shirazy02Avatar border
TS
shirazy02
Jangan Panggil Aku Ibu


(Warning : 21+ akan ada tindak kekerasan dalam cerita, namun sarat moral, mengantarkan banyak kejutan tak terduga di dalamnya)


part 2
part 3
part 4
part 5
part 6
part 7
part 8
part 9
part 10
part 11
part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16

part 1

Suara carut-marut beberapa ayam jantan yang berkokok, mulai menyadarkanku dari lelapnya tidur. Membuatku beranjak segera membuka jendela kamar. Terlihat seberkas cahaya matahari mulai menampakkan sinarnya dari ufuk timur. Tak tertinggal suara merdunya burung-burung dari balik dedaunan yang tengah bersenandung.

Seharusnya suasana pagi yang dingin nan sejuk ini menambah nikmat tersendiri untukku, namun nyatanya, sangat berbeda dengan suasana hatiku.

Kutengok jam dinding dari balik tirai. Jam 05.30. Baru sadar bahwa hanya dua jam saja aku mampu tertidur?

Dengan mata yang masih terasa berat, kulangkahkan kakiku keluar kamar. Mematikan lampu tengah dan teras yang masih menyala. Lalu membuka bilik-bilik jendela, terakhir membuka pintu utama.

Haidar masih saja bergelut dengan mimpinya. Kubiarkan ia terlelap tidur. Masih penasaran ke-diam-annya semalam. Tumben ia tak rewel, tak seperti biasanya.....

Sementara, Mas Agus ... entah kemana ia. Gelas berisi teh di atas meja masih tak tersentuh sama sekali. Sepertinya ia tak pulang lagi.

Kutarik nafas panjang, lalu menghembuskannya perlahan seiring penatnya kepala yang kurasakan.

Sudah tiga hari ini, Mas Agus tak pulang. Membuatku khawatir dan berpikir yang macam-macam. Uang yang ia beri padaku sepekan yang lalu sudah menipis. Aku semakin dibuat pusing karena tak ada lagi orang yang bisa kutoleh disini.

"He, Wati! Jangan ngutang lagi, ya! Boleh ngutang, tapi, lunasin dulu tunggakannya! Jebol anakku kalau dirimu ngutang mulu."
Dari warung seberang jalan, Mak Minah berteriak kencang sembari mengacungkan sapu halamannya itu padaku.

Aku langsung membalikkan badan, pergi dari ruang tamu dengan langkah cepat menuju kembali ke kamar. Tak terasa air mata mulai menitik. Betapa malunya aku sebagai perempuan diteriaki seperti itu disaat banyak para tetangga belanja di warungnya.
Bagaimana aku bisa melunasi hutang, sementara uang yang kukantongi sekarang saja tersisa hanya enam ribu rupiah.

Kuseka air mataku yang kian mengucur, lalu mengalihkan pandangan kembali menatap Haidar yang masih terlelap.
Oh, Tuhan ... aku tak sanggup lagi.
Mas Agus, kamu dimana?

Lagi-lagi air mataku menitik.

Belum usai kesedihanku, pagi-pagi sekali Bu Rina datang. Ia marah, menyuruhku segera meninggalkan rumah. Kami memang menunggak biaya sewa lima bulan, dan aku tahu Mas Agus sudah berusaha untuk itu. Tapi, bagaimana lagi ... penghasilannya sebagai kuli angkut di pasar hanya cukup untuk menutup hutang yang lain dan makan seadanya.

Tak mau terus bersitegang, lantas kutegaskan pada Bu Rina jika Mas Agus sudah tiga hari ini tak pulang. Namun, sudah tak ada lagi rasa iba terpancar dari raut wajahnya.

"Saya sudah lima bulan bersabar, Wati. Suamimu tak juga memberi uang yang dijanjikan meski sekedar menyicil. Saya ini sudah tidak punya suami. Beda dengan kamu. Masih untung kamu ada yang menafkahi. Harapan saya cuma di rumah ini. Kalau kamu tak bisa membantu perekonomian saya, silahkan kamu pergi! Saya sudah cukup menunggu. Saya ini juga dalam keadaan butuh!"

