abellacitraAvatar border
TS
abellacitra
Akhir Penantian

pict pinterest, pixelab

Assalamualaikum

Hai, Gansist jumpa lagi dengan thread saya, Abella Citra. Semoga selalu dalam lindungan Allah Swt. Aamiin.

Prolog

Kehidupan kadang berpihak kepada kita. Namun, tak jarang yang berputar 180 derajat, tak pernah terlintas apa yang akan terjadi. Kita berharap, semua baik-baik saja, berjalan mulus tanpa halangan dan rintangan. Hidup serba berkecukupan, tanpa perjuangan yang berarti.

Bukan kehidupan namanya, jika semua berjalan manis, apa yang kita inginkan selalu tercapai. Hanya seratus satu yang mungkin ada di muka bumi ini, orang tersebut di atas.

Tergantung kita menyikapi apa dan bagaimana kehidupan ini? Semua memiliki makna sendiri. Semoga setelah membaca karya ini akan muncul pemikiran, ada perubahan untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Selamat membaca

Part 1

Pagi yang cerah, semburat kuning keemasan memenuhi cakrawala di ufuk timur. Semilir angin kering kemarau menampar mukaku dengan mesranya. Sejuk, dingin, kuresapi tiap sentuhan alam ini. Begitu nikmat, tetapi aku akan pergi meninggalkan kota kenangan ini untuk waktu yang entah sampai kapan.

Suasana damai ditemani secangkir kopi, aku duduk di teras samping rumah. Merasakan haru atas kasih sayang keluarga Pak Dhe Tejo, yang menerimaku seperti putrinya sendiri. Beliau teman Ayah sewaktu masih di bangku SMA dahulu.

Hiruk pikuk di rumah khas Jawa kuno ini, sudah terasa aktifitasnya sejak Subuh tadi. Bekal, keperluan, oleh-oleh, dan entah apa lagi. Semua dikemas apik, tinggal menunggu waktu berangkat saja.

"Nduk, segeralah bersiap! Ini sudah beres semua! Nanti, kamu diantarkan Masmu Hanung!" Bu Dhe Tejo, wanita paruh baya ini menemuiku di teras, sambil membetulkan kerudung warna coklat muda dibalut manik-manik. Meskipun tua, masih terlihat cantik.

"Akukan berani sendiri, Bu Dhe. Gak harus merepotkan Mas Hanung," kataku sambil berdiri memeluk manja wanita yang sudah kuanggap seperti ibu kandungku.

"Ehh, gak boleh menolak, kemarin juga sudah memesan tiketnya," katanya, "segeralah bersiap! Habiskan dulu kopinya!" lanjutnya lagi setelah mencium keningku.

"Gak apa-apa, Nduk. Hanung juga lagi libur, sesekali biar main ke tempatmu." Pak Dhe muncul di balik pintu, membawa secangkir kopi yang belum habis diminumnya dan duduk di sampingku.

Celana panjang warna hitam dengan atasan kemeja batik warna coklat tua bermotif daun bambu. Setelan dengan gaun Bu Dhe membuat pasangan ini kelihatan romantis.

"Iya, Pak Dhe. Tapi gak enak juga. Jadi, merepotkan keluarga di sini," ujarku sambil menyeruput wedang kopi yang tinggal seteguk.

"Amorrrr ... sudah selesai belum ngopinya, keburu siang lho. Sejam lagi kereta berangkat!" Hanung berteriak di halaman depan, sambil memasukkan tas ke bagasi mobil.

"Iya, Mas. Ini sudah ko." Aku berlalu meninggalkan teras mengambil tas pribadi di dalam kamar. Sebelumnya sudah izin dulu sama Pak Dhe.

Tak seberapa jauh dari tempatku duduk menikmati arunika pagi, yang sebentar lagi tinggal kenangan. Sampai juga di kamar yang selama ini aku tempati untuk tidur malam.

