- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
SURYA Dikala SENJA (Horor, Komedi)
TS
ayahnyabinbun
SURYA Dikala SENJA (Horor, Komedi)
Assalamualaikum semua.
Ini hanya goresan tinta imajinasi seorang lelaki tua yang telat menemukan hasratnya dalam hal menulis.
No Junk.
No Spam.
Pokoknya ikuti Rules dari Kaskus ya.
Cerita ini murni Fiksi, jadi kalau ada kesamaan nama tokoh dan tempat mohon di maklumi.
Terakhir.
Selamat menikmati bacaan ringan ini.
Spoiler for Prolog:
-Jakarta-
UGD RS di jakarta.
"Bagaimana istri saya sus!? " tanya seorang pria kepada suster yang baru saja keluar dari ruang UGD.
"Maaf pak masih kritis saya tidak bisa memberitahu lebih rinci kondisi istri bapak, itu wewenang dokter," jawab suster cepat kemudian dia berlalu meninggalkan lelaki itu.
Lelaki itu pun bersandar di tembok rumah sakit, raut mukanya terlihat lemas dan pucat kedua tangannya gemetar tatkala menutup wajahnya.
"Maafkan aku Naura, hiks, maafkan aku, " gumam lelaki itu sambil terisak menangis tersedu-sedu.
Seberkas cahaya membentuk sosok manusia berjongkok di depan lelaki itu, "jangan menangis sayang, ini memang sudah waktuku, jaga anak kita ya, dia ganteng seperti kamu, cup. " seru sesosok cahaya tersebut sambil mencium kening sang lelaki, dan cahaya itu pun berlalu bersama sesosok laki-laki berjubah putih yang menemaninya.
Lelaki itu mengangguk lesu sambil tersenyum tipis, melihat ruh istrinya menghilang menuju ufuk matahari dikala senja.
"Krieeek" suara pintu UGD terbuka, keluar seorang dokter dan beberapa suster menggendong seorang bayi.
"Pak Bagas, bayi bapak kami bersihkan dulu di ruang bayi ya pak, dokter ingin bicara dengan bapak," jawab suster dengan lemah lembut ke lelaki itu.
Lelaki itu pun berdiri, berjalan pelan menuju dokter yang menundukkan kepala di depan lelaki itu, gurat penyesalan terlihat dari wajah sang dokter.
"Sudah tidak apa-apa dok, saya sudah tahu, sehebat apapun anda tidak bisa melawan takdir, " jawab lelaki itu sambil menepuk pundak sang dokter.
"Ba-bagaimana bapak bisa tahu!? " jawab dokter dengan rona kebingungan.
Lelaki itu kemudian berlalu menuju ruangan bayi, langkah demi langkah terasa berat, tangisan tak terbendung dari kedua matanya, lelaki itu memukul-mukul dadanya agar menyisakan kelegaan saat ia bernafas.
"OOOEeeeK...OOOEEEEK...OOOEEEK," seketika tangis bayi memecah kesunyian lorong rumah sakit, lelaki itu mempercepat langkah demi langkahnya, terlihat seorang bayi sedang di gendong suster, menangis dengan kencangnya.
"Silakan pak di gendong anaknya, sudah saya bersihkan dedek bayinya," jawab suster ke lelaki itu.
Sang lelaki menerima si bayi dari tangan suster, menggendong dengan penuh kehati-hatian, sang bayi yang tadi menangis kencang seketika terdiam di pelukan lembut sang ayah.
"Mau di beri nama siapa pak bayinya?" tanya suster.
"Surya, Surya dikala senja. " jawab bapak Bagas lirih.
Spoiler for Chapter 1 : sang Surya:
Jakarta, 2018.
"TENG!! TENG!! TENG!!" bunyi bel terdengar hingga ujung jalan setapak depan sebuah sekolah, segerombolan anak tunggang langgang berlarian menuju gerbang sekolah tersebut.
Pak Kusni penjaga sekolah, merangkap satpam, merangkap manusia terlihat mendorong gerbang dengan kepayahan, faktor usia seperti menggerogoti tenaganya yang dulu seperti kuda jantan, nafasnya terdengar mengebu-gebu seperti pemain film erotis tahun 80an, padahal gerbang sekolahnya hanya ada satu, bayangkan bila sekolah ini memiliki 7 gerbang layaknya pintu neraka, mungkin senin beliau sudah di kebumikan.
Dari ufuk timur terdengar suara dengan lantang.
"HEI KUSNI!!! HENTIKAN!!! GUA MASIH MAU SEKOLAH KUSNI!!!"
Remaja itu berlari bersama gerombolan murid yang telat bagai babi hutan.
Pak Kusni yang sedang mendorong gerbang terdiam sesaat, lalu melihat asal suara tersebut, matanya melotot melihat remaja tersebut berlari seperti maling BH yang dikejar warga, dengan sisa tenaga tuanya di dorong gerbang itu dengan tergesa-gesa,
"bocah sialan itu tak boleh masuk..! TIDAK BOLEH MASUK..! YOU SHALL NOT PASS..!" gumam lelaki tua itu sambil mengutip kata-kata Gandalf Lord Of The Ring.
"SIALAN KAU KUSNI! GUA TIDAK AKAN KALAH DENGAN TUA BANGKA MACAM KAU KUSNI!!" teriak lagi remaja itu dengan lantang, langkah kakinya semakin kencang ia sampai lupa resleting celananya masih menganga memberikan sensasi cooling breeze di sekujur pangkal pahanya.
