mahadev4Avatar border
TS
mahadev4
TEROR HANTU DEWI
Cerita ini adalah murni fiksi dan imajinasi saya semata, ini adalah Cerita Horor pertama yang saya buat, maka jika banyak kekurangan disana sini saya mohon maaf dan sangat berharap kritik dan sarannya. Dan Kisah ini saya persembahkan Untuk Novia Evadewi, yang novel horornya sederhana namun begitu mencekam nuansa horornya.

Cerita ini saya beri judul "Teror Hantu Dewi", selamat membaca.

=====================================


Daftar Lengkap serinya :


Prolog

Part 1 Malam Jahanam

Part 2 Penantian Mencekam

Part 3 Geger Mayat Dewi

Part 4 Penguburan Mayat Dewi

Part 5 Teror di Tumah Tua

Part 6 Teror yang Berlanjut

Part 7 Pembalasan Dewi

Part 8 A Hantu Dewi Meneror Lagi

Part 8 B Hantu Dewi Meneror Lagi

Part 9 A Geger di Makam Dewi

Part 9 B Geger di Makam Dewi

Part 9 C Geger di Makam Dewi

Part 9 D Geger di Makam Dewi

Part 10 Menguak Tirai Gelap

Part 11 Keris Kiayi Pancasona

Part 12 Pertarungan Terakhir (Tamat)

=============================

Diubah oleh mahadev4 31-05-2022 10:52
hernawan911
Hedon.is
redrices
redrices dan 37 lainnya memberi reputasi
34
26.5K
192
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
mahadev4Avatar border
TS
mahadev4
#123
TEROR HANTU DEWI - Part 10
Menguak Tirai Gelap
by Deva





Pagi itu, meski langit masih tampak gelap, dan hujan rintik-rintik pun masih terus membasahi Desa Medasari, namun di rumah keluarga Pak Hendarto tampak banyak sekali warga yang berkumpul disana, mereka turut berduka cita atas kematian Nella Ariana, anak pertama keluarga Pak Hendarto yang meninggal semalam karena kecelakaan, pihak Kepolisian pun ada yang berjaga-jaga, ketegangan sangat bisa di rasakan di wajah-wajah penduduknya.

Sebagian penduduk lagi berkumpul di area Pemakaman Desa, selain mereka mempersiapkan lubang kubur untuk Jenazah Nella, saat itu juga banyak masyarakat yang melihat pemeriksaan dua mayat yang di temukan di area Pemakaman yang jasadnya di temukan warga saat hendak menggali lubang kubur untuk Nella.

Beberapa tim Dokter tengah memeriksa mayat tersebut, yang seorang mati dengan jantung seperti bekas tikaman benda tajam, sedang mayat satunya sulit dikenali karena tubuhnya sudah hangus terbakar, sementara di tangannya terdapat sebilah Keris yang tengah di pegang.

Dugaan sementara Polisi dua orang itu sebelumnya saling baku hantam, yang seorang tewas karena tikaman Keris, sedangkan yang satunya lagi tewas karena tersambar petir, kalau pun tak di temukan noda darah di Keris diduga sudah terhapus oleh guyuran hujan deras semalam.

Tidak jauh dari penemuan jasad dua orang itu, berdiri tiga orang pemuda yang turut pula menyaksikan kejadian itu, mereka adalah Bagus, Rusdi dan Prasetyo.

Bagus memperhatikan dua orang Polisi yang tengah berbincang, di tangan salah seorang Polisi memegang sebuah kantung plastik berisi Keris. Tak lama kemudian keris terbungkus plastik itu di masukkan dalam sebuah tas besar, bersama bukti-bukti lain yang di temukan Kepolisian di TKP.

Bagus seperti merapalkan sesuatu, tak lama ia menoleh pada Rusdi dan Prasetyo, “Mulih yok, gak ono opo opo maneh ning kene. (pulang yuk, tak ada apa-apa lagi disini)"

"Lapo Koen mau, Gus? (Ngapain kamu tadi, Gus)" tanya Rusdi.

Setelah jarak mereka agak jauh dari area Pemakaman dengan entengnya Bagus menjawab, "Aku njupuk Keris sing mau di delehno Polisi ning jero tas'e. (aku mengambil keris yang tadi diletakkan Polisi dalam tasnya)"

"Asu!, bodoh koen, Gus, kan kae barang bukti Kepolisian? (anj*ng!, bodohnya kamu ini, Gus, kan itu barang bukti Kepolisian?)" sentak Rusdi.

Prasetyo tak kalah kaget bercampur bingung, bagaimana mungkin Bagus punya Ilmu memindahkan benda seperti itu.

"Aku hanya menolong Bapak Polisi agar tidak celaka."

"Celaka bagaimana, Gus?" tanya Rusdi penasaran.

"Sudahlah, nanti kuceritakan semuanya di rumah Prasetyo," jawab Bagus mengakhiri kata-katanya.

Sesampainya Bagus, Rusdi, dan Prasetyo di rumah, disana tampak juga adiknya Prasetyo tengah berbincang bincang dengan Atikah.

