- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
AKHIR PENANTIANKU (JILID IV) [18+] [TRUE STORY]
TS
dissymmon08
AKHIR PENANTIANKU (JILID IV) [18+] [TRUE STORY]
SELAMAT DATANG AGAN SISTA
Halo! 
Gue ucapkan terima kasih yang teramat sangat terhadap dukungan dan apresiasi agan sista untuk tulisan gue di JILID IIIsebelumnya. Setelah merenung dan mencoba membuka kembali memori lama gue, akhirnya gue mendapatkan khilal gue. Sekarang gue udah siap untuk menulis kelanjutannya, yaitu JILID IV!
Kali ini gue masih menceritakan tentang kisah cinta gue, yang pada cerita sebelumnya masih berkutat di Kampus. Gue yang di kisah kali ini sedang mendekati akhir perjuangan di Kampus pun akan menjalani tahap baru, dimana gue akan bertemu dengan dunia kerja dan dunia nyata. Bakalan banyak konflik di diri gue ini, ketika gue yang tengah mencari jati diri ini dihadapkan dengan kenyataan bahwa hidup itu benar-benar penuh lika liku. Saat kita salah memilih jalan, ga ada putar balik, kita harus terus menjalani dan menghadapinya seraya mencari solusi terbaik atas pilihan kita itu. Dan kesabaran menjadi kunci utama segalanya, buat gue.
Masih dengan gaya menulis gue yang penuh strong language, absurd-nya hidup gue, kebodohan gue dalam memilih keputusan, pengalaman hidup lain, dan beberapa kali akan nyempil ++-nya, jadi gue masih ga akan melepas rating 18+ di cerita gue kali ini. Mungkin akan ada beberapa penyesuaian penggunaan bahasa atau panggilan yang gue lakuin di sini, demi kenyamanan bersama. Semoga ga merusak ciri khas gue dalam menulis! Amiiin.
Dan gue berharap semoga agan sista tetap suka dan betah mantengin thread ane ini sampe selesai!
Oh iya, kalau misalnya agan sista belum baca cerita di JILID III atau mau refresh kembali cerita saat itu, monggo mampir ke LINK INI.
Gue ucapkan terima kasih yang teramat sangat terhadap dukungan dan apresiasi agan sista untuk tulisan gue di JILID IIIsebelumnya. Setelah merenung dan mencoba membuka kembali memori lama gue, akhirnya gue mendapatkan khilal gue. Sekarang gue udah siap untuk menulis kelanjutannya, yaitu JILID IV!
Kali ini gue masih menceritakan tentang kisah cinta gue, yang pada cerita sebelumnya masih berkutat di Kampus. Gue yang di kisah kali ini sedang mendekati akhir perjuangan di Kampus pun akan menjalani tahap baru, dimana gue akan bertemu dengan dunia kerja dan dunia nyata. Bakalan banyak konflik di diri gue ini, ketika gue yang tengah mencari jati diri ini dihadapkan dengan kenyataan bahwa hidup itu benar-benar penuh lika liku. Saat kita salah memilih jalan, ga ada putar balik, kita harus terus menjalani dan menghadapinya seraya mencari solusi terbaik atas pilihan kita itu. Dan kesabaran menjadi kunci utama segalanya, buat gue.
Masih dengan gaya menulis gue yang penuh strong language, absurd-nya hidup gue, kebodohan gue dalam memilih keputusan, pengalaman hidup lain, dan beberapa kali akan nyempil ++-nya, jadi gue masih ga akan melepas rating 18+ di cerita gue kali ini. Mungkin akan ada beberapa penyesuaian penggunaan bahasa atau panggilan yang gue lakuin di sini, demi kenyamanan bersama. Semoga ga merusak ciri khas gue dalam menulis! Amiiin.
Dan gue berharap semoga agan sista tetap suka dan betah mantengin thread ane ini sampe selesai!
Oh iya, kalau misalnya agan sista belum baca cerita di JILID III atau mau refresh kembali cerita saat itu, monggo mampir ke LINK INI.
Spoiler for INDEX:
Spoiler for MULUSTRASI:
HT @ STORY
Alhamdulillah berkat supportdari agan sista, thread ane ini jadi HT!
Terima kasih banyak ane ucapin buat agan sista yang udah setia nunggu update-an cerita-cerita ane.
Semoga tulisan ane bisa terus lebih baik dan bisa menyajikan cerita lebih seru buat dibaca agan sista!
Spoiler for PERATURAN:
1. Cerita ini adalah kisah nyata yang terjadi di hidup gue, tapi gue tulisnya ga full100% sama persis dengan kejadian aslinya demi kepentingan privasi.
2. Ikuti peraturan standar H2H ya
3. Agan sista bebas memberikan komentar baik berupa masukan atau kritikan buat gue, tapi hapunten mohon untuk tidak memberikan komentar yang mengandung kebencian terkait dengan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA)
4. Semua nama dan tempat kejadian akan disamarkan untuk kepentingan privasi.
5. Jika agan sista mengetahui nama atau tempat kejadian yang gue ceritain di thread ini, mohon untuk disimpan untuk agan sista aja ya.
6. Thread ini mengandung konten 18+ (dan tidak selalu berasiosiasi dengan dunia lendir ya), mohon agar jadi perhatian agan sista disini untuk lebih bijak ya dalam menyikapinya.
7. Kalau agan sista puas dengan cerita ini, mohon keikhlasannya untuk memberikan
dan 
8. Selamat membaca dan mohon maaf apabila ada salah-salah kata!
2. Ikuti peraturan standar H2H ya
3. Agan sista bebas memberikan komentar baik berupa masukan atau kritikan buat gue, tapi hapunten mohon untuk tidak memberikan komentar yang mengandung kebencian terkait dengan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA)
4. Semua nama dan tempat kejadian akan disamarkan untuk kepentingan privasi.
5. Jika agan sista mengetahui nama atau tempat kejadian yang gue ceritain di thread ini, mohon untuk disimpan untuk agan sista aja ya.
6. Thread ini mengandung konten 18+ (dan tidak selalu berasiosiasi dengan dunia lendir ya), mohon agar jadi perhatian agan sista disini untuk lebih bijak ya dalam menyikapinya.
7. Kalau agan sista puas dengan cerita ini, mohon keikhlasannya untuk memberikan
dan 8. Selamat membaca dan mohon maaf apabila ada salah-salah kata!
Quote:
Original Posted By dissymmon08►
SELAMAT SIANG AGAN SISTA SEMUANYA!