Mendengar itu Kusni geram, ia semakin menggebu-gebu mendorong gerbang, akan tetapi, "KREEK!!" suara tulang bergeser bersua, teriakan tertahan mengema di kalbu Kusni.
"AAARRRGGHH!! AMPUN GUSTI!! PINGGANGKU!!" sakit encok strata tiga Kusni kambuh, tubuh kusni tertahan gerbang, tanpa adanya gerbang mungkin tubuh Kusni akan tersungkur ke tanah, ada hubungan simbiosis mutualisme yang ironis antara Kusni dan gerbang.
"Pagi beh, kambuh?! AHAAY!" ejek remaja itu ke pak Kusni sambil berlenggang menuju kelas.
Sakit, malu, vertigo menjadi satu, itulah yang di rasakan Kusni sekarang, melihat murid itu berlalu membuat matanya berkaca-kaca seutas kata terucap dari bibir Kusni.
"Dasar bocah KAMPRET!!" Kusni tertahan mematung sambil menggenggam gerbang sekolah yang masih seperempat terbuka.
Kelas 2-A sudah di penuhi manusia-manusia unggulan, datang setiap pagi untuk mencari ilmu, bersiap-siap menatap masa depan dengan penuh harapan cemerlang, di belakang dua insan lelaki saling bercakap.
"Cok, film bokep yang kemaren elu kirim crash, kirim lagi dong bro," celoteh Bambang ke Ucok di baris belakang.
"BAH!! Handphone kau saza yang zadul Bams, buktinya zalan-zalan zaja tuh di hp ku, makanya beli hape zangan di pasar malam lai," jawab Ucok dengan logat medannya yang kental, sungguh percakapan yang menginspirasi kaum muda mudi INDONESIA.
"Eh eh eh, guru guru guru!" riuh anak-anak kelas 2-a, sesosok lelaki tinggi, atletis nan tampan terlihat di depan pintu, kemudian berlalu, berganti menjadi lelaki pendek, tambun dengan kepala botak di tengah layaknya lapangan bola, sekilas adegan tadi seperti iklan L-men yang gagal.
Pak Hartono masuk ke dalam kelas, melihat sekeliling kelas sambil menyapa.
"Pagi anak-anak!!", sapa pak Hartono.
"PAGI PAK GURUUU!!" Jawab murid-murid dengan serentak dan kompak.
Tiba-tiba seorang anak berdiri di depan pintu kelas, wajahnya terlihat kecapaian dan pucat.
"Yaaah! Telat!" ujar anak itu, pak Hartono menelisik dengan teliti anak yang terlambat itu, kemudian berujar "hei kamu! Berani kamu telat di jam saya! Kesini kamu!" perintah pak Hartono dengan galaknya, anak itu pun maju dengan perlahan, kepalanya menunduk malu tidak bisa menatap pak Hartono, "Push up 25 kali! Jikalau tidak sanggup silakan keluar kelas saya!!" ujar pak Hartono dengan tegas, ketika anak itu mengambil ancang-ancang untuk melakukan push up, sesosok mahkluk mengintip dari balik jendela di barisan pojok kanan belakang, matanya nanar namun tajam melihat situasi kelas.
"oke situasi aman," ujarnya dengan percaya diri, dengan mode silent ia menyelundupkan tasnya dari balik jendela menuju bangku belajar, lalu ia merangsek masuk dari celah jendela, bak ular kadut dengan licinnya ia masuk melewati celah lumayan sempit itu, setengah badannya sudah masuk ke dalam ruang kelas, tangan kirinya menyentuh meja kemudian ia mendorong sisa tubuhnya melalui tembok menggunakan tangan kanan, dengan sangat cepat dan tanpa satu makhluk pun mengetahui ia sudah masuk ke dalam kelas, dengan posisi menungging di atas meja, misi pun berhasil, ia turun dari meja kemudian menikmati pemandangan Budi yang sedang push up.
"Budi, terima kasih ya, tanpa elu sebagai pengalih perhatian gua ngak bisa sampai di dalam kelas, Budi, kamu, numero uno," gumam pria itu di dalam hati.
Iya, pria itu tidak lain dan tidak bukan adalah Surya, anak dari bapak Bagas prakasa yang kalian liat kisah pilunya di prolog, anak ini tumbuh besar menjadi sosok lelaki tampan, pintar dan soleh, itu hanya menurut penuturan bapaknya sendiri.
Push up Budi sudah berada di angka 23 kali, keringat bercucuran dari kening sampai badan Budi, bahkan sampai muncul bercak basah di daerah selangkangannya, pergelangan tangannya mulai goyah, lututnya bergetar 4,5 skala richter, tubuh yang di rancang untuk main warnet seharian itu tidak mampu menerima push up lebih dari 20 kali.
"Pak, sudah ya pak, saya sudah tidak sanggup," nego Budi ke pak Hartono.
Pak Hartono sedikit terenyuh melihat Budi yang kecapaian, "aduh, kasihan kamu nak, ya sudah … tambah lima lagi push upnya, biar genap jadi 30," tutur pak Hartono dengan melepas topeng kesedihannya, mata Budi nanar namun kosong menatap lantai, terlihat raut penyesalan teramat sangat dari wajah Budi.
Pak Hartono mulai menuju meja ia mengambil daftar absensi lalu mulai mengabsen satu per satu muridnya, dimulai dari Ani, Deni dan seterusnya, murid-murid saling bersahutan saat nama mereka disebut pak Hartono, ketika mulut pak Hartono menyebut nama Surya, "HADIR PAK..!" sahut seseorang pemuda dari belakang dengan lantang.
