Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

tiawittamiAvatar border
TS
tiawittami
BADAI SEBELUM PELANGI


1.Murid Baru


Namaku Zerina. Zerina Mia Hartalisya. Kepribadianku berubah sejak penghianatan itu terjadi. Ketika orang-orang yang selalu bersamaku, menjalani hari-hari bersamaku bahkan suka duka selalu bersamaku menghancurkan semuanya.

Ketika pacarmu yang sudah sangat manis denganmu dan sahabatmu yang selalu mendukungmu ternyata hanya berpura-pura baik padamu. Sakit bukan? Kemudian mereka bersama dan meninggalkanmu. Bagaimana rasanya? Sakit saja, kah? Atau ada perasaan lain?

Tidak hanya itu yang terjadi padaku, mereka bahkan merusak nama baikku, membuatku semakin tidak bisa bergerak, tidak ada yang percaya padaku. Mereka yang lain jadi takut padaku.

Namaku bukan lagi Zerina. Aku orang gila, yang gilanya bisa kambuh kapan saja. Orang-orang yang mendekatiku hanya ingin mengambil kesempatan tanpa kutahu apa tujuannya. Yang pasti mereka hanya menguntungkan diri mereka sendiri.

Astaga, kejam sekali hidup ini. Aku harus apa? Mati, kah? Atau terus menjalaninya? Kira-kira apa yang akan kudapat jika aku terus menjalani hidup. Ketulusan, kah? Aah tidak, ketulusan itu semu. Walau aku sangat ingin bertemu dengannya.

***

Kukira setelah aku lulus dan masuk ke sekolah baru semua itu akan lenyap, tapi ternyata tidak. Orang-orang bodoh itu terus mengingatnya bahkan mereka menyebarkan semuanya di sini. Tak mengapa, aku telah terbiasa dengan semua ini, bahkan jika aku harus seperti ini sampai akhir hidupku. Semua pikiran mereka dan semua yang mereka katakan, biarlah, aku terlalu lelah untuk peduli.

Aku suka duniaku, tak ada yang harus kusembunyikan sekarang. Aku tak perlu berpura-pura untuk mendapatkan yang aku inginkan, karena aku tak lagi menginginkannya.

Teman...

Makhluk apa itu? Aku tidak ingin mereka lagi. Mereka semua hidup dalam kepalsuan. Canda tawa itu akan terasa pahit jika kau tau akhirnya. Tak ada ketulusan di sini, semuanya berjalan karena kemauan masing-masing dari orang-orang itu. Aku tak pernah melihat ketulusan, mungkin dia semu, seperti apa dia? Aku jadi ingin bertemu dengannya.

***

Seperti biasa, aku menghabiskan waktu istirahat dengan duduk di atas rumput yang berseberangan dengan lapangan. Tempat ini nyaman, aku bisa bersandar sekaligus merasakan keteduhan pohon rindang ini. Berkali-kali aku melihat orang lewat yang memandangku aneh karena memilih duduk di sini, sedangkan banyak bangku taman yang disediakan sekolah untuk murid-muridnya, abaikan saja.

Kupasang earphone dan memutar lagu yang belakangan ini sering kudengarkan. Walau aku tak tau arti dari lagunya, tapi aku suka. Alunan nadanya membuat ketenanganku di atas level biasanya. Aku tetap berada di sini, sampai istirahat selesai.

Koridor kelas masih lumayan ramai oleh siswa-siswi yang ngobrol dan tertawa, padahal bel masuk sudah berbunyi. Seharusnya tadi aku menunggu beberapa menit setelah bel bunyi, baru berjalan masuk ke kelas, untuk menghindari perhatian mereka yang dari tadi melihatku sambil berbisik dengan teman masing-masing.

Abaikan ini Zerina, mereka hanya orang-orang bodoh yang tidak pandai memilih cerita.

Aku berhenti melangkah ketika sampai di depan pintu kelas, seorang perempuan yang sangat aku kenal itu menghalangi pintu masuk. Kutatap matanya dengan harapan agar dia tidak menghalangi jalanku, dia menatapku balik.

"Apa liat-liat!" katanya dengan suara yang bisa didengar siapa saja yang ada di situ.