Dengan bangga (ediyaaan) gue mengajak agan sista untuk kembali melanjutkan membaca cerita gue di trit terbaru gue, kelanjutan dari trit ini. Mohon maaf, karena satu dan lain hal gue mesti pindah lapak kesana. Insya Alloh JILID IVini akan ditamatkan di sana dan menjawab segala macam puzzle-puzzle cerita di dalamnya. Semoga agan sista berkenan untuk mampirin kesana ya
Monggo bisa klik link INI atau bisa dicari di 'AKHIR PENANTIANKU (JILID IV _ 2.0)'
Mumpung gue masih ngegarap update untuk di sana, bisa deh agan sista disempetin bentar buat baca-baca Prologue yang udah sempet gue tulis di sana. Sunah sih hukumnya, dibaca ga dosa tapi dibaca insya Alloh bisa nambah gambaran atau pengetahuan
Sebagai penutup, mumpung gue udah sedikit refreshing beberapa hari kemarin, gue kasih lagu yang gue selalu sukaaa banget biar agan sista bisa ikut refreshing abis dengerin lagu ini. Tenang kok, bukan lagu Metal atau Visual Kei. Kali aja agan sista jadi ikutan suka... Lagu dari BRADIO feat. MICRO (from HOME MADE KAZOKU), judulnya SUNDAY. Mumpung hawa-nya udah hawa-hawa liburan, mesti tetep semangat walopun mager melanda!
Monggo bisa klik link INI atau bisa dicari di 'AKHIR PENANTIANKU (JILID IV _ 2.0)'
Mumpung gue masih ngegarap update untuk di sana, bisa deh agan sista disempetin bentar buat baca-baca Prologue yang udah sempet gue tulis di sana. Sunah sih hukumnya, dibaca ga dosa tapi dibaca insya Alloh bisa nambah gambaran atau pengetahuan
Sebagai penutup, mumpung gue udah sedikit refreshing beberapa hari kemarin, gue kasih lagu yang gue selalu sukaaa banget biar agan sista bisa ikut refreshing abis dengerin lagu ini. Tenang kok, bukan lagu Metal atau Visual Kei. Kali aja agan sista jadi ikutan suka... Lagu dari BRADIO feat. MICRO (from HOME MADE KAZOKU), judulnya SUNDAY. Mumpung hawa-nya udah hawa-hawa liburan, mesti tetep semangat walopun mager melanda!
JANGAN LUPA BAHAGIA!
Diubah oleh dissymmon08 30-12-2019 00:57
bukhorigan dan 48 lainnya memberi reputasi
49
131.8K
1.6K
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
dissymmon08
#944
KISAH TENTANG F: INIKAH 'CINTA TERBAIK'? (PART (05)
Jujur, gue ga pernah kepikiran kalau Bang Firzy bakalan ngomong mau serius sama gue. Berkebalikan banget sumpah sama tingkah laku dia akhir-akhir ini. Dia yang pernah ngelarang gue ngehubungin dia, dia yang pernah ngeblokir gue, dan dia juga pernah ngeboongin gue eh mendadak dia bilang malah mau ngenalin diri ke keluarga besar gue karena dia mau seriusin hubungan kami?
Buset.
Apa ada yang gue skip di hidup gue sendiri ini?
Apa sakit hati gue selama ini mimpi?
Apa gue cuman halusinasi doangan pacaran sama Firzy?
Bang Firzy bener-bener nunjukin keseriusan dia. Dia minta gue sms ke bokap dan nyokap gue sesuai rencana yang dia minta. “Terus lu bisa emang balik dari sana tanggal 2 atau 3? Lu mau ambil cuti apa gimana?”
“Gue balik tanggal 4 juga gapapa… Wong tanggal 3 itu Jum’at. Mending hari Sabtu-nya aja. Biar gue bisa istirahat di hari Minggu-nya di rumah.”
“Gapapa cuti lama begitu?”
“Gue ga pernah ngambil cuti gue, stok gue masih 12 bahkan kalo bisa diakumulasiin tiap taun, udah berapa puluh tuh? Hahaha.”
“Yakaliii cuti bisa diakumulasi begitu! Hahaha.”
Bang Firzy ngebuka handphonedia. Dia pun ngehubungin nyokap dia buat ngabarin rencana dia ini. “Mama gue kaget banget ini. Malah nyuruh gue balik dulu buat ngomongin keseriusan gue katanya. Tapi nyokap gue ijinin kok ini…”
Ga lama. Handphone gue bunyi. Di sana ada sms dari bokap dan nyokap gue yang juga kasih ijin rencana Bang Firzy itu. “Hmm. Bokap nyokap gue juga ijinin gue nih kayaknya… Asal ati-ati di jalan. Nanti dijemput di Terminal sana katanya. Jadi ga usah ngelanjutin naik angkutan umum lagi.”
“NAH BAGUUUS! AYO KITA LIBURAN LAGIII!” Bang Firzy meluk gue erat.
Maaf gue langsung luluh saat itu. Apalagi saat Bang Firzy segitu excited-nya setelah itu minta gue ceritain segala hal yang perlu dia tau tentang perjalanan nanti dan bagaimana keluarga besar gue itu. Gue hanya manusia biasa yang mudah goyah hati dan pendiriannya. Soalnya gue berpikir “Masa iya cowo yang ada di hadapan gue ini cuman main-main doangan sama gue?”
Akhirnya malam tahun baru pun tiba. Kami janjian di salah satu malldekat rumah orang tua Bang Firzy soalnya Bang Firzy harus kerja dulu hari itu karena dia mau cuti panjang. Saat semua orang bisa pulang setengah hari, Bang Firzy diminta kerja full seharian untuk memeriksa pekerjaan teman-teman satu timnya.
Dan jalanan udah sangat macet dimana-mana. Efeknya Bang Firzy baru sampe di mall tempat kami janjian pun jam 7 malam. Padahal dia pulang dari jam 4 sore. Udah berasa mau perjalanan Jakarta-Bandung aja segitu lamanya. Hahaha. Untungnya ini malam menjelang taun baru, sampe Subuh pun pasti jalanan rame. Ga ada namanya terlalu malam. Hahaha.
Sesampainya kami di mall, Bang Firzy minta gue milih sendiri tempat makan mana yang gue pengen. Karena di semua tempat makan penuh, akhirnya gue memilih waiting list di Ichiban Sushi saat itu. Soalnya gue lagi ngidam makan sushi banget! Tapi ngidam sama doyan itu beda tipis lho! Hehehe.
Singkat cerita, kami pun akhirnya dapet duduk di Ichiban Sushi. Gue dan Bang Firzy beli 4 macam sushi dan 1 gyoza steamed saat itu. Penuhnya meja makan kami sukses menarik perhatian meja-meja sekitar kami. Hahaha. Tapi Bang Firzy sih wes biyasa sama pesenan gue ini. “Wong pasti abis.” kata Bang Firzy tiap kali ngebayar makanan pesenan kami.
“Gue udah packing di rumah… Bokap sama nyokap kan udah berangkat dua hari yang lalu. Tas gue yang isinya baju udah dibawa duluan. Jadi yang ada di rumah tinggal tas backpack kecil doangan.” kata gue sambil nyelupin sushi gue ke dalam shoyu.