Seisi kelas kaget, terperanga sambil menganga melihat Surya sudah di dalam kelas, pertanyaan dan praduga berkecamuk di hati mereka.
"Bagaimana ia bisa masuk!?"
"Sejak kapan ia ada di kelas?!"
"Kenapa aku ada di kelas ini!!" gumam Ari yang seharusnya masuk kelas 2-d.
semua perhatian itu berbanding terbalik dengan kondisi Budi yang tanpa perhatian satupun dari teman-temannya.
"Sakit, banget, tapi tak berdarah, sungguh biadab temen-temen gua, kata mereka kita teman sejati, selalu di hati, HILIH KINTHIL!!" ujar Budi di dalam hati kesal dengan teman-temannya.
Pelajaran berjalan setelah sesi absensi, pak Hartono mulai menjelaskan di depan kelas, suasana hening terasa, murid-murid mulai mendengarkan dengan seksama, kecuali Surya yang sedang terlelap di mejanya, posisinya yang berada paling belakang dan di tutupi Bambang yang jangkung dan Ucok yang bulat menjadikan tempat duduknya seperti vila di puncak, tempat paling nyaman untuk beristirahat.
"TOK TOK TOK TOK" bunyi ketukan pintu memecah keheningan kelas, pak Zul sang kepala sekolah sedang berdiri dengan seorang gadis cantik nan manis di sebelahnya, "pagi pak, maaf ganggu kelasnya, ini ada murid baru kelas 2-a," ujar pak Zul, "oh iya pak, silakan neng masuk, perkenalkan diri dulu sama teman yang lain," jawab pak Hartono sambil mempersilakan gadis itu masuk.
Sesosok gadis manis memakai hijab putih berjalan perlahan menuju depan kelas, wajah manisnya terlihat malu-malu ketika bertatap muka dengan murid-murid kelas 2-A, "pagi semua, nama aku Naura kelana subhi, panggil saja Naura," jawab Naura sambil tersenyum simpul memperlihatkan lesung pipinya, seketika itu juga rentetan panah asmara menusuk hati para lelaki di kelas 2-A, kecuali Surya yang sedang berkelana di pulau kapuk dan para murid perempuan yang menunjukkan ekspresi tersaingi secara jasmani dan rohani.
"kamu duduk di belakang ya nak Naura, soalnya bangku yang kosong cuman ada di sebelah sana, " ujar pak Hartono sambil menunjuk bangku disebelah Surya.
Naura pun berjalan menuju bangkunya, diiringi tatapan nakal murid laki-laki di kelas itu, ia kemudian duduk sambil mulai mengeluarkan peralatan belajarnya.
Bambang dan Ucok yang duduk di depan Naura pun sontak membalikkan badan untuk berkenalan.
"Hai Naura, namanya cantik secantik orangnya," puji Bambang dengan gaya sok coolnya.
"hei Naura, cantik kali kau, nanti pulang ku antar pakai motor ninja ku mau tak?" goda Ucok sambil menyisir jambul khatulistiwa miliknya.
Melihat gelagat kedua lelaki di depannya naura langsung ilfeel stadium akhir, didalam hatinya ia berteriak "TIDAAAAAAK..!" akan tetapi Naura hanya membalas dengan senyum malu tapi palsu ke kedua orang utan itu.
"ikh amit-amit jabang bayi, masa hari pertama di sekolah baru gua udah di godain cowok alay macem keset kayak gini, Ya tuhan salah apa hambamu ini, " ketus Naura di dalam hati.
"Jangan di anggap serius, mereka cuman bercanda."
"DEG...!!"
Rona wajah Naura terlihat terkejut, sebuah telepati terkirim langsung menuju fikirannya, ia mencari sumber telepati itu, dan matanya tertuju pada punggung lelaki teman sebangkunya, Surya.
Spoiler for Index:
PART 1
CHAPTER 1
CHAPTER 2
CHAPTER 3
CHAPTER 4
CHAPTER 5
CHAPTER 6
CHAPTER 7
CHAPTER 8
CHAPTER 9
CHAPTER 10
CHAPTER 11
CHAPTER 12
CHAPTER 13
CHAPTER 14
CHAPTER 15
CHAPTER 16
CHAPTER 17
CHAPTER 18
CHAPTER 19
CHAPTER 20
CHAPTER 21
CHAPTER 22
CHAPTER 23
CHAPTER 24
CHAPTER 25
CHAPTER 26
CHAPTER 27
CHAPTER 28
CHAPTER 29
CHAPTER 30
PART 2
CHAPTER 2.1
CHAPTER 2.2
CHAPTER 2.3
CHAPTER 2.4
CHAPTER 2.5
CHAPTER 2.6
CHAPTER 2.7
CHAPTER 2.8
CHAPTER 2.9
CHAPTER 2.10
CHAPTER 2.11
CHAPTER 2.12
CHAPTER 2.13
CHAPTER 2.14
CHAPTER 2.15
CHAPTER 2.16
CHAPTER 2.17
CHAPTER 2.18
CHAPTER 2.19
CHAPTER 2.20
CHAPTER 2.21
CHAPTER 2.22
CHAPTER 2.23
CHAPTER 2.24
CHAPTER 2.25
CHAPTER 2.26
CHAPTER 2.27
CHAPTER 2.28
CHAPTER 2.29
Diubah oleh ayahnyabinbun 28-05-2022 17:42
namakuve dan 116 lainnya memberi reputasi
115
159.9K
Kutip
916
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
ayahnyabinbun
#611
Chapter 2.18
Spoiler for pintu rahasia:
Gelapnya malam melingkupi seluruh langit diatas desa Raksa dan dibawah naungan sang rembulan tengah berkumpul para penduduk Pujakerana, beberapa saling berpelukan dan berlinang air mata karena sebentar lagi para pejantan yang masih sanggup bertarung dan para prajurit jin kera akan berangkat menuju Pujakerana.
