Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

shirazy02Avatar border
TS
shirazy02
Rekan kerja


Prolog

Pesan terakhir almarhum Ayah Dani kepada mantan rekan kerjanya, membuat Dani keterima kerja di sebuah perusahaan benefit dengan cuma-cuma. Namun, ada suatu kesalah pahaman yang membuat ia selalu bersitegang dengan Rian, rekan kerjanya satu bagian. Setiap hari selalu saja ada masalah di kantor. Tak hanya itu, ia juga terjebak dalam hubungan rumit bersama teman semasa kuliahnya. Sementara di lain sisi, ia tak sengaja menaruh hati dengan calon tunangan Rian. Akankah Dani mampu melewati semua godaan itu?

Rekan Kerja adalah sebuah cerita (nyata) yang menceritakan perjuangan seorang anak muda bernama Dani (nama disamarkan). Sosok pendiam, penyabar, tapi kepeduliannya sangat tinggi. Ia merasa bahwa dirinya adalah pengaruh utama yang bertanggung jawab atas keluarganya. Segala hiruk-pikuk kehidupan dan masalah yang terjadi di sekitarnya tak luput selalu menjadi beban pikiran, tapi ia selalu tegar bagaimanapun keadaannya, karena ia merasa harapan dan kebaikan selalu ada di setiap jalan.

Cerita ini sangat menarik dan kupastikan kalian akan selalu terbawa untuk mengikutinya, karena jalan ceritanya lain daripada yang lain. Yuk, cekidot!


INDEKS
Spoiler for .:


Spoiler for Sekuel Rekan Kerja:


(Part 1)

Mataku masih tak beralih memandangi Bobi, ponakanku yang berumur setahun itu. Dia berjalan tertatih-tatih mengejar kupu-kupu yang beterbangan. Ibunya, yang tak lain adalah kakakku, berjalan di belakangnya sambil mengomel tiada henti. Ya, baru sebulan ini Bobi bisa jalan. Caranya melangkah lucu sekali ....

Tiba-tiba, dari dalam rumah ibu berseru memanggilku dengan terburu-buru. Di tangannya tergenggam sebuah ponsel milik ayah.

"Dan, Dani ... ayo diangkat cepat! Atasan ayah telpon."

Atasan? Bukannya ayah sudah pensiun setahun yang lalu. Kira-kira ada urusan apa?

"Angkat aja lah, Bu ... mungkin mau ngucapin bela sungkawa. Kan, baru sebulan ayah meninggal," tukasku.

"Ayolaaahh, angkat! Ibu takut gak bisa ngomong."

Akhirnya, dengan gugup kucoba mengangkat telpon darinya.
"Hallo!" seruku.

Kami mengobrol sepuluh menitan.

Intinya, Pak Dika memintaku datang ke kantor besok. Aku bingung dan heran, ada apa aku disuruh ke kantor?
Karena paksaan dari ibu, akhirnya aku memutuskan menemuinya keesokan hari.

****

Kulangkahkan kakiku menyusuri koridor, menuju bilik ruangan paling pojok. Aku hafal betul ruangan ini, karena sudah pernah magang jaman kuliah dulu. Ayahku yang dulu memintaku magang di tempat ini. Dia berharap aku bisa meneruskan bekerja di sini sepertinya, di salah satu pabrik benefit yang ada di kota kami. Alasannya, selain dekat dengan rumah, gaji pun sudah jelas jika karyawan. Selain itu pabrik ini memang memberi fasilitas tunjangan cukup menarik.

Ketika mau memasuki ruangan Pak Dika, sontak mataku tertuju pada tembok di sebelahku. Terlihat foto almarhum ayah terpampang jelas pada bingkai ukuran 10Rs itu. Dibawah bingkai foto itu bertuliskan "SUJIWO-Supervisor Gd.PM 09"
Wajah ayahku paling terlihat khas dengan kumis tebalnya, berjajar dengan beberapa puluh foto di sampingnya.

Ada rasa heran menyeruak dalam benak. Ayah bukan lagi supervisor di pabrik ini, kenapa fotonya masih saja dipasang? Bahkan foto teman-teman yang lainnya sudah berganti dengan posisi SPV yang baru.

Belum lama aku memandangi foto almarhum ayah, Pak Dika sudah menegurku dari dalam ruangannya. "Hei kamu yang di depan pintu! Kenapa terus berdiri disitu?"

Seketika aku langsung berbalik menghadap ke pintu semi-transparan itu. Mengetuk kecil pintu ruangannya, kemudian melangkahkan kaki pelan masuk ke dalam.

