yang terdengar panik dan ketakutan. Sementara pengejarnya semakin mendekat.

Aku membekap mulut melihat pemandangan di depanku. Dua lelaki bertubuh lebih besar dariku menerkam wanita yang tadi meminta tolong. Tubuh kecilnya tak berkutik ketika seorang di antara mereka menduduki perutnya. Sedangkan seorang lagi, menelungkup di atas tubuhnya. Aku memejamkan mata. Cukup ingatanku saja yang mengatakan apa yang selanjutnya terjadi.

"Apa ini yang terakhir?" Suara berat salah satu dari mereka bertanya.

"Tidak! Masih banyak. Mereka bersembunyi," jawab si penggigit.

Aku meremas tangan. Suara mereka mengingatkanku akan sebuah peristiwa memilukan setahun yang lalu.

Srak!

Aku keluar dari tempat persembunyian. Kutodongkan senjata ke arah mereka.

"Akhirnya aku menemukan kalian," ucapku dengan dada bergemuruh, menahan emosi.

"Ow, si tukang jagal rupanya. Kau akan ...."

Dor!

Satu di antara mereka tumbang dengan kepala hancur. Tersisa lelaki berambut pirang yang kukenal sebagai Leonard.

"Hei! Kita bisa berunding, bukan?" tanyanya berusaha menahanku. Aku terus menodongkan moncong senjata ke arahnya yang perlahan mundur.

"Aku tidak suka basa-basi." Kutekankan senjata ke dadanya. Mendorong tubuhnya hingga membentur pohon.

"Katakan pada saudaramu, Jacka Taroob akan datang! Dan ini ... untuk keluargaku!" Kutarik pelatuk pistolku, membuat bola perak di dalamnya berpindah ke dalam dada si vampir. Bersarang di jantungnya dan ... boom ....

Tubuhnya meledak. Cairan hitam dan serpihan daging mengotori wajah dan badanku.

Ya, akulah Jacka Taroob. Jagal vampir terkenal dari negeri BloddyField. Aku terus berkelana menyusuri berbagai tempat menumpas mahkluk bertaring yang mematikan.
Semenjak kejadian dua tahun silam.
⚔️⚔️⚔️

"Mereka marah karena kamu telah membunuh anggota keluarganya, Jacka," ucap seorang tetangga yang kutemukan berdarah di tepi hutan. Tidak ada gigitan di tubuhnya, tetapi cairan merah pekat itu nyaris membuatnya tiak dikenali lagi.

"Mereka menyiramkan darah keluargaku. Setelah membantainya di depanku. Mereka butuh jawaban tentang keberadaanmu, Jacka. Huhuhu ...." Kupeluk tubuhnya yang anyir. Darahku seolah mendidih mendengarkan ceritanya.

"Maafkan aku ... tidak bisa menja-ga keluarga-mu. Akh ...."
Tubuhnya menggelepar. Darah segar menyembur dari mulut. Perlahan tubuh kurus itu menghitam dan ... berubah menjadi abu.

"Kurang ajar!" geramku emosi.

Aku lantas bergegas menuju rumah. Pikiran semakin kalut ketika dari jauh tampak kepulan asap dari bangunan kecil dan sederhana itu.

"Tidak!" teriakku semakin mempercepat lari. Darah berceceran di mana-mana. Memerahkan dinding papan dan lantainya. Kudobrak satu persatu pintu kamar. Nihil.
Kemana mereka?

"Nawang Wulan? Nawangsih?" Aku gemetar memanggil istri dan anakku. Terkesiap ketika melihat aliran darah dari dapur.

"Tidak!" Tulangku seakan remuk. Tersungkur di lantai tanah yang penuh darah. Mataku melotot tak percaya melihat dua orang yang kusayangi tergantung di dapur. Tanpa kepala. Sebuah kait besi menancap di perut mereka. Terhubung ke seutas tali yang terikat di palang dapur.
Darah segar masih menetes dari ujung kaki mereka.

