Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

tiawittamiAvatar border
TS
tiawittami
BADAI SEBELUM PELANGI


1.Murid Baru


Namaku Zerina. Zerina Mia Hartalisya. Kepribadianku berubah sejak penghianatan itu terjadi. Ketika orang-orang yang selalu bersamaku, menjalani hari-hari bersamaku bahkan suka duka selalu bersamaku menghancurkan semuanya.

Ketika pacarmu yang sudah sangat manis denganmu dan sahabatmu yang selalu mendukungmu ternyata hanya berpura-pura baik padamu. Sakit bukan? Kemudian mereka bersama dan meninggalkanmu. Bagaimana rasanya? Sakit saja, kah? Atau ada perasaan lain?

Tidak hanya itu yang terjadi padaku, mereka bahkan merusak nama baikku, membuatku semakin tidak bisa bergerak, tidak ada yang percaya padaku. Mereka yang lain jadi takut padaku.

Namaku bukan lagi Zerina. Aku orang gila, yang gilanya bisa kambuh kapan saja. Orang-orang yang mendekatiku hanya ingin mengambil kesempatan tanpa kutahu apa tujuannya. Yang pasti mereka hanya menguntungkan diri mereka sendiri.

Astaga, kejam sekali hidup ini. Aku harus apa? Mati, kah? Atau terus menjalaninya? Kira-kira apa yang akan kudapat jika aku terus menjalani hidup. Ketulusan, kah? Aah tidak, ketulusan itu semu. Walau aku sangat ingin bertemu dengannya.

***

Kukira setelah aku lulus dan masuk ke sekolah baru semua itu akan lenyap, tapi ternyata tidak. Orang-orang bodoh itu terus mengingatnya bahkan mereka menyebarkan semuanya di sini. Tak mengapa, aku telah terbiasa dengan semua ini, bahkan jika aku harus seperti ini sampai akhir hidupku. Semua pikiran mereka dan semua yang mereka katakan, biarlah, aku terlalu lelah untuk peduli.

Aku suka duniaku, tak ada yang harus kusembunyikan sekarang. Aku tak perlu berpura-pura untuk mendapatkan yang aku inginkan, karena aku tak lagi menginginkannya.

Teman...

Makhluk apa itu? Aku tidak ingin mereka lagi. Mereka semua hidup dalam kepalsuan. Canda tawa itu akan terasa pahit jika kau tau akhirnya. Tak ada ketulusan di sini, semuanya berjalan karena kemauan masing-masing dari orang-orang itu. Aku tak pernah melihat ketulusan, mungkin dia semu, seperti apa dia? Aku jadi ingin bertemu dengannya.

***

Seperti biasa, aku menghabiskan waktu istirahat dengan duduk di atas rumput yang berseberangan dengan lapangan. Tempat ini nyaman, aku bisa bersandar sekaligus merasakan keteduhan pohon rindang ini. Berkali-kali aku melihat orang lewat yang memandangku aneh karena memilih duduk di sini, sedangkan banyak bangku taman yang disediakan sekolah untuk murid-muridnya, abaikan saja.

Kupasang earphone dan memutar lagu yang belakangan ini sering kudengarkan. Walau aku tak tau arti dari lagunya, tapi aku suka. Alunan nadanya membuat ketenanganku di atas level biasanya. Aku tetap berada di sini, sampai istirahat selesai.

Koridor kelas masih lumayan ramai oleh siswa-siswi yang ngobrol dan tertawa, padahal bel masuk sudah berbunyi. Seharusnya tadi aku menunggu beberapa menit setelah bel bunyi, baru berjalan masuk ke kelas, untuk menghindari perhatian mereka yang dari tadi melihatku sambil berbisik dengan teman masing-masing.

Abaikan ini Zerina, mereka hanya orang-orang bodoh yang tidak pandai memilih cerita.

Aku berhenti melangkah ketika sampai di depan pintu kelas, seorang perempuan yang sangat aku kenal itu menghalangi pintu masuk. Kutatap matanya dengan harapan agar dia tidak menghalangi jalanku, dia menatapku balik.

"Apa liat-liat!" katanya dengan suara yang bisa didengar siapa saja yang ada di situ.

