feymega24Avatar border
TS
feymega24
CURIOSITY KILL THE CAT



Sinopsis

Pada tahun 2009, persahabatan geng ‘Oriza’jadi berantakan akibat sebuah tragedi. Sepuluh tahun kemudian, masing-masing dari mereka masih membawa luka dan kenangan masa lalu tersebut. Karena dalam beberapa kasus, masa lalu takkan pernah meninggalkan mereka, dan akan selalu menghantui.


Prolog


November 2009

Bulan November yang dingin dan mendung, terutama, hujan — terpanjang tahun ini. Matahari nyaris bersinar, malu-malu. Bahkan simbol kehangatan dan kehidupan pun gagal menunjukkan wajahnya. Semua keputusasaan dan kejahatan akhirnya menang, semudah itu.

Di atas tanah yang putus asa, sebuah upacara diadakan, dan berdiri secara berdekatan, beberapa orang dewasa dan anak-anak dalam pakaian serba hitam. Seperti konspirasi para gagak, mereka menyaksikan langsung mayat yang diseret ke pemakaman. Semua wajah tampak suram dan pucat. Mereka terlihat seperti tubuh tanpa jiwa yang siap untuk di kubur di dalam liang lahat itu.

Apa dia pantas hidup dalam kengerian seperti itu? Apa ia pantas mati seperti itu?

“Semoga jiwanya beristirahat dengan damai.” Mereka semua mengatakan hal yang sama pada mayat yang terbujur kaku di atas tanah, tetapi mereka tak pernah mengatakannya pada jiwa yang selamat dari semua kekacauan itu.

Apa secara nggak langsung, mereka nggak pernah yakin kalau manusia bisa menemukan kedamaian saat masih hidup? Hm...

Di antara jiwa-jiwa yang masih hidup itu, ada beberapa anak yang berdiri dalam kebisuan di tengah perkabungan, tiga anak gadis dan satu anak laki-laki: Jovanka, Amara, Mashel, dan Matteo. Tiga di antaranya berada di sekolah menengah dan yang termuda masih di sekolah dasar. Mereka terlalu muda untuk merasakan semua itu — untuk bersedih atas seorang teman, seorang kakak perempuan, dan mulai saat itu, persahabatan mereka tak akan pernah sama lagi.

Pada saat yang sama di tempat yang berbeda, sebuah koper di buka dan tumpukan demi tumpukan pakaian dan benda lainnya di lempar secara sembarangan ke dalam koper. Seorang pria muda menahan tangis dan ingusnya keluar, suasana itu sudah mengisi kekosongan kamar kecilnya, dan ikut serta menemani suara barang-barang yang dilemparkannya.

Setelah menahannya cukup lama, akhirnya dia tak dapat menahan kepedihan itu lagi. Kemudian, sebuah ratapan yang tak terelakkan mengaung, bergema di setiap sudut ruangan. Dia jatuh ke lantai sambil menangis di samping koper yang berantakan. Sewaktu dia menangis sendirian, suara teman terkasihnya menggema kembali dalam ingatannya, “Gavin, aku harap kamu nggak pernah merasakan kepedihan sepertiku.”

Aku nggak bisa tinggal di sini lebih lama lagi ... batin Gavin menjerit.
Diubah oleh feymega24 19-01-2020 03:23
lina.wh
NadarNadz
nona212
nona212 dan 7 lainnya memberi reputasi
8
1.5K
15
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
feymega24Avatar border
TS
feymega24
#1
Bab 1


Januari 2019

Suara tembakan keras melesat di udara. Cahaya bertebaran, percikan api yang mengudara menyilaukan mata ke segala penjuru arah, menandakan puncak perayaan malam itu. Jeritan bahagia dan suara terompet pun bernyanyi di tengah-tengah langit malam yang telah berwarna-warnikan cahaya, asap, kebisingan, kegilaan ...

“Happy new year!” mereka bersorak.