"Oohh, kamu ... yang saya telpon kemarin, ya? Anak Pak Sujiwo?" Pak Dika beranjak dari kursinya menyambutku.

Kusalami tangan Pak Dika seraya memperkenalkan diri, "saya Dani, Pak."

"Ya,ya, ayo duduk!"

Mendengar itu, aku pun mengambil duduk di sebuah kursi yang ada di depannya.

"Heeeemm, kamu anak Pak Sujiwo?" tanyanya lagi dengan raut wajah seperti tak percaya.

"Ya, Pak. Benar." Kujawab tegas pertanyaan Pak Dika dengan seulas senyum. Lelaki itu kemudian manggut-manggut menatapku. "Kamu yang baru wisuda bulan kemarin itu, kan? Yang besoknya ayah kamu meninggal?"

"Ya, Pak. Benar."

"Hem, yaaa, yaaa ...." Pak Dika beranjak lagi dari tempat duduknya, mengambil sebuah buku bersampul hitam tebal dari rak di belakangnya. Dia buka halaman pertama, lalu menyodorkannya padaku.

"Itu kenangan foto-foto ayah kamu semenjak bekerja di sini, banyak. Saya merasa baru kemarin ayah kamu pamit berhenti kerja, kok tahu-tahu sudah meninggal. Kena apa?" tanya Pak Dika sembari lebih mendekatkan wajahnya padaku.

"Saya kurang tahu, Pak. Ayah saat itu sedang melayani pembeli di toko. Saya tak tahu persis kejadian ayah saya jatuh di dalam toko itu, tahu-tahu ketika saya masuk, saya sudah menemukan ayah saya jatuh sekarat."

"Lho? Memang ada riwayat penyakit apa? Jangan-jangan jantung?"

"Kemungkinan vertigonya kambuh, Pak. Kami sekeluarga telat menolong. Tapi, entahlah ... sebelumnya pernah mengeluh sama tetangga, jika dadanya nyeri. Banyak juga yang bilang jantung, karena jatuhnya menelungkup."

Pak Dika kembali manggut-manggut. Dia bersidekap sembari menyandarkan punggungnya di kursi duduknya.

"Mengagetkan sekali tentunya, ya. Ya sudah, saya sedikit mau cerita. Jadi, begini ... seminggu sebelum ayahmu wafat, dia telepon saya. Dia bilang kamu mau wisuda, lalu dia titipkan kamu pada saya." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, sambil memungut album di depannya, lalu membuka-bukanya.

".... sebenarnya saya tak bisa asal nerima karyawan seperti ini. Tapi, karena ini amanah terakhir beliau, dan saya yakin, kamu menuruni sifat tegas seperti bapak kamu. Jadi ... kamu besok kesini ya, berpakaian rapi. Seragam ayah kamu masih ada, kan? Dipakai saja!"

"Lho, Pak? Maksudnya ... saya bekerja di sini?" Mataku membelalak seolah tak percaya dengan berita yang barusan kudengar.

"Iya. Kamu besok mulai kerja. Sudah, belakangan saja lamarannya kalau kamu tak sempat, yang penting kamu masuk dulu."

Sontak kedua netra berbinar kala mendengar perkataan itu. Ini benar-benar kejutan di pagi hari.
Tanpa banyak pertimbangan, keesokannya aku pun masuk jam delapan pagi berseragam lengkap sesuai yang diminta.

Sungguh keberuntungan bagiku. Disaat semua berlomba-lomba mengikuti tes agar bisa masuk di perusahaan benefit ini, aku malah dengan mudahnya bisa langsung bergabung sebagai karyawan. Aku ingat pesan ibuku, agar selalu bisa bekerja dengan baik, berteman dengan semua karyawan dengan baik, menunjukkan kinerja yang baik, dan bisa menjaga tata tertib perusahaan dengan baik. Aku tahu, semua ini karena almarhum ayah. Kalau bukan karena ayah, tak mungkin aku bisa segampang ini masuk perusahaan.

Di saat briefing, Pak Dika mulai mengenalkanku pada beberapa karyawan yang lain. Kemudian aku ditunjuknya sebagai admin, dan di training oleh salah seorang admin lawas bernama Rian.

Rian ....
Ya, aku mengenalnya. Dia kebetulan juga tetangga desa. Umurnya selisih dua tahun di atasku. Ayahnya pun bekerja di perusahaan ini, namanya Pak Heri. Pak Heri dulu juga teman satu bagian almarhum ayah. Dia juga seorang Supervisor.