"Minggir. Aku mau lewat." pintaku.

"Oo, mau lewat. Silahkan." Salsa menggeser tubuhnya memberiku jalan, dia tak lepas dari menatapku, membuatku tersandung kakinya karena aku pun tak lepas dari manatapnya balik.

Dia membuatku tersungkur di atas lantai dan sekarang aku jadi bahan tertawaan anak-anak di kelasku dan beberapa anak yang melihat dari pintu kelas. Aku marah, apalagi ketika dia menginjak earphone dan hpku yang juga ikut tersungkur bersamaku.

"Ah, sorry, gue gak liat. Sini gue bantu." Salsa mengulurkan tangannya padaku saat anak-anak itu memusatkan perhatiannya pada kami.

Dasar! Pandai sekali dia berpura-pura, aku tak bisa menahan diriku untuk memukul perempuan itu. Kuambil hp yang barusan dia injak dan kupakai untuk memukul kepalanya. Aku tak peduli jika hp ini rusak, yang penting kepala orang ini harus diberi pelajaran.

Salsa berteriak sambil menghalangi gerakanku lagi sampai akhirnya teman-teman bodohnya itu menghentikanku dan mendorongku menjauh dari Salsa.

"Lo gila, ya! Mukulin kepala orang!" teriak Icha sambil menatapku tajam.

"Lo gak papa, Sa?" Salsa menggelengkan kepalanya atas pertanyaan Dwi, "Gak waras!" teriaknya lagi padaku.

Mereka pergi setelah berhasil membuatku terlihat seperti penjahat sekarang. Anak-anak di kelasku pun tak ada yang berani bicara padaku. Mereka semua menghindar dan memberiku jalan menuju kursiku.

Aku kembali teringat bagaimana dulu aku memukul kepala Ana dengan penggaris besi hingga membuatnya berdarah. Aku tak tahu bagaimana jadinya jika anak-anak kelas ini menyaksikan itu, mungkin mereka akan menemui wali kelas dan bilang jika mereka ingin pindah kelas, tak ingin sekelas denganku. Tapi percayalah, kejadian itu bukan sepenuhnya salahku.

Aku duduk dan merapihkan buku pelajaran yang tadi belum sempat kubereskan karena aku biasa keluar duluan saat bel istirahat bunyi. Ya, itu ada alasannya, aku menghindari keramaian.

"Ternyata bener, ya. Gilanya bisa kambuh kapan aja."

"Sssstt."

Aku mendengar bisikan itu. Mereka melepaskan pandangannya dariku saat aku menatap ke arah mereka tajam. Aku jadi kesal, harusnya mereka bertanya dulu apa yang terjadi, bukan bicara dibelakangku.

Mulut-mulut itu memang sudah termakan gosip receh, mereka hanya mendengar cerita dari satu pihak dan langsung membenciku, mereka langsung menganggapku benaran gila hingga tak ada yang percaya padaku. Aku mengembuskan napas.

Tenang Zerina, kau tidak perlu kesal dan mencaci mereka. Mereka akan lebih menganggapmu gila jika kau lakukan itu.

***

Setelah melewati waktu yang sulit di sekolah hari ini, aku berniat mengunjungi tempat yang sudah lama tak kukunjungi.

Langkahku terhenti, kupandangi pohon seri yang sudah termakan usia itu. Tumbuh di halaman belakang rumah tua yang tidak dihuni, walaupun begitu pohon ini tetap tumbuh dan berbuah. Aku ingat, waktu kecil aku sering kemari, bermain bersama Ana, memanjat pohon ini untuk mengambil buah kecil bewarna merah yang rasanya sangat aku suka. Manis.

Ugh!

Aku mengusir memori itu, rasanya sakit jika menyadari yang terjadi sekarang. Kulepas tas punggung yang kukenakan dan menjatuhkannya ke atas rumput liar di situ. Dengan agak susah aku memanjat pohon, hingga akhirnya aku bisa duduk santai di dahannya sambil menikmati buahnya.

"Hm, seperti ini rasanya kehidupan remaja. Aku jadi ingin menjadi bocah lagi, tak peduli sedekil apa aku dulu. Aku mau bahagia tanpa merasakan sakitnya penghianatan."

