Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

Novianti686Avatar border
TS
Novianti686
Badai di Antara Puzzle Nasi Kotak



Badai di Antara Puzel Nasi Kotak

Bab. 1. Bunga di Antara Duri

Oleh: Novi Yanti




Raka berlari menuruni anak tangga, lelaki itu tidak mau sampai ketinggalan jejak Ranum yang berjalan begitu cepat. Langkah gadis itu seakan sengaja dibuat lebar-lebar, menjadi cara untuk menghindari pemuda yang kini tengah mengejar dirinya. Wajah si gadis terlihat resah dan marah, gumpalan air mata terus mengalir tanpa jeda. Sesekali diusapnya dengan punggung tangan, untuk menghindari mata-mata usil yang melihat penuh tanya. Namun usahanya sia-sia, mata-mata jahil itu telah sigap menatap penuh curiga. Melihat seorang gadis berjalan tergesa dengan menangis sendirian, di antara koridor kelas menuju jalan raya.

"Ranum! Ra! tunggu!" teriakan Raka lantang terdengar. Namun Ranum tidak perduli, langkahnya semakin cepat ditingkahi suara Raka yang terus memanggil namanya. Detak langkah Raka terdengar mendekat, langkah Ranum pun semakin cepat. Ah, seperti lomba jalan cepat. Berkejaran di antara lorong koridor dengan disaksikan mata-mata yang dibuat melongo dengan tingkah keduanya. "Aku minta maaf jika salah!" suaranya bersambut napas yang tersengal-sengal. "Ra, tolong berhenti sebentar."

Ingin Ranum menghentikan langkahnya yang angkuh ini. Namun amarah begitu menguasai diri, kesal dengan sikap Raka yang terlalu berani. Melamar dirinya tanpa diskusi terlebih dulu. Tujuh bulan masa berpacaran, tidak cukup waktu untuk saling mengenal. Bahkan tentang gejolak hati Ranum yang tengah dilanda gelisah, Raka tidak pernah tahu.

Kemarin malam Raka datang tanpa rencana, “kejutan!” begitu katanya. Ranum mengira hanya kunjungan biasa saja layaknya teman istimewa. Menghabiskan waktu dengan bercerita ditemani secangkir teh dan biskuit kelapa. Dan saat malam merangkak pekat, Raka akan berpamitan pulang lalu berjanji untuk jumpa besok di kampus tercinta. Namun sangkaan Ranum salah, benar-benar keliru. Raka datang tidak sekadar untuk dirinya, tetapi untuk bertemu sang Bunda. Tanpa basa-basi, lelaki itu mengungkapkan isi hati. Meminta ijin untuk melamar dirinya, bertunangan. Entah ada setan apa yang tengah merasuki pemuda bermata elang itu. Jantung Ranum seketika dibuat berhenti berdetak, antara bahagia dan ... tanya, “inikah petaka?”

"Kamu punya apa berani melamar anak saya?" tanya bunda pada Raka. Lelaki itu sesaat menundukkan kepala, “niat baik,” jawabnya singkat, tenang tanpa beban. Bunda menarik napas panjang, wajahnya terlihat durja karena tidak suka. “Ranum hendak saya jodohkan,” ucap bunda sambil menatap lekat pemuda yang duduk di hadapannya. “Sudah kerja?” tanya bunda lagi. Raka mengangguk, jantung Ranum bergemertuk. Ini yang dimaksud petaka, bunda tidak pernah suka dengan Raka yang selalu berpenampilan urakan. Apa pun penjelasan Ranum, bunda tidak pernah mau tahu, "bisa apa dia? yakin, kamu terjamin hidup dengan pacarmu itu?” begitu tanya bunda setiap kali Ranum berusaha mengenalkan sosok sang kekasih dengan bercerita.