"Ti-dak!"
....

⚔️⚔️⚔️

"Tolong Ayah! Sakit ...." Aku menggeliat mendengar rintihan Nawangsih. Mataku beredar mencari sumber suara.

"Tolong, Mas! Sakit ...." Aku tersentak. Di ujung sana, berdiri dua orang yang kusayangi. Bergaun putih dengan bercak darah yang jelas. Mereka melangkah tertatih-tatih mendekatiku.

"Wulan? Asih?"

Sret ....

"A-apa ini?" Akar pohon yang entah dari mana asalnha mengikat erat kakiku. Kutarik sekuat tenaga agar terlepas. Percuma. Ikatannya terlalu kuat.

"Tolong!" teriak mereka bersamaan. Menggapai-gapai memintaku mendekat.

"Wulan? Asih? Tung--"

"Hahaha .... Terlambat, Jacka!"

Dua orang berwajah pucat tiba-tiba berdiri di belakang Nawang Wulan dan Nawangsih. Tangan mereka mengunci leher anak dan istriku.

"Tidak! Jangan!" teriakku gelagapan.

"Kau terlalu lambat!" cibir lelaki berambut pirang.

Crash!

Aku terkesiap. Belati tajam memisahkan kepala dari tubuh anak dan istriku. Sangat cepat.

Bibirku kelu dengan tubuh bergetar. Belum cukup, dua vampir itu menusukkan belatinya ke perut Wulan dan Asih. Berkali-kali. Lantas membiarkan tubuh mereka terjatuh ke tanah.

"Tidak!" teriakku sekuat tenaga.

"Hahahaha ...," tawa mereka berderai lantas menghilang.

Aku jatuh terduduk. Menangis. Nyawaku seolah ditarik paksa. Membuat jantungku tak lagi normal memompa darah. Napas tersengal dan dada yang seolah terhimpit. Sakit!

"Tolong ...!" Suara serak dan kesakitan terdengar menyayat hati. Aku tergagap. Mengusap air mata dengan cepat. Berusaha menajamkan penglihatan.

Samar kulihat tubuh tanpa kepala anak istriku bergerak. Merangkak pelan menujuku.

"Tidak mungkin!" Aku menggeleng, tidak percaya.

Dalam sekejap mereka sudah mendekat. Dengan jelas aku melihat cerabut daging yang masih berdarah pada leher mereka. Gaun mereka pun tak lagi putih. Merah dan anyir.

"Tidak ...." Bibirku berucap pelan, takut. Tubuh tanpa kepala itu terus mendekat hingga membuatku terbaring di tanah. Tetesan darahnya membasahi wajahku.

"Tidak ...!" Aku terbangun dengan napas tersengal. Keringat mengucur deras dari sekujur tubuh. Mimpi itu lagi! Tepatnya kenangan kelam yang terus menjadi mimpi buruk.

"Maafkan aku!" Dadaku sakit menahan tangis. Kerinduan, penyesalan, kemarahan dan dendam terasa menyesakkan.

"Hei, jangan begitu! Nanti rambutku basah." Aku tersentak ketika mendengar suara seorang wanita. Mataku melihat sekeliling. Semak-semak tempatku bersembunyi memang sedikit gelap. Padahal hari sudah pagi dan terang.

Kusibak sedikit semak di depanku, mengintip. Mataku terpana menatap telaga yang tak jauh dari tempatku.

"Siapa mereka? Bidadari?" Mataku tak berkedip menatap tiga wanita cantik yang tengah asyik bermain air. Mereka ... telanjang?

Aku menatap tumpukkan kain berbeda warna tak jauh dariku.

"Itu pasti pakaian mereka," gumamku.

Terbersit niat jahat di otakku. Ya, siapa yang tidak tergoda melihat wanita secantik mereka di tengah hutan begini?