Kumakan buah terakhir yang kudapat, lalu berniat mencari lagi. Sepertinya sudah habis, tidak, aku masih melihat satu di ujung dahan. Aku sudah hampir mendapatkannya, tapi seseorang menggagalkanku.

"Hei!" Suara itu mengejutkanku, hingga membuat kakiku kaget dan melesat dari dahan pohon.

"Aaaakh!"

Aku jatuh hingga membuat dengkul dan lenganku tergores patahan ranting-ranting kecil yang bertumpuk di situ.

"Kamu gak papa?" tanya orang yang membuatku terkejut.

Kutepis tangannya yang ingin menyentuhku. Tanpa menjawab pertanyaannya, aku langsung mengambil tas dan buru-buru pergi dari situ.

Jarak rumahku tidak jauh dari tempat itu dan aku sudah berada di rumah sekarang, membersihkan luka dengan alkohol. Untung saja dahan yang kupanjat tadi tidak tinggi dan aku tidak cidera parah. Kalau bukan karena pria tadi, aku mungkin tidak akan jatuh. Kenapa dia bisa ada di sana tiba-tiba.

"Huuh, dasar, harusnya orang itu menangkapku, tega sekali dia." Aku membuang kapas bekas lukaku ke dalam bak sampah.

"Kenapa kamu berharap? Memangnya kamu siapa? Kamu hanyalah orang gila yang gilanya bisa kambuh kapan saja." Aku menyalahi diriku sendiri di depan cermin wastafel.

Aku mengembus napas panjang setelah menyadari perbuatanku. Aku tidak boleh menghina diriku karena orang-orang menghinaku. Aku harus meyakini diriku, bukan meyakini ucapan mereka. Perasaanku mulai lagi, sesuatu yang membuatku tidak percaya diri adalah jika diriku mulai menghinaku. Aku selalu berusaha agar tidak seperti itu.

"Please.. I am not crazy.."

"I am not crazy.."

"I am not crazy.."

Suaraku hampir berbisik dan menjadi berbisik pada kalimat terakhir. Aku bangkit dan berdiri dari ringkukkanku, mengambil pil yang hampir menjadi makananku setiap hari. Aku sudah berusaha menghindarinya, tapi dia selalu saja memanggilku untuk memakannya.

Satu pil berhasil masuk ke mulutku. Pahit. Kuluruskan kakiku di atas kasur dan memejamkan mata, berusaha untuk melupakan hari ini, hingga aku terlelap.

***

Hari ini seperti biasa, jam istirahat di sekolah aku duduk di atas rumput di bawah pohon rindang yang biasa aku tempati.

Hari ini aku membawa headphone dan hp dengan layar retak-retak karena insiden kemarin. Tak masalah, setidaknya hp ini masih mengizinkanku mendengarkan lagu-lagunya.

Kudengar hari ini berita yang sedang hangat dibicarakan oleh cewek-cewek penggosip itu adalah masuknya murid baru. Pastinya karena murid baru itu cowok dan bisa dibilang ganteng menurut mereka. Kalau tidak seperti itu gak mungkin jadi berita hangat.

Mungkin aku satu-satunya wanita yang tidak peduli. Lagian untuk apa? Jika murid baru itu tau tentang diriku, dia juga pasti tidak akan mau berteman denganku.

Aku mengangkat buku bacaanku hingga menutupi wajah, sesuatu di kejauhan sana seolah mengganggu perasaanku. Anak-anak cowok itu pasti sedang membicarakanku. Lalu, aku merasakan kehadiran seseorang di depanku, sedang berdiri menghadapku. Aku menurunkan sedikit buku bacaan dan melihat ke arahnya. Dia melihatku, dengan cepat aku kembali mengangkat buku itu menutupi wajah.

"Hei." Dengan tangan kanannya dia menurunkan buku bacaan yang menutupi wajahku.

Sepertinya aku pernah melihatnya, dia orang yang membuatku jatuh dari pohon kemarin.

"Kamu cewek yang kemarin, kan?"