Suasana jalanan pusat kota Singapura telah dibanjiri oleh emosi yang energik, dan masih menyisakan semangat yang membara di tengah malam itu. Segera, suara lonceng gereja mulai berdering, dan orkestra kecil pun mulai bermain mengiringi sekumpulan orang-orang yang menari sembarangan di jalanan, seperti menyediakan hiburan gratis bagi warga sekitar yang sedang menikmati malam perayaan tahun baru.
Tiba-tiba, layar TV di depannya berubah menjadi hitam. Jari manis Gavin meletakkan remote control itu di atas meja kopi, dan sebagai gantinya, segelas wine setengah kosong-setengah penuh ia dekatkan ke salah satu bibir merah yang sedikit menghitam. Gelas kaca di tangannya itu menyentuh bibirnya dengan lembut, membuatnya sedikit mabuk oleh setiap tetes kecil dari anggur merah itu. Tetapi tidak mampu memberikan efek yang kuat, sehingga Gavin masih dalam keadaan sadar akan realita.

Malahan sebaliknya, beberapa kenangan menikam langsung ingatannya. Semua inderanya mulai terbakar. Semua partikel kecil—seperti udara, suara yang teredam, partikel debu yang sangat halus, jam berdetak—mulai menusuk ke dalam hatinya yang sedang sensitif, sebab Gavin sedang duduk terlunglai di sofa, di depan televisi, sendirian.

“Selamat tahun baru, Gavin ...” Ia merintih pada dirinya sendiri dalam bahasa Indonesia. “Ya, gak nyangka sih ...,” dia bergumam lagi, dalam bahasa Indonesia. Gavin mencoba untuk menahan rasa ngantuknya. “Sudah 2019 ... 2000 ... Sembilan belas ... 2000 ... dan sembilan ... 2009 ... 2009 ...” Gavin berhenti. Dua alisnya tersentak, ia membuka lebar-lebar mata sayunya secara paksa. Dia mengamati gelas anggur yang masih terpaku di antara telapak tangan dan jarinya. Dengan sedikit jentikan yang ringan, cairan di dalam gelas itu berputar-putar. Dan berputar-putar lagi. Dan lagi. Akhirnya, Gavin meminum sisanya dan meletakkan gelas kaca itu di atas meja.

“2009 ...,” Gavin mengucapkannya sekali lagi. Sebuah desahan melarikan diri dari bibirnya saat ia memalingkan wajah ke jendela. Di luar, di pusat kota itu, ada banyak cahaya dari kembang api yang terlihat dari kejauhan. “... udah hampir sepuluh tahun sejak kejadian itu terjadi. Sepuluh tahun.”

Akhirnya, Gavin memejamkan matanya, dan dengan nyaman bersandar di bantalnya sembari menghirup napas dalam-dalam, berusaha untuk menenangkan diri dari efek alkohol yang sudah mulai membuatnya pusing. Di tengah malam yang meriah itu, Gavin Ardian malah tertidur sendirian di sebuah hotel di Singapura dengan satu kenangan tragis yang bersemayam di dalam otaknya yang sedang mabuk—kenangan di tahun 2009. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang selalu dirayakan dengan meriah, kali ini sedikit berbeda.

Di sebuah kamar hotel yang pintunya setengah terbuka, dengan koper yang terbaring berantakan di samping tempat tidur. Dan di atas tempat tidurnya, ada sebuah kamera Polaroid, kamera DSLR, dan beberapa bagian kamera lainnya (lensa dan peralatannya).
Sebelumnya, ia tak pernah berencana mabuk sendirian di dalam kamarnya seperti itu, saat suasana di luar sedang meriah. Gavin masih punya pekerjaan yang harus dilakukan, dan ia malah mengabaikannya. Gavin bekerja untuk sebuah majalah di Singapura, dan tugasnya adalah mengambil foto perayaan tahun baru di sana untuk jurnal bulanan mereka. Tindakan gegabahnya itu sudah berdampak buruk pada reputasinya di tempat kerja. Dan begitulah yang terjadi.

“Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?! Kita membutuhkan foto itu! Apa yang akan kita publikasikan sekarang?!” teriak bosnya pada Gavin setelah ia kembali dari Marina South, itu adalah satu-satunya tugasnya yang gagal.