“Jika kamu serius dengan anak saya, tidak usah tunangan-tunangan, langsung saja menikah,” bunda bicara tanpa meminta pendapat gadisnya. Ranum terlihat kaget, matanya menatap sang bunda, lalu beralih menatap wajah Raka yang tetap terlihat tenang. “Bund!” sergah Ranum. Mata bunda membelalak marah. Ranum pun mengalah untuk tidak melanjutkan bicara.

“Baik, saya akan menikahi Ranum jika itu yang Bunda kehendaki.”

“Minggu depan! Pesta seperti umumnya, tidak hanya akad nikah.” Tukas bunda lagi sengit.

“Bunda!” sergah Ranum lagi. Telapak tangan bunda mengangkat, sebagai isyarat, dirinya harus tetap diam. Raka menganggukan kepala, menyetujui apa mau bunda.

“Ok! daftar undangan akan saya siapkan. Agar cukup waktu memberi tahu para undangan, saya beri tenggak dua minggu dari sekarang. Hari ini Sabtu tanggal: 2 Februari, artinya kalian menikah di hari Sabtu tanggal: 16 Februari.”

Sesaat Ranum merasa dunia begitu gelap, kiamat akan segera tiba. Semua ini hanya akal-akalan sang bunda agar Raka menyerah. Mana mungkin pernikahan disiapkan dalam waku dua pekan. Raka bukan dewa yang bisa menyulap segala keperluan pesta pun biayanya dengan mengayunkan tongkat dan mengucap, “sim salabim.” Hati Ranum perih, sedih atas sikap bunda yang congkak dan tanpa pamrih. Sungguh Ranum khawatir jika Raka tidak mampu, demi sumpah serapah apa pun, gadis itu tidak mau kehilangan si lelaki pujaan.

“Ra!” suara Raka kini tepat ada dibelakang Ranum, lelaki itu berhasil menjajari langkah si gadis. “Beri aku waktu untuk bicara,” tangan Raka gesit menarik pundak Ranum, “tidak baik seperti ini, maaf jika aku salah. Tetapi tolong beri tahu salahku apa?”

Langkah Ranum seketika terhenti, sudut matanya semakin basah. “Kakak tidak tahu keluargaku seperti apa, apa sanggup kakak memenuhi permintaan Bunda? kita baru tujuh bulan saling kenal, apa harus ..., “ tenggorokannya seketika seperti tersedak dan sulit untuk bicara. Tangisnya semakin menjadi, gadis itu menutup wajah dengan kedua telapak tangan.

Hati Raka kini terasa perih, ya ... dirinya menyadari kecerobohan yang telah dibuat. Dua pekan menyiapkan segala rupa keperluan pesta pernikahan, apa mungkin? “jika kamu tidak sanggup, tidak apa. Saya sudah memiliki calon terbaik untuk anak gadis saya.” Itu ucapan bundanya Ranum saat dirinya berpamitan pulang. “Do’akan Kakak,” ucap Raka. Membuka kedua telapak Ranum yang menutupi wajah, “Kakak tahu apa maksud dari mau Bunda, beliau hanya ingin yang terbaik untuk anak gadisnya. Insya Alloh, Kakak akan menjadi terbaik untukmu,” ucap Raka dan tangis Ranum semakin menjadi.

Tidak ada kata yang bisa terangkai saat bahagia itu datang menyergap, pun tidak ada kalimat yang bisa terucap, saat resah gelisah menyelimuti hati dan raga. Dua anak manusia itu hanya ingin menjalankan niat baik menjadi halal di hadapan Sang Pemilik Cinta. Namun tantangan datang silih berganti, terutama dari keluarga Ranum yang kaya raya, tidak bisa menerima calon menantu dari orang biasa.