Dua tahun rasanya sudah cukup mengobati sakitnya ditinggalkan. Petarung sepertiku harus cepat move on, bukan?

Tanganku sigap menarik salah satu tumpukkan baju. Kupilih warna merah. Warna yang selalu seksi dan menggoda menurutku. Itu juga warna favorit Nawangwulan. Sedikit mengobati kerinduan, kan?

"Tempatnya indah, aku jadi tidak ingin pulang, hihihi ...." tawa salah seorang dari mereka. Terdengar merdu dan menenangkan.

Aku berdebar menanti di balik semak. Benar saja! Salah satu dari mereka kebingungan mencari pakaiannya. Dua saudarinya membantu mencari.

"Kita harus segera pergi. Kalau tidak, kita akan terjebak di dunia ini selamanya," ucap salah satu dari mereka. Wanita dengan pakaian kuning.

"Benar! Maaf, kami harus pergi," ujar si hijau yang lantas bergegas. Wajah mereka seperti ketakutan.

"Ah, ini saatnya," gumamku keluar dari semak-semak setelah kedua saudari si merah pergi. Tak lupa kusembunyikan kain berwarna merah itu di balik batu.

"Ada yang bisa kubantu?" tanyaku dengan memalingkan wajah. Karena aku yakin dia pasti malu jika ketahuan tanpa busana.

"Si-siapa kau? Jangan mendekat!" cegahnya dengan suara bergetar, menahan tangis.

"Tenang! Aku hanya ingin membantu," ucapku seraya mengulurkan sebuah kain dan jaket padanya. Perlahan uluranku diterima.

"Terima kasih," ucapnya senang. Kini dia sudah ada di depanku.

Ya Tuhan! Ini sungguh bidadari.
Aku tak berkedip menatap wajah cantiknya. Kulit seputih susu dan sehalus porselen. Hidung mancung, bibir sensual dan mata birunya seolah memabukkanku.

"Maukah kau membawaku pulang? Di sini dingin," pintanya lemah dan takut-takut.

"Eh, i-iya. Tentu. Mari!" Aku berjalan mendahuluinya.

Akan kubawa ke mana dia? batinku bingung. Mana ada seorang pengembara mempunyai rumah?

Dan lagi, apakah dia tidak takut jika melihat senjataku?

"Bisakah kau sedikit lambat? Kakiku sakit." Aku menoleh. Oh God! Kenapa aku melupakannya?

Gadis cantik itu menunduk, memegangi telapak kakinya yang ... berdarah?

"Apa yang terjadi?" tanyaku khawatir. Aku segera berlutut memegangi kakinya. Kuperiksa kulit halus itu dengan teliti. Sebuah ranting tajam menggores telapak kakinya. Darah segar merembes pelan.

"Tenanglah! Aku akan mengikatnya." Kurobek ujung kausku lantas mengikatkan ke telapak kakinya.

"Kita harus bergegas. Bau darahmu pasti mengundang para vampir. Aku memang sudah membentengi diriku tapi adanya kamu bersamaku, mereka akan lebih mudah mendeteksi," jelasku seraya sibuk mengikat kakinya.

Dengan posisi seperti ini tangan halusnya memegang pundakku. Sesekali mencengkaram leher, ketika aku terlalu kuat menyentuh lukanya. Sungguh rasa yang indah!

"Selesai. Mari ki ...." Aku terhenti ketika merasakan kuku runcing perlahan menusuk pundak. Dan perlahan semakin dalam.

Aku terkejut ketika mendongak. Wanita itu berubah. Wajahnya putih pucat dengan garis halus berwarna kemerahan. Mulutnya terbuka lebar, menampilkan barisan gigi dan taring yang tajam.

"Si-siapa kau?" Aku mundur, membuat cengkeramannya terlepas. Darah segar mengucur deras dari bekas kukunya.