"Minggir. Aku mau lewat." pintaku.

"Oo, mau lewat. Silahkan." Salsa menggeser tubuhnya memberiku jalan, dia tak lepas dari menatapku, membuatku tersandung kakinya karena aku pun tak lepas dari manatapnya balik.

Dia membuatku tersungkur di atas lantai dan sekarang aku jadi bahan tertawaan anak-anak di kelasku dan beberapa anak yang melihat dari pintu kelas. Aku marah, apalagi ketika dia menginjak earphone dan hpku yang juga ikut tersungkur bersamaku.

"Ah, sorry, gue gak liat. Sini gue bantu." Salsa mengulurkan tangannya padaku saat anak-anak itu memusatkan perhatiannya pada kami.

Dasar! Pandai sekali dia berpura-pura, aku tak bisa menahan diriku untuk memukul perempuan itu. Kuambil hp yang barusan dia injak dan kupakai untuk memukul kepalanya. Aku tak peduli jika hp ini rusak, yang penting kepala orang ini harus diberi pelajaran.

Salsa berteriak sambil menghalangi gerakanku lagi sampai akhirnya teman-teman bodohnya itu menghentikanku dan mendorongku menjauh dari Salsa.

"Lo gila, ya! Mukulin kepala orang!" teriak Icha sambil menatapku tajam.

"Lo gak papa, Sa?" Salsa menggelengkan kepalanya atas pertanyaan Dwi, "Gak waras!" teriaknya lagi padaku.

Mereka pergi setelah berhasil membuatku terlihat seperti penjahat sekarang. Anak-anak di kelasku pun tak ada yang berani bicara padaku. Mereka semua menghindar dan memberiku jalan menuju kursiku.

Aku kembali teringat bagaimana dulu aku memukul kepala Ana dengan penggaris besi hingga membuatnya berdarah. Aku tak tahu bagaimana jadinya jika anak-anak kelas ini menyaksikan itu, mungkin mereka akan menemui wali kelas dan bilang jika mereka ingin pindah kelas, tak ingin sekelas denganku. Tapi percayalah, kejadian itu bukan sepenuhnya salahku.

Aku duduk dan merapihkan buku pelajaran yang tadi belum sempat kubereskan karena aku biasa keluar duluan saat bel istirahat bunyi. Ya, itu ada alasannya, aku menghindari keramaian.

"Ternyata bener, ya. Gilanya bisa kambuh kapan aja."

"Sssstt."

Aku mendengar bisikan itu. Mereka melepaskan pandangannya dariku saat aku menatap ke arah mereka tajam. Aku jadi kesal, harusnya mereka bertanya dulu apa yang terjadi, bukan bicara dibelakangku.

Mulut-mulut itu memang sudah termakan gosip receh, mereka hanya mendengar cerita dari satu pihak dan langsung membenciku, mereka langsung menganggapku benaran gila hingga tak ada yang percaya padaku. Aku mengembuskan napas.

Tenang Zerina, kau tidak perlu kesal dan mencaci mereka. Mereka akan lebih menganggapmu gila jika kau lakukan itu.

***

Setelah melewati waktu yang sulit di sekolah hari ini, aku berniat mengunjungi tempat yang sudah lama tak kukunjungi.

Langkahku terhenti, kupandangi pohon seri yang sudah termakan usia itu. Tumbuh di halaman belakang rumah tua yang tidak dihuni, walaupun begitu pohon ini tetap tumbuh dan berbuah. Aku ingat, waktu kecil aku sering kemari, bermain bersama Ana, memanjat pohon ini untuk mengambil buah kecil bewarna merah yang rasanya sangat aku suka. Manis.

Ugh!

Aku mengusir memori itu, rasanya sakit jika menyadari yang terjadi sekarang. Kulepas tas punggung yang kukenakan dan menjatuhkannya ke atas rumput liar di situ. Dengan agak susah aku memanjat pohon, hingga akhirnya aku bisa duduk santai di dahannya sambil menikmati buahnya.

"Hm, seperti ini rasanya kehidupan remaja. Aku jadi ingin menjadi bocah lagi, tak peduli sedekil apa aku dulu. Aku mau bahagia tanpa merasakan sakitnya penghianatan."