Raka, pemuda berusia dua puluh lima tahun itu lahir dari keluarga sederhana. Setelah lulus kuliah dia bekerja di sebuah perusahaan distributor buah-buahan. Di waktu senggang Raka menggunakan waktu bekerja sebagai selain itu freelance sebagai fotografer dan kameramen. Lalu melanjutkan usaha kecil-kecilan keluarga yang berdiri di samping rumahnya yang mungil. Sikap dan cara berpenampilan yang urakan membuat semakin kentaranya jembatan perbedaan. Keluarga Ranum yang kaya, religi dan terpelajar, sedangkan keluarga Raka yang sederhana dan selalu diajarkan, bersikap jujur, bersyukur, bertahan dan mandiri dalam menjalani kehidupan. Hanya itu, harta tidak menjadi ukuran keberhasilan bagi keluarga mereka.

Tidak ada alasan bagi seorang Raka untuk mundur dari medan tempur, ya ... anggap saja seperti itu. Bunda dan semua kakak-kakak Ranum baginya bukanlah pasukan musuh yang bisa membuatnya mundur. Hanya Alloh Sang Maha pembolak-balik hati, niat baik akan selalu ada jalannya. Begitu keyakinan Raka.

Ranum, bagi Raka adalah bunga yang harus segera disuntingnya, jika tidak mau kehilangan kesempatan. Gadis itu sudah menjadi cahaya bagi Raka yang jauh dari agama, mengajarkan banyak kebaikan meski semua harus dimulai dari malu. Karena sungguh banyak hal yang Raka lupa mengenai ritual ibadah saat pertama kali berkenalan. Gadis itu meminta dirinya untuk menjadi imam sholat disebuah kegiatan sosial. Jujur Raka mengatakan, bahwa dirinya sudah lama tidak pernah melakukannya. Dia berada di mushola karena menghindar dari hujan, bukan untuk beribadah. Meski sungguh Raka dilanda malu luar biasa, namun gadis itu tampak tidak merendahkan. Ranum mengajak berkenalan dan berjanji suatu saat akan mengajak dirinya mengikuti kajian.

Gadis itu tampak cantik dalam balutan mukena putih yang sudah lusuh. Sejak saat itu, Raka tidak menunggu si gadis menepati janji mengajak pergi ke kajian. Tetapi pemuda itu sendiri yang mencari tahu siapa gadis itu, dan menemuinya menangih janji. Sejak saat itu Raka tidak mau kehilangan si gadis pujaan, meski begitu banyak duri memagari si gadis. Namun Raka tetap yakin, akan dapat mempersuntingnya meski itu penuh rintangan. Semua karena Alloh, dan itu yang selalu Ranum ajarkan pada dirinya yang kosong. Sang Pemilik hidup ini hanya Alloh, manusia wajib berusaha dan berdo’a. Lalu berserah menunggu keputusan Sang Maha Sutradara.

Setelah pembicaraan keduanya yang teramat panjang, Raka dan Ranum memutuskan pulang. Kini keduanya hanya berdo’a dan berusaha atas semua niat baik dan keinginan. Mereka percaya jika senja yang terus merangkak malam akan bertemu pagi dan berjumpa mentari memarkan senyumnya yang seindah pelangi.


Bandung, 10 Januari 2020

Gimi96
NadarNadz
nona212
nona212 dan 14 lainnya memberi reputasi
15
1.6K
11
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
Novianti686Avatar border
TS
Novianti686
#8
Badai di Antara Puzzle Nasi Kotak
Bab. 3 Gundah
Penulis: Novi Yanti


=================================


Setelah kepulangan Raka, Ranum segera bergegas ke kamar. Tanpa memperdulikan panggilan Bunda, dirinya sedang tidak mau berdebat. Ini tentang masa depan, sudah seharusnya Bunda tidak banyak andil, apalagi sampai menentukan siapa yang berhak menikahi dirinya kelak. Menutup pintu dan membantingkan tubuh di ranjang. Menenggelamkan wajah di atas bantal, berharap tangisnya tidak terdengar sampai keluar. Selang beberap menit, terdengar suara ketukan pintu kamar yang semakin lama, semakin keras terdengar, "Ranum, Bunda perlu bicara!" Ranum tetap tidak perduli. "Buka pintu atau Bunda kunci sekalian dari luar! Si Raka itu kurang ajar! nantangin Bunda, punya apa sih dia?" omelan bunda semakin nyaring, "sekarang tinggal kamu yang tentukan, Raka atau Arif anak Haji Dahlan!"