Aku tak menjawab dan yang terpenting yang harus kalian tau ternyata dia murid barunya.

"Arken." Dia menjulurkan tangan kanannya dan tersenyum padaku untuk berkenalan.

Aku telah berusaha untuk menerimanya, tapi kurasa itu percuma dan akan sia-sia. Dia akan membenciku dan menjauhiku, atau mungkin sekarang dia hanya mempermainkanku dan menjadikanku bahan lelucon karena kuyakin dia ada bersama rombongan cowok itu tadi.

Teett... Teett... Teett...

Akhirnya bel masuk berbunyi, aku berdiri dari duduk dan berjalan meninggalkannya di situ tanpa bicara apapun. Kudengar rombongan cowok di sana tertawa melihat Arken, cowok yang barusan memperkenalkan namanya padaku. Bukannya sudah kubilang, mereka hanya menjadikanku bahan lelucon. Apa itu yang disebut teman? Bukankah aku beruntung karena tidak memiliki teman seperti mereka? Yah, kurasa aku beruntung.

Bersambung


Index
2. Arken
3. Berteman
4. Psikis
5. Hariku
6. Masalahku
7. Wanita Bahagia
8. Wanita Bahagia 2
9. Pentas Seni
10. Pentas Seni 2
11. Memori
12. Reuni
13. Fungsi Hati
14. Hari Terakhir
15. Ana
16. Perasaan Rindu
17. Kematian Ana
18. Teror
Diubah oleh tiawittami 14-01-2020 12:21
someshitness
NadarNadz
nona212
nona212 dan 16 lainnya memberi reputasi
17
7.6K
90
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
tiawittamiAvatar border
TS
tiawittami
#79
17. Kematian Ana
Roda terus berputar, sama hal-nya dengan bumi yang terus berputar mengelilingi matahari ditemani bulan. Hari telah berulang banyak sekali dan aku tidak pernah melihat mamaku lagi.

Setiap pijakan kaki di rumah ini kembali terasa hampa, mengingat sesuatu yang kurindukan di luar sana. Aku ingin mengubah diri dan memperbaiki segala sesuatu yang salah dalam keluargaku. Mungkin dulu semua ini terjadi karena ego yang sangat besar pada diri kami masing-masing. Namun, sekarang waktu sangat tepat untukku yang mulai mengerti perjalanan hidup.

Aku banyak belajar dari hari-hari yang kulewati, segala sesuatu itu mengajarkanku semua yang dulu sempat tak kupedulikan. Bunda sangat banyak memberikan perubahan dalam hidupku, rasa terimakasih pun sangat banyak tercurah untuk wanita hebat sepertinya.

Kuberanikan diri untuk bertanya, di mana mama? Apa dia benar-benar tak akan kembali?

Aku menaruh sekotak cokelat buatanku sendiri di atas meja, tak lupa segelas kopi yang selalu papa temui setiap pulang ke rumah. Lalu tubuhku lemas setelah mendengar ucapan papa, bahu yang tadinya tegar dan kokoh untuk menyelesaikan masalah ini pada akhirnya runtuh sebelum melakukan apapun.

"Dia tak akan kembali."

Aku terlambat, mereka sudah pisah. Aku terlalu payah untuk peduli sejak awal. Sekarang aku benar-benar tak memiliki ibu.

"Dia sendiri yang minta." Papa menatap mata senduku, dan aku tak melihat kesedihan sedikit pun dari wajahnya. "Sudah, jangan dipikirin. Lagian kamu sudah besar, sudah bisa jaga diri. Kamu gak butuh dia lagi. Biarkan saja dia." Papa mengusap bahuku sebelum berpindah tempat ke kamar tidurnya.

Aku tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi pada mereka. Papa terlihat sudah tidak memperdulikannya. Kenapa ini terjadi ketika aku sangat ingin memperbaiki semuanya. Aku ingin menjalin hubungan baik dengan mama layaknya bunda dengan Arken. Setidaknya aku ingin berusaha dan menunjukkan yang terbaik untuknya, walau dia tak pernah mengajariku. Bagaimanapun juga dia tetap mamaku, kan. Yang melahirkanku meski tidak mengasuhku.