Kumakan buah terakhir yang kudapat, lalu berniat mencari lagi. Sepertinya sudah habis, tidak, aku masih melihat satu di ujung dahan. Aku sudah hampir mendapatkannya, tapi seseorang menggagalkanku.

"Hei!" Suara itu mengejutkanku, hingga membuat kakiku kaget dan melesat dari dahan pohon.

"Aaaakh!"

Aku jatuh hingga membuat dengkul dan lenganku tergores patahan ranting-ranting kecil yang bertumpuk di situ.

"Kamu gak papa?" tanya orang yang membuatku terkejut.

Kutepis tangannya yang ingin menyentuhku. Tanpa menjawab pertanyaannya, aku langsung mengambil tas dan buru-buru pergi dari situ.

Jarak rumahku tidak jauh dari tempat itu dan aku sudah berada di rumah sekarang, membersihkan luka dengan alkohol. Untung saja dahan yang kupanjat tadi tidak tinggi dan aku tidak cidera parah. Kalau bukan karena pria tadi, aku mungkin tidak akan jatuh. Kenapa dia bisa ada di sana tiba-tiba.

"Huuh, dasar, harusnya orang itu menangkapku, tega sekali dia." Aku membuang kapas bekas lukaku ke dalam bak sampah.

"Kenapa kamu berharap? Memangnya kamu siapa? Kamu hanyalah orang gila yang gilanya bisa kambuh kapan saja." Aku menyalahi diriku sendiri di depan cermin wastafel.

Aku mengembus napas panjang setelah menyadari perbuatanku. Aku tidak boleh menghina diriku karena orang-orang menghinaku. Aku harus meyakini diriku, bukan meyakini ucapan mereka. Perasaanku mulai lagi, sesuatu yang membuatku tidak percaya diri adalah jika diriku mulai menghinaku. Aku selalu berusaha agar tidak seperti itu.

"Please.. I am not crazy.."

"I am not crazy.."

"I am not crazy.."

Suaraku hampir berbisik dan menjadi berbisik pada kalimat terakhir. Aku bangkit dan berdiri dari ringkukkanku, mengambil pil yang hampir menjadi makananku setiap hari. Aku sudah berusaha menghindarinya, tapi dia selalu saja memanggilku untuk memakannya.

Satu pil berhasil masuk ke mulutku. Pahit. Kuluruskan kakiku di atas kasur dan memejamkan mata, berusaha untuk melupakan hari ini, hingga aku terlelap.

***

Hari ini seperti biasa, jam istirahat di sekolah aku duduk di atas rumput di bawah pohon rindang yang biasa aku tempati.

Hari ini aku membawa headphone dan hp dengan layar retak-retak karena insiden kemarin. Tak masalah, setidaknya hp ini masih mengizinkanku mendengarkan lagu-lagunya.

Kudengar hari ini berita yang sedang hangat dibicarakan oleh cewek-cewek penggosip itu adalah masuknya murid baru. Pastinya karena murid baru itu cowok dan bisa dibilang ganteng menurut mereka. Kalau tidak seperti itu gak mungkin jadi berita hangat.

Mungkin aku satu-satunya wanita yang tidak peduli. Lagian untuk apa? Jika murid baru itu tau tentang diriku, dia juga pasti tidak akan mau berteman denganku.

Aku mengangkat buku bacaanku hingga menutupi wajah, sesuatu di kejauhan sana seolah mengganggu perasaanku. Anak-anak cowok itu pasti sedang membicarakanku. Lalu, aku merasakan kehadiran seseorang di depanku, sedang berdiri menghadapku. Aku menurunkan sedikit buku bacaan dan melihat ke arahnya. Dia melihatku, dengan cepat aku kembali mengangkat buku itu menutupi wajah.

"Hei." Dengan tangan kanannya dia menurunkan buku bacaan yang menutupi wajahku.

Sepertinya aku pernah melihatnya, dia orang yang membuatku jatuh dari pohon kemarin.

"Kamu cewek yang kemarin, kan?"

Aku tak menjawab dan yang terpenting yang harus kalian tau ternyata dia murid barunya.

"Arken." Dia menjulurkan tangan kanannya dan tersenyum padaku untuk berkenalan.