Ucapan Bu Rina lantang terdengar, membuat dadaku sesak seolah tak mampu lagi berkata.

Tiba-tiba, Haidar menangis kencang dari dalam kamarnya. Aku yang kaget, segera berlari melihat apa yang terjadi. Bayi delapan bulanku mendadak memelototkan kedua mata. Tangisannya terhenti, dan tangannya menggenggam erat, lurus kencang.

"Bu ... Bu Rina! Tolong!" Aku berteriak histeris sambil menggendong Haidar. Saking paniknya, aku berjalan mondar-mandir tak jelas di dalam kamar, mencoba menyusuinya. Tetap ia tak berekspresi.

"Kenapa, Wati?" Bu Rina yang baru menghampiri, tampak khawatir memandangku.

"Haidar! Coba lihat, Bu! Ini Haidar kenapa? Ia juga tak mau menyusu," pekikku sambil membawa Haidar mendekat pada Bu Rina.

"A-ayo ke puskesmas saja, Wat!"

Akhirnya, aku dibonceng Bu Rina pergi dengan motornya.

Kepalaku terasa penuh, sementara tanganku terus menutupi Haidar dengan selimut. Matanya masih saja membulat, membuatku semakin menangis karena cemasnya. Kucoba menyusuinya, memaksanya. Tetap saja bibirnya mengatup tak berekspresi.

Ya ampun, Mas Agus ... cepat pulang, Maaaasss!

Tak kuasa aku menahan kesedihan yang teramat sangat kali ini.

Sesampainya di puskesmas, kusuruh para petugas cepat membawa Haidar masuk untuk diperiksa. Sementara Bu Rina ada di loket antrian.

"Tolong banget, Mas! Tolong anak saya!" Aku tak sanggup berkata lagi saking bingungnya.

Selagi Haidar diperiksa, tiba-tiba, aku dikagetkan lagi dengan Bu Rina yang datang sambil menyenggol pundakku.

"Wati, kamu ada KIS gak?" tanyanya.

"Apa itu, Bu?"

"Aduuuhh, kalau ngomongmu begitu, kayaknya kamu nggak punya. Kamu minta tolong ke kelurahan, deh! Aku juga tak ada duit buat bayar nanti."

"La-lalu? Haidar bagaimana, Bu?"

"Sudahlah! Ada petugasnya, kan? Ayo!"

Tanpa banyak pertimbangan lagi, aku pun menurut apa kata Bu Rina. Pergi bersamanya menuju ke kelurahan.

Setelah lama berkutat di dalam kantor kelurahan, akhirnya kudapatkan secarik surat dari sana, sebagai pengantar sementara selagi kartu KIS belum ada. Tak menunggu waktu lagi, segera kami kembali berangkat ke puskesmas.
Bu Rina langsung menuju loket, sementara aku bergegas menuju tempat dimana Haidar diperiksa.

Namun, pemandangan yang ada lebih mengagetkanku.

Haidar terbujur kaku, dengan tali perban melilit di sekitar dagu ke kepalanya.

Kurasakan kepalaku semakin pening, pandanganku seketika kabur.

****

Sudah tujuh hari kepergian anakku, Haidar. Namun ingatan tentangnya masih membekas. Saat wajah lucunya menangis, saat bayi menggemaskan itu tersenyum, semua itu masih terkenang jelas dalam ingatan.

Kuputuskan menutup kenangan tentangnya. Agar tak lagi ada tangis terbendung. Aku sudah capek, pikiranku sudah kalut.

Lalu, aku berdiri, mulai berkemas. Baju-bajunya, karpet tidurnya, nipple mainannya, sepatu dan kaos kakinya, semua kujadikan satu pada sebuah kotak kardus besar. Lalu, kotak kardus itu kusimpan di atas lemari pakaian.

