Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

tiawittamiAvatar border
TS
tiawittami
BADAI SEBELUM PELANGI


1.Murid Baru


Namaku Zerina. Zerina Mia Hartalisya. Kepribadianku berubah sejak penghianatan itu terjadi. Ketika orang-orang yang selalu bersamaku, menjalani hari-hari bersamaku bahkan suka duka selalu bersamaku menghancurkan semuanya.

Ketika pacarmu yang sudah sangat manis denganmu dan sahabatmu yang selalu mendukungmu ternyata hanya berpura-pura baik padamu. Sakit bukan? Kemudian mereka bersama dan meninggalkanmu. Bagaimana rasanya? Sakit saja, kah? Atau ada perasaan lain?

Tidak hanya itu yang terjadi padaku, mereka bahkan merusak nama baikku, membuatku semakin tidak bisa bergerak, tidak ada yang percaya padaku. Mereka yang lain jadi takut padaku.

Namaku bukan lagi Zerina. Aku orang gila, yang gilanya bisa kambuh kapan saja. Orang-orang yang mendekatiku hanya ingin mengambil kesempatan tanpa kutahu apa tujuannya. Yang pasti mereka hanya menguntungkan diri mereka sendiri.

Astaga, kejam sekali hidup ini. Aku harus apa? Mati, kah? Atau terus menjalaninya? Kira-kira apa yang akan kudapat jika aku terus menjalani hidup. Ketulusan, kah? Aah tidak, ketulusan itu semu. Walau aku sangat ingin bertemu dengannya.

***

Kukira setelah aku lulus dan masuk ke sekolah baru semua itu akan lenyap, tapi ternyata tidak. Orang-orang bodoh itu terus mengingatnya bahkan mereka menyebarkan semuanya di sini. Tak mengapa, aku telah terbiasa dengan semua ini, bahkan jika aku harus seperti ini sampai akhir hidupku. Semua pikiran mereka dan semua yang mereka katakan, biarlah, aku terlalu lelah untuk peduli.

Aku suka duniaku, tak ada yang harus kusembunyikan sekarang. Aku tak perlu berpura-pura untuk mendapatkan yang aku inginkan, karena aku tak lagi menginginkannya.

Teman...

Makhluk apa itu? Aku tidak ingin mereka lagi. Mereka semua hidup dalam kepalsuan. Canda tawa itu akan terasa pahit jika kau tau akhirnya. Tak ada ketulusan di sini, semuanya berjalan karena kemauan masing-masing dari orang-orang itu. Aku tak pernah melihat ketulusan, mungkin dia semu, seperti apa dia? Aku jadi ingin bertemu dengannya.

***

Seperti biasa, aku menghabiskan waktu istirahat dengan duduk di atas rumput yang berseberangan dengan lapangan. Tempat ini nyaman, aku bisa bersandar sekaligus merasakan keteduhan pohon rindang ini. Berkali-kali aku melihat orang lewat yang memandangku aneh karena memilih duduk di sini, sedangkan banyak bangku taman yang disediakan sekolah untuk murid-muridnya, abaikan saja.

Kupasang earphone dan memutar lagu yang belakangan ini sering kudengarkan. Walau aku tak tau arti dari lagunya, tapi aku suka. Alunan nadanya membuat ketenanganku di atas level biasanya. Aku tetap berada di sini, sampai istirahat selesai.

Koridor kelas masih lumayan ramai oleh siswa-siswi yang ngobrol dan tertawa, padahal bel masuk sudah berbunyi. Seharusnya tadi aku menunggu beberapa menit setelah bel bunyi, baru berjalan masuk ke kelas, untuk menghindari perhatian mereka yang dari tadi melihatku sambil berbisik dengan teman masing-masing.

Abaikan ini Zerina, mereka hanya orang-orang bodoh yang tidak pandai memilih cerita.

Aku berhenti melangkah ketika sampai di depan pintu kelas, seorang perempuan yang sangat aku kenal itu menghalangi pintu masuk. Kutatap matanya dengan harapan agar dia tidak menghalangi jalanku, dia menatapku balik.