“Gue juga udah packing. Nanti di rumah tinggal mandi dulu. Tapi kayaknya abis dari taun baruan, istirahat di rumah gue dulu aja yak? Sampe siangan gitu. Gapapa kan kita berangkat tengah hari? Toh kita nyampe malem pun tetep ditunggu sama keluarga lu bukan? Kan acaranya tanggal 2-nya.”
“Iyaa sih… Tapi ga ngabisin tenaga lu bolak balik mulu ke rumah lu?”
“Ya daripada kita bawa tas gede ke Monas nanti? Emang yakin ga akan ada copet? Pasti penuh banget lho Monas nanti!”
“Iya juga sih…”
“Eh nyokap sama ade lu ada di rumah?”
“Kenapa mendadak nanya nyokap sama ade gue? Mau ngajakin gue ew* di rumah dulu yak? Boleh. Boleh. Biar seger entar gue mesti bawa motor ke Monas! Hahaha.” bisik Bang Firzy sambil elus-elus selangkangan gue.
Gue nyumpit jari dia dan geletakin jarinya ke atas meja. “Mata lu belum pernah kelilipan sushi kan?” Bang Firzy menggelengkan kepalanya. “MAKANYA JANGAN KELAKUAN!”
“Lha terus ngapain nanyain kalo bukan mau ngajakin hal yang menjurus kepada kenikmatan?”
Bangs*t-nya, gue ngakak sama pertanyaan Bang Firzy itu. “Bukan, maksud gue diajak aja sama kita ke Monas. Biar lebih rame gitu.”
“Naek apaan? Mobil? Mau nyampe tanggal 2 apa tanggal 3?”
“Dih.”
“Macet dimana-mana kali! Apalagi naek mobil. Bisa taun baruan di tengah jalan tol entar!”
“Kasian atuh mereka taun baruan berduaan doangan di rumah?”
“Mereka lagi taun baruan di rumah sodara gue. Santai aja. Kemaren kan dikata gue udah diajak ngomong sama nyokap gue dan akhirnya mereka bilang begitu. Gue udah gede kali, gue udah dibolehin buat jalan-jalan sendiri. Hahaha.”
Kring. Kring. Kring.
Handphone Bang Firzy mendadak bunyi. Awalnya gue pikir itu nyokap atau ade-nya dia. Panjang umur banget kalau lagi diomongin mendadak udah nelpon aja. Karena handphone Bang Firzy disimpen di atas meja, gue dan Bang Firzy bisa ngeliat siapa orang yang nelepon Bang Firzy itu.
“Diemin aja.” Bang Firzy ngelanjutin makan dia.
“Kenapa didiemin? Angkatlah.”
“Ya diemin aja. Ngapain diangkat?”
“Sejauh gue kenal sama lu, tiap kali dia nelpon dan ga lu angkat, dia akan teruuuus nelponin lu sampe bener-bener lu angkat. Jadi, mending lu angkat telepon dia.”
Bang Firzy ambil telepon dia. Dia menatap mata gue tajam. Ekspresi dia antara bete dan ragu, i can’t tell. Tapi karena bener prediksi gue, telepon dari Kak Dee tak kunjung berenti. Sukses bikin mooddan nafsu makan kami rusak. Akhirnya Bang Firzy angkat telepon Kak Dee itu.
Hati gue udah siap untuk kecewa saat itu.
Tapi Bang Firzy, simpen handphone-nya di atas meja dan loudspeaker teleponnya.
“Halo?” kata Kak Dee.
“Iya… Maaf baru keangkat.”
“Gapapa, Zizi. Kamu lagi dimana?”
Bang Firzy nengok ke arah gue. “Lagi makan malem di mall.”
“Sama siapa?”
Bang Firzy keliatan tarik napas dalem-dalem. “Sama Emi… Ini dia ada di samping aku.”
“…” Kak Dee terdiam cukup lama karena jawaban Bang Firzy itu. “Oh… Aku kira sama adik kamu. Ternyata lagi sama Emi toh.”
Gue denger ada nada sedih dan kecewa dari pernyataan Kak Dee itu. “Kenapa?”
“Gapapa.”
“Terus nelpon ada apa? Soalnya aku abis ini mau pergi.”
“Kemana?”
“Ya taun baruan.”
“Biasanya kita video call ya tiap taun baru…”
“To the point aja. Kamu ada apa nelpon aku?”
“Aku pengen cerita kalo ada temen aku yang bikin café di Kota. Mungkin kamu bisa kesana buat mampir. Dia barusan ngabarin aku buat mampir kesana bareng kamu…”
“Apa nama café-nya emang? Nanti aku coba mampirin.”
“Tanpa aku?”
“Emang kamu mau kesini?”
“Ya ga sih, ga dalam waktu dekat.”
“Yaudah, biar aku aja yang liat kesana sendiri atau sama Emi. Kamu emang ngejanjiinnya kita harus kesana bareng?”
“Ya dia mintanya aku kesana bareng kamu.”
“Kalo begitu, ga bisa.”
“Hmm. Yaudah gapapa, Zi.”
“Terus? Ada apa lagi?” Mungkin saat itu ekspresi gue mulai keliatan mau makan orang kali, ga cuman mau makan sushi doangan. Nada bicara Bang Firzy mulai ketus ke Kak Dee.
“Aku cuman mau ngobrol aja kok sama kamu…”
“Ya kalo gitu maaf, aku juga lagi ngobrol sama Emi soalnya. Udahan aja ya kalo gitu.”
“Hmm. Emi ya…” Kembali ada jeda dari Kak Dee. “Yaudah kalo gitu, udahan aja gapapa.”
“Iya.”
“Bye, Zizi. Gonna miss you.”
“Bye.” Bang Firzy nutup teleponnya dan langsung menggenggam tangan gue. “Maafin aku…” bisik dia sambil natap mata gue.
Gue ga membalas omongan dia dan cuman menganggukkan kepala gue. Gue takut nangis kalau gue ngomong saat itu. Entah kenapa bisa denger suara Kak Dee aja dan liat mereka teleponan di depan gue tuh rasanya nyesek banget. Apalagi Kak Dee kayaknya desperate banget sama Bang Firzy, sukses nambah bikin gue ada rasa iba sama dia.
Singkat cerita, kami udah ada di Monas barengan ratusan ribu orang yang mau ngerayain taun baru di sana. Saat itu waktu udah menunjukkan jam 11 malam. Kami parkirin motor Bang Firzy di salah satu rumah penduduk di gang sempit yang lokasinya emang agak jauh dari Monas. Dia merubah teras dan ruang tamu rumah dia jadi parkiran motor saat itu. Lumayan buat nambah incomedi malam taun baru.