Ranum menutup kuping dengan kedua tangan, tangisnya semakin menganak sungai. Perih, sangat perih... saat bunda berlaku seperti ini. Menentukan jodoh anaknya, tanpa bertanya atau meraba rasa. Mungkin iya, dulu bunda dengan Abi di jodohkan. Lalu cinta bisa berjalan saat pernikahan sudah terjadi. Tapi itu dulu, toh pada akhirnya, Abi tetap mendua dan memiliki beberapa selir. Bukankah itu artinya, ada sisi lain dari Abi yang merasa kurang dari Bunda. Dulu saat Abi masih ada, sempat bercerita bahwa perjodohan Abi dan Bunda karena harta. Sudah menjadi adat istiadat keluarga Bunda, jika memiliki anak gadis harus dinikahkan dengan salah satu patner perusahaan. Tujuannya agar ikatan bisnis tetap terjalin, dan harta warisan tetap terjaga pada keturunan yang jelas. Saat itu Abi sempat menolak untuk dijodohkan, tetapi pada akhirnya Abi menurut kehendak Abah. Karena jika tidak menurut, diancam akan dicoret dari daftar keluarga sebagai anak. Bukan takut, tapi lebih karena menuruti nasihat Ambu yang tidak mau kehilangan anak laki-laki semata wayangnya.

Andai Abi masih ada, mungkin cerita akan berbeda. Akan ada seseorang yang membenarkan maunya. Bahkan menjadi tameng paling depan dalam membela anak gadisnya ini. Namun semua hanya andai, karena Abi sudah lama berpulang. Hanya lantunan doa menjadi pelipur rindu, jika hati terasa begitu kosong tanpa seorang pun yang mau tahu. Bahkan kedua kakak laki-laki Ranum, Bang Arya dan Adit dibuat tidak berdaya, begitu manut terhadap aturan keluarga yang tabu. Apalagi Kak Ningrum, dia sangat membenarkan tradisi yang tidak perlu. Harta demi harta semua diatur sedemikian rupa, agar garis tahta tidak turun derajat.

*

"Sayang," tangan seseorang membelai rambut Ranum yang terjuntai panjang. Mata Ranum terbelalak melihat sosok yang tengah duduk di sudut ranjang. "Abi!" tanpa menunggu waktu Ranum memeluk tubuh lelaki yang dirindukannya. Air mata Ranum jatuh benderai membasahi gamis Abi yang putih bersih, "Bi, Ranum kangen." Abi mengeratkan pelukannya, membelai rambut si gadis. "Jangan nangis terus Ra, Abi enggak suka." Mendengar pinta Abi, tangis Ranum semakin menjadi. Rasanya ingin sekali bercerita semua tentang hari ini. Tentang Raka, tentang Bunda.

Abi menuntun Ranum keluar kamar, anehnya pintu tidak terkunci seperti ancaman Bunda. Namun betapa terkejutnya Ranum, bukan ruang tengah lantai atas yang didapatnya. Tetapi taman yang begitu indah, sangat indah. Banyak bunga dan tanaman di mana-mana, gemercik air dari kolam terdengar merdu. Kupu-kupu warna-warni berterbangan, hinggap di satu bunga lalu ke bunga lainnya. Ranum berlari mengejar kupu-kupu itu, membersihkan mereka yang tengah hinggap di tangkai dan putik bunga. "Bi, di mana kita?" seru Ranum. Abi hanya tersenyum. "Bi, duduk di sini," ajak Ranum dengan satu tangan menunjuk kursi taman yang indah. Abi melangkah menuju kursi taman, duduk bersisian dengan si gadis yang terlihat begitu bahagia.

“Anak Abi udah besar,” lirih Abi. Menatap wajah gadis bungsunya lekat. “Ra, sudah siap menikah?”