"Baiklah semua ayo kita berangkat!" seru Surya penuh semangat dengan tas beruang merah muda di punggungnya. Para prajurit berbaris mengekor di belakang Surya dan perjalanan menuju medan perang pun dimulai
Didalam hutan perbatasan antara desa Raksa dan kerajaan Pujakerana, suara langkah terdengar semakin mendekat ditemani suara gagak-gagak hitam yang bersahut-sahutan diatas dahan pepohonan kering.
Iringan pasukan seadanya dari desa Raksa berjalan sepanjang jalan setapak ditengah lebatnya hutan pohon pinus kering, mereka semua telah berjalan satu jam lamanya tanpa terlihat tanda-tanda kelelahan, karena mereka menyadari bahwa penyerangan kali ini mungkin akan menjadi perjalanan terakhir bagi mereka untuk memperjuangkan kebebasan dari jeratan Gundara.
Surya berjalan didepan dengan bola cahaya berpendar terang menerangi jalan setapak yang membelah hutan sembari bersenandung santai, sedangkan sang ayah berada di belakang barisan untuk berjaga-jaga bila ada jin-jin hitam yang menyerang. Naura dan Luna berjalan ditengah iringan bersamaan dengan putri Karina dan para pasukan dari desa Raksa, beberapa pasukan hanya memakai senjata seadanya dan membawa perlengkapan pelindung yang sangat amat minim.
"Apakah masih jauh perjalanan ini?" tanya Luna memecah keheningan.
Popeng sang jin kera kepercayaan sang putri Karina menoleh kearah Luna dan bersua, "sebentar lagi kita akan sampai di percabangan jalan nona Luna," jelas Popeng kepada Luna.
Benar saja yang dikatakan Popeng, tidak memakan waktu lama di depan iringan itu tampak jalan setapak yang terbelah menjadi dua jalur, satu jalur menuju kearah gerbang utama Pujakerana dan satu lagi menuju jalan setapak yang semakin masuk lebih jauh ke dalam hutan pinus tersebut.
"Sepertinya ini saatnya kita berpisah," seru Surya kepada rekan-rekannya yang lain.
"Apa kau akan baik-baik saja sendirian kesana Surya? Yang kamu hadapi bukan hanya satu atau dua jin hitam tapi ratusan Surya," tanya sang ayah yang cemas.
"Hmm," cuek Surya sembari mengecek kembali perlengkapan di tas beruang teddy merah muda miliknya.
Sang ayah mendekati Surya sembari mengacak-acak pucuk kepala sang anak.
"Isssh … ayah apaan sih, malu tau," jengah Surya sembari menepis telapak tangan sang ayah.
"Iya-iya … enggak ada yang ketinggalankan?" tanya sang ayah.
"Enggak ada, semua sudah lengkap … tenang aja sih yah, asal semua sesuai rencana yang kita semua bicarakan kita pasti bisa melewati semua ini," seru Surya sembari menutup resleting tas beruangnya.
"Ayah tau kamu kuat, tapi kekuatan besar datang bersamaan dengan tanggung jawab yang besar juga, kamu mengerti itu kan?" jelas sang ayah sambil menepuk-nepuk pundak anak lelakinya itu dengan pelan.
"Iya … Surya tahu," gumamnya singkat. Surya melangkah pergi menuju jalan setapak menuju Pujakerana.
"Surya tunggu sebentar!"
Belum lima langkah pemuda itu berjalan pekik seorang gadis berhijab putih berpendar dari arah belakang. Naura berlari kecil menghampiri pemuda bertas beruang teddy tersebut.
"Engh … hati-hati ya disana," pinta Naura pelan.
"Hmfh … iya-iya, aku bakal jaga Senja supaya dia enggak terluka, jadi kamu tenang aj…"
"Yang aku minta hati-hati itu kamu … bukannya Senja," seru Naura sembari menatap dalam manik mata Surya.
Surya yang mendengar kata-kata yang terlontar dari mulut Naura hanya bisa terdiam dan kemudian tersenyum tipis menatap balik Naura. Surya dengan tiba-tiba mendekatkan wajahnya kearah telinga Naura dan mulai bersua, "Iya Naura, aku akan baik-baik saja," bisik Surya pelan. Pipi putih Naura sedikit merona mendapati Surya yang mendekatinya secara tiba-tiba.
Surya melangkah mundur dengan perlahan, "Dadah nenek sihir Naura … weeee!" ejek Surya sembari meleletkan lidahnya, lelaki itu berbalik arah kemudian kembali berjalan menyusuri jalan setapak menuju gerbang utama Pujakerana, pasukan Pujakerana kembali berbaris dan mengekor dibelakang Surya. Mereka semua akan bertarung bersama Surya sebagai pengalih perhatian di gerbang depan. Sementara Naura hanya bisa tersenyum tipis sembari menatap punggung Surya yang kian menjauh.
Bagas sebagai pimpinan mulai berjalan kearah jalur kedua bersama-sama dengan kelompok yang tersisa. Popeng berjalan didepan sebagai penunjuk arah jalan sedangkan di belakangnya mengekor Naura dan Luna serta putri Karina dan Bagas.