"Hahaha. Benar saja! Si jagal memang kalah dengan wanita," ucapnya dengan seringai lebar. Aku meraba pinggang,
Mencari sesuatu.

"Kau mencari ini?" tanyanya menunjukkan senjataku yang sudah remuk. Bagaimana ini?

"Ini untuk Leonard!" teriaknya mencakar wajahku. Aku menjerit. Pedih dan panas seolah terbakar.

Aku berusaha mundur, tapi ... tubuhku terbentur batu.

"Tamat riwayatmu, tukang jagal!" Wanita menyeramkan itu berteriak lantang.

Aku hanya melihat bayangan kuning dan hijau yang secepat kilat menancapkan taringnya pada leherku. Kurasakan darahku tersedot habis.

Aku hanya bisa melotot melihat wanita yang tadi kutolong menancapkan kukunya ke dadaku. Merobek dan menarik isi di dalamnya.

Tubuhku bergetar. Hingga kemudian tak kurasakan apa-apa lagi.

Gelap.
....

***
"Selamat datang, Jack." Aku mengerjap ketika kudengar suara halus seorang wanita. Kulihat tiga wanita cantik dan puluhan lelaki berpakaian hitam berdiri di depanku.

Berkali-kali aku memejamkan mata. Ada yang aneh dengan penglihatanku. Lantas menutup mulut yang ... juga terasa aneh. Perlahan tanganku bergerak, bermaksud meraba.

Tunggu!

"A-apa ini?" Aku menatap jemariku yang meruncing dengan kuku hitam yang tajam.
Wanita bergaun merah menyerahkan sebuah cermin.

"Tidak!" bisikku pelan. Aku menggeleng.

Di pantulan cermin, aku melihat seseorang yang sangat mirip denganku. Bedanya dia berwajah pucat, bermata merah dan bertaring.
.
END

-AmyJK-
Baturaja, 10012020

Sc Pict: pinterest
Diubah oleh amyjk02 11-06-2020 11:55
jenggalasunyi
bukhorigan
inginmenghilang
inginmenghilang dan 23 lainnya memberi reputasi
24
4.5K
360
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
amyjk02Avatar border
TS
amyjk02
#22
Just You


Lama nggak posting, saya bawa yang baper, nih. Selamat berbaper-baper ria. Jangan lupa tinggalkan jejak, ya.

❤️❤️❤️❤️
Joyce terkejut ketika mendapati Akio sudah berdiri di depan pintu rumahnya. Lelaki yang baru saja diputuskan itu datang dengan wajah lesu dan mata sembab.

"Kamu mau putus sama aku?" tanya Akio lirih. Matanya mengikuti gerak kikuk Joyce. Gadis itu berusaha menyembunyikan matanya yang juga sembab.

"Kenapa?" Akio memegang bahu gadis yang hanya setinggi lehernya itu. Tangan kekar Akio mendorong Joyce hingga terbentur tembok. Mata tajam yang mulai berair itu tak beralih dari wajah sang kekasih.

"Apa yang kamu pikirin? Kamu tahu, ini menyakitiku."

"Apa kamu pikir selama ini aku nggak sakit?"

Akio terdiam. Mata mereka beradu. Saling menyelami perasaan masing-masing dari air mata yang mulai mengalir.

"Kamu terlalu sibuk dengan duniamu sendiri. Kamu lupa ada aku. Kamu lupa aku butuh kamu. Butuh kamu, bukan transferan uangmu!"

"Aku kerja demi--"

"Kita? Bukannya buat kamu sendiri?"

Jemari Akio bergerak, bermaksud mengusap air mata di pipi Joyce. Namun, Joyce dengan cepat menepis. Gadis berlesung pipi itu menunduk, menumpahkan tangisnya.

"Aku sakit, sendirian, dan kamu nggak pernah peduli. Kamu pikir saat kamu bayar dan kirim dokter pribadi untuk aku, itu membuatku sembuh? Tidak! Sakitnya di sini," ucap Joyce menepuk dadanya sendiri. Isaknya semakin dalam.