Kuikuti langkah santai Rian menuju sebuah ruangan. Dia menyuruhku masuk lebih dulu.

"Ruangan ini khusus admin. Nah, adminnya kita berdua. Itu tempatmu!" Rian menunjuk sebuah meja di paling belakang.

"Terima kasih," ucapku.

"Jangan duduk di sana dulu! ambil saja kursinya, bawa kemari! Lihat caraku bekerja di sini, kalau sudah paham, baru kerjakan di mejamu," tukasnya.

Tanpa menjawab, segera kuambil kursi duduk di meja belakang, dan meletakkannya di samping kursinya.

Rian mulai mengoperasikan komputer, seraya menunjukkan berkas-berkas di mejanya.

"Ini berkas sebelum di-input, kamu ambili dulu dari beberapa gudang yang kamu pegang. Kamu bawa motor yang disediakan, jangan lupa pake helm keselamatan warna kuning yang ada di luar itu!" Ia menunjukkan sebuah helm yang seperti helm pekerja proyekan.

"Cara nginputnya gini ...." Ia lalu mulai mencontohkan cara bekerja dengan secarik kertas yang dipegangnya, dan aku tentu mengamati setiap penuturan Rian dari awal sampai akhir.

"Sudah, kamu kerjakan berkasku dulu. Kan, belum dibagi sama Pak Dika, kamu megang gudang mana saja" ucapnya lagi sembari menyodorkan setumpuk berkas setebal kira-kira seratus halaman lebih itu ke tanganku. Lalu dia beranjak dari duduknya seraya berucap, "Aku tinggal dulu."

"Lho, Mas? Ini harus selesai hari ini?"

"Nggak harus. Kalau kamu sanggup ya lebih bagus, sih."

Seusai berkata begitu, Rian pergi berlalu dari ruangan.

Kupandang tumpukan berkas di tanganku kali ini. Sebanyak ini mana mungkin selesai dalam satu hari? Namun, kuoptimiskan diriku sendiri bahwa 'AKU BISA!' Akhirnya kupungut secarik kertas hadapan, dan mulai mengerjakan tugas.

-----

Jam istirahat ....

"Siang, Mas!"
Suara seorang lelaki tua paruh baya menegurku dari belakang. Ia mengambil duduk di sebelahku sambil meletakkan bekal makannya yang terbungkus kertas minyak itu.

"Podo mbontote, Mas. Enak masakane bojo (sama bawa bekalnya, Mas. Enak masakan istri)," Lelaki itu terkekeh padaku seraya membuka bekal yang dibawanya.

"Ya, Pak. Lebih hemat juga," balasku.

"Ngomong-ngomong, sampean anak Pak Wo, ya?"

"Pak Sujiwo."

"Lah, nggih.... Itu maksud saya. Orang di gudang semua manggilnya pak Wo,Mas. Eh, tapi wajahnya kok beda, ya?"

Aku tertawa lucu mendengar ucapan bapak itu. Memang, wajahku tirus,sama seperti ibu. Hidungku juga mancung. Kalau ayah berhidung pesek, wajahnya persegi, menurun ke kakak perempuanku.

Lelaki paruh baya itu lalu menceritakan tentang sosok ayah yang disegani para anak buahnya. Caranya bekerja, yang tak disukainya apa, dan banyak lagi yang lainnya. Sepertinya peran ayahku penting bagi yang lain, sehingga mereka semua merasa kaget dan sangat kehilangan saat mendengar ayah meninggal.

Tiba-tiba, bapak paruh baya ini menghentikan ceritanya saat seorang lelaki kebetulan melintas di depan kami.

"Itu tuh, si Bambang. Bocah ndablek! Banyak banget bikin kesalahan, tapi dibelain terus sama Pak Wo. Semua anak segudang gak ada yang suka, banyak mengeluh karenanya, tapi pak Wo selalu membelanya."

Aku terdiam sejenak memandang pria berwajah tirus dengan banyak jambang tak beraturan di wajahnya. Kali ini, akhirnya kulihat sendiri pria bernama Bambang itu. Ya, dulu aku sering mendengar namanya dari ayah. Di mata ayah, Bambang sebenarnya pekerja keras. Hanya saja hutangnya banyak di luar sana, yang kemudian membuatnya malas bekerja. Dia hampir di PHK, tapi ayah terus membelanya.