Lika liku hutan pinus kering dengan kabutnya yang lumayan tebal dapat dilalui mereka tanpa halangan yang berarti itu semua berkat pengetahuan Popeng tentang lingkungan sekitar Pujakerana, pada akhirnya mereka semua sampai di sebuah batu besar dengan ukiran kera raksasa yang tepat berada di belakang kerajaan Pujakerana.
"Sekarang apa?" tanya Luna.
Putri Karina melangkah kearah batu besar tersebut dan menyentuh batu tersebut dengan telapak tangan kanannya.
-Bruuuugh-
Secercah cahaya berpendar dari batu tersebut yang kemudian membelah batu itu menjadi dua dan terlihat sebuah lubang dengan tangga menurun menuju kedalam tanah terlihat menganga didepan mereka.
"Tuan Bagas," panggil putri Karina pelan.
"Iya tuan putri?"
"Mari ikuti saya, " seru Karina sembari mengambil obor yang diberikan oleh Popeng disebelahnya.
Putri Karina melangkah masuk kedalam lubang tersebut dengan Bagas, Luna dan Naura yang sekarang mengekor dibelakangnya
Sembari berjalan menyusuri lorong putri Karina bersuara, "sebelum sampai tujuan saya ingin menceritakan sesuatu kepada kalian semua," seru putri Karina.
"Tentang apa?"
"Tentang Gundara."
Kelompok kecil itu sekejap menghentikan langkahnya dan setiap mata menatap kearah putri Karina.
"Saya mengetahui asal usul Gundara dan itu menjadi alasan saya tetap hidup sampai saat ini," jelas Karina.
"Ceritakanlah sembari jalan, kita diburu waktu," Seru Bagas sembari kembali berjalan.
"Baik tuan Bagas … semua ini bermula dari awal terciptanya kerajaan Pujakerana."
100 dasawarsa yang lalu.
Dahulu kala para jin kera hidup secara nomaden, mereka terpisah dan sering berperang antar sesama jin kera, para jin kera juga dianggap mahluk rendahan di dalam hutan, hingga suatu ketika seekor jin kera yang sangat kuat bernama Kerana berinisiatif untuk menyatukan seluruh jin kera agar mereka tidak lagi dianggap remeh oleh jin-jin lain.
Kerana berusaha meyakinkan para ketua jin kera lainnya namun mereka enggan untuk mengikuti langkahnya, hingga suatu ketika Kerana mendatangi seorang petapa sakti mandraguna yang memberikan sebuah tujuan kepada Kerana.
"Potong pohon kematian dan dirikanlah kerajaanmu disana," ujarnya kepada Kerana. Sembari berucap sang petapa memberikan sebuah kapak dengan ukiran mantra sansekerta kuno di batang kayunya. Dengan hanya seorang diri ia menuju ke jantung hutan tempat pohon kematian bersemayam.
Pohon kematian terkenal karena kekejamannya, walaupun hanya sebuah pohon namun ia seakan hidup dan akan menyerang siapapun yang berusaha mendekat dan seketika menyerap energi sukma korbannya hingga habis tak tersisa.
Kerana akhirnya menjalankan petuah sang petapa dan berjalan sampai ketengah hutan dan bertarung dengan pohon kematian hingga titik darah penghabisan, ia menumbangkan pohon tersebut dan mengambil jantung pohon kematian untuk dia bawa sebagai bukti kemenangannya.
Para jin kera lain yang mendengar kisah Kerana mulai mempercayai kekuatan dan keagungan Kerana, hingga mereka akhirnya memuja Kerana bak dewa.
Suatu ketika disaat kerajaan tengah dibangun di tengah hutan datang petapa kehadapan Kerana, Kerana segera bersimpuh dan memberikan jantung pohon kematian dan mengembalikan kapak sakti milik sang petapa kepada beliau. Sang petapa mengambil jantung tersebut dan pergi meninggalkan Kerana.
Kerajaan Pujakerana semakin besar dengan datangnya para jin-jin kera dari berbagai daerah hutan, mereka mulai bergotong royong untuk membangun kerajaan ini semakin digdaya, hingga pada suatu hari sang petapa datang kembali dengan sebuah benda terlilit di pundaknya.
Sang pertapa berucap, "wahai Kerana, simpan senjata ini di kerajaanmu namun jangan pernah sekali-kali engkau gunakan karena hanya akan membawa petaka dikemudian hari," setelah berucap sang petapa menghilang dan tidak pernah kembali lagi.
Nama kerajaan Pujakerana semakin mengaung hingga memunculkan musuh-musuh baru, Kerana yang berusaha memperluas daerah kekuasaanya kesusahan karena kekuatannya yang terbatas, hingga ia melakukan sesuatu yang akan ia sesali seumur hidupnya.
Ia membawa senjata titipan sang petapa ke medan perang dan menggunakannya dengan membabi buta, alhasil Kerana memenangkan pertarungan dan memperluas daerah kekuasaannya dengan mudah hingga suatu hari sang petapa datang kembali kehadapan Kerana dengan penuh amarah.
Sang petapa geram dan menjatuhkan sebuah kutukan kepada dirinya.
"Wahai Kerana … aku mengutukmu … kau hanya bisa memiliki tujuh turunan!! CAMKAN ITU!!" dan sang petapa menghilang tidak pernah menampakkan kembali wujudnya di dimensi ini.
Namun Kerana yang sombong hati tidak terusik dengan kutukan sang petapa dan menganggapnya angin lalu hingga ia menghembuskan nafas terakhirnya di medan perang dengan senjata sang petapa yang menusuk jantungnya.
Karina terus berjalan hingga sampai di ujung lorong bawah tanah tersebut.