"Maafkan aku. Tapi aku mau kita kembali lagi, please!" Akio memegang kedua tangan Joyce, menangkupkannya di depan dada dan mengecupnya sekilas.

"Aku mau sendiri, please!" Joyce menarik tangannya. Dia lantas mendorong dada bidang Akio untuk menjauh.

"Pulanglah! Klienmu sudah menunggu. Aku mau ke butik." Tanpa menatap Akio, Joyce terus mendorong tubuh tinggi tegap itu hingga ke pintu.

"Joyce, please, aku minta maaf!"

Joyce sesenggukan di balik pintu. Pertahannya runtuh, tubuhnya melorot hingga bersimpuh ke lantai. Gadis itu memeluk lutut dan masih menangis.

Semalam, Joyce memutuskan Akio melalui pesan WhatsApp. Pesan singkat berisi enam kalimat itu dikirim olehnya setelah tiga panggilannya ditolak, dan puluhan panggilan lain yang tak terjawab.

Sore itu memang Joyce mengeluh pusing. Sebenarnya gadis itu hanya mencari perhatian Akio yang sudah hampir satu bulan tidak menemuinya. Rindu menggunung, begitu kata Joyce. Namun, bukannya datang, lelaki yang sibuk mengurus lima kafe dan restoran Jepang itu justru mengirim seorang dokter ke rumah Joyce.

Kecewa? Jelas. Bukan itu yang diinginkan Joyce. Dia hanya butuh Akio, bukan yang lain.

[Memang seharusnya aku tahu diri. Aku tidak pernah penting dalam hidupmu. Kulepas tanggung jawabmu mencintaiku. Kita putus! Jangan temui aku lagi!]

Semalaman Joyce tidak tidur hanya untuk menunggu bahwa pesan itu sudah berganti menjadi centang biru. Nyatanya tidak, hingga pagi. Lalu sejam kemudian Akio datang dengan wajah sembab.

Bukan hanya sekali hal itu terjadi, tapi berkali-kali. Semenjak hubungan mereka memasuki tahun ke dua.

"Aku harus bolak balik ke Jepang, kumohon mengerti!"

"Rindu? Kenapa jadi manja, sih?"

"Aku capek, mau istirahat. Besok lagi, ya?"

"Aku nggak bisa dateng, maaf. Papa memintaku menemani dia buka cabang baru."

Itulah beberapa alasan yang diberikan Akio ketika gadis yang bekerja sebagai desainer baju pengantin itu meminta waktunya.

"Kalau kamu ikut, aku nggak yakin kamu suka."

"Tempatnya jauh, aku takut kamu capek."

Itu pula alasan yang diberikan oleh lelaki keturunan Jepang itu ketika Joyce meminta untuk ikut serta.

Bukan Joyce tak percaya, dia hanya ingin selalu berada di samping sang kekasih, meskipun Akio selalu mengirim foto setiap aktivitasnya.
❤️❤️❤️❤️

Joyce menatap birunya air danau dengan mata berawan. Di tangannya tergenggam dua tangkai mawar berbeda warna. Putih, warna kesukaannya dan merah warna kesukaan Akio.

Matanya tertunduk, membuat dua jalur bening perlahan jatuh. Gadis itu terisak. Entah mengapa Joyce sangat ingin mengunjungi tempat itu. Tempat mereka pernah saling mengenal, akrab, hingga menjadi cinta. Ya, mereka memulai hubungan itu dengan pertemanan. Hingga sama-sama jatuh hati.

Joyce duduk di bangku dengan memeluk lutut. Tanpa semangat, gadis itu melempar dua bunga mawarnya ke depan. Lantas menutup wajahnya dengan tangan, dan terisak. Tiga tahun berpacaran nyatanya meninggalkan jejak luka teramat dalam hanya dalam waktu satu hari. Kenangan indah dan rencana hidup bersama nyatanya menjadi pisau yang menikam hidupnya. Joyce terpuruk. Merasa apa yang diperjuangkan selama ini hanya sia-sia.