"Apa liat-liat!" katanya dengan suara yang bisa didengar siapa saja yang ada di situ.

"Minggir. Aku mau lewat." pintaku.

"Oo, mau lewat. Silahkan." Salsa menggeser tubuhnya memberiku jalan, dia tak lepas dari menatapku, membuatku tersandung kakinya karena aku pun tak lepas dari manatapnya balik.

Dia membuatku tersungkur di atas lantai dan sekarang aku jadi bahan tertawaan anak-anak di kelasku dan beberapa anak yang melihat dari pintu kelas. Aku marah, apalagi ketika dia menginjak earphone dan hpku yang juga ikut tersungkur bersamaku.

"Ah, sorry, gue gak liat. Sini gue bantu." Salsa mengulurkan tangannya padaku saat anak-anak itu memusatkan perhatiannya pada kami.

Dasar! Pandai sekali dia berpura-pura, aku tak bisa menahan diriku untuk memukul perempuan itu. Kuambil hp yang barusan dia injak dan kupakai untuk memukul kepalanya. Aku tak peduli jika hp ini rusak, yang penting kepala orang ini harus diberi pelajaran.

Salsa berteriak sambil menghalangi gerakanku lagi sampai akhirnya teman-teman bodohnya itu menghentikanku dan mendorongku menjauh dari Salsa.

"Lo gila, ya! Mukulin kepala orang!" teriak Icha sambil menatapku tajam.

"Lo gak papa, Sa?" Salsa menggelengkan kepalanya atas pertanyaan Dwi, "Gak waras!" teriaknya lagi padaku.

Mereka pergi setelah berhasil membuatku terlihat seperti penjahat sekarang. Anak-anak di kelasku pun tak ada yang berani bicara padaku. Mereka semua menghindar dan memberiku jalan menuju kursiku.

Aku kembali teringat bagaimana dulu aku memukul kepala Ana dengan penggaris besi hingga membuatnya berdarah. Aku tak tahu bagaimana jadinya jika anak-anak kelas ini menyaksikan itu, mungkin mereka akan menemui wali kelas dan bilang jika mereka ingin pindah kelas, tak ingin sekelas denganku. Tapi percayalah, kejadian itu bukan sepenuhnya salahku.

Aku duduk dan merapihkan buku pelajaran yang tadi belum sempat kubereskan karena aku biasa keluar duluan saat bel istirahat bunyi. Ya, itu ada alasannya, aku menghindari keramaian.

"Ternyata bener, ya. Gilanya bisa kambuh kapan aja."

"Sssstt."

Aku mendengar bisikan itu. Mereka melepaskan pandangannya dariku saat aku menatap ke arah mereka tajam. Aku jadi kesal, harusnya mereka bertanya dulu apa yang terjadi, bukan bicara dibelakangku.

Mulut-mulut itu memang sudah termakan gosip receh, mereka hanya mendengar cerita dari satu pihak dan langsung membenciku, mereka langsung menganggapku benaran gila hingga tak ada yang percaya padaku. Aku mengembuskan napas.

Tenang Zerina, kau tidak perlu kesal dan mencaci mereka. Mereka akan lebih menganggapmu gila jika kau lakukan itu.

***

Setelah melewati waktu yang sulit di sekolah hari ini, aku berniat mengunjungi tempat yang sudah lama tak kukunjungi.

Langkahku terhenti, kupandangi pohon seri yang sudah termakan usia itu. Tumbuh di halaman belakang rumah tua yang tidak dihuni, walaupun begitu pohon ini tetap tumbuh dan berbuah. Aku ingat, waktu kecil aku sering kemari, bermain bersama Ana, memanjat pohon ini untuk mengambil buah kecil bewarna merah yang rasanya sangat aku suka. Manis.

Ugh!

Aku mengusir memori itu, rasanya sakit jika menyadari yang terjadi sekarang. Kulepas tas punggung yang kukenakan dan menjatuhkannya ke atas rumput liar di situ. Dengan agak susah aku memanjat pohon, hingga akhirnya aku bisa duduk santai di dahannya sambil menikmati buahnya.