Di ruangan 3X4 meter aku tersenyum. Semoga bisa ke sini lagi bisikku dalam hati. Meskipun, tak lama, ternyata kenyamanan yang diberikan kepadaku sungguh memberikan arti tersendiri.

Aku mengenakan celana kulot panjang warna hitam, blus warna merah muda dengan hijab senada. Lipstik dan bedak tipis tak pernah lupa. Kuharap bisa memberikan kesan cerah dan segar untuk hariku saat ini. Bergegas meninggalkan kamarku.

"Mbak Amor, aku ikut!" Suara kecil di belakangku memperhentikan langkah dan membuatku menoleh mencari sumber suara.

"Hai, cantik. Sekar, selamat pagi sayang," sapaku setelah mendapati gadis kecil berumur 7 tahunan dengan wajah ditekuk. "Ada apa sayang? Tentu boleh ikut ko? Sekar mau ikut ke Jakarta?" sambungku.

Gadis kecil ini tersenyum, ada binar di mata polosnya. "Apakah aku boleh ikut ke Jakatra?"

Sambil memeluknya aku berkedip, "Ja ... kar ... ta." Aku membetulkan ejaan Jakarta yang diucapkan Sekar. Tersenyum ikut merasakan kebahagiaan bocah ini.

"Iya, Iya ... Jakarta," kata Sekar dengan bola mata bulat yang menggemaskan. Pipinya yang tembem chubby menambah imut penampilan Sekar. Dibalut baju bermotif bunga warna pink kecil, kelihatan makin cantik.

"Ayolah, Amor. Nanti terlambat lho?" Hanung yang sudah duduk di balik setir mobil mulai berkomentar.

Ikut bersama mengantarkanku sampai di stasiun Madiun Bu Dhe dan Pak Dhe Tejo. Mbak Ratih mamanya Sekar, kakaknya Mas Hanung beserta suami.

"Cantik, sekali kamu, Dik. Kenapa gak jadian saja sama Hanung!" celoteh Mbak Ratih setelah aku dan Sekar masuk mobil duduk bersebelahan dengannya.

"Hei, Mbak. Urusan hati, jangan dibawa-bawa," sahut Hanung yang memerah juga telinganya. Aku tersenyum juga mendengarnya.

"Nyatanya juga, jomlo sampai hari ini. Teman kamu sudah pada nikah, Dikk!"

"Sudah-sudah, Mbak ini. Jadi, comblangin kita sih," tersungut-sungut Mas Hanung membela dan menyudahi pertengkaran.

Kuperhatikan pria yang duduk dibalik kemudi. Pria hitam manis, bersih dengan kumis tipis wajah yang fress selalu ceria. Tak pernah lupa kewajiban pada-Nya, tak pernah marah, selalu tersenyum, itulah penilaianku setelah beberapa hari bersamanya. Boleh juga untuk kriteria pria idaman. Akan tetapi, pikiran itu tak pernah ada di hati dan benakku.

"Ha ... ha ... ha .... Jadi melamun kalian, jadi canggung. Kalau iya jadian saja. Mama sudah siap itu punya menantu Amor." Mbak Ratih mulai lagi, "siap punya cucu lagi," sambungannya. Semua ikut tertawa, kecuali Mas Hanung. Keluarga yang hangat pikirku, memberi kesan.

"Cek lagi Nduk, ada yang ketinggalan gak?" Bu Dhe mengingatkan, "HP, alat make-up nya," lanjutnya.

"Gak ada Bu Dhe, semua sudah ko."

"Kita berangkat nich? Baiknya berdo'a dulu. Tolong Papa pimpin do'anya!" Hanung meminta tolong pada Pak Dhe Tejo.

Kemudian PK Dhe Tejo memimpin do'a sampai selesai, kita pun berangkat. Tetangga kanan kiri ikut mengantarkan kepergianku. Rasa haru atas kekeluargaan yang masih terasa dan terjaga.

Tak seberapa lama tibalah kami di stasiun Madiun. Meskipun, jalanan lumayan macet, tetapi tak sampai telat kami di stasiun.