"Begitulah, Nak, kalau salah langkah sedikit. Semuanya hancur. Hutangnya banyak, rumah tangga berantakan, kerja seperti apapun tetap saja terasa malas nggak ada semangat. Karena apa? Karena dia merasa gajinya selalu kurang untuk menutup hutang. Makanya, ayah peringatkan kamu sebagai laki-laki, jangan sekali-kali mengenal judi, narkoba, ataupun bermain-main perempuan!" Aku ingat betul nasehat ayah saat itu.

Kulihat ID card yang tergantung di leher bapak sebelahku itu. Membaca namanya. Syaiful.

"Saya tadi lihat anaknya Pak Heri asyik merokok, Mas." Pak Syaiful menghentikan bicaranya, melempar kertas minyak pembungkus bekalnya tepat ke lubang kotak sampah.

"Ealah, Mas ... yang sabar satu bagian sama Mas Rian. Mentang-mentang anaknya Pak Heri, kerja sak enak'e dewe (kerja seenaknya saja)," ungkapnya lagi.

Hmmmmm ... seperti itukah? Aku tak seberapa akrab mengenalnya di rumah. Namun, kebanyakan temanku memang berkata dia anak yang sombong. Karena merasa anak orang kaya, bicaranya terlalu tinggi.
Ah, kalau cuma masalah gaya bicara, aku tak terlalu mempedulikan. Itu sudah karakter, dan aku tak selalu mengambil hati setiap perkataan orang yang terasa aneh.

Sorenya, aku pulang dengan badan yang begitu lunglai. Hari pertamaku bekerja sungguh capek luar biasa. Tak hanya duduk di depan monitor, tapi juga pergi ke sana- ke mari mengambil berkas dari satu gudang ke gudang yang lain, yang tak cukup sekali jalan. Terkadang ikut memeriksa truk besar masuk menurunkan barang mentah, memeriksa kode barcode, dan lain-lain. Sebenarnya tugasku tak serumit ini, tapi Rian berkata, Pak Dika yang memintaku seperti itu. Sekalian menghafal lokasi gudang A,B,C bagianku. Serta agar mengetahui proses keluar-masuknya barang.

Malam ini kuistirahatkan total badan, setelah ibu dan kakak menginterogasiku di hari pertama masuk kerja. Tak pakai mandi,tak pakai ganti seragam, langsung kupejamkan mataku kala itu juga ....

****

Pukul 08.30 WIB

Tak terasa sudah sebulan aku bekerja di perusahaan ini. Begitu senangnya saat aku menerima gaji pertamaku kemarin.
Kupastikan pertama kalinya aku pegang uang sebanyak itu.

Selesai menata berkas,kuhidupkan tombol On/Off komputer di hadapan. Sembari menunggu, kuambil dompet dari saku celana, mengeluarkan secarik foto. Yups, foto terakhirku bersama ayah saat aku wisuda. Di foto itu ada pula ibu, kakak perempuanku dan kedua anaknya.

Aku tersenyum memandang mereka dalam foto. Lalu, kuselipkan foto itu di meja kerjaku yang bertumpuk dengan kaca tebal. Wajah kedua orangtua terlihat tersenyum di foto itu, seolah bahagia. Kemudian, kualihkan pandangan kembali pada monitor. Sejenak, memilah-milah berkas di atas meja. Menyendirikan berkas yang sudah kuinput dan yang baru kuterima.

Tak lama Rian masuk ke ruangan. Matanya masih awas menatap gawai digenggamannya. "Gimana? Sudah kau kerjakan sampai mana?" tanyanya tanpa menoleh sedikit pun.

"Yang kemarin hampir selesai, Mas. Ini aku juga mau ngerjain yang baru kuambil."

Lelaki berkulit putih itu lalu berjalan ke arahku, menarik posisi monitor menghadap kepadanya.

"Ini tanggalnya rubah saja! Pakai tanggal kemarin." Ia mulai menggerakkan mouse. Mengganti angka 14 menjadi 12 di kolom yang menunjukkan tanggal.

"Emang gak apa, Mas, kalo nggak sama dengan yang di form?"

"Siapa yang mau lihat berkas segitu banyaknya? Yang pasti dilihat itu langsung di komputer," jawabnya enteng. Aku bergeming mendengar itu.

Rian pun kembali ke meja kerjanya, sambil menyalakan rokok. "Sudah, cepat kerjakan!" titahnya.

Memandang sekilas, membuat perasaanku sedikit gemas karenanya. Sedari awal aku bekerja, ia hanya menyerahkan berkas-berkasnya padaku. Yang dilakukannya hanya menatap gawai, main game online berjam-jam, dan berkas yang di mejanya hanyalah kamuflase untuk mengelabuhi Pak Dika atau Pak Heri yang muncul tiba-tiba. Jika pekerjaanku sudah selesai, baru dia tukarkan berkasnya itu dengan milikku. Aku merasa dia menjadikanku sebagai budak!

