Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

Ā© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

jkamy02Avatar border
TS
jkamy02
Cerita Secangkir Kopi
Cerita Secangkir Kopi



Aku menggeliat mencium aroma kopi. Mengerjap sebentar sebelum akhirnya benar-benar bangun. Mataku menangkap gerakkan Kaila di ruang makan.

"Kopi? Sejak kapan?" tanyaku padanya yang meletakkan cangkir besar khas tempo dulu. Cangkir berbahan seng dengan aksen lurik hijau bercampur putih. Uap panas masih mengepul saat Kaila menutupnya.

"Kan ayah suka kopi, Mbak. Lupa?" Kaila balik bertanya. Aku tercenung.

"Nanti kalau ayah pulang, bilang suruh abisin kopinya, ya!" Kaila mengambil tas, lantas berlalu sambil mengucap salam.

Aku termenung menatap secangkir kopi di meja. Ada sepiring nasi goreng utukku si sebelahnya dan beberapa pisang goreng. Sarapan yang sempurna.

Menjelang siang aku pergi ke pasar. Ada beberapa bahan yang harus kubeli untuk pesanan. Kain hitam dan motif bunga-bunga. Membayangkan gamis yang akan kubuat saja sudah membuatku senang. Apalagi saat menerima bayaran nanti. Ya, lumayan untuk membantu Kaila membeli buku. Mahasiswi Pendidikan Bahasa Inggris tingkat akhir itu memang sedang butuh banyak biaya. Beruntung dia mendapat beasiswa penuh dari kampus. Aku? Ah, bisa lulus kuliah dengan IPK standar saja sudah bersyukur. Apalagi sekarang aku bisa membuka butik kecil-kecilan di rumah.

Aku pulang menjelang malam. Ketika Kaila juga sudah di rumah. Wajahnya masam, terlihat tidak suka. Apa karena aku terlalu lama?

"Kira-kira dong kalau pergi. Masa pulang malam begini!" Dia berlalu ke kamarnya dengan membanting pintu.

Ah, baru juga sebentar di rumah dan kami mengulang kebiasaan lama, bertengkar. Saudara kandung memang begitu, 'kan?

"Maaf, Mbak mampir ke rumah Tante Mai. Dia ...."

"Dia nggak bilang yang aneh-aneh, 'kan?" Kaila tiba-tiba membuka pintu dan menatapku yang keheranan. Aku menggeleng.

"Jangan didengerin apa kata dia. Dia pembohong. Sama kayak Om Danu, Bik Sina, dan orang-orang." Pintu kembali tertutup. Aku termangu memikirkan ucapannya.
****

"Hari ini ada acara sama anak-anak organisasi. Aku pulang malam," kata Kaila yang sedang menyiapkan kopi.

"Hati-hati!" Anjuranku tak dijawab karena kini dia sudah menaiki motor matic-nya.

Aku kembali tercenung menatap secangkir kopi dengan aroma yang masih tertingggal. Kopi hitam pekat dengan sedikit gula batu, diseduh dengan air mendidih langsung dari panci, dan dihidangkan di cangkir favorit adalah hal kesukaan ayah. Dua hari di rumah, secangkir kopi itu yang selalu kutemukan ketika bangun tidur.

Biasanya ayah pulang menjelang siang dengan membawa hasil tangkapan berupa berbagai jenis ikan sungai. Ya, ayah adalah nelayan tradisional. Mengandalkan jala dan panah untuk menangkap ikan. Ayah berangkat dini hari dan pulang menjelang siang. Selalu begitu setiap hari.

"Ayah tidak takut?" tanyaku dulu ketika tahu ayah selalu berangkat setelah tengah malam.

"Ayah lebih takut jika anak-anak ayah tidak bisa makan dan bersekolah." Tangan kasar dan besarnya membelai kepalaku. Ada Kaila yang tertidur di pangkuannya. Kami biasa seperti ini sebelum ayah berangkat.

"Ayah rindu ibu?" tanyaku pelan dan hati-hati. Ayah menghela napas berat. Menatapku dan tersenyum.

"Sangat. Sama seperti Kania dan Kaila, ayah sangat merindukan ibu." Aku langsung menghambur dalam pelukannya. Tubuh kekar dan tangan kokohnya adalah tempat ternyaman untukku.

"Ayah yang sabar dan kuat, ya!" Ayah hanya terkekeh melepas pelukanku.

"Ada dua bidadari di sini, ayah pasti kuat. Kan kalian punya kekuatan warisan dari kayangan. Iya, 'kan?" Kami lantas tertawa. Sesekali kulirik foto seorang wanita yang kata orang sangat mirip denganku.