Aku telah berusaha untuk menerimanya, tapi kurasa itu percuma dan akan sia-sia. Dia akan membenciku dan menjauhiku, atau mungkin sekarang dia hanya mempermainkanku dan menjadikanku bahan lelucon karena kuyakin dia ada bersama rombongan cowok itu tadi.

Teett... Teett... Teett...

Akhirnya bel masuk berbunyi, aku berdiri dari duduk dan berjalan meninggalkannya di situ tanpa bicara apapun. Kudengar rombongan cowok di sana tertawa melihat Arken, cowok yang barusan memperkenalkan namanya padaku. Bukannya sudah kubilang, mereka hanya menjadikanku bahan lelucon. Apa itu yang disebut teman? Bukankah aku beruntung karena tidak memiliki teman seperti mereka? Yah, kurasa aku beruntung.

Bersambung


Index
2. Arken
3. Berteman
4. Psikis
5. Hariku
6. Masalahku
7. Wanita Bahagia
8. Wanita Bahagia 2
9. Pentas Seni
10. Pentas Seni 2
11. Memori
12. Reuni
13. Fungsi Hati
14. Hari Terakhir
15. Ana
16. Perasaan Rindu
17. Kematian Ana
18. Teror
Diubah oleh tiawittami 14-01-2020 12:21
someshitness
NadarNadz
nona212
nona212 dan 16 lainnya memberi reputasi
17
7.6K
90
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
tiawittamiAvatar border
TS
tiawittami
#78
16. Perasaan Rindu
Malam gelap karena cahaya bulan yang sepertinya sudah sangat lelah memantulkan cahayanya terasa begitu dingin. Aku tak tahu sejak kapan aku berada di luar rumah tanpa kehangatan hoddieku, harusnya aku tak pernah lupa membawanya.

Angin berhembus kencang, terasa cepat sekali, seperti mahkluk yang sedang berlari karena merasa daritadi seseorang tengah membuntuti. Aku mempercepat langkahku, dan berhenti sejenak untuk menit berikutnya karena merasa benar-benar ada sosok hidup tengah mengikutiku.

Oke, aku tidak melihat siapapun di sini. Jadi apa yang barusan kurasakan? Yah, itu hanya perasaan takut yang harusnya kubuang jauh-jauh. Kembali kubalikkan tubuhku untuk melanjutkan langkah yang kemudian terhenti lagi dan membuat tubuhku tertarik paksa ke belakang. Aku bergerak mundur sedangkan kakiku tak pernah kuperintahkan untuk mundur. Tangan dingin itu terasa begitu kasar menutup mulut juga hidungku sambil menyeret dengan rangkulan pahit di leherku. Sesak.

Apa ini? Aku kesulitan bernapas. Angin kencang dengan asupan oksigen berlimpah malam ini bahkan tak bisa masuk dalam hidung dan mengisi paru-paru. Beberapa meter sudah orang yang aku tak tahu siapa menyeretku, membuatku kembali ke tempat aku berdiri sebelum berjalan dan pergi menjauh. Aku terduduk di sana dan mengambil oksigen sebanyak mungkin ketika orang bodoh itu melepaskan tangannya dariku. Tak bernapas sekian menit membuat pandanganku buram dan hanya dapat melihat dengan jelas gigi putih orang yang tersenyum di depanku. Dingin.

Aku sudah melayang di udara ketika menyadari bahwa dia baru saja mengelus bahu kiriku lalu mendorongnya, tidak ada tanah untuk berpijak di belakangku. Angin malam tak mampu menolongku dari gravitasi bumi yang menarik tubuhku. Jika seperti ini kurasa menjadi sehelai daun lebih baik. Apa salahku? Kenapa seseorang ingin aku terjatuh dari tebing.

Aku hampir merasakan hidup tanpa oksigen ketika membuka mataku. Napasku bergerak cepat, beruntung masih ada udara di kamarku, ini sangat cukup untuk membantu meringankan mimpi buruk malam ini.

"Huufft!"

Aku menggosok-gosok kepalaku yang terus mengingat mimpi buruk itu. Rasanya seperti seseorang ingin aku mati. Aku membuang kepala ke kanan kiri mengusir pikiran itu.