Ranum terperenjat mendengar tanya Abi, “Bunda sudah cerita?” Ranum balik bertanya. Abi tersenyum. Ada hangat di dalam dada si gadis, merasa ada ruang kosong yang tiba-tiba terisi. Si gadis pun bercerita banyak tentang Raka, lelaki yang telah memikat hatinya dan menjadi pelindung dirinya yang sering kali limbung. Juga bercerita tentang segala resah atas sikap Bunda yang berusaha memisahkan dirinya dengan Raka dengan bebagai cara.

“Bunda enggak suka Raka, Bi.” Ranum membenamkan kepala di dada Abi. Entah mengapa jika sudah berjumpa Abi, dirinya mendadak seperti kembali menjadi kanak-kanak. Masa yang sangat indah penuh kehangatan. “Tapi, Raka tujuh bulan lalu dengan yang sekarang beda banget,” celotehnya lagi. Abi hanya tesenyum lalu mengusap puncak kepala Ranum, “Abi bilangin Umi, aku enggak mau dijodohin. Meski aku belum mau nikah, asalkan nikahnya sama Raka, aku pasti mau.”

“Insya Alloh dia baik, Ra,” ucap Abi bijaksana, “ jangan lupa istikhoroh, minta sama Ridho Alloh.”

“Maksud Abi yang baik itu... Raka?” Ranum balik bertanya pada Abi, dirinya merasa heran dengan Abi yang tahu banyak atas segala resah yang betah melanda. Tidak ada jawaban, hening dan sangat hening. Saat Ranum menengadah untuk melihat wajah Abi, ternyata Abi tidak ada, semua sudah kembali di kamar. Tidak ada Abi, tidak ada taman dan kursinya yang indah. Dia masih tetap di posisi sebelummya teridur di ranjang. Ranum terbangun dari tidur, dengan perasaan yang masih berkecamuk dengan rasa rindu. Berkali-kali mengusap wajah dan beristigfar, mengumpulkan ingatan atas mimpi barusan. Semua terasa nyata.Gadis itu teringat sesuatu, segera bergegas kepintu, dan terkunci. Bunda menguncinya dari luar, sesaat tertegun mengingat-ingat apa yang terjadi barusan. Terasa begitu nyata, Abi, taman, kolam ikan, gemercik air, kupu-kupu dan matahari. Ranum bergegas ke jendela, disibaknya gorden dan di luar terlihat masih gulita. Matanya beralih menatap jam di dinding. Masih pukul 3 dini hari.

Berkali-kali Ranum mengusap wajah, melafalkan istigfar. Lalu bergegas ke kamar mandi mengambil air wudhu melakukan solat sunat. Hanya Alloh yang maha penentu qodho dan qodhar manusia, bukan Bunda atau siapa pun itu. Diambilnya mukena, diniatkankan dalam hati beribadah untuk mendapat ridho Illahi. Khusuk dalam lafalan doa, bermunajat memohon segala ampunan dan diberi tuntunan petunjuk hidup yang baik. Pinta Ranum saat ini, agar dimudahkan segala urusan Raka dalam menunaikan niat baik meminang dirinya. Pun dibukakan pintu hidayah bagi Bunda agar dilunakan hatinya yang sekeras baja.

Tidak terasa azan Subuh berkumandang, Ranum melanjutkan ritual ibadahnya dengan menunaikan solat subuh dan diakhiri dengan solat fajar, ditutup dengan dzikir pun tasbih. Hingga ketukan pintu nyaring terdengar, disusul suara Bunda yang memanggil namanya. Gemertak suara anak kunci yang diputar seseorang untuk membuka pintu, jelas terdengar. Ranum segera melipat sajadah dan melepas mukenanya. “Sudah solat, sayang?” bunda masuk ke dalam kamar tanpa amarah. Seperti tidak pernah terjadi apa-apa dengan kemarin malam. Ranum mengangguk dan hendak mengambil mushaf. “Bunda mau bicara,” bunda membuka pembicaraan, lalu duduk di sudut ranjang.