"Jika aku mengambil bunga ini, apakah itu artinya kita kembali lagi?"

Joyce mendongak. Akio berdiri di depannya, mengulurkan mawar yang tadi dibuangnya. Gadis itu mengusap wajah. Matanya tak berkedip menatap wajah lelah dan sendu di depannya.

Akio perlahan berjongkok di depan Joyce. Tangannya masih mengulurkan mawar yang tak kunjung diterima Joyce.

"Maaf, ya? Maaf karena aku bandel, masih menemuimu. Aku rindu." Akio meraih jemari Joyce dan menggenggamnya.

"Aku tahu, kamu rindu. Aku tahu kamu butuh aku, tapi aku mengabaikannya. Karena apa? Karena rinduku lebih dari yang kamu rasakan. Percayalah!"

Joyce mengusap pipi. Dia melengos.

"Mungkin bagimu aku berbohong, tapi ... lihat aku!" Akio memegang pipi Joyce, meminta gadis itu menatapnya.

"Aku tidak bisa tanpa kamu, Joyce. Aku cuma mau kamu. Aku tahu aku terlalu egois, nggak pernah perhatian ke kamu, aku--"

Joyce menghambur dalam pelukan Akio, memotong pembicaraan pemuda itu. Mereka berpelukan. Sangat erat. Joyce menumpahkan tangisnya di dada Akio, begitu pun Akio. Mereka melepas rindu. Tepatnya melepas ego masing-masing.

Ya, dua hari putus nyatanya membuat mereka tak berdaya. Karena cintalah kekuatan mereka selama ini.
****

"Please, jangan pergi lagi, ya!" Akio mengusap pipi Joyce. Mereka duduk berhadapan di sofa rumah Joyce. Gadis itu mengangguk. Lantas menenggelamkan tubuh mungilnya dalam pelukan Akio.

"Aku sibuk bekerja, agar kelak kita hidup berkecukupan. Aku tidak mau kamu terus bekerja. Biar aku saja." Akio mengecup puncak kepala Joyce.

"Kenapa?" tanya Akio ketika Joyce manarik diri.

"Aku belum keramas sejak kita putus," jawab Joyce terkekeh, mengusap rambut hitam legamnya.

"Aku bahkan belum mandi sejak diputusin kamu," ucap Akio yang disambut cubitan di perut oleh Joyce.

"Ya udah, aku mandi, ya?" Joyce berdiri dan bermaksud ke kamar mandi, tapi dengan cepat Akio meraih pinggangnya. Tubuh mungil Joyce jatuh terduduk di pangkuan Akio dengan wajah yang hanya berjarak beberapa inci.

"Kenapa nggak mandi bareng aja? Lebih hemat, 'kan?" bisik Akio. Joyce menahan debar di dada. Hangat napas Akio menerpa wajahnya yang kemerahan. Berpacaran selama tiga tahun, baru kali ini posisi mereka sedekat ini dan tentu saja baru kali ini debar cinta itu nyata.

"Mau?" tanya Akio lagi. Joyce mengeratkan pelukan di leher Akio, hidungnya mengusap hidung mancung milik Akio.

"Beneran mau?" tanya Joyce yang langsung disambut anggukan Akio.

"Akh! Ampun!" Akio berteriak kesakitan saat Joyce mencubit leher Akio dengan keras. Tidak cukup, gadis itu juga mendorong dagu Akio dengan kuat, membuat lelaki itu terdongak tak berdaya.

"Mulai mesum, ya!" Joyce bangkit dan menekankan bantal sofa ke wajah Akio. Merasa tertindas, pemuda itu mendorong tubuh Joyce hingga terbaring ke sofa. Wajah mereka kembali berhadapan. Joyce terlihat tidak berdaya karena kedua lengannya di tekan oleh Akio.