Ah, sudahlah! Aku ingat omongan kakakku, bahwa yang namanya kerja pertama kali, tentu wajib disuruh-suruh. Apalagi disuruh yang mentraining kita. Ini hanyalah sementara. Ini tak akan lama ....

"Gimana, Mas ... kerja satu bagian sama Mas Rian?" tanya Pak Syaiful padaku.

Beginilah, setiap jam istirahat Pak Syaiful selalu mendekatiku, bertanya-tanya.

Aku tersenyum dan berkata, "Biasa saja, Pak."

"Sing betah, Mas. (yang betah, Mas). Dia memang suka mentang-mentang karena ada bapaknya disitu."

"Nggih, Pak."

Kami tak lagi bercerita. Fokus melahap makanan masing-masing.

Seusai makan dan minum, aku langsung balik ke ruanganku.

Ketika kaki melangkah hendak memasuki ruangan, betapa kagetnya kedua netra saat menemui Pak Dika sudah berada di sana dengan raut wajah seperti kesal.

"Siang, Pak." Aku menyapanya sembari tersenyum.

"Sini, Mas!" Pak Dika melambaikan tangan padaku, yang akhirnya membuatku menghampirinya.

"Mas, kalau kerja itu yang jujur! Kalau di form ini bertanggal sekian, ngetiknya juga tanggal sekian. Tolong, ya ... ini sama saja melimpahkan kesalahan pada orang gudang. Saya dari kemarin marah-marah, lho, sama supervisornya. Saya pikir mereka yang lelet, ternyata samean yang gak bisa kerja dengan benar!"

"...." Aku tak bisa berkata.

"Kerja pertama-kedua, nginput molor gak masalah bagi saya, Mas. Ini kan udah sebulan, ya? Coba kontrol diri sendiri, Mas. Misal berkasnya ada seratus lembar, paling tidak selesai dua hari. Samean, kan, kerja berdua, Mas ... masa' satu orang pegang tujuh gudang saja, kerja sampai lima-enam hari?"

Aku menunduk. Bingung. Bagaimana bisa aku menjelaskan kalau selama ini yang bekerja hanyalah aku. Sementara Rian sibuk dengan HP-nya.

"Mas Rian training samean bagaimana, Mas? Apa memang tanggalnya disuruh ngerubah? Masalahnya, baru kali ini, lho, tanggal bisa salah."

Tiba-tiba, omongan Pak Dika membuatku tersentak. Baru mau membuka mulut, Rian datang membuka pintu. Matanya masih awas dengan ponsel di tangan, sehingga ia tak mengetahui ada Pak Dika di depannya.

"Mas Rian!" Tampaknya suara dari Pak Dika membuatnya kaget luar biasa. Rian segera menyaku HPnya dan menghampiri.

"Saya curiga dari awal, sudah saya duga kalau Mas Dani ini bekerja sendirian ...." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, beranjak dari kursi dan menghadapkan posisi berdirinya di antara kami.

"Kalau Mas Dani tak bekerja sendiri, mana mungkin dia bisa lelet seperti ini! Telat kirim form, mana dia sampai mengganti tanggal di komputernya. Ckckck ...." Pak Dika menggeleng-gelengkan kepala menatapnya.

Keringatku mulai bercucuran dingin. Sekilas kutatap Rian memicing sinis padaku.

"Bagaimanapun, kau yang salah! Mentraining bukan berarti melimpahkan kerjaanmu padanya. Bukankah sudah saya bagi, kamu pegang gudang mana saja? Kerjaan itu dikerjakan Mas Dani sendiri, jelas saja dia tak sanggup!" Suara Pak Dika mulai meninggi.

"Ayo, kamu ke ruangan saya! Saya panggil Pak Heri juga!"
Seusai berkata begitu, Pak Dika pun berlalu.

Wajah Rian mulai memerah. Ia menatapku awas, dengan napas yang memburu kesal.

"Awas kau!" Ancamnya kemudian.

Dia lalu pergi meninggalkan ruangan.

Kini tinggal aku sendiri di dalam ruangan. Kutelan ludah pahit, seiring dengan rasa cemas yang menggebu.
Wah, rasa-rasanya bakal meledak ini ....