"Hm, seperti ini rasanya kehidupan remaja. Aku jadi ingin menjadi bocah lagi, tak peduli sedekil apa aku dulu. Aku mau bahagia tanpa merasakan sakitnya penghianatan."

Kumakan buah terakhir yang kudapat, lalu berniat mencari lagi. Sepertinya sudah habis, tidak, aku masih melihat satu di ujung dahan. Aku sudah hampir mendapatkannya, tapi seseorang menggagalkanku.

"Hei!" Suara itu mengejutkanku, hingga membuat kakiku kaget dan melesat dari dahan pohon.

"Aaaakh!"

Aku jatuh hingga membuat dengkul dan lenganku tergores patahan ranting-ranting kecil yang bertumpuk di situ.

"Kamu gak papa?" tanya orang yang membuatku terkejut.

Kutepis tangannya yang ingin menyentuhku. Tanpa menjawab pertanyaannya, aku langsung mengambil tas dan buru-buru pergi dari situ.

Jarak rumahku tidak jauh dari tempat itu dan aku sudah berada di rumah sekarang, membersihkan luka dengan alkohol. Untung saja dahan yang kupanjat tadi tidak tinggi dan aku tidak cidera parah. Kalau bukan karena pria tadi, aku mungkin tidak akan jatuh. Kenapa dia bisa ada di sana tiba-tiba.

"Huuh, dasar, harusnya orang itu menangkapku, tega sekali dia." Aku membuang kapas bekas lukaku ke dalam bak sampah.

"Kenapa kamu berharap? Memangnya kamu siapa? Kamu hanyalah orang gila yang gilanya bisa kambuh kapan saja." Aku menyalahi diriku sendiri di depan cermin wastafel.

Aku mengembus napas panjang setelah menyadari perbuatanku. Aku tidak boleh menghina diriku karena orang-orang menghinaku. Aku harus meyakini diriku, bukan meyakini ucapan mereka. Perasaanku mulai lagi, sesuatu yang membuatku tidak percaya diri adalah jika diriku mulai menghinaku. Aku selalu berusaha agar tidak seperti itu.

"Please.. I am not crazy.."

"I am not crazy.."

"I am not crazy.."

Suaraku hampir berbisik dan menjadi berbisik pada kalimat terakhir. Aku bangkit dan berdiri dari ringkukkanku, mengambil pil yang hampir menjadi makananku setiap hari. Aku sudah berusaha menghindarinya, tapi dia selalu saja memanggilku untuk memakannya.

Satu pil berhasil masuk ke mulutku. Pahit. Kuluruskan kakiku di atas kasur dan memejamkan mata, berusaha untuk melupakan hari ini, hingga aku terlelap.

***

Hari ini seperti biasa, jam istirahat di sekolah aku duduk di atas rumput di bawah pohon rindang yang biasa aku tempati.

Hari ini aku membawa headphone dan hp dengan layar retak-retak karena insiden kemarin. Tak masalah, setidaknya hp ini masih mengizinkanku mendengarkan lagu-lagunya.

Kudengar hari ini berita yang sedang hangat dibicarakan oleh cewek-cewek penggosip itu adalah masuknya murid baru. Pastinya karena murid baru itu cowok dan bisa dibilang ganteng menurut mereka. Kalau tidak seperti itu gak mungkin jadi berita hangat.

Mungkin aku satu-satunya wanita yang tidak peduli. Lagian untuk apa? Jika murid baru itu tau tentang diriku, dia juga pasti tidak akan mau berteman denganku.

Aku mengangkat buku bacaanku hingga menutupi wajah, sesuatu di kejauhan sana seolah mengganggu perasaanku. Anak-anak cowok itu pasti sedang membicarakanku. Lalu, aku merasakan kehadiran seseorang di depanku, sedang berdiri menghadapku. Aku menurunkan sedikit buku bacaan dan melihat ke arahnya. Dia melihatku, dengan cepat aku kembali mengangkat buku itu menutupi wajah.