Sekarang tak ada yang harus kuperbaiki. Aku akan tetap terbiasa tanpa mama. Kuharap dia tak pernah benci memiliki anak sepertiku.

***

Sekolah sepi hari ini, ujian akhir semester telah berlangsung dan anak-anak mulai malas datang ke sekolah. Hanya aku yang tidak malas di kelasku, lihatlah hanya ada aku di sini.

Kuharap aku lulus dalam ujian akhir kemarin. Aku menantikan saat kepulangannya, sebentar lagi kurasa pasokan nutrisi otakku terisi dan tidak akan pernah kosong. Untuk waktu yang lama benakku selalu terisi oleh sisa-sisa bayangannya, dan nanti tidak akan ada lagi sisa, yang ada adalah stok dan waktu akan terus mengisinya. Aku tak sabar menunggunya besok lusa.

Setumpuk buku cerita mendarat di mejaku. Airi meletakkan buku yang kupesan padanya untuk kupinjam. Katanya dia memiliki banyak buku bacaan, dia mengatakan itu karena sering melihatku membaca. Kupikir lumayan juga untuk stok membaca di hari libur nanti.

"Ini buku yang kamu minta kemarin." Airi menyeka keringatnya.

"Iya, makasih, ya. Nanti selesai liburan aku balikin," ucapku.

"Oke, gak masalah." Dia duduk di bangku sebelah mejaku.

Selama Arken tak ada, Airi satu-satunya yang menjadi teman baikku. Aku selalu bersamanya ketika di sekolah. Terlebih ketika Salsa dan kawan-kawannya itu mengejekku, mereka senang sekali membuatku marah.

Siang ini, di antara kesepian sekolah, aku berjalan menuju kantin untuk membeli minum. Ternyata anak-anak pada duduk di kantin, pantas saja koridor sepi. Aku memesan es lemon dan mendapatkannya. Baru saja aku berbalik badan ingin mencari tempat duduk, Salsa sudah berdiri di depanku. Aku sedikit tersentak kaget. Dan tumben saja dia sendirian, tidak bersama dua temannya.

Aku mengembuskan napas pendek. Dia menatapku dingin dan serius. "Zerina... Ana meninggal."

Telingaku seperti tak berfungsi lagi setelah mendengar ucapannya. Rasanya seolah tak ada suara lagi yang dapat kudengar kecuali ucapan Salsa itu. Ana meninggal, kenapa? Dia dalam kondisi yang sedikit baik saat aku menjenguknya kemarin.

"D-dia kenapa...?" tanyaku lirih nan pelan dengan tatapan kosong padanya.

"Ini kasus pembunuhan." Dia menatapku dalam. "Siapa saja yang pernah menjenguknya bisa dijadikan tersangka." Aku dapat merasakan tatapan Salsa yang semakin membesar. "Dan gue yakin pasti lo pembunuhnya!!!"

Aku menyiram wajahnya dengan es lemon yang belum kuminum sedikit pun. Suaranya yang tiba-tiba saja berteriak itu membuatku reflek melakukannya. Bisa-bisanya dia meneriakiku seperti itu, membuat setiap telinga yang berada di sini menumpukan perhatiannya pada kami.

Salsa memejamkan matanya untuk beberapa saat, lalu mengembuskan napas kasar. "Cuma elo yang paling deket dengan dia. Gue bukan siapa-siapanya, jadi tolong jangan bawa gue ke masalah kalian."

Salsa pergi setelah meninggalkan segala pertanyaan dalam benakku. Aku tak mengerti apa maksudnya dan kenapa dia seperti itu. Apa kaitannya dengan aku, aku bahkan tidak sedekat itu dengannya belakangan ini. Aku hanya mendegar kabarnya dan menjenguknya. Dia pun sudah meminta maaf padaku dan kami resmi berbaikan, begitu pun dengan Zega. Aku tak tahu jelas apakah Salsa dan teman yang lainnya menjenguk juga, kurasa iya.

Aku meninggalkan kantin dan tumpahan es di lantai itu, tak peduli lagi bagaimana pandangan anak-anak dan ibu kantin di situ. Mereka sama sepertiku yang masih terbalut oleh tanda tanya. Kuingat kembali saat aku menjenguk Ana di rumah sakit.