Setelah mengurus tiket yang terbeli lewat online kemarin, kami menuju ruang tunggu. Menunggu kereta Argo Bromo hanya berdua dengan Mas Hanung.

Sesekali Mas Hanung memperhatikanku, jadi serba salah. "Ada apa Mas?" tanyaku suatu ketika mata kami beradu pandang tanpa sengaja.

"Ga--Gak apa-apa, Amor. Can-Cantik. Kamu cantik sekali." Hanung menjawabnya dengan gugup, "jangan bilang semua cewek pasti cantik!" hardiknya lagi yang membuat aku terkekeh. Menghilangkan kecanggungan yang ada.

"Kenapa? Baru sadar!" Aku meliriknya takut beradu pandang lagi. Pria beda tiga tahun, lebih tua ini bisa juga merayu pikirku. Tapi, bulsit. Semua priakan seperti itu. Pada umumnya kalau ada maunya pasti akan menunjukkan seribu jurus mautnya.

"Serius, Amor. Kamu cantik hari ini." Hanung mengatakan itu. Namun, tak memperhatikanku. Dia melihat ke arah timur, ke arah kereta yang akan kami tumpangi, sudah tiba apa belum?

"Bu Dhe sama Sekar sudah balik, Mas?" tanyaku mengalihkan pembicaraan karena jujur hatiku mulai berdesir. Ada rasa aneh yang tiba-tiba menyusup memasukinya.

"Gak, tahu. Mungkin, langsung pulang, kalau gak jalan-jalan dahulu. Ya ... sudah sampai di sini gak mampir Sri Ratu atau Matahari ya rugi."

"Iya, sih. Lama juga keretanya ya Mas?" Hampir sepuluh menit kami menunggunya. Kemudian suara pengeras berbunyi menyuruh penumpang kereta Argo Bromo segera bersiap karena kereta akan tiba dalam lima menit lagi.

"Banyak sekali Mas, bawaannya?"

"Gak apa-apa, biar Mas Hanung yang bawa. Kamu bawa punyamu saja." Mas Hanung mulai memanggul ransel besar dan menjinjing kardus besar yang entah apa isinya. "Sini, Mas bantu!" Ketika aku kesulitan memanggul tas ranselku.

"Semua, sudah! Tas kecilnya? Itu! Nanti ketinggalan lho ...." Dia mengingatkan tas kecil yang masih tergeletak di kursi panjang ruang tunggu.

"Iya, sudah Mas."

Tak seberapa lama yang kami tunggu pun datang. Setelah beberapa penumpang turun barulah kami naik. Mas Hanung menolongku naik ke gerbong kereta.

Deg hatiku berdebar ketika menyadari tanganku masih dalam genggamannya ketika menyusuri gerbong mencari kursi yang sudah kami pesan.

"Nah, ini kursi kita. Sini ranselnya! Biar Mas taruh di atas!" Aku menyodorkan tas yang aku panggul semua ransel dan kardus diletakkan di loker barang bagian atas tempat duduk kami.

"HP-mu berbunyi itu lho, Nduk. Angkat dulu!" Tanpa menjawab aku membuka HP dan menjawab telepon dari seberang.

"Siapa? Cowokmu marah?" Mas Hanung bertanya sedikit kalem. Mungkin, tadi menyimak pertengkaran kami di telepon.

"Iya, Mas. Lutfi selalu begitu. Ingin aku pulang cepat, harus sampai rumah siang ini."

"Ini juga dalam perjalanan. Kamu gak bilang?" Sambil memperhatikan raut mukaku yang sedikit berubah barangkali. "Berapa lama pacaran?" tanyanya lagi.

Aku menoleh ke arahnya yang juga memperhatikanku. "Tiga bulan lalu, dia temanku dahulu waktu masih SMA," jawabku.