Ddrrtt drrtt drrtt

Dan seseorang menghubungiku tengah malam begini. Aku meraih ponsel di nakas dan ternyata Arken, rasa lega merilekskan tubuhku.

"Oh, halo, tadinya aku cuma mastiin kalo kamu sudah tidur, ternyata belum, dan kenapa gelap sekali?"

Aku dapat melihatnya dengan jelas melalui layar ponselku, dia sedang istirahat makan siang. Aku menarik lampu tidur di nakas untuk menyalakannya. Sekarang sudah sedikit terang, setidaknya dia dapat melihat wajah bangun tidurku.

"Tadi emang udah tidur, terus kebangun," kataku.

"Ooo." Dia ber-o ria sambil menyuap makanannya masuk ke mulut. "Kamu mau?" Dia menawariku camilan yang sepertinya sanggat menggugah selera, kemudian dia memakannya dengan gestur sugestinya yang membuat siapa saja jadi ingin merasakannya.

Hm, siapa lagi kalo bukan Arken, si tukang ledek. Kenapa juga aku harus tergiur dengan tawaran yang mustahil untukku raih. Aiiishh.

"Kamu gak takut gendut apa makan terus?" ledekku.

"Ngga, hehe..." katanya dengan riangnya.

"Hm, mana temanmu?" kataku.

"Teman yang mana?" tanyanya yang sangat jelas menandakan bahwa temannya itu tak terhitung jumlahnya.

"Memangnya berapa banyak temanmu di sana!" kesalku.

Dia menampakkan cengiran khasnya. "Ngga banyak, kok, cuma satu," dustanya.

"Heleh," kataku.

"Kamu tadi ada urusan apa? Tumben?" tanyanya.

"Em..."

Aku ceritain gak ya? kayaknya gak perlu deh, pikirku.

"Jengukin temen, dia sakit."

"Siapa?"

"Temen SMP."

"Yang mana?"

"Kalo aku kasih tau juga kamu nggak tau orangnya."

"Masa?"

Aku memasang mimik datar. Dia tertawa dan menyudahi obrolan. "Yaudah tidur. Besok, kan, sekolah," katanya.

"Iya, makasih udah telefon..." kataku.

"Makasih juga udah jawab, hehe. Bye...."

"Bye...."

Aku melanjutkan tidurku dan berharap mimpi buruk yang sangat kuingat itu tak ikut berlanjut. Kumatikan lampu di nakas dan menarik selimut kembali.

***

Aku tidak makan di kantin hari ini, tidak ada rasa untuk makan, semuanya terlihat hambar. Hanya ada satu rasa yang sangat menyiksa, rindu. Aku merindukan seseorang, rasanya sudah sangat ingin lepas. Kenapa waktu berjalan lama sekali.

"Hmm..."

Kulemaskan tubuhku dan menidurkan kepala di meja. Cuma ada aku di kelas, anak-anak sudah pada keluar dan mengadu perut di kantin.

"Kalau kutelpon, dijawab gak, ya?" Terpampang foto Arken di layar hpku. Aku tidak memencet tombol panggil, dan malah mengklik foto profilnya.

Aku mengaduh, mengembus napas, dan menidurkan kembali hp itu di meja. Kupejamkan mata sebentar saja untuk mengingat sisa-sisa angan ketika dia masih di sini. Dia sungguh melukis kenangan.

Seandainya aku bisa ke sana...

Aku berjalan ke loker ingin menaruh buku. Kotak sampah di samping loker ini mengingatkanku tentang sesuatu. Kuingat lagi, waktu itu aku membuang es krim coklat tanda permintaan maaf Arken di sini. Hm, kotak sampah saja meninggalkan kenangan, walau waktu itu kondisinya sedikit masam. Seandainya sekarang es krim itu masih ada, mungkin akan kupungut kembali.

Aku menyusuri koridor dan meninggalkan sekolah. Pelajaran hari ini sedikit membuat kepalaku pusing. Aku naik ojek saja, deh, biar cepat sampai rumah. Tapi ternyata, tidak ada ojek. Ke mana perginya para pejuang aspal yang biasanya mangkal di sini.