"Jadi, apa hubungannya semua cerita itu dan Gundara?" tanya Bagas bingung.
Karina menghentikan langkahnya dan berbalik badan dan menatap Bagas.
"Gundara … dia adalah keturunan kedelapan," ucap Karina dengan tubuh gemetar.
"Tuan putri! Apakah anda baik-baik saja!?" seru Popeng yang langsung memapah tubuh putri Karina.
"Sebaiknya kita beristirahat sebentar sembari menunggu sinyal dari Surya," seru Bagas.
Akhirnya mereka berlima beristirahat sembari mendengarkan kembali cerita tentang Gundara.
"Tuan putri, bagaimana bisa kutukan itu bisa hilang?" tanya Bagas kembali setelah melihat keadaan Karina yang sudah lebih tenang.
"Tidak hilang … namun …" suara Karina terhenti sembari mengepalkan tangannya.
"Namun apa?" tanya Bagas kembali.
"Tersimpan didalam Gundara … dengan kutukan yang menyertai tiap langkahnya," seru Karina.
"Ba-bagaimana bisa?"
"Seperti yang anda tahu kutukan itu tetap ada, bahkan anak dan cucu dari Kerana berusaha mematahkan kutukan tersebut dengan berbagai cara namun hasil yang didapatkan nihil, hingga seratus tahun yang lalu disaat ayahanda saya yang merupakan keturunan ketujuh dari raja Kerana menemukan sebuah cara," terang Karina.
"Cara apa yang digunakan beliau?" tanya Bagas.
"Engh … Alih-alih bertanya kepada ahli mandraguna ia malah bertanya kepada asal kutukan itu … ia bertanya pada senjata yang ditinggalkan sang petapa," seru Karina.
"Senjata itu bisa berbicara?" tanya Naura bingung.
"Iya Naura, biasanya senjata yang memiliki kekuatan seperti itu memiliki penghuni didalamnya," jelas Luna.
"Bi-bisa dibilang seperti itu," seru Karina.
"Lalu apa syarat untuk merubah kutukan tersebut?" tanya Bagas.
"Selama ini … kutukan hanya berlaku untuk istri sah atau ratu … jadi ayahanda saya … mencari gundik diluar lingkungan kerajaan," jelas Karina.
Semuanya terdiam mendengar kata-kata yang keluar dari mulut sang putri.
"Pada akhirnya Gundara lahir dan tidak lama kakak-kakak hamba lahir dari rahim ratu begitu juga saya, untuk mencegah keretakan didalam keluarga kerajaan keberadaan Gundara disembunyikan oleh ayahanda, bahkan ratu tidak mengetahui keberadaan dirinya, hingga sampai suatu titik Gundara berada di salah satu jajaran pasukan dan berhasil menjadi salah satu jendral bersama jendral Arga, bisa dibilang kedekatan mereka sudah seperti saudara dan saya … pada saat itu … jatuh cinta pada Gundara."
#bersambung
"Baiklah semua ayo kita berangkat!" seru Surya penuh semangat dengan tas beruang merah muda di punggungnya. Para prajurit berbaris mengekor di belakang Surya dan perjalanan menuju medan perang pun dimulai
Didalam hutan perbatasan antara desa Raksa dan kerajaan Pujakerana, suara langkah terdengar semakin mendekat ditemani suara gagak-gagak hitam yang bersahut-sahutan diatas dahan pepohonan kering.
Iringan pasukan seadanya dari desa Raksa berjalan sepanjang jalan setapak ditengah lebatnya hutan pohon pinus kering, mereka semua telah berjalan satu jam lamanya tanpa terlihat tanda-tanda kelelahan, karena mereka menyadari bahwa penyerangan kali ini mungkin akan menjadi perjalanan terakhir bagi mereka untuk memperjuangkan kebebasan dari jeratan Gundara.
Surya berjalan didepan dengan bola cahaya berpendar terang menerangi jalan setapak yang membelah hutan sembari bersenandung santai, sedangkan sang ayah berada di belakang barisan untuk berjaga-jaga bila ada jin-jin hitam yang menyerang. Naura dan Luna berjalan ditengah iringan bersamaan dengan putri Karina dan para pasukan dari desa Raksa, beberapa pasukan hanya memakai senjata seadanya dan membawa perlengkapan pelindung yang sangat amat minim.
"Apakah masih jauh perjalanan ini?" tanya Luna memecah keheningan.
Popeng sang jin kera kepercayaan sang putri Karina menoleh kearah Luna dan bersua, "sebentar lagi kita akan sampai di percabangan jalan nona Luna," jelas Popeng kepada Luna.
Benar saja yang dikatakan Popeng, tidak memakan waktu lama di depan iringan itu tampak jalan setapak yang terbelah menjadi dua jalur, satu jalur menuju kearah gerbang utama Pujakerana dan satu lagi menuju jalan setapak yang semakin masuk lebih jauh ke dalam hutan pinus tersebut.
"Sepertinya ini saatnya kita berpisah," seru Surya kepada rekan-rekannya yang lain.
"Apa kau akan baik-baik saja sendirian kesana Surya? Yang kamu hadapi bukan hanya satu atau dua jin hitam tapi ratusan Surya," tanya sang ayah yang cemas.
"Hmm," cuek Surya sembari mengecek kembali perlengkapan di tas beruang teddy merah muda miliknya.
Sang ayah mendekati Surya sembari mengacak-acak pucuk kepala sang anak.
"Isssh … ayah apaan sih, malu tau," jengah Surya sembari menepis telapak tangan sang ayah.
"Iya-iya … enggak ada yang ketinggalankan?" tanya sang ayah.