"Mas Pras wis bali to, di tonggoni loh kat mau karo Atikah, ( Mas Pras sudah pulang, di tungguin tuh dari tadi sama Atikah)" kata Rina.

"Atikah? Ada perlu sama Mas?" tanya Prasetyo pada Atikah.

Atikah menggeleng, "Nggak, Mas. Ah kamu ini Rin, becanda aja.."

"Oh ya kenalkan, Gus, Rus, ini Atikah teman sekolah adikku."

Rusdi menjabat tangan Atikah, "Rusdi Afriyanto, saya temannya Prasetyo."

Atikah tersenyum pada Rusdi, lalu giliran Bagus yang mengulurkan tangannya, “Adikmu cantik dan lucu ya, aku turut berduka cita. Oh ya namaku Bagus. Bagus Wicaksana.”

“Atikah Pratiwi,” gadis itu membalas jabatan tangan Bagus dan menyebutkan namanya.

Atikah tak merasa terkejut mendengar kata-kata Bagus, ia malah menyindir balik, “ Pulau Jawa memang banyak memunculkan orang-orang sakti seperti Njenengan, Mas. Tapi bagaimanapun disini Njenengan pendatang, mohon berhati-hati saja.”

(Njenengan adalah kata lain dari Panjenengan yang artinya adalah kamu, lebih halus di banding kata "Sampeyan" atau "Kowe", biasanya digunakan untuk panggilan pada orang yang lebih tua dan di hormati)

Atikah lalu di tarik Rina ke kamarnya.

Di ruang tamu itu kini hanya tinggal mereka bertiga.

“Gus, aku tahu, sejak kedatangan kita kesini, kamu sudah mencium banyak hal yang tidak beres, dan selama disini kamu juga pastinya sudah melihat banyak hal, wis ta lah (Sudahlah) jangan pakai rahasia-rahasia segala. Aku dan Pras mau tahu ada apa sebenarnya yang terjadi di sini?” kata Rusdi, matanya tajam menatap Bagus.

Bagus mengambil sebatang rokok dari kotak rokok yang disodorkan Rusdi, menyalakannya dan menghembuskan asapnya, pandangannya seperti tengah menerawang, ia pun memulai bercerita.

“Kamu ingat, Rus, sewaktu kita turun dari angkot dan mendengarkan cerita tiga orang di warung makan itu, saat itu kufikir Desa ini tengah di teror oleh Hantu berwujud Kuntilanak biasa yang kemunculannya tidak lama setelah, maaf.. kematian tunanganmu Pras, Dewi Anggraini.

Lalu ada desas-desus yang kudengar bahwa Dewi arwahnya gentayangan, menurutku itu tidak sepenuhnya salah, bukankah kamu pernah cerita juga Pras, kalau Shubuh setelah aku telpon kamu malam itu, kamu di datangi tunanganmu itu?"

Prasetyo mengangguk membenarkan perkataan temannya itu.

"Masalahnya adalah, wujud Dewi itu tidak sepenuhnya wujud Dewi, ada wujud Jin jahat lain berwujud Kuntilanak tua yang menyatu dalam wujud Dewi, ini tidak bisa di biarkan karena akan menjadi fitnah buat almarhumah Dewi. Terlebih beberapa orang kudengar mati dengan tidak wajar, diantaranya dua orang preman pasar ini, kuat dugaanku ia memang terkait erat dengan kematian Dewi.

Bahkan bukan mustahil merekalah dua pelaku pembunuhan terhadap Dewi, aku tak berani memastikan ini, Rus, karena kalau ini jelas tugas Kepolisian lah yang harus mengungkapkannya.

Wujud Kuntilanak tua inilah yang masih menjadi misteri bagiku, karena tidak mungkin Jin jahat itu mewujud dan menyatu dengan Dewi kalau tidak ada yang mewujudkannya, pasti ada seorang penganut Ilmu Hitam tingkat tinggi, karena aku sudah berusaha untuk menembusnya namun selalu gagal.

Selanjutnya kalian ingat kan kejadian Shubuh itu, saat aku diserang Jin raksasa yang membawa tongkat, lebih tepatnya tombak, dan Jin-jin itu tidak sendiri, melainkan kulihat ada puluhan dan mengelilingi rumah Pak Hendarto, menjaga dari apa? Apa lagi kalau bukan teror Kuntilanak tua tersebut, dan itu artinya lagi, bahwa salah satu orang yang tinggal disana juga terkait dengan pembunuhan Dewi, ini baru analisaku, biar nanti kepolisian yang menilai lebih akurat.

Terakhir, saat kita di Pemakaman tadi, ada dua mayat disana, yang satu tertikam dijantungnya sedang satunya lagi gosong, menurutku mereka bukan dua orang yang sedang bertarung lalu sama-sama mati, kalau iya ngapain juga mereka memilih kuburan di malam hari, apalagi dengan kondisi hujan lebat semalam, mereka berdua justru bersekutu untuk melawan sesuatu yang akhirnya bisa mengalahkan mereka, sesuatu itu adalah…"

"Kuntilanak tua," Prasetyo menyela.