"Hei." Dengan tangan kanannya dia menurunkan buku bacaan yang menutupi wajahku.

Sepertinya aku pernah melihatnya, dia orang yang membuatku jatuh dari pohon kemarin.

"Kamu cewek yang kemarin, kan?"

Aku tak menjawab dan yang terpenting yang harus kalian tau ternyata dia murid barunya.

"Arken." Dia menjulurkan tangan kanannya dan tersenyum padaku untuk berkenalan.

Aku telah berusaha untuk menerimanya, tapi kurasa itu percuma dan akan sia-sia. Dia akan membenciku dan menjauhiku, atau mungkin sekarang dia hanya mempermainkanku dan menjadikanku bahan lelucon karena kuyakin dia ada bersama rombongan cowok itu tadi.

Teett... Teett... Teett...

Akhirnya bel masuk berbunyi, aku berdiri dari duduk dan berjalan meninggalkannya di situ tanpa bicara apapun. Kudengar rombongan cowok di sana tertawa melihat Arken, cowok yang barusan memperkenalkan namanya padaku. Bukannya sudah kubilang, mereka hanya menjadikanku bahan lelucon. Apa itu yang disebut teman? Bukankah aku beruntung karena tidak memiliki teman seperti mereka? Yah, kurasa aku beruntung.

Bersambung


Index
2. Arken
3. Berteman
4. Psikis
5. Hariku
6. Masalahku
7. Wanita Bahagia
8. Wanita Bahagia 2
9. Pentas Seni
10. Pentas Seni 2
11. Memori
12. Reuni
13. Fungsi Hati
14. Hari Terakhir
15. Ana
16. Perasaan Rindu
17. Kematian Ana
18. Teror
Diubah oleh tiawittami 14-01-2020 12:21
someshitness
NadarNadz
nona212
nona212 dan 16 lainnya memberi reputasi
17
7.6K
90
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
tiawittamiAvatar border
TS
tiawittami
#80
18. Terorr
Sesuatu di luar sana membuatku takut, aku tidak bisa memejamkan mataku. Otakku penuh dengan bayangan-bayangan yang menyeramkan. Seandainya papa sudah pulang, mungkin aku akan merasa sedikit lega.

Aku tidak bisa ke mana-mana, untuk menghubungi seseorang pun aku tak mampu. Hpku sudah nonaktif sejak sejam yang lalu, aku sudah tak tahan dengan semua notifikasi yang masuk. Mereka menghujat dan menghakimi. Beberapa orang begitu penasaran denganku, kuharap orang yang mengenalku tidak memberitahukan apa-apa tentang diriku.

Aku menarik sebuah bantal untuk mendekap wajahku sendiri. Ketikan tangan orang-orang yang kubaca tadi selalu terngiang-ngiang dalam benakku. Komentar-komentar itu memenuhi otakku.

"Beri hukuman setimpal!"

"Racuni aja balik, suruh minum obat nyamuk dicampur cocacola, biar berbagi rasa."

"Penjara masih luas."

"Pembunuh emoticon-Frown"

"Tega baget sih ngeracunin teman sendiri."

"Nyawa dibalas nyawa!"

"Mati aja sana."

Air mata tak mampu lagi bertahan dimataku, mereka mengalir bersama tulisan netizen yang tak bisa kulupakan. Mengapa harus aku, aku bukan pembunuh, aku tidak pernah meracuni siapa-siapa, dan aku tidak mau ke penjara. Aku tidak bersalah.

Masih ada orang yang percaya padaku, kan. Iya, aku yakin, selain Zega pasti ada orang lain yang percaya padaku. Aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi lagi. Kuharap bunda ada di rumah besok, aku ingin bertemu dengannya.

Aku menunggu matahari terbit di jendela kamarku, dengan balutan selimut di tubuhku hingga kepala, hanya wajahku saja yang tidak tertutup selimut. Aku duduk di kasurku dengan tatapan penuh harap sambil menantikan sinar hangatnya. Harusnya hari ini aku pergi ke sekolah untuk mengambil buku-buku yang kupinjam pada Airi, aku meletakkannya di loker sekolah. Namun, aku tidak berani pergi ke sekolah. Aku takut jika mereka salah satu dari banyaknya orang yang menghujatku.