"Posesif, dia pasti sangat mencintaimu, Nduk. Tapi, gak baik juga terlalu posesif." Mas Hanung menjelaskan. "Kita boleh mencintai tetapi karena Allah. Biar Allah-lah yang mendekatkan hubungan kepasangan kita. Soalnya kalau gak karena Allah jika sudah gak ada kecocokan pasti sakitnya tuh di sini." Hanung sambil menunjukkan dada sebelah kirinya.

Bersambung
Surakarta, 13 Oktober 2019
Abella Citra

Index

Part 2

Part 3

Part 4

Part 05

Part 6
Diubah oleh abellacitra 31-01-2020 10:31
nona212
embah.pakasam
sukhhoi
sukhhoi dan 49 lainnya memberi reputasi
50
10.3K
187
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
abellacitraAvatar border
TS
abellacitra
#127
Bakso Kenangan


Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh

Hai, apa kabar Gansist? jumpa lagi dengan cerbung Abella Citra. Maaf ya baru bisa up part 6.

Ini sedikit kisah dari part 5

"Terima kasih, Nak. Ini istrimu? Cantik. Jagalah dia!" katanya dengan suara parau nyaris tak bersuara. Hanung tersenyum menepuk punggung tangan Bapak tersebut dengan pelan.

Aku hendak menjawab bukan, tetapi Hanung sudah memegang kepalaku dan menggerakkan kepalaku menjadi mengangguk.

"Bapak jangan khawatir aku sudah membayar makanan ini ya, Pak. Makanlah sepuasnya! Jangan sungkan!" Setelah itu Hanung membayar makan Bapak yang berbaju lusuh tersebut. Beliaunya menjinjing kain yang dibungkus sedemikian rupa. Berjalan tanpa alas kaki. Sungguh hati ini jadi gak enak melihatnya.

Part 6 Bakso Kenangan

Dongkol, marah, dan pengen tertawa rasanya aku melihat tingkah laku Hanung yang mulai aneh.

"Segera bersiap Nduk, nanti ketinggalan kereta lagi lho!" Hanung mengajakku bergegas ke stasiun semula. Saat melirik jam tangan waktu masih 1 jam lagi kereta Argo Bromo Anggrek tiba di stasiun Tawang.

"Ayuk, sudah sore juga." Aku melenggang berjalan bersebelahan dengan Hanung. Sore yang indah kami menyusuri jalanan beraspal sambil sesekali bercanda. Masih sedikit panas, tapi tak apalah demi sampai di Jakarta yang telat beberapa waktu.

"Cowokmu gimana? Gak mencarimu, Nduk?" tanya Hanung yang memandangiku sekilas. Sedangkan, aku hanya membalasnya dengan senyuman. Senyuman tanpa arti. Garing.

"Gak hafal nomernya. Gimana lagi? Biarkan saja! Nanti bisa dijelaskan."

"Kalian pasti tambah seru kalau marahan," ujar Hanung. Pepohonan di pinggir jalan membuat teduh jalan. Di kanan kiri bahu jalan mulai didirikan tenda-tenda biru oranye warung makan. Bisa dipastikan ramai pengunjung.

Kira-kira seperempat jam aku dan Hanung berjalan dan sampailah di tempat tujuan. Kemudian, menuju peron dan duduk di antara penumpang yang lain.

Jam 15.30 WIB harusnya kereta sudah tiba. Namun, tak ada tanda-tanda. Akhirnya ada pemberitahuan kalau ada kereta api yang anjlok. Jadi jadwal kereta Argo Bromo Anggrek ditangguhkan.

"Aduh, gimana ini Mas?" tanyaku yang mulai panik.

"Sabar, pasti ada jalan!" jawab Mas Hanung menenangkan.

Sudah jam 16.30 WIB lewat. Satu kereta pun tak kunjung tiba. Setelah melakukan konfirmasi akhirnya kami memutuskan mencari penginapan. Baru keesokan harinya melanjutkan perjalanan dengan bus.