Dia terbaring lemas di ranjang, kondisinya tidak terlalu baik ketika pertama kali aku berkunjung. Dia menatapku dengan tatapan sendu, seperti ingin bicara, tapi dia tak bisa. Aku mendekat padanya dan meraih tangan kanannya yang bergerak sangat lambat. Kurasakan genggamannya yang begitu erat di tanganku. Air mata di wajahnya cukup menjelaskan bagaimana perasaan di hatinya, dia meminta maaf padaku.

Aku tak tahu lagi bagaimana rasanya, pasti sungguh sangat sakit. Ana mendapat banyak jahitan di kepala juga patah tulang permanen pada tangan dan kaki sebelah kiri, belum lagi luka lebam akibat benturan tubuhnya dengan tanah. Dia pasti sangat menderita, ditambah lagi dengan bacotan netizen pada video aksi bunuh dirinya. Seberat itu beban hidupnya. Aku jadi merasa bersalah karena tidak sempat menggagalkan aksi bunuh dirinya waktu itu.

Setelah cukup lama di rumah sakit, Ana diizinkan pulang ke rumah, dia menggunakan kursi roda. Setelah itu aku tidak tahu lagi bagaimana kabarnya. Namun, kemarin kudengar dia kembali masuk rumah sakit, sudah hampir seminggu di sana. Aku pun menjenguknya lagi. Kabarnya dia mengalami pendarahan di kepala karena terbentur pinggiran kaca meja. Sungguh aku tak sanggup mendengarnya.

Saat aku menjenguknya kemarin dia sudah sedikit membaik. Zega yang mengantarku ke sana. Ana bicara banyak padaku kemarin.

"Zerina... aku minta maaf, ya. H-harusnya, aku gak merusak, nama baik kamu..." katanya lirih dengan mata berair. "Aku... sungguh minta maaf."

Aku pun tak bisa menahan air mataku, mereka mengalir bersamaan dengan ingatanku tentang masa kecil kami. Masa kecil yang penuh mainan dan tawa. Masa di mana kami hanya mengenal makan, jajan, main, berlari, terjatuh, dan hanya luka di lutut. Seandainya dulu aku tak memarahinya di depan temannya, mungkin tak akan seperti ini.

"Aku juga minta maaf... kamu sudah kembali jadi temanku," kataku sambil memeluknya yang terbaring di ranjang. Akhirnya kata maaf terjalin antara kami, sudah cukup lama kami menyembunyikan ego masing-masing.

Aku membasuh wajahku dengan air mengalir dari keran wastafel di toilet sekolahku. Kulihat diriku dipantulan cermin toilet, memegangi kening tak habis pikir. Kenapa Ana meninggal dunia, kasus pembunuhan seperti apa yang terjadi sebenarnya. Kenapa seseorang membunuhnya?

Aku kembali ke kelas mengambil tasku dan bergegas pulang, tapi sebelum itu aku menaruh dulu buku bacaan yang kupinjam pada Airi di loker. Aku akan membawanya pulang besok atau lusa.

***

Berita TV malam ini tak jauh-jauh dari kasus pembunuhan Ana.

"Remaja yang sebelumnya sempat melakukan aksi bunuh diri pada bulan Mei lalu, kini dikabarkan meninggal dunia. Kasus ini diduga merupakan aksi pembunuhan, hasil autopsi menyatakan bahwa terdapat cairan racun dalam tubuh korban. Pihak keluarga mengatakan jika korban sedikit membaik kondisinya kemarin, namun hari ini tepat pada pukul 10.39 WIB korban menghembus napas terakhir. Belum diketahui pasti apa motiv dibalik pembunuhan ini, namun pihak berwajib akan mengumpulkan data dan mengungkap pelaku."

Aku mengganti cenel TV untuk mendapatkan berita lainnya tentang Ana. Namun sama saja, beritanya tidak berbeda jauh dari itu. Ana meninggal karena diracun, kenapa seseorang ingin dia mati. Aku memijat keningku yang terus berpikir tentang Ana. Kuambil hp yang tergeletak di samping tempatku duduk, dan aku mendapat banyak notifikasi pada akun media sosialku.