Gue dan Bang Firzy jalan kaki ke sekitaran Monas aja, soalnya di Monasnya itu sendiri kayaknya penuh banget orang. Entah kita bisa ga mencapai Monas saat itu. Toh kembang apinya bakalan tetep keliatan dari lokasi kami, jadi kami memutuskan emang ga mendekat ke Monas.
Kring. Kring. Kring.
“Lidya? Ngapain dia nelpon?” Gue angkat telepon Lidya. “Kenapa Lid?”
“Aku tadi liat update Twitterkamu. Kamu lagi di Monas, Mi? Aku juga mau ke Monas lho ini!” kata Lidya dari seberang telepon. Suaranya agak terputus-putus dan banyak suara angin. Gue tebak, dia pasti lagi di atas motor.
“Lu lagi naik motor yak? Terus lu main handphone sepanjang jalan?”
“Bosen, Mi. Macet. Ikhsan juga maen game pas macetnya ga gerak.”
Gue saat denger itu bersyukur banget punya Bang Firzy yang kerjaannya di sekitaran Jakarta. Soalnya jadi tau berbagai macem jalan tikus di Jakarta. Akamsi alias Anak Kampung Sini lah bisa dibilang. Hahaha. Jadi selalu ada solusi kalau harus cari jalan pintas saat macet dimana-mana kayak begini.
“Bahaya anj*rrrr! Lu udah sampe mana ini?”
“Hmm. Sebentar…” Gue ngedenger suara Ikhsan di sana juga. Kayaknya mereka punya ide sama kayak gue dan Bang Firzy. “Kita baru sampe Blok M nih.”
“Oh yaudah, dilanjut dulu aja. Palingan setengah jam lagi sampe di Monas. Nanti ga usah nyampe ke Monasnya, lu cari parkiran agak jauh aja dari Monas yak! Penuh banget soalnya kalo mau ngedeket ke Monas!”
“Oke, Mi… Nanti ketemuan yak!”
“Kalo ketemu yak! Penuh banget orang soalnya. Jangan maksain kalo ga bisa. Oke? Kabarin aja kalo udah sampe. Nanti gue cari ancang-ancang yang jelas…” jelas gue.
“Oke, Mi. Soalnya batre handphone aku sama Ikhsan udah mau abis nih.”
“ABIS??? Acara-nya belum aja mulai, terus batre handphone udah abis??? Terus entar janjian gimana?”
“Gampang, kata Ikhsan mau cari tempat nge-charge dulu.”
Gue kaget sama solusi yang mereka pikirin. Di tempat serame ini? Mereka mau cari tempat nge-charge dan ga bawa powerbank? Hebat banget solusi si Ikhsan ini. Lebih hebatnya lagi si Lidya manut bae pulak! Superrr sekali kalau kata Mario Teguh bilang mah. “Terserah dah. Atur aja. Kabarin ya kalo mau ketemuan.” Gue tutup telepon dengan Lidya.
“Gimana? Udah sampe mana?” tanya Bang Firzy sambil kembali menggandeng tangan gue.
“Baru sampe Blok M.”
Bang Firzy ngeliat jam tangan dia. “20 menit lagi countdown lho. Mereka ga usah maksain kesini mendingan…”
“Biarin aja lah. Mereka yang mau ketemuan sama kita…”
“Gue ga mau ikut bubaran sama orang-orang di sini lho. Gue mau cabut duluan, tepat abis countdown sama kembang api.”
“Yaudah, gampang. Nanti diatur aje…” kata gue sambil milih jajanan yang mau gue beli.
Ga terasa, 5 menit lagi udah mau tepat jam 12 malam. Gue dan Bang Firzy pun jalan melipir lebih mendekat ke arah jalan kami parkir motor. Biar nanti ga bentrok sama pergerakan manusia bubaran abis countdown. Gue berusaha ngehubungin Lidya dan Ikhsan. Gue Whatsapp mereka ga terkirim. Gue sms pun pending. Sumpah, mereka kayaknya belum sampe dan belum nemu tempat buat nge-charge. Parahnya, kedua handphone mereka mati juga nih kayaknya.
“Melipir ke deket lampu merah di sana aja. Nanti tinggal jalan palingan 300 meteran. Jadinya ga terlalu jauh juga…”
“Terus Lidya gimana ya? Kalo mereka nyariin kita gimana?”
“Ya lagian gimana. Bukannya hemat batre, malah ngegampangin bisa nyari tempat buat nge-charge handphone. Sekarang mau janjian gimana? Mereka ada dimana juga ga jelas bukan? Logis dikit kenapa. Jangan egois. Satu maen handphone, satunya lagi ikutan maen game. Sekalinya abis batre jadinya dua-duanya kan. Gobl*g banget, katanya mahasiswa kampus negeri.”
“Hmm. Iya juga sih…”
“Biarin aja, kalau mereka butuh, mereka pasti bakalan ngehubungin kok.” Gue dan Bang Firzy nyari posisi yang cukup aman di pinggir jalan, sebentar lagi mau countdown soalnya.
“LIMAAAA! EMPAAAT! TIGAAA! DUAAA! SATUUU! HAPPY NEW YEAAARRRR!” teriak semua orang di sekitar kami bersamaan. Begitupun dengan kami. Suara terompet, kembang api, dan petasan menggema di seluruh wilayah sekitar kami. Semua orang bersorak sorai dan tepuk tangan sambil menikmati indahnya langit malam itu yang dihiasi warna warni dari kembang api. Begitupun dengan kami.
Bang Firzy merangkul gue dan mendekap gue terus mendekat ke dada dia. “Selamat taun baru sayang…” Dia mencium kening gue dan memeluk gue erat. “Ini pertama kalinya aku taun baru bareng pacar aku di acara kayak begini…” Kami menikmati momen ini sambil bersama dengan orang-orang lainnya. Indah banget.
Gue dan Bang Firzy pun kembali melanjutkan jalan kaki kami menuju parkiran motor. Dan ga berapa lama, mendadak ujan turun dengan derasnya. SUPER DUPER DERAAASSS! Padahal jarak kami ke rumah tempat kami parkir motor tinggal 200 metaran lagi mungkin. Gue dan Bang Firzy auto lari sprint. Kami berasa lagi adu lari cepet. Di sini membuktikan kami berdua emang atlit lari di waktu muda dulu. Hahaha. Tapi ya namanya ngelawan air ujan emang pasti kalah sih. Badan kami tetep basah kuyup walopun secepet apapun kami lari.
“ANJ*NG! BASAH SEMUA! JAM 1 MALEM BEGINI KUYUP BADAN GUE! BANGS*T! TINGGAL SAKITNYA AJA UDAH NIH!” Bang Firzy ngamuk-ngamuk sambil berusaha meres baju dan topi dia yang kebasahan. Begitupun dengan gue. Tapi ngamuk-ngamuknya dia di rumah itu sukses mengundang perhatian dari orang-orang di sekitar kami.