(bersambung)
Diubah oleh shirazy02 24-02-2020 15:24
erman123
OkkyVanessaM
manik.01
manik.01 dan 46 lainnya memberi reputasi
45
74.3K
739
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
shirazy02Avatar border
TS
shirazy02
#497
Part 1


"Sayang, Dani ...."

Suara seorang perempuan menggugahku yang tengah pulas tertidur. Saking kagetnya, sampai-sampai kopi yang ada di meja tersenggol berserakan ke lantai.

"Ada apa, Sayang?" Aku langsung menolehkan pandang ke belakang. Namun, alangkah terkejutnya aku saat mendapati sosok lain berdiri tegap di sana. Kupikir istriku, ternyata ....

"A-Adel??" Hampir tak percaya aku melihat apa yang kutatap saat ini. Perempuan itu tampak lagi di hadapan setelah sekian lama. Heeeii, kenapa bisa?

Saking gugupnya, aku jadi menoleh ke sana- ke mari. Mencari keberadaan Sefti.

"Ma-mana dia?" tanyaku gelagapan dalam batin. Klinik bersalin yang tadinya ramai, kini berubah sepi sekali. Suasana hening, tak ada tanda-tanda seorang pun di sini. Cemas, aku mulai masuk ke ruang dokter. Kutatap sekeliling. Benar, sepi!!

Dag dig dug rasanya hati. Penasaran membuatku lantas berbalik lagi. Dari jauh, hanya kudapati sosok Adel tengah tersenyum memandang. Senyumnya sinis. Senyum yang bukan biasanya. Ia tersenyum jahat.

"Di mana semuanya? Di mana Sefti??" tanyaku panik. Aku mulai berlarian ke sana- ke mari dengan napas tak beraturan. Sosok itu tak menjawab kataku. Ia semakin menatap sinis mendapatiku tengah bersimpuh lunglai karena kelelahan berlarian, lalu melangkahkan kakinya menujuku.

Oh, tidak! Jangan balas dendam padaku, batinku begitu bergemuruh. Semakin ia melangkah mendekat, semakin aku mundur pelan-pelan dengan perasaan gemetar.

"Kenapa? Jangan takut, Sayang! Ayo, sini!" Lirih ia berkata. Nadanya manja.

"Ti-tidak! Apa maumu? Kau kemanakan semua orang?" Keringat terasa semakin mengucur deras tatkala ia mengambil sesuatu dari balik saku celananya. Sebilah pisau!

"Kamu mau menikah padaku, atau aku bunuh diri?" tanyanya kemudian. Tegas.

Haaahhh?? Aku nyengir heran dengan mata membelalak tak percaya. Mungkinkah gadis ini sudah gila?

Ia semakin mendekat, membuatku terpojok pada dinding di belakangku. "Ayo, Sayang!" ujarnya dengan nada rengekan.

Aku semakin terhimpit dan semakin gemetar tak karuan. "bagaimana, Sayang? Setuju?" tanyanya lagi, sembari menarikan pucuk pisau itu ke pipi kiri.

"Sayang ...."

"Sayang ...."

"Sayang ...."

"Aaaaahhh!!" Aku berteriak kencang dan mulai tersadar tatkala seseorang menepuk pelan lenganku. Perlahan membuka mata. Langsung kudapati sosok wanita di hadapan yang tengah tersenyum memandang. Ah, untung hanya mimpi!

Namun, sengalnya napas seakan real terpacu bersama emosi yang sepintas membelenggu. Dalam hitungan detik, seketika buyar, tatkala kepulan kopi di tangan istri meninggalkan aroma yang menyeruak ke dalam hidung.

"Mimpi, ya?" tanyanya lirih, masih dengan senyum yang terpasang. Wajah yang selalu teduh dan menenangkan saat dipandang. Aku mengangguk pelan tanpa menjawab apa pun. Wanita itu lalu meletakkan secangkir kopi di nakas, kemudian mengibaskan kedua tangannya pada daster merah hati yang kapan hari dia beli.

"Sayang, sini!" Rasa gelisah berubah menjadi gemas saat melihatnya yang semakin gemukan. Kutarik pelan tangannya ke arahku. Serta-merta membuatnya berbalik dan langsung terjatuh ke dada. Gelak tawanya yang manis, semakin membuatku gemas sehingga memeluknya begitu mesra. Ia tak menolak, masih terus cekikikan.

Namun, tak lama sesudahnya, tangan lembut itu mendorong tubuhku. Sesaat setelah suara deheman dari ibu terdengar dari ambang pintu. Kali ini matanya membulat menatapku, seakan tengah protes. "Tuh, kan. Awas!" Nada bicaranya berubah tegas memperingatkan.