"Benar, Pras. Oh iya, semalam juga ternyata ada kejadian lain kan, yaitu salah seorang keluarga Pak Hendarto yang mati karena korban tabrak lari. Kamu ingat, Rus, gadis yang kemarin sore itu lewat dan di sapa oleh Pras yang katanya mau ke Kota itu?"

"Iya iya aku ingat sekarang, terus?"

"Nah kalau ini aku tak bisa memastikan. Kemungkinannya ada dua sih, pertama murni kecelakaan, karena kondisi hujan lebat bisa jadi itu penyebabnya, tetapi kemungkinan kedua adalah, ia mati di bunuh Kuntilanak itu karena ia keluar rumah, kalau ia semalam tetap berada di rumah maka ia mungkin akan aman-aman saja, bukankah rumahnya tengah dalam penjagaan puluhan Jin."

"Kalau begitu putrinya Pak Hendarto itu juga ada kaitannya dengan Dewi?" tanya Rusdi.

Prasetyo hanya mendengarkan analisa Bagus sambil berfikir keras.

"Menurutku bukan dia sebenarnya yang diincar sebagai target utama tapi secara tidak langsung ia pun terkait juga, Nah kembali pada dua mayat itu, besar kemungkinan mereka berdua adalah dua orang sakti yang di bayar keluarga Pak Hendarto, untuk memusnahkan Kuntilanak tua tersebut, walau akhirnya kalah.

Jin-jin yang kulihat di rumah Pak Hendarto adalah kiriman salah satu dari mereka.

Jadi itu saja sih yang kutahu sejauh ini."

"Lantas apakah ini semua sudah berakhir?" tanya Rusdi.

"Belum, Rus, kudengar preman itu punya satu orang teman lagi, kalau perkiraanku tidak meleset, akan ada dua orang lagi yang menjadi targetnya.

Pertama anggota keluarga Pak Hendarto, selain gadis itu dan yang kedua, satu lagi teman dari dua preman yang telah lebih dulu mati."

"Nella, putri Pak Hendarto itu punya seorang adik laki-laki yang bernama Agung Bagaskara, apa iya dia terlibat juga dalam pembunuhan Dewi?" tanya Prasetyo.

"Hmm.. Mungkin iya, karena target utama bukan Nella, kalau ia target utama tak mungkin bapaknya mengizinkan Nella pergi ke Kota sore itu untuk menginap dalam keadaan tubuh kosong tanpa penjagaan, sedang rumahnya sendiri full di jaga puluhan Jin," kata Bagus.

"Iya juga sih, Gus, kurasa Agung ini memang terlibat," kata Rusdi.

"Bisa jadi, Rus, Gus, karena selama ini yang kutahu Agung memang bergaul dan dekat dengan ketiga orang itu," terang Prasetyo.

"Kalau begitu berarti semuanya jelas, artinya masih ada dua lagi, yang akan menjadi korbannya," kata Bagus. Ia kembali mengambil sebatang rokok milik Rusdi.

"Terus soal keris, itu kan Barang bukti, Gus?"

"Polisi itu bisa celaka, Keris itu bukan Keris biasa, butuh perawatan khusus.

Rumit ini, Rus, aku gak habis pikir kenapa keris itu bisa berada di Lampung ini, padahal dua Keris lainnya ada padaku."

"Keris yang mana, Gus? tanya Rusdi.

"Keris Kiayi Anggoro Kasih dan Keris Kiayi Halimunan." terang Bagus pada Rusdi.

"Aku gak habis pikir kamu bisa mengambil dari Polisi itu dari jarak jauh, memangnya ada ilmu seperti itu," tanya Prasetyo.

"Mungkin ada, Pras, tapi aku gak punya ilmu seperti itu, aku hanya berdialog dengan penunggu Kerisnya, dan mengatakan kalau dua saudaranya ada padaku, kalau ia mau bertemu saudaranya ya silahkan ikut aku. Aku sendiri tadinya tak yakin keris itu mau ikut tapi nyatanya mau juga."

"Terus Kerisnya mana sekarang, aku mau lihat," kata Rusdi penasaran, ingin membuktikan kebenaran ucapan sahabatnya.

"Di kamar, di dalam tas."

"Lha kan kita sejak sampai tadi belum masuk kamar, tapi langsung duduk disini?" Rusdi bingung.

"Keris itu sendiri yang masuk kedalam tasku, bodoh."

Prasetyo tertawa, "Kalian ini ya dari dulu gak pernah berubah, dua sahabat yang sering berantem, saling caci, tapi kemana-mana selalu berdua."

"Yo ngene Arek Suroboyo, Pras, (beginilah anak Surabaya, pras) kalau sudah akrab terkadang batasan itu mulai samar, saling caci yang kata orang lain terdengar kasar, itu justru bagian dari keakraban. Bukan begitu, Cuk?" kata-kata Bagus yang terakhir tadi di arahkan pada Rusdi.

"Asu!" sungut Rusdi yang di sambut dengan tawa lepas Prasetyo dan Bagus.

========
Diubah oleh mahadev4 22-12-2019 15:40
khuman
axxis2sixx
redrices
redrices dan 17 lainnya memberi reputasi
18