Ranum urung mengambil mushaf, dia lalu duduk di ranjang bersisian dengan Bunda. “Ra, nampaknya Raka serius denganmu, Insya Alloh restu bunda untuk kalian.”

“Bunda?” Mata Ranum membelalak tidak percaya mendengar ucapan sang bunda. Bunda mengangguk, meyakinkah. Namun hati kecil Ranum berbicara, bahwa ada rencana lain yang tengah bunda susun. Jahat memang mencurigai ibu sendiri, tetapi kenyataannya bahwa bunda adalah perempuan pintar yang selalu harus mendapatkan apa pun yang diinginkan. Terutama perihal jodoh anak-anaknya. Bagi bunda, menikah dengan yang sederajat, setidaknya hidup tidak akan melarat dan bisnis keluarga akan semakin besar.

“Cukup kamu menatap Bunda seperti itu,” ucap Bunda, Ranum terkesiap kaget. Sebaris senyum tergaris dan ucapan terima kasih pun terucap. Kedua perempuan itu berpelukan, meski sesungguhnya Ranum semakin takut dengan restu yang telah didapat. “Ya Alloh, lindungi Raka dan ampuni Bunda juga saudara-saudaraku,”gumamnya dalam hati. “Bunda siapin dulu sarapan, yah. Maafkan Bunda semalam,” ujar bunda yang setelah itu beranjak dari ranjang menuju pintu keluar kamar.

Hari semakin tinggi, mentari mulai memamerkan sinarnya. Hari ini Ranum enggan beraktifitas, apalagi untuk pergi ke kampus. Ranum tidak mau ketemu Raka, antara marah, khawatir, cinta dan bahagia bercampur menjadi satu. Jika jujur pada diri sendiri Ranum masih belum siap untuk menikah. Tapi dasar Raka, lelaki keras kepala itu nekat bertemu bunda untuk melamar dirinya. Sebuah kejutan yang luar biasa, dan kini selain sangat mengkhawtirkan Raka, juga siap menikah kapan pun pemuda itu mau. Hanya, was-was semakin berkuasa Apa mungkin Raka bisa memenuhi segala keinginan Bunda? dan jika sudah menikah, apa mungkin Raka bisa tahan dengan segala kebiasaan keluarga ini? meski sangat religius, namun sangat matrelialistis dan suka memanfaatkan orang lemah atau manusia-manusia terlanjut baik.

Gadis itu merapikan mukenanya dan menyalakan posel yang tadi dimatikan. Tidak berselang lama, getar ponsel pun terdengar jelas, sebagai pertanda pesan wattsapp masuk. Gadis itu segera mengambilnya, Raka, nama yang tertera dilayar ponsel cukup menggetarkan hatinya yang dilanda gundah.

“Assalamualiakum, kamu.. masih bete dengan Kakak?” pesan Raka telah membuat Ranum tersenyum. Kebiasan lelaki yang dicintainya ini mulai banyak berubah, selalu memulai percakapan dengan salam. Hal kecil ini, cukup meyakinkan diri Ranum, bahwa Raka lah si lelaki pilihan.

“Waalikummusaallam, enggak. Cuma, apa yang Kakak lakukan konyol.” Pesan balasan terkirim.

Tidak lama kemudian, pesan dari Raka kembali masuk, “becouse, im loving u,” dengan dibubuhi immotion konyol. Ranum tidak membalas pesan Raka, sepertinya hari ini dirinya harus ke Kampus. Bagaimana pun, Raka harus tahu siapa dan bagaimana keluarganya. Ranum tidak mau Raka terluka dan kecewa setelah ikatan pernikahan sah. Gadis itu mengusap basah di pipi, bergegas ke kamar mandi untuk bersiap ke kampus dan bertemu sang pujaan hati.


***
Bandung, 04022020
0