"Ayo, bangun! Aku mau cuci piring dulu! Beluk selesai di belakang," pesannya, sambil melangkahkan kaki. Ia kini berlalu dari hadapan, menyisakan senyum termanis yang selalu membuatku jatuh hati.

Istri idaman ....


Aku menguap lebar, kemudian memutar badan ke kanan-kiri, lantas beranjak menghampiri nakas. Kusruput kopi buatan istri pagi ini. Hanya seteguk, lalu beringsut mengambil handuk dari gantungan, melangkah menuju belakang. Lagi-lagi, kudapati ia sedang mencuci perabotan. Sepintas mata itu melirikku. Tersenyum. Aku pun menggodanya dengan melayangkan cium jauh berulang kali.

Ctak!

Kurasakan kepalaku mendadak ngilu saat benda itu melayang dengan sengaja. Ibu dengan sebuah sapu di tangan memelototiku geram dari belakang. "Jok koyok arek cilik! Adus-adus kono. Cepet buka tokone! (Jangan kayak anak kecil, mandi-mandi sana, cepat buka tokonya!)"

Sefti terlihat menahan tawanya. Lantas, aku ngeluyur masuk ke kamar mandi, dengan tangan masih mengelus-elus kepala. Ah, tega betul ibu!

"Habis shalat, kok, tidur. Jemput rezeki di pagi hari, biar gak dipatok ayam," celotehnya lagi.

"Iya, iya, Bu. Ya Alloooohhh!" sahutku sambil melepaskan pakaian.

"Sssssttttt!!" Terdengar desisan Sefti setelahnya. Aku pun memilih diam, dan langsung mengguyur tubuh dengan air.

***

Pukul 11.30 WIB.

"Nanik ke mana, Ica?" Kudengar suara istriku yang baru saja datang menuju toko. Ia bertanya pada Ica --salah satu pegawainya-- yang hari ini masuk seorang diri. Cepat-cepat aku pun keluar dan menyahut, "Nanik izin. Tadi WA aku, katanya sih udah WA samean juga, tapi belum kebaca."

Sefti diam sejenak, kemudian menjawab singkat, "Oh ...."

"Sini, bantu aku!" ajakku sambil melambaikan tangan padanya. Alih-alih agar ia mau menemani menjaga toko onderdil dan mengalihkan sejenak usahanya. Kulihat, wajahnya pagi ini tampak letih, tak bersemangat. Aku tak kuasa jika ia harus turun membantu di kiosnya. Sadar betul semalam kita begadang, bercerita hingga pukul 2 dini hari.

Sefti berjalan gontai menujuku. Namun, langkahnya terhenti manakala Pak Pos berteriak menyerukan slogannya. "Pak Pos dataaaang!" Gayanya yang slengek'an itu sangat kami hapal betul.

"Sayang, memang kamu pesan apa?" Sefti berkerut dahi memandangku.

"Lho? Enggak, kok. Kupikir paketan samean," jawabku.

Obrolan kami terpotong saat Pak Pos menghampiri sambil membawa sebuah amplop cokelat tebal. "Untuk Dani," tukasnya datar saat membaca nama yang dituju pada amplop di tangannya.

"Lho, buat Mas Dani gitu," seru Sefti.

"Lah iya, apaan coba?" Aku semakin penasaran, lalu mencoba menghampiri. Setelah memberi tanda tangan dan Pak Pos pergi, cepat-cepat kubuka amplop cokelat itu di depan Sefti. Tentu kami sama-sama penasaran dengan isinya.

"Lho? Kok kayak bingkisan cokelat di toko-toko, ya?" ujar Sefti saat melihat wadah kotak persegi panjang seukuran kotak perhiasan itu.

"Apa, ya?" Aku semakin penasaran dibuatnya.

"Ayo, gih. Buka! Aku nungguin kejutannya ini." Sefti malah senyum-senyum menggoda. "jangan-jangan uang kaget," lanjutnya lagi.

"Preeett!" Aku mencibir.

Pelan, aku lalu membuka wadah kotak itu. Kukira apa, eh, ternyata sebuah undangan.

"Undangan aja dipaketin, ya? Kekinian mungkin, ya?" Sefti ngakak langsung, padahal masih penasaran. Ia turut melongok, melihat sebuah undangan yang kini telah terpampang di tangan. Kutatap kolom penerimanya, memastikan jika undangan ini tak salah alamat.