"Huuft, buat capek saja!" Aku kembali berjalan menuju halte bus. Menurutku rasa rindu jika dibarengi dengan letih itu akan jadi sangat menguras energi. Aku kekurangan ion untuk bersemangat.

Kulihat anak-anak sekolah sedang menyoret-nyoret dinding gang kecil dengan pilok. Mereka itu memang senang sekali berkarya di lingkungan orang. Padahal yang punya sudah sering memperingati.

Say No To Drug 🚫

Begitulah kira-kira selogan atau tulisan-tulisan yang mereka buat. Memang sekarang sedang marak-maraknya narkoba. Entah dari mana asalnya semua barang itu hingga sampai beredar di masyarakat luas. Mengerikan.

Aku menunggu untuk beberapa menit hingga bus berhenti di depanku. Lalu untuk waktu berikutnya aku duduk dalam bus dan sampai di depan komplek. Dengan berjalan sebentar aku sampai di depan rumahku.

"Hm?"

Kunci rumahnya tidak bisa diputar, ternyata tidak terkunci. Apa aku lupa mengunci pintu tadi pagi, perasaan tidak. Kusadari keberadaan papa di rumah, dia terbaring di sofa ruang tamu, terlihat sangat letih. Aku ingin sekali duduk sebentar dan bercerita dengannya, tapi rasanya dia tak ingin. Aku hanya akan mengganggu waktu istirahatnya.

Aku naik menuju kamar, sesekali melihat ke arahnya. Terlintas sebuah pertanyaan di benakku, apa aku masih penting baginya? Sekarang dia bekerja hanya untukku, tapi aku tak tahu apa yang diinginkannya. Aku tak mengerti dengan jelas aku hidup untuk siapa? Orang lain atau papaku. Sedangkan kehangatan kurasakan justru ketika bersama orang lain yang bahkan bukan bagian keluargaku.

Kututup pintu kamarku dan merebahkan tubuh di kasur. Aku tidak boleh menangis, Arken sudah pesan seperti itu sebelum dia pergi.

"Zerina..." Suara papa memanggilku dari depan kamarku. Aku bangun dan membuka pintunya.

"Iya, Pa?"

Papa mengembuskan napas sambil memijat kepalanya. "Mamamu itu, apa dia gak pernah ajarin kamu buat kopi?" tanya papa seperti itu untuk pertama kalinya selama tujuh belas tahun aku hidup di dunia.

Ini membuatku tersentak tentunya, kan. Apalagi memang benar mama tak pernah ajarin aku buat apapun. Mama hanya pernah mengajakku bermain dan jalan-jalan, itu pun dulu ketika aku masih SD.

Aku menggeleng, dan papa lagi-lagi mengembuskan napas panjang. "Tapi aku bisa buatnya," kataku. Bunda pernah mengajariku.

"Kalo bisa kenapa gak buatin untuk papa, sih. Papa capek tau. Aduuh kamu ini..! Huuuh!" ucap papa sambil berjalan menjauh dariku.

Harusnya aku sudah melakukan ini sejak dulu, baru sekarang terlaksana. Hm, seandainya bunda itu mamaku, pasti aku akan tau banyak hal lebih awal. Dia itu malaikat tak bersayap, ucapannya selalu menenangkan setiap jiwa, kasih sayangnya lembut dan tegas, auranya memancarkan kehangatan dan ketenangan, setiap mendengar ucapannya aku merasa lega, pantas saja Arken selalu terlihat ceria. Dia lahir dari seorang malaikat, sedangkan aku, aku merasa seperti terlahir tanpa ibu. Menyedihkan sekali.

Aku sudah selesai dengan kopinya, tinggal mengantarnya ke papa. Selanjutnya aku harus apa, ya? Kuletakkan kopinya di meja. Papa hanya duduk dan bersandar di sofa dengan mata terpejam dan hidung tersumbat, dia terserang flu.

"Pa..." panggilku.

"Hmm?" jawabnya dengan mata masih terpejam.

"Nanti saja, deh."

Aku kembali ke kamar dan mengganti seragamku yang dari tadi masih melekat di tubuhku, lalu keluar. "Aku mau keluar sebentar."

"Hmm."

Aku pergi ke rumah bunda, kuharap bunda tidak bosan bertemu denganku terus. Setiap hari aku selalu mengunjunginya, entah hanya untuk melihatnya saja atau membantu pekerjaan rumahnya.