"Enggak ada, semua sudah lengkap … tenang aja sih yah, asal semua sesuai rencana yang kita semua bicarakan kita pasti bisa melewati semua ini," seru Surya sembari menutup resleting tas beruangnya.
"Ayah tau kamu kuat, tapi kekuatan besar datang bersamaan dengan tanggung jawab yang besar juga, kamu mengerti itu kan?" jelas sang ayah sambil menepuk-nepuk pundak anak lelakinya itu dengan pelan.
"Iya … Surya tahu," gumamnya singkat. Surya melangkah pergi menuju jalan setapak menuju Pujakerana.
"Surya tunggu sebentar!"
Belum lima langkah pemuda itu berjalan pekik seorang gadis berhijab putih berpendar dari arah belakang. Naura berlari kecil menghampiri pemuda bertas beruang teddy tersebut.
"Engh … hati-hati ya disana," pinta Naura pelan.
"Hmfh … iya-iya, aku bakal jaga Senja supaya dia enggak terluka, jadi kamu tenang aj…"
"Yang aku minta hati-hati itu kamu … bukannya Senja," seru Naura sembari menatap dalam manik mata Surya.
Surya yang mendengar kata-kata yang terlontar dari mulut Naura hanya bisa terdiam dan kemudian tersenyum tipis menatap balik Naura. Surya dengan tiba-tiba mendekatkan wajahnya kearah telinga Naura dan mulai bersua, "Iya Naura, aku akan baik-baik saja," bisik Surya pelan. Pipi putih Naura sedikit merona mendapati Surya yang mendekatinya secara tiba-tiba.
Surya melangkah mundur dengan perlahan, "Dadah nenek sihir Naura … weeee!" ejek Surya sembari meleletkan lidahnya, lelaki itu berbalik arah kemudian kembali berjalan menyusuri jalan setapak menuju gerbang utama Pujakerana, pasukan Pujakerana kembali berbaris dan mengekor dibelakang Surya. Mereka semua akan bertarung bersama Surya sebagai pengalih perhatian di gerbang depan. Sementara Naura hanya bisa tersenyum tipis sembari menatap punggung Surya yang kian menjauh.
Bagas sebagai pimpinan mulai berjalan kearah jalur kedua bersama-sama dengan kelompok yang tersisa. Popeng berjalan didepan sebagai penunjuk arah jalan sedangkan di belakangnya mengekor Naura dan Luna serta putri Karina dan Bagas.
Lika liku hutan pinus kering dengan kabutnya yang lumayan tebal dapat dilalui mereka tanpa halangan yang berarti itu semua berkat pengetahuan Popeng tentang lingkungan sekitar Pujakerana, pada akhirnya mereka semua sampai di sebuah batu besar dengan ukiran kera raksasa yang tepat berada di belakang kerajaan Pujakerana.
"Sekarang apa?" tanya Luna.
Putri Karina melangkah kearah batu besar tersebut dan menyentuh batu tersebut dengan telapak tangan kanannya.
-Bruuuugh-
Secercah cahaya berpendar dari batu tersebut yang kemudian membelah batu itu menjadi dua dan terlihat sebuah lubang dengan tangga menurun menuju kedalam tanah terlihat menganga didepan mereka.
"Tuan Bagas," panggil putri Karina pelan.
"Iya tuan putri?"
"Mari ikuti saya, " seru Karina sembari mengambil obor yang diberikan oleh Popeng disebelahnya.
Putri Karina melangkah masuk kedalam lubang tersebut dengan Bagas, Luna dan Naura yang sekarang mengekor dibelakangnya
Sembari berjalan menyusuri lorong putri Karina bersuara, "sebelum sampai tujuan saya ingin menceritakan sesuatu kepada kalian semua," seru putri Karina.
"Tentang apa?"
"Tentang Gundara."
Kelompok kecil itu sekejap menghentikan langkahnya dan setiap mata menatap kearah putri Karina.
"Saya mengetahui asal usul Gundara dan itu menjadi alasan saya tetap hidup sampai saat ini," jelas Karina.
"Ceritakanlah sembari jalan, kita diburu waktu," Seru Bagas sembari kembali berjalan.
"Baik tuan Bagas … semua ini bermula dari awal terciptanya kerajaan Pujakerana."
100 dasawarsa yang lalu.
Dahulu kala para jin kera hidup secara nomaden, mereka terpisah dan sering berperang antar sesama jin kera, para jin kera juga dianggap mahluk rendahan di dalam hutan, hingga suatu ketika seekor jin kera yang sangat kuat bernama Kerana berinisiatif untuk menyatukan seluruh jin kera agar mereka tidak lagi dianggap remeh oleh jin-jin lain.
Kerana berusaha meyakinkan para ketua jin kera lainnya namun mereka enggan untuk mengikuti langkahnya, hingga suatu ketika Kerana mendatangi seorang petapa sakti mandraguna yang memberikan sebuah tujuan kepada Kerana.
"Potong pohon kematian dan dirikanlah kerajaanmu disana," ujarnya kepada Kerana. Sembari berucap sang petapa memberikan sebuah kapak dengan ukiran mantra sansekerta kuno di batang kayunya. Dengan hanya seorang diri ia menuju ke jantung hutan tempat pohon kematian bersemayam.
Pohon kematian terkenal karena kekejamannya, walaupun hanya sebuah pohon namun ia seakan hidup dan akan menyerang siapapun yang berusaha mendekat dan seketika menyerap energi sukma korbannya hingga habis tak tersisa.