'Turut mengundang, Dani Darmawan sekeluarga'

Baru saja tulisan itu terbaca, aku dicengangkan kembali oleh ucapan dari istriku. "Adelia Rasti Syah Wiryawan. Heeeeiii ... kira-kira, ini Adel yang itu bukan?"

Deg!

Spontan, aku tak sanggup berkata lagi. Kenapa bertepatan dengan kemunculannya dalam mimpi tadi pagi? Seketika, perasaan bersalahku muncul kembali. Tak banyak berulas, kututup kembali kertas undangan itu pada kotak wadahnya. Lalu melempar ke lubang di samping halaman yang biasa kubuat untuk membakar sampah. Lagi-lagi, teringat tentang mimpi tadi pagi. Napasku tak beraturan jadinya.

"Kenapa? Kenapa wajahmu seperti itu?" tanya Sefti.

"Kenapa jadi mencurigaiku? Nggak, kok. Nggak papa. Heran saja, mau nikah kok sempat undang-undang sini," jawabku asal.

"Heeeeeii, gak boleh gitu. Tak ada salahnya, kan, menjalin silaturahmi. Kenapa malah dibuang undangannya?" Sefti geleng-geleng menatapku sambil berjalan menuju lubang pembuangan sampah.

"Eh, sudahlah! Mau ke mana?" sergahku. Ia tetap tak menghiraukan, masih berjalan lurus menuju ke sana. Benar dugaan, ia ambil kembali kotak undangan itu. Lalu mengangkatnya tinggi, seakan memperlihatkannya padaku. Ia masih saja mengulas senyum. Kemudian kembali lagi menghampiri.

"Belum lihat isi dalamnya aku. Kan, bisa buat inspirasi bikin undangan," ujar Sefti enteng, sembari membuka undangan itu lebar-lebar. Undangan model 3D yang seperti buku. Ada beberapa lapis halaman, ternyata tampilkan foto-foto pre-wed calon mempelai.

"Keren. Udah kek bikin album poto saja. Habis berapa, ya, cetak ginian?" Sefti mulai iseng menebak. Aku di tempat, no comment dah!

"Eh, ini yaa suaminya." Kali ini Sefti berseru sambil memperlihatkan sebuah foto yang diambil dari sisi samping, berpelukan menghadap depan. Ucapan itu membuatku penasaran, sehingga memberanikan diri menatap lagi pada kertas undangan tersebut.

Tampak seorang lelaki gagah berdiri di belakangnya. Wajahnya seperti orang Arab. Entah Arab, entah India, seperti bukan asli Jawa. Hidungnya mancung sekali, tinggi besar. Ah, tentu Adel lebih beruntung mendapatkan lelaki itu setelah aku.

"Kita dateng, ya?" ajak Sefti tiba-tiba. Matanya berbinar, dengan wajah yang seperti berbahagia.

"Ke-kenapa? Tak usahlah. Malu kita nanti, mereka jelas bukan golongan orang sembarangan!" tolakku tegas.

"Yaaaahh, dia pesimis. Kenapa, sih? Jangan seperti anak kecil lah! Adel pun tak mungkin berniat buruk di hari istimewanya. Kupikir, dia tentu sangat bahagia jika kita datang."

"Bu-bukannya begitu. Hadeeeehh, bingung juga ngomonginnya."

"Udahlah, dateng aja, yuk! Kita gak usah bilang-bilang ibu ke tempatnya Adel. Ntar rame. Adel dan kita bisa berteman baik, kan? Ya, kan?" Sefti mengangkat kedua alisnya menatapku. Menunggu jawaban.

Aku malas menanggapinya. Dalam sekian lama, baru sekarang ini aku melihat istriku tampak mengesalkan sekali.

"Ya, Sayang? Gapapa, ya? Turuti permintaanku kali ini saja. Aku 'kan gak pernah minta apa-apa selama ini," serunya lagi. Kali ini ia berkali-kali mengusap perutnya.

Hadeeeeehhh, semakin tak kuasa melihatnya seperti itu.

"Iya, deh. Asal kamu senang. Memang kapan itu?" tanyaku dengan batin yang sangat bertolak keinginan.

Sefti menilik lagi kertas undangan di hadapannya. Seketika kaget.

"Lho, ini tanggalnya untuk besok, Sayang. Waduh, kayaknya lama di kantor pos ini undangan," ucapnya panik. Kali ini gantian aku yang syok.

Besok?? Haaah, yang bener saja!
Diubah oleh shirazy02 24-02-2020 14:50
noth84
i4munited
erman123
erman123 dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Tutup