“Maaf,” hanya itu yang bisa Gavin katakan.

“Kita mengirimmu ke Marina South – membayar biaya transportasi, hotel, dan semuanya — dan yang bisa kamu katakan hanya maaf? Tahun baru tidak datang dua kali dalam setahun, pikirkan itu!” teriakkan bosnya itu mengaung di dalam gendang telinganya.

Tak perlu dijabarkan lagi, itulah alasan mengapa Gavin bisa kehilangan pekerjaannya. Dan semua itu hanya gara-gara sebuah lukisan.
Pada malam tahun baru di Marina South, Gavin memutuskan untuk mengisi waktunya dengan berkeliaran di sekitar kota sembari mengambil beberapa foto. Dia memoto hal-hal kecil yang ada di sana: seperti seorang gadis dengan balon ungunya, sekelompok perawat yang sedang keluar dari rumah sakit, pasangan kekasih yang sedang bergandengan tangan, keluarga yang sedang makan bersama, dan buket bunga matahari di atas etalase toko bunga — semua kehidupan sehari-hari.

Gavin mencintai street photography. Sama seperti impresionis dan naturalis dari abad ke-19, ia menemukan keindahan dalam setiap adegan sederhana yang biasa dilakukan sehari-hari. Mereka semua sudah mengingatkannya pada sisi terang dalam kehidupan, itulah sebabnya mereka adalah subjek dalam seninya. Dan di Singapura, ada banyak inspirasi dan bahkan lebih banyak kesempatan.

Saat Gavin menyusuri jalanan berbatu dan gang sempit, ada sebuah museum seni yang kecil di salah satu kawasan kota tua di sana, dan bangunan itu sedang berdiri tegap di hadapannya, seolah memberikan sebuah isyarat pada Gavin untuk masuk ke dalamnya sambil melihat-lihat. Karena dia memiliki waktu yang cukup panjang selama malam tahun baru, Gavin pikir, kenapa nggak? Seorang seniman itu perlu mencari ide-ide dan inspirasi baru, dan belajar dari seniman lainnya pun termasuk ke dalam mencari sebuah inspirasi.
Dan karena hal itu, Gavin dengan senang hati menerima undangan alam tersebut.

Ada beberapa lukisan di galeri mungil itu, karya-karya yang cantik dan impresionistik, sebagian besar dari mereka merupakan gambar pemandangan dan alam, seperti tiruan dari Monet dan Renoir. Ketika ia bersantai sambil menikmati karya-karyanya, ada satu lukisan yang sudah menarik jiwanya. Sebuah lukisan kolam teratai di bawah langit yang cerah. Warna dan detailnya menggambarkan pemandangan yang tenang dengan langit biru dan angsa yang sedang mengapung malas di atas air. Di bagian bawahnya berjudul “Peace” atau dalam bahasa Indonesia, “Damai.”

Peace. Kata yang cukup akrab di telinganya.
Peace.
Peace ...
Rest in ... Peace

Seketika, sosok dan kenangan yang tak jelas mulai bermunculan di depan matanya: masa kecilnya, kota kelahirannya, teman-temannya, dan tragedi di tahun 2009. Air mata mulai menetes di pipinya saat Gavin berdiri di sana dalam keheningan selama beberapa menit dengan kata “kedamaian” yang berputar di kepalanya yang mulai pusing. Tiba-tiba Gavin merasakan mual di dalam perutnya yang keroncongan, seperti dunia sedang berputar lebih cepat daripada kecepatan cahaya. Kehidupan pun ikut tersedot keluar dari jiwanya yang kelam, dan sisanya tenggelam oleh alkohol yang baru saja diminumnya.
2009 ...
2009 adalah tahun yang mengerikan.