Air mataku merembes pelan dengan wajah yang panas. Percakapan sepuluh tahun silam tak pernah sedikitpun hilang dari ingatan. Bahkan aku masih mengingat dengan jelas ayah yang mengenakan sarung biru bergaris hitam dengan kaus cokelat dan kami yang mengenakan baju tidur sama, Keroppi.

Tanganku meraih bingkai foto. Kaila yang masih berusia dua tahun dalam gendongan ibu dan aku yang berusia sepuluh tahun di pundak ayah. Kami tertawa lepas dan tentu saja bahagia. Foto itu menjadi kenangan terakhir sebelum akhirnya ibu pergi. Dia menyerah melawan kanker usus yang diderita sejak sebelum menikah.

"Kalianlah yang membuat ibu panjang umur," katanya, dulu, saat aku tahu tentang penyakitnya, untuk pertama kali. Saat itu Kaila baru berusia dua minggu dab ibu harus menjalani serangkaian pengobatan. Kalimat itu adalah kalimat pertama yang mampu kuingat dengan jelas saat masih berusia delapan tahun.

"Kania rindu ibu." Kudekap erat bingkai foto itu, seolah ingin memasukannya ke hati.

[Mbak, aku nginep di rumah Winda. Hujan deras di sini. Jangan lupa kopi ayah!]

Aku mengucek mata membaca pesan Kaila. Dering ponsel membangunkanku yang tertidur di sofa, menunggunya. Lantas bergegas pindah ke kamar.
*****

Sudah pukul sembilan pagi dan Kaila belum pulang. Aku pun tidak bisa menghubunginya. Padahal sarapan sudah tersaji dari tadi. Perutku pun sudah mengajak diisi.

"Aduh, masih hujan di sana, jadi telat, deh," gerutu Kaila yang datang dengan pakaian sedikit basah terutama jilbab birunya.

"Ganti baju dulu, kita sarapan. Mbak masak sup jamur kesukaan kamu." Kaila mengangguk.

"Kopi ayah mana?" Suapan pertamaku urung masuk ke mulut. Aku menatap Kaila yang terlihat kesal.

"Nanti aja bikinnya kalau ayah pulang," jawabku sembari mengunyah nasi dan sup hangat.

Brak!

Aku tersentak. Kaila membanting piring dan sendok di meja.

"Mbak nggak ngerti, ya? Kalau aku bilang bikin kopi ya bikin!"

Nasi yang sudah masuk tenggorokan seolah berubah menjadi batu tajam. Tak mampu kutelan. Kaila mencari cangkir dan segera meracik kopi, tak lupa membanting panci kecil sebelum meletakkannya di atas kompor. Air yang hendak dimasukkan pun berceceran karena grusa-grusu.

"Bagaimana kalau ayah pulang dan belum ada kopi?"

"Ayah pasti menunggu. Dia tidak akan marah, Kai." Kuberanikan diri menjawab. Jujur, aku tidak suka dengan tingkahnya.

"Mbak nggak tahu gimana capeknya ayah. Dia capek dan dingin. Apa masih harus diminta menunggu?" Kali ini nada bicara Kaila mulai meninggi. Aku meremas sendok menahan emosi. Dari dulu aku tidak pernah suka dibentak olehnya.

"Mbak terlalu lama pergi dari rumah. Mbak nggak tahu bagaimana ayah. Yang Mbak tahu hanya minta uang, sekolah, kerja, dan kirim uang." Nada bicaranya mulai gemetar. Aku yang hendak mendamprat, mengurungkan niat. Kuteguk segelas air dingin, berharap emosiku surut.

"Mbak bahkan nggak tahu bagaimana susahnya ayah bekerja, 'kan? Mbak nggak tau kalau ...."

"Cukup, Kaila!" teriakku. Kutatap adik semata wayangku yang sedang mengaduk kopi. Dia menunduk menahan tangis, sama sepertiku.

"Apa yang kamu lakukan selama ini ...."

"Apa? Mbak percaya omongan mereka? Mbak ...."

"Kaila sadar! Ayah itu sudah meninggal setahun lalu."

Kaila tergugu. Secangkir kopi panas diletakkan di meja. Cipratan kopi panas mengenai tangannya. Tubuhnya melorot, duduk berjongkok dan bersandar di rak dapur.

"Tidak! Ayah akan pulang, Mbak ...." Air mataku tak lagi mampu ditahan. Kupeluk erat tubuhnya yang semakin kurus. Kaila meronta, tapi aku semakin erat memeluknya.