"Wah, kebetulan Mas. Gimana? Kita jalan-jalan dahulu. Baru esok hari lanjutkan perjalanannya?" Ideku mulai mengalir sambil mengeringkan mata sebelah ke Hanung yang duduk dengan tangan bersilangan. "Mumpung (terlanjur) di sini gak dapat kereta," kataku sambil cengar-cengir.

"Tapi, kakimu bagaimana?" tanya Hanung memperhatikan kakiku.

"Sudah enakan ko, biasa saja kali." Aku sambil lonjak-lonjak memperlihatkan kakiku yang sudah baikan. Kaya anak kecil setelah dibelikan cokelat.

"Hei, malu dilihat banyak orang Amor!" Hanung menarik tanganku supaya berhenti lonjak-lonjak.

"Tadi 'kan aku sudah bilang, gak percaya."

"Ya, iya, percaya. Ayuk!"

Aku dan Hanung akhirnya memesan becak motor yang nangkring di dekat stasiun untuk mengantarkan ke alun-alun Semarang yang jaraknya tak begitu jauh.

"Gak malu?" tanya Hanung keheranan. Biasanya cewek sekarang maunya naik mobil. Bukannya naik becak motor seperti sekarang.

"Santai saja. Gak apa-apa. Malah seru karena gak pernah naik yang ginian," jawabku dengan cueknya.

Xxxxc

Puas berkeliling di alun-alun kota Semarang karena hari mulai gelap akhirnya kami memutuskan untuk mencari penginapan.

"Sudah malam kita cari penginapan, gimana?" tanya Hanung dan aku hanya mengangguk mengiyakan.

"Permisi. Di sini adakah penginapan terdekat, Bu?" tanya Hanung dengan ramah kepada salah satu penjual makanan ringan di sekitar alun-alun.

"Iya, Mas. Sampean (kamu) nganan kira-kira 50 meteran tinggal pilih yang bagaimana," jawab Ibu sambil menjelaskan dengan gamblangnya.

Kelap kelip lampu malam begitu indah di kanan kiri jalan. Ada warna hijau, merah, kuning, ungu, dan lain sebagainya. Berbagai ukuran juga.

"Ternyata indah juga Semarang di malam hari. Belum puas aku berkelilingnya!" ajakku dan Hanung melongo.

"Kenapa tanya penginapan kalau masih ingin jalan-jalan?"

"Loh, bukan aku yang tanya hai. Dih, Mas Hanung yang tanya tadi," kataku dengan suara keras. Membuat orang disekitar kita menoleh.

"Jangan kencang-kencang bicaranya, Nduk!"

"He ... he ... he ..., iya iya. Maaf," kataku sambil menutup mulutku dengan telapak tangan.

"Tapi, kita cari makan dulu!" Sambil memasukkan jemarinya di saku celana panjangnya. Wajahnya makin kelihatan cakep di balik sorotan lampu jalan.

"Iya, bakso aja ya? Itu ramai pengunjung pasti enak!" Aku menggandeng lengan Hanung.

Tiba-tiba ada pemuda yang menabrak pas tengah lengan kami. Jadi, membuat gandengan tangan kami terlepas.

"Maaf Mbak, Mas. Saya terburu-buru," kata pemuda itu meminta maaf. Hanung mengangguk belum sempat aku mengumpat sudah mempersilakan dia pergi.

"Gimana Mas ini? Masih sakit tahu!"

"Gak apa-apa sakit sedikit, nanti juga sembuh. Sini Mas tiupin!" Sambil meraih tanganku yang masih ngilu.

"Eh, eh, mau diapain?" Aku kaget karena tiba-tiba banget dan gak biasanya juga Hanung begitu.

"Mau tak gigit!" Hanung memperlihatkan giginya yang rapi dan putih. "Gak mau ya sudah!" sambungnya.