Aku mengusir anggapan buruk yang keluar dari benakku. Kucoba untuk yakin bahwa mereka telah mengenalku dan tidak akan percaya dengan berita di media sosial. Orang yang kenal padaku pasti akan mendengarkanku, kan. Termasuk Airi.

Tubuhku bergerak menuju kamar mandi. Kepala ini rasanya seperti berputar-putar, aku lupa jika semalaman mataku tetap terjaga. Tidak ada ketenangan untuk tidur, perasaanku selalu merasa jika siapa saja bisa datang ke mari dan melakukan apa pun yang mereka inginkan. Seperti menghancurkan kaca rumahku dan menerobos masuk mencariku, menyeretku, lalu memaksaku untuk meminum obat nyamuk dicampur cocacola.

Anggapan itu selalu muncul dalam benakku. Apa yang harus kulakukan jika hal itu sungguh terjadi. Hanya ada aku di rumah ini, kepada siapa aku harus minta tolong.

Arken... kamu di mana... kamu tidak percaya dengan orang-orang itu, kan...

Kudengar suara orang di depan rumahku, seperti sedang berdebat. Jantungku tiba-tiba saja terasa seperti meluncur dan keluar dari tempatnya. Tanganku tertahan pada gagang pintu rumahku, aku membatalkan niat untuk keluar. Kurasa aku tidak bisa ke rumah bunda sekarang.

"Permisi!"

"Kosong, Mba, Mas, rumahnya gak ada orang. Pak Hartio memang jarang di rumah."

"Tapi anaknya ada, kan, Pak?"

"Kurang tau, Mas. Coba ke sini lagi aja nanti kalo Pak Hartio sudah pulang."

"Kami cuma mau mewawancarai aja, Pak, terkait kasus yang sedang viral."

"Kalo itu bukan urusan saya, Mba. Tugas saya, mah, ya jagain komplek ini. Kalo orangnya gak ada mau gimana lagi."

Aku menyimak obrolan antara satpam komplek dengan orang asing yang aku tak tahu siapa, mereka memang terlihat seperti reporter. Kuharap pak satpam komplek itu dapat menghalau mereka dari menemuiku. Aku tidak mau diwawancarai, aku tidak mau orang-orang akhirnya mengenaliku. Aku tidak suka.

Kakiku kembali melangkah ke kamarku, sepertinya hari ini aku tidak boleh ke mana-mana. Aku akan tetap di rumah, berdiam diri di kamar, duduk sambil memeluk lutut dengan segala pikiran buruk yang terus menghantui.

Kenapa aku harus seperti ini? Ana selalu saja jadi masalah dalam hidupku. Mau dia hidup ataupun mati sama saja. Aku selalu menjadi korban karenanya, lebih baik aku tidak menjenguknya sama sekali kemarin.

Sekarang rasanya lebih buruk dari sebelumnya. Dahulu aku hanyalah orang gila yang gilanya bisa kambuh kapan saja, hal itu menjadikan orang-orang takut jika dekat denganku. Tapi kini aku dikenal sebagai seorang pembunuh beracun, dan segala macam hujatan menghujaniku. Kenapa... salahku apa... kenapa hidupku seperti ini.

Meong...

Kulihat Chimy di bawah tempat tidur, mengeong kelaparan. Aku belum memberinya makan dari kemarin. Aku takut, bagaimana jika aku malah meracuninya.

Aku menggelengkan kepalaku kuat, mengusir anggapan buruk itu lagi. Aku tidak pernah meracuni siapa-siapa, tolong jangan berpikir seperti itu lagi. Mereka itu orang-orang bodoh yang terlalu mudah teracuni otaknya oleh isu. Spesies manusia seperti itu harusnya tidak tinggal di bumi.