Tak tahu kenapa tiba-tiba saja pengikut di akunku bertambah hingga menjadi banyak sekali, begitu pun dengan pesan yang masuk. Pesan-pesan itu berisi pertanyaan seputar kasus Ana, dan aku mendapat tautan dari salah satu pesan.

TERNYATA KEMATIAN ANA SANGAT BERKAITAN DENGAN MASALAH PRIBADINYA BERSAMA TEMAN DEKATNYA DULU.

Jantungku tiba-tiba saja berdetak sangat cepat, terlebih ketika aku membaca isi berita itu.

Pihak keluarga mengatakan jika Ana memiliki masalah yang sudah sangat lama dengan temannya. Mereka tidak pernah bertemu setelah sekian lama. Namun sehari sebelum kematian Ana, mereka sempat bertemu dan berbicara.

Seorang laki-laki yang diketahui adalah mantan kekasihnya berada bersama keluarga Ana, setelah pulang dari pemakaman kami mewawancarainya. "Iya, kemarin mereka sempat ketemu, ngobrol, terus baikan. Tapi, hari ini Ana dikabari keracunan."

Sang mantan kekasih menjelaskan bahwa mereka sudah berbaikan, berbeda dengan yang diungkapkan pihak keluarga. Belum diketahui secara pasti motif dibalik aksi pembunuhan ini, dan penyelidikan akan terus dilakukan oleh pihak kepolisian.

Aku merasa jika keberadaanku sekarang begitu terancam. Pesan-pesan yang kudapat adalah pesan kebencian, orang-orang mengatakan jika aku penyebab kematian Ana. Belum lagi dengan hujatan mereka di kolom komentar sebuah foto yang kuunggah di sana.

Aku mencoba membela diriku atas tuduhan mereka. Tapi mereka malah mem-bully.

"Maaf, tapi aku sudah tidak sedekat itu dengan Ana setelah lulus SMP," balasku pada salah satu komentar di situ.

"Udah gak deket makanya diracun, ops."

"Owalah, mbanya masih SMA, toh."

"Mba katanya mantan kekasihnya mantan mba juga."

"Itu, kan, katanya. Plis, deh, dasar netijen!"

"Jangan-jangan sekongkolan, nih."

"Emang mantannya siapa, Bang?"

"@ZegaAdityaHS"

Salah satu akun di situ men-tag akun Zega. Ternyata bukan cuma aku, akun Zega juga menjadi perhatian publik, semua fotonya penuh dengan komentar-komentar netizen. Aku bersyukur karena tidak pernah mengupload foto wajahku di akun sosial media ini. Akunku hanya berisi foto-foto hasil jepretan tanganku pada pemandangan dan dekorasi yang kurasa sangat bagus untuk di foto.

Ddrrtt ddrrtt drrtt

Aku menjawab panggilan masuk dari Zega. "Ha--"

"Zerina, lo di mana?" Suaranya terdengar panik dan tergesa-gesa

"Eng, d-di rumah."

"Lo jangan ke mana-mana dulu hari ini sampe besok. Banyak orang yang nyari elo, alamat rumah lo masih aman dari publik, jadi diem aja di rumah."

"Tapi kenapa? Memangnya aku salah apa?"

"Iya, gue tau lo gak salah, Zer. Tapi orang tua Ana bakal tetep nyalahin elo."

Aku terdiam, tubuhku lemas begitu pun mataku. "Kenapa..?" tanyaku lirih.

"Orang tua Ana memang gitu, mereka gak akan diem aja apalagi cuma nunggu. Jadi, gue saranin, lo jangan kemana-mana sampe kasus ini terungkap."

Tut.

Aku memutuskan sambungannya. Otakku tidak dapat bekerja dengan baik, kehidupan tenangku seolah hilang ditelan kasus kematian Ana. Baru saja aku terbebas dari kedinginan di sepanjang musim. Sekarang apalagi? Kenapa selalu saja ada orang yang ingin menghancurkan hidupku. Salahku apa?

Bersambung..
jiyanq
jiyanq memberi reputasi
1