Gue ngebantuin Bang Firzy bersihin baju dan barang-barang kami. “Sekarang lu ngamuk-ngamuk gitu untungnya apaan? Ayo cari solusinya, Nj*ng? Mau lanjut balik apa nunggu sampe reda di sini?” tanya gue. Bang Firzy jongkok di samping motornya pas gue begituin dia.
“Nanti pas agak reda, kita lanjut balik aja. Ujan kayak begini bakalan endless soalnya.” kata Bang Firzy. Gue masangin jaket gue ke dia. Soalnya jaket yang dia bawa lebih tipis daripada jaket gue saat itu. “Ngapain? Lu nanti kedinginan. Kalo gue make dua jaket, lu mau make apaan?”
“Santai aja gue mah. Gue idup di Kampung, gue udah biasa ujan-ujanan begini. Lu punya asma, nanti kedinginan malah bikin lu batuk flu terus getting worst gara-gara asma lu lagi.” Gue make jas ujan yang udah kami bawa.
Kurang lebih 1 jam kami nunggu di rumah itu bareng para penitip motor lainnya sampe ujannya agak reda. Tapi sampe hampir jam setengah tiga pagi, ujannya cuman berkurang dikit tapi ga begitu reda. Kami pun akhirnya memutuskan untuk bablas nerobos ujan. Soalnya takutnya ujannya cuman disekitaran sini doangan, di daerah lain ga ujan.
Tapi ternyata kami salah.
Mendadak ujan makin deres bahkan bikin jalanan makin sulit diliat pas kami udah hampir sampe deket kantornya Bang Firzy. Bang Firzy akhirnya memutuskan untuk mampir dulu ke kantornya. Soalnya mau lanjut ke kosan dia, udah nanggung banget saat itu. Mesti muter jauh lagi.
Dan, ketidakberuntungan lainnya pun terjadi sama kami.
Daerah wilayah kantornya Bang Firzy diportal. Padahal tinggal 3 rumah lagi, kami bisa sampe ke kantornya. Hanya ada satu jalan buat ke portal yang dibuka dan ada penjaganya. Bang Firzy pun minta gue turun dari motor dan jalan duluan ke depan kantornya. Dia biar muter ke portal dulu. Soalnya ga mungkin motornya disimpen di situ.
Gue jalan kaki ujan-ujan sendirian saat itu untuk jalan kaki ke depan kantornya. Gue berdiri ujan-ujanan tepat di depan kantor Bang Firzy yang gelap banget banget. Hampir 10 menit, Bang Firzy ga kunjung dateng. Badan gue udah super duper merinding. Entah dari ujan atau dari apapun yang ada di malam itu.
Ga lama, motor Bang Firzy akhirnya sampe dan kami berdua masuk ke teras kantornya.
“Aku minta tolong bukain ke OB aku dulu ya…” kata Bang Firzy sambil masuk lewat pintu samping. Ga lama OB dan istri-nya pun ngebuka pintu untuk kami. Bang Firzy masukin motornya sampe ke ruang tamu dan kami berdua masuk ke ruangan kerja Bang Firzy.
Bang Firzy ngambil anduk, selimut, dan bantal yang dia simpen di laci meja kerjanya. “Kalo gue lagi lembur dan mager buat balik ke kosan atau rumah, gue nginep di kantor. Ini juga di sini ada kaos sama beberapa baju kerja. Lumayan buat kita. Baju kita kan basah banget ini.
Bang Firzy ngebuka baju dia dan ngeganti bajunya dengan kaos plus celana pendek yang ada. Tapi baju buat gue udah ga ada. Akhirnya gue make kemeja yang dia simpen itu tanpa celana pendek. Soalnya adanya celana panjang dia dan itu bakalan keinjek-injek sama gue. Untungnya daleman kami berdua ga ada yang kebasahan.
Bang Firzy menggelar selimut dan bantal di lantai. Karena semuanya cuman satu, kami harus berbagi keduanya. Gue tidur di lengannya dan meluk dia erat. Sumpah dingin banget. Dilalahnya kami pun serba salah mau make AC saat itu. Make AC kedinginan, ga make AC ruangannya engap banget ditempatin berdua. Akhirnya ya kami make AC tapi tidur sambil pelukan.
Bang Firzy meluk gue erat. Tapi cuman bertahan sebentar, karena mendadak tangannya ngebuka kaitan bra gue dari belakang. “Oh, you must be kidding. Seriously? Jam 4 pagi begini, Zy?” tanya gue sambil ngedorong badan dia. “Mata lu aja beler bangs*t. Terus lu ngajakin begituan jam segini?”
“Bentaaar aja. Celup dua celup aja. Biar seger. Ini sumpah dingin banget! Biar angeeet!” kata Bang Firzy sambil usap-usap selangkangan gue yang saat itu terekspos jelas di hadapannya.
“Masalahnya gue ngantuk.”
“Rockynya belum ngantuk masalahnya.” Bang Firzy ngarahin tangan gue ke ‘batang’ dia.
“DIA MAH EMANG GA PERNAH NGANTUK KAYAKNYA!”
“Psst! Jangan kenceng-kenceng! Buruuu, buka.” Bang Firzy angkat sedikit kemeja yang gue pake dan narik perlahan celana dalam yang gue pake sambil memasukkan tangannya perlahan dengan mengusap-usap perut bagian bawah gue.
Sambil tidur berhadapan, gue mencium dan menjilat leher Bang Firzy. Tapi cukup sadar gue saat itu buat ga ninggalin jejak sama sekali. Nanti gue harus ke rumah kakek coooy! Hahaha. Tangan kiri gue pun bergerilya ke perut dia dan menggapai ‘batang’ dia.
Awalnya gue masih mendengar suara erangan dan desahan dan nafas dia. Sampe tiba-tiba, tangan dia berenti di dalam celana dalam gue sebelum mencapai ‘lubang’ gue. Begitupun rocky yang ‘turun’ seiring dengan berjalannya waktu.
Gue berentiin ciuman gue dan nengok ke arah muka dia. “SI ANJ*NG NGAJAKIN TAPI MALAH MOLOR DULUAN??? BANGS*T AMAT!” Gue ngeluarin tangan dia dari celana dalam gue. “TAPI TANGAN MAH HAYUK WEH ADA DI SEMPAK ORANG!”
Gue rapihin kemeja gue dan tidur di samping dia. “Yak, tidak ada pertarungan satu celup dua celup! DAN MATA GUE SEKARANG SEGER BANGET GARA-GARA SI BANGKEK!”
Buset.
Apa ada yang gue skip di hidup gue sendiri ini?
Apa sakit hati gue selama ini mimpi?
Apa gue cuman halusinasi doangan pacaran sama Firzy?