Saat itu juga, tiba-tiba suamiku datang. Ia berteriak dari luar memanggilku.

Segera aku berlari untuk memastikan, apa benar itu dia?
Ya ... memang benar. Ia datang dengan pemandangan yang nampak janggal. Ditangannya mendekap bayi dalam gendongan, lengkap beserta tas besar yang ia kalungkan menyamping ketubuhnya.

"Haidar! Lihat, Ayah bawa adek buat Haidar! Rumah bakalan rame ini." Ia berseru sambil masuk ke dalam rumah.

Aku hanya tercengang menatapnya dari balik tirai ruang tengah.

Laki-laki itu tampak sumringah dengan bayi yang ia gendong. Sekilas ia melirikku, lalu bertanya lagi, "Mana anak kita Haidar, Bu? Aku punya berita baik. Ibu pasti senang!"

Aku masih tak percaya dengan apa yang diucapnya barusan. Hanya bisa terdiam dengan mata lurus ke depan.

Anak siapa itu? Kemana ia pergi selama ini?

(bersambung)
Diubah oleh shirazy02 07-02-2020 12:33
g3nk_24
tien212700
manik.01
manik.01 dan 32 lainnya memberi reputasi
33
21.3K
242
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
shirazy02Avatar border
TS
shirazy02
#131
Part 14
Kubuka pintu kamar pelan. Sangat pelan. Lalu, mengendap-endap berjalan, setelah tadinya mengunci pintu kamar dengan begitu hati-hati. Sambil meraba perlahan tembok serta benda-benda yang kulewati, kedua netra dan telinga tetap selalu berjaga. Aku tak mau menyalakan lampu, biar saja gelap, agar rencana keluar dini hari ini berhasil. Ah, kukira Asri sendiri tak akan mungkin bangun di jam begini. Aku malas sekali melihatnya. Dari kemarin, aku selalu menghindar saat ia coba mendekat.

Berhasil keluar rumah lewat pintu samping, aku pun segera mengambil langkah cepat untuk pergi. Namun, kaki tercekat kemudian, saat telingaku sayup-sayup menangkap sebuah suara yang sepertinya ada seseorang di dekat sini. Suara tawa perempuan pelan, seolah sedang bersenda gurau dengan lawan bicaranya. Penasaran, kuedarkan pandangan ke sekeliling, sambil sembunyi-sembunyi mencari asal dari suara tersebut. Halaman ini begitu luas, aku sampai bingung, karena sekian menit mencari tak jua kutemukan sosok-sosok tersebut. Leher terasa bergidik ketika pikiran mulai melebar tak karuan. Namun, sebuah sepeda motor terparkir di sisi pohon akasia akhirnya meluruhkan perasaan burukku tersebut.

Ah, jelas tak jauh dari sepeda itu!

Aku mulai membungkukkan badan, saat dua mata menangkap sebuah pergerakan dari salah satu gazebo yang ada di halaman. Tak jauh dari pohon akasia tersebut. Semakin dekat, suara tawaan itu semakin mengiang pada telinga. 'Wah, jelas perbuatan tak senonoh ini! Kurang ajar sekali,' batinku mulai tak karuan. Siapakah dua orang tersebut? Antara penasaran dan takut, kuberanikan diri juga mendekati mereka yang tampak punggung dengan di tutupi hitam-hitam, entah apa.

"Siapa kalian?!!" Langsung saja kulayangkan bentak saat berada tepat di sisi gazebo. Pergerakan yang begitu cepat dari keduanya. Entah sedang bebenah apa, tapi pikiranku sudah menjalar kemana-mana.

Ketika aku berjalan hendak menghampiri lebih dekat, tiba-tiba ... bruukk!! Salah seorang diantaranya mendorong tubuhku dengan sengaja. Spontan aku terjatuh. Kepala lalu ditendangnya, sekali, badan juga sekali, sampai aku tertelungkup ke tanah. Kurasakan kepala begitu nyeri. Pusing bukan main, sampai aku tak berdaya untuk bergerak. Namun, sebuah suara perempuan sedikit histeris terdengar, "Mas, jangan! Sudah! Jangan ngawur. Pergi, cepat!"