"Ikhlaskan, Kai! Biarkan ayah tenang."
Tubuh Kaila berguncang. Dia terisak, begitu juga aku.

"Ayah pasti pulang, 'kan? Ayah akan pulang ...." Kaila memeluk lenganku dengan erat. Ratapannya terasa mengiris membuat dadaku sesak seakan hendak meledak. Kubiarkan dia menjerit dan menangis di pelukanku.

"Besok kita ke sana, ya?" Kuusap wajahnya yang basah air mata lantas kukecup berkali-kali.
*****

Kaila tak banyak bicara di sepanjang perjalanan. Dia hanya menatap hamparan sawah dan sungai di sisi jalan. Kugenggam erat tangannya.

"Mbak juga rindu ayah. Sangat!" bisikku pelan. Kaila menoleh, mengeratkan genggamanku. Tak ada senyum di wajah pucat itu.

Kuletakkan sebuket mawar putih dan krisan ungu di tepi sungai. Kaila mendekap secangkir kopi yang tak lagi panas. Kurapal beberapa bait do'a yang pernah diajarkan ayah pada kami. Kaila hanya bergumam mengamini.

"Selamat beristirahat, ayah. Kaila rindu. Ayah baik-baik saja, 'kan?"

Entah kenapa air mataku tak bisa lagi diajak kompromi. Meluncur bebas tanpa bisa kucegah. Sesak di dada menambah volume-nya.

"Aku bawa secangkir kopi kesukaan ayah. Mbak juga bawa bunga kesukaan ayah. Ayah senang?" Aku meremas jari, terisak pelan. Kaila menatap riak air Sungai Komering yang tenang. Seolah ayah tengah berdiri di sana, menatap kami.

"Aku tidak meminta ayah untuk pulang lagi, cukup ayah baik-baik di sana." Suara Kaila semakin melemah. Kini berganti tangis tersedu-sedu.

Kami menghabiskan sore di tepian sungai. Tak banyak yang kami lakukan. Hanya menatap sungai yang tenang dan mendengarkan riaknya yang menenangkan.
*****

[Ayahmu kecelakaan. Pulang sekarang!]

Tubuhku seakan lumpuh membaca pesan dari Tante Mai. Adik bungsu ibuku itu adalah orang terdekat kami setelah ibu meninggal. Tanpa banyak pamit, aku segera memacu motor, pulang. Perjalanan yang hanya satu jam terasa lima kali lipat jauhnya meski aku sudah mencapai kecepatan yang belum pernah kulakukan.

Aku sampai ketika orang sudah ramai di rumah. Mataku beredar mencari Kaila. Hanya jerit tangisnya yang kudengar.

"Kaila!" Aku memeluknya dengan erat. Tak peduli jika dia meronta dengan kuat.

"Ayah .... Cari ayah, Mbak! Tolong ayah!"

Kutenangkan Kaila yang terus meronta. Di belakangku semua yang menatap kami ikut terisak.

Saat lengah, Kaila memberontak dengan kuat. Dia terlepas dari pelukanku. Dengan membawa cangkir kopi yang tak lagi berisi, dia berlari ke luar. Mengambil pelampung dan satang dia berlari kencang ke arah sungai. Aku kelimpungan mengejar.

"Kembali, Kaila!" teriakku.

Seorang petugas berpakaian oranye mengejar dan menangkap tubuhnya.

"Aku mau ayah!" jeritnya.

Lelah meronta dan menjerit Kaila pingsan. Kami membawanya pulang. Dengan berlinang air mata kuobati luka di telapak kakinya akibat terkena batu. Tangannya masih menggengam cangkir bekas kopi. Aku menangis tersedu-sedu.

"Tidak ada satupun yang selamat. Kami hanya menemukan potongan kaki milik salah satu penumpang lanting. Semuanya hanyut." Aku menjerit tertahan mendengar penjelasan ketua rombongan penyelamat.

"Arus yang terlalu deras dan kondisi sungai yang meluap, memang menyulitkan kami," imbuh anggota yang lain.

Hidupku mendadak hampa dengan warna hitam pekat menyelimuti.

Ayah dan lima orang lainnya memutuskan untuk tetap ke sungai mencari ikan meski sungai sedang meluap. Belum juga jauh dari bawah Bendungan Perjaya, lanting yang mereka tumpangi terbawa arus hingga terbalik. Beberapa orang dengan sekuat tenaga berusaha berenang ke tepian, termasuk ayah. Namun, arus sungai terlalu besar utuk tenaga kecil mereka. Air keruh dan deras menggulung kelima orang itu hingga tenggelam dan tidak terlihat lagi. Begitu cerita salah satu saksi.