Bang Firzy bener-bener nunjukin keseriusan dia. Dia minta gue sms ke bokap dan nyokap gue sesuai rencana yang dia minta. “Terus lu bisa emang balik dari sana tanggal 2 atau 3? Lu mau ambil cuti apa gimana?”
“Gue balik tanggal 4 juga gapapa… Wong tanggal 3 itu Jum’at. Mending hari Sabtu-nya aja. Biar gue bisa istirahat di hari Minggu-nya di rumah.”
“Gapapa cuti lama begitu?”
“Gue ga pernah ngambil cuti gue, stok gue masih 12 bahkan kalo bisa diakumulasiin tiap taun, udah berapa puluh tuh? Hahaha.”
“Yakaliii cuti bisa diakumulasi begitu! Hahaha.”
Bang Firzy ngebuka handphonedia. Dia pun ngehubungin nyokap dia buat ngabarin rencana dia ini. “Mama gue kaget banget ini. Malah nyuruh gue balik dulu buat ngomongin keseriusan gue katanya. Tapi nyokap gue ijinin kok ini…”
Ga lama. Handphone gue bunyi. Di sana ada sms dari bokap dan nyokap gue yang juga kasih ijin rencana Bang Firzy itu. “Hmm. Bokap nyokap gue juga ijinin gue nih kayaknya… Asal ati-ati di jalan. Nanti dijemput di Terminal sana katanya. Jadi ga usah ngelanjutin naik angkutan umum lagi.”
“NAH BAGUUUS! AYO KITA LIBURAN LAGIII!” Bang Firzy meluk gue erat.
Maaf gue langsung luluh saat itu. Apalagi saat Bang Firzy segitu excited-nya setelah itu minta gue ceritain segala hal yang perlu dia tau tentang perjalanan nanti dan bagaimana keluarga besar gue itu. Gue hanya manusia biasa yang mudah goyah hati dan pendiriannya. Soalnya gue berpikir “Masa iya cowo yang ada di hadapan gue ini cuman main-main doangan sama gue?”
XOXOXO
Akhirnya malam tahun baru pun tiba. Kami janjian di salah satu malldekat rumah orang tua Bang Firzy soalnya Bang Firzy harus kerja dulu hari itu karena dia mau cuti panjang. Saat semua orang bisa pulang setengah hari, Bang Firzy diminta kerja full seharian untuk memeriksa pekerjaan teman-teman satu timnya.
Dan jalanan udah sangat macet dimana-mana. Efeknya Bang Firzy baru sampe di mall tempat kami janjian pun jam 7 malam. Padahal dia pulang dari jam 4 sore. Udah berasa mau perjalanan Jakarta-Bandung aja segitu lamanya. Hahaha. Untungnya ini malam menjelang taun baru, sampe Subuh pun pasti jalanan rame. Ga ada namanya terlalu malam. Hahaha.
Sesampainya kami di mall, Bang Firzy minta gue milih sendiri tempat makan mana yang gue pengen. Karena di semua tempat makan penuh, akhirnya gue memilih waiting list di Ichiban Sushi saat itu. Soalnya gue lagi ngidam makan sushi banget! Tapi ngidam sama doyan itu beda tipis lho! Hehehe.
Singkat cerita, kami pun akhirnya dapet duduk di Ichiban Sushi. Gue dan Bang Firzy beli 4 macam sushi dan 1 gyoza steamed saat itu. Penuhnya meja makan kami sukses menarik perhatian meja-meja sekitar kami. Hahaha. Tapi Bang Firzy sih wes biyasa sama pesenan gue ini. “Wong pasti abis.” kata Bang Firzy tiap kali ngebayar makanan pesenan kami.
“Gue udah packing di rumah… Bokap sama nyokap kan udah berangkat dua hari yang lalu. Tas gue yang isinya baju udah dibawa duluan. Jadi yang ada di rumah tinggal tas backpack kecil doangan.” kata gue sambil nyelupin sushi gue ke dalam shoyu.
“Gue juga udah packing. Nanti di rumah tinggal mandi dulu. Tapi kayaknya abis dari taun baruan, istirahat di rumah gue dulu aja yak? Sampe siangan gitu. Gapapa kan kita berangkat tengah hari? Toh kita nyampe malem pun tetep ditunggu sama keluarga lu bukan? Kan acaranya tanggal 2-nya.”
“Iyaa sih… Tapi ga ngabisin tenaga lu bolak balik mulu ke rumah lu?”
“Ya daripada kita bawa tas gede ke Monas nanti? Emang yakin ga akan ada copet? Pasti penuh banget lho Monas nanti!”
“Iya juga sih…”
“Eh nyokap sama ade lu ada di rumah?”
“Kenapa mendadak nanya nyokap sama ade gue? Mau ngajakin gue ew* di rumah dulu yak? Boleh. Boleh. Biar seger entar gue mesti bawa motor ke Monas! Hahaha.” bisik Bang Firzy sambil elus-elus selangkangan gue.
Gue nyumpit jari dia dan geletakin jarinya ke atas meja. “Mata lu belum pernah kelilipan sushi kan?” Bang Firzy menggelengkan kepalanya. “MAKANYA JANGAN KELAKUAN!”
“Lha terus ngapain nanyain kalo bukan mau ngajakin hal yang menjurus kepada kenikmatan?”
Bangs*t-nya, gue ngakak sama pertanyaan Bang Firzy itu. “Bukan, maksud gue diajak aja sama kita ke Monas. Biar lebih rame gitu.”
“Naek apaan? Mobil? Mau nyampe tanggal 2 apa tanggal 3?”
“Dih.”
“Macet dimana-mana kali! Apalagi naek mobil. Bisa taun baruan di tengah jalan tol entar!”
“Kasian atuh mereka taun baruan berduaan doangan di rumah?”
“Mereka lagi taun baruan di rumah sodara gue. Santai aja. Kemaren kan dikata gue udah diajak ngomong sama nyokap gue dan akhirnya mereka bilang begitu. Gue udah gede kali, gue udah dibolehin buat jalan-jalan sendiri. Hahaha.”
Kring. Kring. Kring.
Handphone Bang Firzy mendadak bunyi. Awalnya gue pikir itu nyokap atau ade-nya dia. Panjang umur banget kalau lagi diomongin mendadak udah nelpon aja. Karena handphone Bang Firzy disimpen di atas meja, gue dan Bang Firzy bisa ngeliat siapa orang yang nelepon Bang Firzy itu.
Quote:
“Diemin aja.” Bang Firzy ngelanjutin makan dia.
“Kenapa didiemin? Angkatlah.”
“Ya diemin aja. Ngapain diangkat?”
“Sejauh gue kenal sama lu, tiap kali dia nelpon dan ga lu angkat, dia akan teruuuus nelponin lu sampe bener-bener lu angkat. Jadi, mending lu angkat telepon dia.”