Setelahnya, terdengar suara motor distarter dan dilajukan. Aku sendiri mencoba memejamkan mata, alih-alih mengelabuhi sosok lainnya yang tertangkap mata masih di sisi. Kulihat kakinya dengan mata memicing, dan langsung hapal betul itu kaki siapa yang punya. Tentu saja, milik si kutek merah bermuka dua yang entah ingin bermain drama apa denganku. Hampir sepuluh menitan pura-pura pingsan. Di samping itu, meredakan rasa pening yang ada di kepala. Ia tampaknya panik. Saat aku tergeletak, ia mendekati dan mencoba memeriksa denyut jantung dam nadi. Lalu, menepuk pipi berkali-kali. Terdengar pula isakan darinya. Mungkin takut.

Keterlaluan! Apa begini kelakuannya setiap hari?

Dalam kekhawatiran Asri yang seolah membelenggu, aku teringat lagi akan janjiku pada Sari sebentar lagi. Mau tak mau, aku harus segera mengakhiri sandiwara ini. Bagaimana tak harus diakhiri, ia masih saja menunggu di sisi.

"A-aduh!" Aku mulai mengerjapkan mata, sambil beranjak, dan tangan kiri memegang kepala bagian atas.

"B-Bu, ibu tak apa-apa? Bu ...." Asri mulai membantuku bangkit. Kemudian, mendudukkanku ke gazebo. Entahlah, gadis ini sepertinya perhatian dan baik, tetapi ....

"Bu ...." Ia langsung menangis menjadi-jadi sambil memelukku. "Saya minta maaf, Bu. Maafkan saya," isaknya.

Mendengar ucapan itu, sudah kugambar jika semua ini bakalan lama. Selanjutnya ia akan berceloteh panjang lebar, tentu menjelaskan apa yang terjadi. Sementara, aku sedang buru-buru untuk pergi menemui Sari ke pasar.

Ah, aku harus bersandiwara lagi sepertinya!

"Lho, ada apa?" Kulepas pelukan dari Asri sambil memasang muka berkerut dahi. Asri sendiri berubah melongo, seolah bingung menatapku kali ini. "Ada apa, kok, kamu nangis? Minta maaf untuk apa? Soal Pak lurah kemarin?" tanyaku, pura-pura. Asru masih terdiam. Wajahnya benar-benar bingung.

"Lho, kenapa kita ada di sini, ya, As? Memangnya mau ngapain?" Aku mulai menolehkam pandangan ke sekeliling. Asri semakin heran sepertinya. Kami terdiam sesaat, sampai ia berseru lirih, "Bu? Ibu nggak papa?"

Aku tak menjawab omongannya. Kali ini mataku fokus pada sebuah jam tangan yang tergeletak di sisi Asri. Hal itu membuat Asri terpancing untuk berkata, "Lho? I-ini se-seperti jam milik Mas Wahyu. Walah, mungkin ia lupa memakai lagi. Kapan hari 'kan, ada di sini, ngumpul sama bapak dan para pamong."

Hmmm! Dalam hati, aku mulai girang bukan kepalang. Ia tak sadar telah membuka kartunya sendiri. Oke, jadi aku tahu siapa pelakunya yang telah kurang ajar menendangku sampai dua kali.

"Biar saya simpan. Nanti saya berikan ke bapak." Dengan raut yang masih tak enak, Asri dengan cepat menyambar jam tersebut, lalu menaruhnya ke saku celananya. "I-ibu tak apa-apa, kan?" tanyanya lagi, sambil memegang lenganku.

Ah, tampaknya bakal lama ini. Mau tak mau, aku harus memotong pembicaraan. "Entahlah, As. Aku kok jadi bingung, ya ... perasaan, mau ke pasar, deh. Aku pergi dulu, ya!" pamitku.