Sudah sepuluh tahun Gavin mencoba untuk melupakan tahun terkutuk itu. Untuk apa dia sudah susah payah kabur ke Singapura? Mengapa juga dia harus bekerja begitu keras untuk belajar bahasa Inggris dan untuk apa juga dia harus capek-capek mempersiapkan portofolionya sewaktu di SMA? Semua itu dilakukannya agar bisa masuk ke sekolah seni di Singapura, dan jauh dari masa lalunya. Semua itu dilakukannya agar bisa memulai hidupnya dari awal lagi dan menjalani kehidupan baru. Semua itu Gavin lakukan agar bisa melupakan masa lalunya. Dan semua itu sudah dilakukannya selama lima tahunnya tinggal di Singapura.

Pikirannya mulai mengawang, karena keadaannya yang mabuk, Gavin mulai bertanya pada dirinya sendiri. Apa sih yang aku lakuin di sini? Apa aku bahagia tinggal di sini?

Semakin Gavin menganalisa situasinya, semakin terlihat membingungkan. Mungkin saja, kondisinya sudah menjadi lebih baik atau malah lebih buruk. Di Singapura, Gavin bisa melakukan semua yang ia mau dan itu kelihatan keren. Walaupun karir Gavin baru seumur jagung, tetapi semuanya berjalan cukup baik, serta cukup produktif dan selalu mendapatkan hasil yang memuaskan. Dalam perjalanannya mengembara ke negeri asing, Gavin sudah bertemu dengan banyak orang hebat dan mengalami banyak hal besar. Bahkan semua foto hasil karyanya pun bisa menjadi sebuah bukti keberhasilannya.

Di permukaan, semuanya terlihat seperti fatamorgana, orang-orang mengira kalau hidupnya sudah mencapai titik kebahagiaan dan menyenangkan. Namun, sama seperti foto yang terpajang dalam bingkai artistik, ada sesuatu yang lain di belakang layar. Jauh di dalam kebahagiaannya yang terpancar, ada sebuah kekosongan dalam jiwanya yang lelah, dan tak bisa diisi oleh makanan, uang, wine ... karir, warna, dan bahkan keindahan paras wanita sekali pun ... Tidak ada yang bisa memenuhi kekosongan itu. Tetapi, kekosongan itu masih bisa disibukkan oleh banyaknya kegiatan. Gavin sudah berpapasan dengan semua peristiwa penting dan beberapa pameran foto, dia juga sudah mengambil hampir semua pekerjaan photo journalism yang tersedia di sana.

Gavin menciptakan seni dan foto yang menarik secara estetik untuk mengalihkan perhatiannya dari pikiran yang bisa mengoyak-ngoyak dirinya sendiri, ‘hal-hal positif’ secara ajaib akan dapat membuat hal-hal negatif, menghilang. Sejujurnya, Gavin memulai perjalanan panjang itu, untuk sengaja memisahkan diri dari semua orang yang pernah dipedulikannya. Gavin begitu bersemangat untuk menjauh dari masa lalu dan mengikuti mimpinya, dan ia sudah bertekad kuat untuk meninggalkan orang-orang yang dicintainya.

Penyesalan itu selalu muncul di dalam hatinya pada setiap malam tahun baru, Gavin akhirnya menyadari betapa kesepiannya ia dalam proses melarikan diri tersebut. Ketika titik terendah itu datang menyerangnya, ia selalu rindu pada kampung halamannya. Setelah kehilangan pekerjaannya, Gavin tiba-tiba membuat keputusan yang sangat terburu-buru. Dengan gegabah, ia memesan tiket penerbangan dan mengemas kopernya.

“Halo dan Selamat datang, ini adalah penerbangan Changi Airport menuju Soekarno-Hatta, Indonesia ...” Rumput tetangga tidak terlihat lebih hijau, kita semua sedang berhalusinasi. Gavin, 26 tahun, merenung saat ia menatap jendela pesawat. Di luar sudah terlihat landasan kosong dan beberapa rumput musim hujan. Dia mendesis dan menutup matanya. Goodbye Singapura. Aku akan pulang. Gavin tersenyum kecut.
Diubah oleh feymega24 17-01-2020 22:52
diadem01
chisaa
chisaa dan diadem01 memberi reputasi
2