"Ayah sudah pulang, Mbak? Mana ayah?" Kaila yang baru bangun tidur langsung mencari ke segala penjuru rumah. Keluarga yang masih menemani kami perlahan menangis.

"Kalian sembuyikan di mana ayahku?" teriak Kaila sembari mengobrak-abrik meja dan kursi. Om Danu memeluk dan menenangkannya. Tak peduli jika Kaila meronta dan memukul tubuh besarnya.

Hingga lima hari, tak ada kabar baik tentang ayah. Petugas menghentikan pencarian setelah menelusuri hampir sepuluh kilometer bantaran Sungai Komering. Selama itu pula Kaila tetap histeris. Aku? Apa aku punya pilihan lain selain harus tegar?

Wajah terakhir yang kuingat saat ayah menghadiri wisudaku, tiga bulan sebelum kejadian itu. Selalu sama, tenang dan selalu tersenyum. Wajah dengan jenggot dan kumis yang mulai beruban tak pernah sedikitpun hilang dari ingatanku.

"Kerja saja dulu, cari modal. Nanti ayah siapkan butik kecil-kecilan di rumah untuk kalian." Aku dan Kaila senang.

"Ayah ingin kalian bekerja di rumah, menemani ayah. Siapa tahu ayah bisa jadi model gamis, 'kan?" Kami tergelak. Kepandaiannya berseloroh selalu berhasil membuat kami tertawa. Entahlah, sifat humornya tidak menurun pada kami.

Kami lantas antusis bekerja siang malam. Aku bekerja sebagai perancang busana muslimah dan Kaila yang mulai mengajar les Bahasa Ingris. Ayah tetap mencari ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sedikit demi sedikit akhirnya kami bisa mewujudkan keinginan ayah. Butik kecil bernama Sista Collection telah berdiri.

Baru juga dua bulan kami mengurus butik, bencana itu datang. Mau tidak mau aku harus pulang pergi untuk mengurus butik dan pekerjaanku. Karena memang aku masih banyak butuh biaya hingga bisa mandiri.

"Aku sudah besar, Mbak. Aku bisa mengurusnya sendiri." Begitu katanya dulu. Aku mengiyakan, meski berat.

Kaila butuh waktu nyaris lima bulan untuk benar-benar sehat dan ceria. Meski kadang aku menemukannya histeris di tengah malam.

Hingga tiga hari yang lalu aku selalu menemukan secangkir kopi di meja makan. Tentu saja aku heran.

"Sejak kamu sering pulang pergi, Kaila mulai begitu. Katanya dia yakin kalau ayah kalian akan pulang," cerita Tante Mai ketika aku mampir, sepulang dari pasar.

"Itu tidak baik, Nak." Wanita penyayang itu berurai air mata.

"Dia marah kalau kita ingatkan. Bahkan dia mengusir kami." Om Danu ikut angkat bicara.

Sekarang aku paham mengapa tidak ada lagi sanak saudara yang menjenguk kami dan mengapa Kaila selalu marah jika aku menemui mereka.

Kehilangan memang tidak pernah diinginkan. Oleh siapapun. Apapun dilakukan untuk menetralisir sakitnya kehilangan. Termasuk secangkir kopi yang kutemukan setiap pagi. Bukan kopi biasa, tapi kopi yang penuh duka.
šŸŒ¹šŸŒ¹šŸŒ¹šŸŒ¹
-Aku Rindu Ayah-

Cerita ini didedikasikan untuk seluruh ayah di dunia dan di surga.

Note:
šŸ“’ Lanting atau rakit adalah alat transportasi air tradisional yang terbuat dari bambu yang disatukan membentuk lempengan. Satang (dari kayu) dan galah (bambu panjang) adalah alat pengendalinya.

šŸ“’ Sungai Komering adalah salah satu sungai terpanjang di Sumatera.

šŸ“’ Bendungan Perjaya adalah salah satu bangunan ikonik Ogan Komering Ulu Timur yang berada di Martapura. Bendungan ini digunakan sebagai irigasi untuk mengairi sawah.

šŸ“’ Nelayan tradisional adalah profesi sebagian besar orang di sepanjang bantaran Sungai Komering.






NovellaHikmiHas
tata604
lina.wh
lina.wh dan 6 lainnya memberi reputasi
7
3K
16
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
jkamy02Avatar border
TS
jkamy02
#1
Rindu paling berat adalah rindu yang tidak akan pernah berujung temu lagi.
0
Tutup