"Bi-biar saya saja, Bu. Dari cara bicara ibu, saya rasa, ibu sedikit pusing!" cegahnya. Sudah muak rasanya telinga, kupandangi ia sambil memberi sedikit pelototan. "Hei, As. Boleh nggak, aku menikmati jalan-jalanku sendirian di pasar? Bisa nggak, sekali-sekali kamu libur belanja ke pasar?"

Kali ini, ia terdiam, sambil menundukkan pandangannya. "Sa-saya khawatir bapak marah, Bu," ujarnya lirih.

"Peduli apa? Bapak tak akan peduli. Kecuali jika kamu besar mulut sama beliau, baru beliau peduli!" sahutku.

Ia bergeming. Masih menunduk, dengan kedua tangan menggapit. Aku semakin pusing melihatnya kali ini, mengingat tingkahnya yang seakan menjadi penghalang. Belum lagi, gara-gara perbuatannya, kepala dan badan jadi korban tendangan. Aku bersumpah, akan mempermasalahkan semua ini kemudian hari.

"Cepat masuk! Tunggu saya pulang bawa belanjaan!" titahku, yang kemudian membuatnya segera pergi.

Kupandangi ia dari kejauhan dengan napas begitu tersengal. Emosi benar-benar bermain di otak. Sungguh, aku tak akan tinggal diam atas semua misteri yang belum terpecahkan ini.

****

Tak menunggu waktu lama, akhirnya aku tiba di pasar. Langsung kutuju tempat kemarin, sebuah pos samping penjaja ikan. Kutatap sekitar yang masih akrab dengan lampu-lampu. Sepertinya aku terlalu cepat untuk pergi. Ah, tapi ini lebih baik daripada harus berkutat lama-lama di depan wajah melas Asri.

"Lho, sudah di sini? Kupikir, jam seperti kemarin." Suara Sari tiba-tiba muncul dari belakang. Spontan aku menoleh. Belum sempat aku menegur, ia berkata lagi, "Tadi aku awali perginya, rencana mau belanja dulu. Belakangan biar puas ngobrol sama Mbak Wati."

"Ssstt! Sekarang aja ngobrolnya. Nanggung, bentar aja. Kita cari warung, yuk! Sarapan sekalian."

"Lah, kok malah cari sarapan, Mbak?"

"Udaaahhh, biar gak keliatan orang." Aku mulai menoleh ke sekeliling, takut ada yang membuntuti. "Yuk!" Lalu kutarik tangan Sari menjauh, masih mengedarkan pandang mencari warung yang agak sepi.

Akhirnya, kutemukan juga sebuah warung di tengah pasar yang hanya satu-dua orang yang mampir. Lagi, kutarik tangan Sari, sambil mendudukkannya di sampingku. "Makan apa?" tanyaku.

"Teh hangat aja, Mbak. Aku gak kebiasaan makan pagi," jawabnya.

"Yaudah. Mas, teh hangat dua, ya!" Aku sedikit mengeraskan suara pada lelaki muda di depanku. Ia mengangguk.

"Mbak!" Sari menepuk kecil pundakku. Aku pun menoleh. "Mbak, kebanyakan betul ngasih rezekinya ke anak-anak. Saya jadi sungkan," lanjutnya.

"Aaahh, jangan begitu! Itu titipan dari Tuhan untuk kamu, lewat perantara aku," jawabku sambil tersenyum. Ia mengulang berterima kasih. Lagi-lagi kujawab dengan senyuman. Dua gelas teh hangat tersaji kemudian.

"Langsung saja, ya, Sar? Aku nggak lama-lama. Makan waktu."

"Ya, Mbak. Ada apa?"

Kusruput teh di meja, sejenak terdiam, lalu berkata lagi, "Kamu percaya nggak, sih, Pak Lurah itu senang punya istri aku?"