Bang Firzy ambil telepon dia. Dia menatap mata gue tajam. Ekspresi dia antara bete dan ragu, i can’t tell. Tapi karena bener prediksi gue, telepon dari Kak Dee tak kunjung berenti. Sukses bikin mooddan nafsu makan kami rusak. Akhirnya Bang Firzy angkat telepon Kak Dee itu.
Hati gue udah siap untuk kecewa saat itu.
Tapi Bang Firzy, simpen handphone-nya di atas meja dan loudspeaker teleponnya.
“Halo?” kata Kak Dee.
“Iya… Maaf baru keangkat.”
“Gapapa, Zizi. Kamu lagi dimana?”
Bang Firzy nengok ke arah gue. “Lagi makan malem di mall.”
“Sama siapa?”
Bang Firzy keliatan tarik napas dalem-dalem. “Sama Emi… Ini dia ada di samping aku.”
“…” Kak Dee terdiam cukup lama karena jawaban Bang Firzy itu. “Oh… Aku kira sama adik kamu. Ternyata lagi sama Emi toh.”
Gue denger ada nada sedih dan kecewa dari pernyataan Kak Dee itu. “Kenapa?”
“Gapapa.”
“Terus nelpon ada apa? Soalnya aku abis ini mau pergi.”
“Kemana?”
“Ya taun baruan.”
“Biasanya kita video call ya tiap taun baru…”
“To the point aja. Kamu ada apa nelpon aku?”
“Aku pengen cerita kalo ada temen aku yang bikin café di Kota. Mungkin kamu bisa kesana buat mampir. Dia barusan ngabarin aku buat mampir kesana bareng kamu…”
“Apa nama café-nya emang? Nanti aku coba mampirin.”
“Tanpa aku?”
“Emang kamu mau kesini?”
“Ya ga sih, ga dalam waktu dekat.”
“Yaudah, biar aku aja yang liat kesana sendiri atau sama Emi. Kamu emang ngejanjiinnya kita harus kesana bareng?”
“Ya dia mintanya aku kesana bareng kamu.”
“Kalo begitu, ga bisa.”
“Hmm. Yaudah gapapa, Zi.”
“Terus? Ada apa lagi?” Mungkin saat itu ekspresi gue mulai keliatan mau makan orang kali, ga cuman mau makan sushi doangan. Nada bicara Bang Firzy mulai ketus ke Kak Dee.
“Aku cuman mau ngobrol aja kok sama kamu…”
“Ya kalo gitu maaf, aku juga lagi ngobrol sama Emi soalnya. Udahan aja ya kalo gitu.”
“Hmm. Emi ya…” Kembali ada jeda dari Kak Dee. “Yaudah kalo gitu, udahan aja gapapa.”
“Iya.”
“Bye, Zizi. Gonna miss you.”
“Bye.” Bang Firzy nutup teleponnya dan langsung menggenggam tangan gue. “Maafin aku…” bisik dia sambil natap mata gue.
Gue ga membalas omongan dia dan cuman menganggukkan kepala gue. Gue takut nangis kalau gue ngomong saat itu. Entah kenapa bisa denger suara Kak Dee aja dan liat mereka teleponan di depan gue tuh rasanya nyesek banget. Apalagi Kak Dee kayaknya desperate banget sama Bang Firzy, sukses nambah bikin gue ada rasa iba sama dia.
XOXOXO
Singkat cerita, kami udah ada di Monas barengan ratusan ribu orang yang mau ngerayain taun baru di sana. Saat itu waktu udah menunjukkan jam 11 malam. Kami parkirin motor Bang Firzy di salah satu rumah penduduk di gang sempit yang lokasinya emang agak jauh dari Monas. Dia merubah teras dan ruang tamu rumah dia jadi parkiran motor saat itu. Lumayan buat nambah incomedi malam taun baru.
Gue dan Bang Firzy jalan kaki ke sekitaran Monas aja, soalnya di Monasnya itu sendiri kayaknya penuh banget orang. Entah kita bisa ga mencapai Monas saat itu. Toh kembang apinya bakalan tetep keliatan dari lokasi kami, jadi kami memutuskan emang ga mendekat ke Monas.
Kring. Kring. Kring.
Quote:
“Lidya? Ngapain dia nelpon?” Gue angkat telepon Lidya. “Kenapa Lid?”
“Aku tadi liat update Twitterkamu. Kamu lagi di Monas, Mi? Aku juga mau ke Monas lho ini!” kata Lidya dari seberang telepon. Suaranya agak terputus-putus dan banyak suara angin. Gue tebak, dia pasti lagi di atas motor.
“Lu lagi naik motor yak? Terus lu main handphone sepanjang jalan?”
“Bosen, Mi. Macet. Ikhsan juga maen game pas macetnya ga gerak.”
Gue saat denger itu bersyukur banget punya Bang Firzy yang kerjaannya di sekitaran Jakarta. Soalnya jadi tau berbagai macem jalan tikus di Jakarta. Akamsi alias Anak Kampung Sini lah bisa dibilang. Hahaha. Jadi selalu ada solusi kalau harus cari jalan pintas saat macet dimana-mana kayak begini.
“Bahaya anj*rrrr! Lu udah sampe mana ini?”
“Hmm. Sebentar…” Gue ngedenger suara Ikhsan di sana juga. Kayaknya mereka punya ide sama kayak gue dan Bang Firzy. “Kita baru sampe Blok M nih.”
“Oh yaudah, dilanjut dulu aja. Palingan setengah jam lagi sampe di Monas. Nanti ga usah nyampe ke Monasnya, lu cari parkiran agak jauh aja dari Monas yak! Penuh banget soalnya kalo mau ngedeket ke Monas!”
“Oke, Mi… Nanti ketemuan yak!”
“Kalo ketemu yak! Penuh banget orang soalnya. Jangan maksain kalo ga bisa. Oke? Kabarin aja kalo udah sampe. Nanti gue cari ancang-ancang yang jelas…” jelas gue.
“Oke, Mi. Soalnya batre handphone aku sama Ikhsan udah mau abis nih.”
“ABIS??? Acara-nya belum aja mulai, terus batre handphone udah abis??? Terus entar janjian gimana?”
“Gampang, kata Ikhsan mau cari tempat nge-charge dulu.”
Gue kaget sama solusi yang mereka pikirin. Di tempat serame ini? Mereka mau cari tempat nge-charge dan ga bawa powerbank? Hebat banget solusi si Ikhsan ini. Lebih hebatnya lagi si Lidya manut bae pulak! Superrr sekali kalau kata Mario Teguh bilang mah. “Terserah dah. Atur aja. Kabarin ya kalo mau ketemuan.” Gue tutup telepon dengan Lidya.
“Gimana? Udah sampe mana?” tanya Bang Firzy sambil kembali menggandeng tangan gue.
“Baru sampe Blok M.”