"Janganlah, sudah baikan ko. Nanti Mas gigit beneran matilah aku. Sekarang banyak isu vampire berkedok manusia." Aku menjelaskan dan membuat Hanung makin mendelik. Tangannya berusaha meraihku, tetapi aku sudah berlari menjauh dahulu. Ketika Hanung mengejarku aku dengan cepat berhenti pas di depannya. Untungnya refleksnya sangat bagus. Jadi, tidak sampai menabrakku.

"Kenapa berhenti? Ayuk masuk!" ajaknya.

"Bakso 2 minumnya es jeruk!" Pesanku setelah sampai.

Hanung mencari tempat duduk yang nyaman, di sudut ruangan yang bebas memperhatikan pengunjung yang datang. Tak seberapa lama bakso pun datang.

Satu mangkuk sudah pindah dalam perutku. Enak sekali baksonya, ada urat di dalam bakso tersebut.

"Mas, aku belum kenyang. Lagi ya?" kataku dengan senyum lebar.

"Bocah, yakin mampu 2 porsi?" Hanung terbelalak serasa tak percaya.

"Kenapa? Gak boleh?" tanyaku sambil tertawa, "Hayo, mikir apa?" lanjutku.

"Gak, cuman. Perawan makan segitu banyak. Gak takut diputusin sama pacarmu?" Hanung masih senyum-senyum memperhatikanku yang tak canggung ataupun malu.

"Gak 'lah. Lutfi suka apa adanya aku. Gak suka ngatur-ngatur gitu. Kalo aku suka ya terserah."

Akhirnya Hanung memesankan satu porsi bakso dan es jeruk lagi buatku. Pengunjung masih saja ramai. Lumayan enak baksonya apalagi dinikmati saat lapar seperti sekarang. Jadi, bisa dipastikan kalau kedai bakso ini tak sepi pengunjung.

Muda-mudi, tua muda, datang sendiri atau dengan keluarga di bungkus atau di makan di tempat. Semua bisa tersajikan dengan cepat.

"Tapi, kamu itu cewek Amor. Gak ingin apa tampil seksi?" tanya Hanung. "Kebanyakan cowok pasti melirik yang langsing lho! Hati-hati cowokmu!" tambahnya.

"Santai saja. Cowokku bukan tipe seperti itu Mas."

"Iya, iya. Sudah makan lagi sudah datang itu!" Ketika bakso yang dipesan telah tiba lagi. "Awas saja kalau tidak dihabiskan!" tambah Hanung greget.

Aku nyolek satu pentol bakso dari mangkuk Hanung dan memakannya.

"Eh, Amor!" Hanung segera menepis garpuku. Tapi, telat aku sudah mendapatkan sebutir bakso dari mangkuknya. "Sudah dipesankan juga! Punya Mas diambil juga, Aduh!"

Ada beberapa pasangan mata memperhatikanku. Namun, dengan cuek aku menyantap bakso yang masih mengepulkan asap. Aroma bakso yang menggugah selera untuk segera dilahap.

Hanung masih saja menggeleng-geleng kepala melihat kelakuhanku. Tanpa sungkan menikmati suapan demi suapan, 2 porsi masih ditambah bakso miliknya.

Senyum yang khas mulai sering terlihat, wajah kuyup dan lesu pun mulai sedikit demi sedikit menghilang.

"Sudah, selesaikan makannya! Mas mau ke toilet sebentar!" Setelah bakso punyanya habis dia meminta izin ke kamar mandi.

"Iya, pasti. Jangan khawatir pasti aku habiskan," jawabku. Tersenyum aku melihat tingkahnya yang sedikit demi sedikit mulai berubah. Tapi jangan sampai itu cinta karena aku sudah punya cowok, Lutfi. Bagaimanapun dia adalah kekasihku yang paling gokil dan pengertian.

Bersambung ke part 7

Amory dan Hanung memesan penginapan dan kejadian seru di dalam penginapan. Penasaran? Tunggu kisah selanjutnya.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh

Ngawi, 31 Januari 2020
@abellacitra
Diubah oleh abellacitra 31-01-2020 11:32
ukhtyfit81
medina12
embunsuci
embunsuci dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Tutup