"Nah, akhirnya sampe juga, dia. Bunda nungguin, loh."

"Hehe..."

Aku menutup kembali pagar rumahnya dan menyalimi tangan bunda. Dia baru saja selesai menyapu teras rumahnya.

"Sini, dong. Bunda tadi buat coklat, kamu harus nyoba."

Aku diajak masuk dan mencicipi coklat terbaru buatan Bunda. Rasanya manis sekali, seandainya Arken di sini pasti akan terasa lebih manis. Aku benar-benar merindukannya.

"Enak, Bunda."

"Hehe, siapa dulu, dong, yang buat?"

"Bunda!" kata aku dan bunda serempak, kami tertawa setelahnya.

"Nda, aku mau, dong, diajarin buat coklat kaya gini," pintaku.

"Hm, boleh. Tapi ada syaratnya."

"Tumben, Nda, ada syaratnya?"

"Sekali-kali ada tantangannya, dong. Hehe," kata Bunda. "Sini."

Bunda mengajakku ke depan TV, dia menyalakan TV dan menyiapkan sesuatu. Lalu Bunda memberiku stick Play Stasion.

"Kamu harus kalahin Bunda dulu."

Aku ternganga. "Bundaaa, jelas aku kalah. Aku baru tau cara main ini kemarin," keluhku.

"Kalau kamu kalah, berarti gak ada coklat," ledek Bunda.

"Bundaaaaa..." keluhku panjang.

Bunda melirikku, dia mencoba untuk tidak peduli dan fokus dalam game-nya. Aku mainkan saja milikku, tidak peduli menang atau kalah, setidaknya aku tau cara mainnya.

"Yeaay! Bunda menang."

"Hm..." Aku kalah.

Bunda ikut memasang raut sedih setelah melihat ekspresiku. Kenapa dia?

"Bunda?" panggilku. "Bunda, kenapa?"

Bunda mengelus rambutku dan tersenyum. "Hm, maaf, ya. Bunda maksa kamu main PS. Bunda cuma kangen sama Arken," katanya, membuatku tak kuasa mendengarnya. "Biasanya, Bunda selalu kalah main sama dia. Hehe," sambungnya.

Aku jadi merasa bersalah, seharusnya aku mengerti perasaan bunda. "Nggak, kok, Nda. Bunda gak maksa aku. Aku suka mainnya, tapi aku gak jago," kataku.

"Iya, gapapa. Bunda tau."

"Hm, Bunda... aku juga kangen sama Arken," gumamku. "Kenapa waktu berjalan lama sekali, ya?"

Bunda mendekapku, aku bisa merasakan juga rasa rindu di hati bunda. Bagaimana tidak, hati seorang ibu pasti selalu merindukan anaknya. Sejauh apa pun dia melangkah, ibu tidak akan pernah melupakan anaknya. Namun, ke mana ibuku? Dia tidak pernah merindukan aku. Dia tidak pernah merindukan anaknya.

Aku menangis dalam dekapan bunda. Kali ini bukan karena Arken. Namun, karena bunda yang tidak pernah melepas kasih sayangnya sedikitpun pada Arken, juga padaku. Aku hanya ingin memiliki ibu sepertinya.

"Hei sudah, dong, jangan nangis..."

"Bunda... mungkinkah seorang ibu melupakan anaknya?" Aku bertanya di sela-sela tangisku.

"Tentu saja, tidak. Seorang ibu pasti selalu mengingat anaknya."

"Tapi, mama gak pernah inget sama aku, bunda..."

Bunda terdiam sejenak kemudian memelukku erat, mengelus rambut hingga ke punggungku. "Percaya deh, sama Bunda. Mamamu pasti sebenernya kangen sama kamu. Dia cuma tidak bisa mengatakannya sekarang."

Aku mengusap wajahku dan melupakannya.

"Yaudah, yuk. Katanya mau belajar bikin coklat."

Aku tersenyum untuk menghargai cara bunda menenangkanku. Karena apapun itu, aku tetap tidak percaya kalau mama akan merindukanku.

Bersambung..
jiyanq
jiyanq memberi reputasi
1