Kerana akhirnya menjalankan petuah sang petapa dan berjalan sampai ketengah hutan dan bertarung dengan pohon kematian hingga titik darah penghabisan, ia menumbangkan pohon tersebut dan mengambil jantung pohon kematian untuk dia bawa sebagai bukti kemenangannya.
Para jin kera lain yang mendengar kisah Kerana mulai mempercayai kekuatan dan keagungan Kerana, hingga mereka akhirnya memuja Kerana bak dewa.
Suatu ketika disaat kerajaan tengah dibangun di tengah hutan datang petapa kehadapan Kerana, Kerana segera bersimpuh dan memberikan jantung pohon kematian dan mengembalikan kapak sakti milik sang petapa kepada beliau. Sang petapa mengambil jantung tersebut dan pergi meninggalkan Kerana.
Kerajaan Pujakerana semakin besar dengan datangnya para jin-jin kera dari berbagai daerah hutan, mereka mulai bergotong royong untuk membangun kerajaan ini semakin digdaya, hingga pada suatu hari sang petapa datang kembali dengan sebuah benda terlilit di pundaknya.
Sang pertapa berucap, "wahai Kerana, simpan senjata ini di kerajaanmu namun jangan pernah sekali-kali engkau gunakan karena hanya akan membawa petaka dikemudian hari," setelah berucap sang petapa menghilang dan tidak pernah kembali lagi.
Nama kerajaan Pujakerana semakin mengaung hingga memunculkan musuh-musuh baru, Kerana yang berusaha memperluas daerah kekuasaanya kesusahan karena kekuatannya yang terbatas, hingga ia melakukan sesuatu yang akan ia sesali seumur hidupnya.
Ia membawa senjata titipan sang petapa ke medan perang dan menggunakannya dengan membabi buta, alhasil Kerana memenangkan pertarungan dan memperluas daerah kekuasaannya dengan mudah hingga suatu hari sang petapa datang kembali kehadapan Kerana dengan penuh amarah.
Sang petapa geram dan menjatuhkan sebuah kutukan kepada dirinya.
"Wahai Kerana … aku mengutukmu … kau hanya bisa memiliki tujuh turunan!! CAMKAN ITU!!" dan sang petapa menghilang tidak pernah menampakkan kembali wujudnya di dimensi ini.
Namun Kerana yang sombong hati tidak terusik dengan kutukan sang petapa dan menganggapnya angin lalu hingga ia menghembuskan nafas terakhirnya di medan perang dengan senjata sang petapa yang menusuk jantungnya.
Karina terus berjalan hingga sampai di ujung lorong bawah tanah tersebut.
"Jadi, apa hubungannya semua cerita itu dan Gundara?" tanya Bagas bingung.
Karina menghentikan langkahnya dan berbalik badan dan menatap Bagas.
"Gundara … dia adalah keturunan kedelapan," ucap Karina dengan tubuh gemetar.
"Tuan putri! Apakah anda baik-baik saja!?" seru Popeng yang langsung memapah tubuh putri Karina.
"Sebaiknya kita beristirahat sebentar sembari menunggu sinyal dari Surya," seru Bagas.
Akhirnya mereka berlima beristirahat sembari mendengarkan kembali cerita tentang Gundara.
"Tuan putri, bagaimana bisa kutukan itu bisa hilang?" tanya Bagas kembali setelah melihat keadaan Karina yang sudah lebih tenang.
"Tidak hilang … namun …" suara Karina terhenti sembari mengepalkan tangannya.
"Namun apa?" tanya Bagas kembali.
"Tersimpan didalam Gundara … dengan kutukan yang menyertai tiap langkahnya," seru Karina.
"Ba-bagaimana bisa?"
"Seperti yang anda tahu kutukan itu tetap ada, bahkan anak dan cucu dari Kerana berusaha mematahkan kutukan tersebut dengan berbagai cara namun hasil yang didapatkan nihil, hingga seratus tahun yang lalu disaat ayahanda saya yang merupakan keturunan ketujuh dari raja Kerana menemukan sebuah cara," terang Karina.
"Cara apa yang digunakan beliau?" tanya Bagas.
"Engh … Alih-alih bertanya kepada ahli mandraguna ia malah bertanya kepada asal kutukan itu … ia bertanya pada senjata yang ditinggalkan sang petapa," seru Karina.
"Senjata itu bisa berbicara?" tanya Naura bingung.
"Iya Naura, biasanya senjata yang memiliki kekuatan seperti itu memiliki penghuni didalamnya," jelas Luna.
"Bi-bisa dibilang seperti itu," seru Karina.
"Lalu apa syarat untuk merubah kutukan tersebut?" tanya Bagas.
"Selama ini … kutukan hanya berlaku untuk istri sah atau ratu … jadi ayahanda saya … mencari gundik diluar lingkungan kerajaan," jelas Karina.
Semuanya terdiam mendengar kata-kata yang keluar dari mulut sang putri.
"Pada akhirnya Gundara lahir dan tidak lama kakak-kakak hamba lahir dari rahim ratu begitu juga saya, untuk mencegah keretakan didalam keluarga kerajaan keberadaan Gundara disembunyikan oleh ayahanda, bahkan ratu tidak mengetahui keberadaan dirinya, hingga sampai suatu titik Gundara berada di salah satu jajaran pasukan dan berhasil menjadi salah satu jendral bersama jendral Arga, bisa dibilang kedekatan mereka sudah seperti saudara dan saya … pada saat itu … jatuh cinta pada Gundara."
#bersambung
ariefdias dan 12 lainnya memberi reputasi
13
Kutip
Balas