"Ganas juga, ya? I like it!" Akio tersenyum penuh arti. Joyce berusaha berontak, tapi tenaganya terlalu kecil.

"Sstt!" Akio menatap ke dalam manik cokelat Joyce. Ada cinta di sana. Perasaan yang telah lama tersimpan hingga kini.

Wajah Akio semakin dekat. Deru napasnya membuat Joyce berdebar. Akio memiringkan wajahnya dengan mata yang terus menatap wajah cantik kekasihnya. Mereka semakin dekat, hingga akhirnya Joyce menutup mata.

Joyce menunggu .... "Katanya mau mandi?" celetuk Akio.

Joyce tersentak. Wajahnya merengut ketika Akio terbahak-bahak dan membantunya duduk.

"Udah pengen banget dicium, ya?" Joyce mendelik dan melempar bantal.

"Mandilah, kujemput satu jam lagi!" Akio bangkit dan menuju pintu.

"Kita mau kemana?" tanya Joyce penasaran. Akio berbalik dan menatap wajah penasaran Joyce, "Pacaran, dong," jawab Akio sembari mengedipkan mata.

Sepeninggal Akio, Joyce menjerit bahagia. Dadanya bahkan masih berdebar. Gadis itu membenamkan wajahnya ke bantal, menyembunyikan merah pipi karena cinta yang menggebu.

"Jangan lama-lama, ya!" Joyce terkejut ketika tiba-tiba Akio muncul lagi di pintu. Pemuda itu pun pergi dengan menahan tawa.
❤️❤️❤️❤️

"Nikah, yuk!" Joyce yang masih menyantap baksonya nyaris tersedak. Matanya menatap wajah Akio yang sedang menghabiskan es tehnya.

"Apa, sih?"

"Nikah, kimpoian, mantenan, ijab kabul, maried," jawab Akio yang membuat Joyce tergelak.

"Apaan, sih. Ngajak nikah kayak ngajak main gundu aja."

"Terus? Maunya gimana? Aku jongkok bawa bunga dan cincin kayak di film itu?" Ucapan Akio hanya dijawab anggukan Joyce.

"Nggak mau! Di sini kotor, Cin." Tawa Joyce kembali pecah mendengar Akio mengucapkan itu dengan gaya para lelaki cantik (baca:banci).

"Aku serius, Joyce. Menikahlah denganku! Aku maksa!"

"Kok maksa, sih?"

"Ya karena kamu harus mau!"

"Kalau nggak mau?"

"Ya harus mau!"

"Kalau nggak!"

"Aku nggak akan nikah dengan siapa pun!"

Joyce menatap Akio serius.

"Dan kamu nggak akan bisa nikah dengan siapa pun, kecuali sama aku!"

Joyce kembali tertawa. Kali ini dia bahkan memegangi perut yang sakit akibat terlalu banyak tertawa.

"Ya udah, aku mau nikah sama kamu."

"Tapi aku nggak mau!"

"Akio, apaan, sih?"

"Haha, nggak mau lama-lama. Bulan depan, ya?"

"Ish, mana bisa? Kamu kan belum lamar aku."

"Iya, deh. Besok, ya?"

"Ih, mana bisa cepet-cepet gitu?"

"Jadi aku mesti gimana, wahai makhluk Tuhan penuh misteri?"

Joyce tergelak.

"Aku nggak mau lama-lama lagi, karena ... aku nggak mau kamu nahan rindu lagi. Eh, aku juga, sih, hehe."

Joyce memeluk Akio, tak peduli jika puluhan pasang mata menatap mereka berdua.
❤️❤️❤️❤️

END

Sc pict: pinterest
Design: pixalleb
Diubah oleh amyjk02 29-02-2020 03:40
indriketaren
trifatoyah
trifatoyah dan indriketaren memberi reputasi
2