Tenanglah Zerina... kamu bukan pembunuh... pembunuh sebenarnya pasti terungkap. Percayalah.

Jangan pikirkan komentar-komentar buruk itu, orang-orang itu ngetik pakai tangan tapi tidak pakai otak.

Kamu pasti selamat.

***

Sekali lagi matahari terbit di jendela kamarku dan menampakkan sinarnya. Aku terkejut dan bangun dari tidurku, kali ini kepalaku sungguh sangat terasa pusing. Jantungku seperti tak mampu memompa darah untuk mengisi otakku. Aku turun dari kasurku dan berjalan mencari asupan untuk mengisi otakku.

Hanya air dingin yang kudapat di dalam kulkas, aku langsung meneguknya dan mendudukkan tubuhku di kursi makan. Perutku sakit, dari kemarin aku belum makan. Aku tidur sepanjang siang dan malam layaknya beruang yang hibernasi. Mungkin di luar sana dunia sudah berubah, mungkin akan ada alat teleportasi yang bisa membawaku pergi jauh dari sini.

Tubuhku rasanya seperti melayang di udara dan jatuh di atas lantai karena tak sanggup menahan beban. Aku mengaduh sakit pada lututku, barusan aku sungguh-sungguh terjatuh. Kudapati Chimy yang sedang tertidur tepat di depanku.

"Hei, di mana tempat tidurmu. Kenapa tidur di sini."

"Chimy."

"Heei..." Aku menyentuh kepalanya dengan jari telunjuk. Dia terlihat lemas, sama sepertiku yang tak memiliki tenaga.

Astaga, aku tidak memberinya makan dari kemarin. Aku mengambil kotak makan Chimy dan mengisinya dengan makanan. Kuletakkan kotak itu di depannya.

"Chimy, makan."

Chimy belum bergerak dari tempatnya, dia tidak ingin makan. Apa dia mati kelaparan? Tidak! Tidak mungkin!

"Chimy! Bangun, makan!" Aku mendekatkan dan menyentuhkan kotak makan itu ke mulut dan hidungnya. Dia belum juga menggubris. Aku tidak bisa percaya jika dia benar-benar pergi meninggalkanku.

"Chimy! Jangan tinggalin aku! Hwaaaaaa!!"

Meong...

Kulihat Chimy terkejut dan bangun karena teriakanku. Dia baru menyadari kotak makannya sudah terisi penuh. Dengan rasa lapar yang menyerang, dia langsung menyantap makanannya.

Dasar kucing nakal. Tidak tahu apa kalau aku sudah sangat khawatir. Dengan wajah masam, aku meninggalkannya di situ dan bergegas mandi.

Aku sudah memakai seragam sekolah. Hari ini aku akan ke sekolah apa pun yang terjadi. Arken akan sampai hari ini. Aku mengaktifkan hpku, berharap media sudah sedikit tenang dan tidak memperdulikan isu-isu tentangku.

Satu pesan dari nomor tak dikenal masuk ke ponselku.

Bersiaplah untuk mati hari ini!

Aku tersentak akibat tulisan itu. Dengan cepat, kumatikan layar ponselku. Siapa yang mengirimku pesan seperti ini.

Lalu layar ponselku kembali menyala, nomor tak dikenal itu mengirim pesan lagi.

Sampai kapan kau akan terus berada di kamarmu?

Dan tiba-tiba saja.

Traankk!!

Sebuah batu dengan ukuran lumayan besar menerobos kaca jendela kamarku. Aku melangkah mundur dari tempatku ketika pecahan kaca itu berjatuhan di lantai kamar. Dari mana batu itu berasal. Siapa yang berani-beraninya melempar batu seperti ini. Otakku tak dapat mencerna kejadian barusan, tapi naluriku berkata bahwa aku harus lari.

Kuambil tas sekolah di samping tempat tidurku dan bergegas meninggalkan rumah. Aku akan pergi ke sekolah hari ini, kuharap aku dapat ketenangan di sana.

Bersambung..
jiyanq
jiyanq memberi reputasi
1
Tutup