Ganti, kali ini Sari yang diam. Jadi, membuatku penasaran sendiri.

"Hmmm, ya percaya aja, sih. Buktinya, Mbak Wati dinikahin, kan? Hidupnya layak, kan?" jawabnya. Ah, terkesan membingungkan untukku.

"Oh, ya ... kamu tahu apa tentang Pak Lurah? Bisa berbagi?" tanyaku lagi. Sari diam lagi. Kali ini lebih lama. Tangannya terus mengaduk minumannya dengan sedotan.

"Sar, jawab! Rahasia terjamin di tanganku. Kamu boleh percaya aku kali ini." Kugenggam tangan Sari begitu erat, seakan meyakinkan.

"Hmmm, bukannya begitu, Mbak. Maksudnya, gimana, ya? Seolah-olah Mbak Wati ini mencari tahu tentang Pak Lurah sama saya. Kok, jadi takut sendiri. Masalahnya, mencari tahu sama saya itu salah. Kan, saya bukan orang terdekat Pak Lurah yang tahu seluk-beluk beliau."

"Apapun, Sari. Apa pun yang kamu tahu, kamu tolong ungkapkan padaku!"

Lagi-lagi Sari terdiam. Mungkin ada ketakutan pada dirinya, atu mungkin malah mencurigaiku!

Tak ingin sia-sia, aku pun mulai membuka omongan, "Sari, sebagaimana aku ingin kamu mempercayaiku, jadi aku juga memberi kepercayaan padamu. Aku yakin kamu bisa tutup mulut untuk menjaga rahasia ini. Cuma padamu saja aku beranj bercerita." Aku memelankan suaraku, sambil lebih mendekatkan posisi duduk pada Sari.

"Aku merasa tak aman, Sar. Mungkin ada kaitannya dengan Tomi," bisikku.

Sari semakin menatapku penasaran. "Kenapa, Mbak? Tomi kenapa? Tak aman, tahu darimana?"

Akhirnya, aku pun bercerita banyak pada Sari. Mulai dari awal menikah, adanya telepon misterius, sikap orang-orang rumah, juga sesuatu mencurigakan di sekeliling. Agaknya, Sari kaget mendengar setiap penuturanku, sampai tak henti-hentinya ia berkata, "Ah, masa begitu?"

"Oleh sebab itu, aku butuh banyak tahu tentang penilaian masyarakat. Salah satunya padamu. Aku tak yakin, Asri itu bertujuan baik. Ia lebih kepada 'mata-mata'. Aku benar-benar khawatir semakin hari, Sar."

"Wah, aku kok jadi ikut kepikiran, ya, Mbak? Tapi, sama Tomi semua baik, kan?"

"Baik, Sar. Baik! Sama aku pun terlihat begitu baik si Asri. Lain sama Pak Lurah dan Bu Ardan. Entahlah, apa mau mereka sebenarnya padaku."

Sari manggut-manggut. Ia terdiam sekilas, sebelum akhirnya berkata, "Sebelumnya sudah kuduga jika Bu Ardan bakal bersikap demikian padamu. Yaaa, mau bagaimana lagi, cintanya pada menantu pertamanya tak pernah bisa hilang. Itulah alasan kenapa Pak Lurah memilih lama menduda. Aku sendiri sempat kaget, lho, saat Pak Lurah akhirnya meminang kamu."

Mendengar penuturan itu, aku langsung melotot kaget tak percaya. "Lho, Sar? Bu Ardan itu bukannya tukang masak, ya?" tanyaku. Kupikir juga begitu, karena dari awal aku menginjakkan kaki ke rumah itu, kerjaan Bu Ardan hanyalah memasak. Tidurnya pun di kamar belakang yang lebih sempit. Mana sempat pula bertanya pada Pak Lurah, beliau saja dingin betul. Tak banyak bicara padaku.

"Hust, ngawur! Itu mertua kamu, Mbak. Walah, udah lama tinggal di situ, nggak tahu saja, ya?"

"Ya ampun, bener, baru tahu. Kan, sudah kubilang, aku dan Pak Lurah itu seperti orang lain. Asri juga nggak cerita apa-apa ke aku. Sumpah, aku baru tahu," yakinku.

"Ha ha ha ...." Sari menggelakkan tawanya. Ia menepuk pundakku berkali-kali, seakan lucu sekali baginya.

"Beliau itu tidak bisu. Tapi, memang begitu, semenjak menantu kesayangannya meninggal. Ah, kasihan juga ... memang Bu Lurah lama itu orangnya terlampau baik. Jangankan Bu Ardan, aku yang bukan siapa-siapanya saja merasa sedih dan kehilangan." Sari melunakkan bicaranya, sambil membuang pandang, menatap awang-awang.

Aku sendiri sedang kebingungan. Entahlah, selama ini seperti menjadi menantu yang tak tahu adab sekali.

"Lalu, Asri itu siapa menurut kamu, Mbak?" Sari tiba-tiba melontarkan pertanyaan padaku. Kali ini, membuat perasaanku semakin dag dig dug. "Si-siapa? Jangan-jangan dia selingkuhannya Pak Lurah?" Akhirnya, kucoba untuk menebak pertanyaan mendebarkan Asri.

Wanita itu langsung menolehkan pandangannya padaku. Menatap dengan penuh keheranan. "Mbak, kamu tak tahu sama sekali siapa orang-orang di dalam sana?" tanyanya kemudian. Jelas saja, jawabanku diam. Tak enak juga berkata jika aku tak tahu apa-apa, selama ini asal menebak.

"Pak Lurah itu tidak punya pembantu di rumah. Mungkin hanya Pak Ikhlas, yang setiap hari tugasnya menyapu halaman. Itu pun, tiap habis nyapu, langsung pulang, kan? Ya ampun, Mbakkk ... Mbaaaakkk." Sari geleng-geleng menatapku.

"Yang jelas, Sar! Jangan berbelit-belit! Siapa Asri itu?" Aku mulai tak tahan mendengar ucapan membingungkan Sari. Ia hanya menggelengkan kepalanya berkali-kali, membuatku semakin terpancing rasa penasaran.

Jangan-jangan, dia anak Pak Lurah??

Belum sempat aku mendengar jawaban dari Sari, aku dikejutkan oleh sosok tak asing yang baru saja masuk ke warung.

"Bro, nasi pecel satu, ikan paru, ya? Tauge-nya tambahin. Bumbunya gak usah!" Sosok itu kemudian mengambil duduk di meja sisiku. Membelakangi. Jaket yang dikenakannya begitu kukenal. Tentu saja. Bahkan mungkin, pakaiannya masih sama seperti yang tadi kulihat.

"Sssttt! Aku pergi dulu. Ada tangan kanannya Pak Lurah. Ini uangnya, bayarin, ya?" bisikku pada Sari, sambil memberikan selembar uang lima puluh ribu, dan perlahan beringsut dari tempat. "Lain kali, aku ganti ke rumahmu," lanjutku, setelah itu bergegas mengambil langkah.

Tentu menjangkah lebih jauh lagi ... pergi dan menghindar dari tatap wajah lelaki itu. Haasshh! Betapa emosinya aku menatap sosok kurang ajar itu. Ingin sekali kuberi pelajaran dia. Nanti, suatu saat ... dan itu pasti!

(Ada yang nanti'in cerita ini lanjut, nggak, sih? Diem-diem bae. Nggak bisa diginiin akutuu. Hhhhhh, padahal nulis sesukanya, ngarep banget ada yang nantiin. Wekweeww 😆. Btw, thanks ya udah mantengin selama ini. Tetep dilanjut satu-satu, yaa ... nyambi bagi waktu. Hehe) emoticon-Big Kiss
kudo.vicious
mmuji1575
rinandya
rinandya dan 11 lainnya memberi reputasi
12
Tutup