Bang Firzy ngeliat jam tangan dia. “20 menit lagi countdown lho. Mereka ga usah maksain kesini mendingan…”
“Biarin aja lah. Mereka yang mau ketemuan sama kita…”
“Gue ga mau ikut bubaran sama orang-orang di sini lho. Gue mau cabut duluan, tepat abis countdown sama kembang api.”
“Yaudah, gampang. Nanti diatur aje…” kata gue sambil milih jajanan yang mau gue beli.
Ga terasa, 5 menit lagi udah mau tepat jam 12 malam. Gue dan Bang Firzy pun jalan melipir lebih mendekat ke arah jalan kami parkir motor. Biar nanti ga bentrok sama pergerakan manusia bubaran abis countdown. Gue berusaha ngehubungin Lidya dan Ikhsan. Gue Whatsapp mereka ga terkirim. Gue sms pun pending. Sumpah, mereka kayaknya belum sampe dan belum nemu tempat buat nge-charge. Parahnya, kedua handphone mereka mati juga nih kayaknya.
“Melipir ke deket lampu merah di sana aja. Nanti tinggal jalan palingan 300 meteran. Jadinya ga terlalu jauh juga…”
“Terus Lidya gimana ya? Kalo mereka nyariin kita gimana?”
“Ya lagian gimana. Bukannya hemat batre, malah ngegampangin bisa nyari tempat buat nge-charge handphone. Sekarang mau janjian gimana? Mereka ada dimana juga ga jelas bukan? Logis dikit kenapa. Jangan egois. Satu maen handphone, satunya lagi ikutan maen game. Sekalinya abis batre jadinya dua-duanya kan. Gobl*g banget, katanya mahasiswa kampus negeri.”
“Hmm. Iya juga sih…”
“Biarin aja, kalau mereka butuh, mereka pasti bakalan ngehubungin kok.” Gue dan Bang Firzy nyari posisi yang cukup aman di pinggir jalan, sebentar lagi mau countdown soalnya.
“LIMAAAA! EMPAAAT! TIGAAA! DUAAA! SATUUU! HAPPY NEW YEAAARRRR!” teriak semua orang di sekitar kami bersamaan. Begitupun dengan kami. Suara terompet, kembang api, dan petasan menggema di seluruh wilayah sekitar kami. Semua orang bersorak sorai dan tepuk tangan sambil menikmati indahnya langit malam itu yang dihiasi warna warni dari kembang api. Begitupun dengan kami.
Bang Firzy merangkul gue dan mendekap gue terus mendekat ke dada dia. “Selamat taun baru sayang…” Dia mencium kening gue dan memeluk gue erat. “Ini pertama kalinya aku taun baru bareng pacar aku di acara kayak begini…” Kami menikmati momen ini sambil bersama dengan orang-orang lainnya. Indah banget.
Gue dan Bang Firzy pun kembali melanjutkan jalan kaki kami menuju parkiran motor. Dan ga berapa lama, mendadak ujan turun dengan derasnya. SUPER DUPER DERAAASSS! Padahal jarak kami ke rumah tempat kami parkir motor tinggal 200 metaran lagi mungkin. Gue dan Bang Firzy auto lari sprint. Kami berasa lagi adu lari cepet. Di sini membuktikan kami berdua emang atlit lari di waktu muda dulu. Hahaha. Tapi ya namanya ngelawan air ujan emang pasti kalah sih. Badan kami tetep basah kuyup walopun secepet apapun kami lari.
“ANJ*NG! BASAH SEMUA! JAM 1 MALEM BEGINI KUYUP BADAN GUE! BANGS*T! TINGGAL SAKITNYA AJA UDAH NIH!” Bang Firzy ngamuk-ngamuk sambil berusaha meres baju dan topi dia yang kebasahan. Begitupun dengan gue. Tapi ngamuk-ngamuknya dia di rumah itu sukses mengundang perhatian dari orang-orang di sekitar kami.
Gue ngebantuin Bang Firzy bersihin baju dan barang-barang kami. “Sekarang lu ngamuk-ngamuk gitu untungnya apaan? Ayo cari solusinya, Nj*ng? Mau lanjut balik apa nunggu sampe reda di sini?” tanya gue. Bang Firzy jongkok di samping motornya pas gue begituin dia.
“Nanti pas agak reda, kita lanjut balik aja. Ujan kayak begini bakalan endless soalnya.” kata Bang Firzy. Gue masangin jaket gue ke dia. Soalnya jaket yang dia bawa lebih tipis daripada jaket gue saat itu. “Ngapain? Lu nanti kedinginan. Kalo gue make dua jaket, lu mau make apaan?”
“Santai aja gue mah. Gue idup di Kampung, gue udah biasa ujan-ujanan begini. Lu punya asma, nanti kedinginan malah bikin lu batuk flu terus getting worst gara-gara asma lu lagi.” Gue make jas ujan yang udah kami bawa.
Kurang lebih 1 jam kami nunggu di rumah itu bareng para penitip motor lainnya sampe ujannya agak reda. Tapi sampe hampir jam setengah tiga pagi, ujannya cuman berkurang dikit tapi ga begitu reda. Kami pun akhirnya memutuskan untuk bablas nerobos ujan. Soalnya takutnya ujannya cuman disekitaran sini doangan, di daerah lain ga ujan.
Tapi ternyata kami salah.
Mendadak ujan makin deres bahkan bikin jalanan makin sulit diliat pas kami udah hampir sampe deket kantornya Bang Firzy. Bang Firzy akhirnya memutuskan untuk mampir dulu ke kantornya. Soalnya mau lanjut ke kosan dia, udah nanggung banget saat itu. Mesti muter jauh lagi.
Dan, ketidakberuntungan lainnya pun terjadi sama kami.
Daerah wilayah kantornya Bang Firzy diportal. Padahal tinggal 3 rumah lagi, kami bisa sampe ke kantornya. Hanya ada satu jalan buat ke portal yang dibuka dan ada penjaganya. Bang Firzy pun minta gue turun dari motor dan jalan duluan ke depan kantornya. Dia biar muter ke portal dulu. Soalnya ga mungkin motornya disimpen di situ.
Gue jalan kaki ujan-ujan sendirian saat itu untuk jalan kaki ke depan kantornya. Gue berdiri ujan-ujanan tepat di depan kantor Bang Firzy yang gelap banget banget. Hampir 10 menit, Bang Firzy ga kunjung dateng. Badan gue udah super duper merinding. Entah dari ujan atau dari apapun yang ada di malam itu.
Ga lama, motor Bang Firzy akhirnya sampe dan kami berdua masuk ke teras kantornya.
“Aku minta tolong bukain ke OB aku dulu ya…” kata Bang Firzy sambil masuk lewat pintu samping. Ga lama OB dan istri-nya pun ngebuka pintu untuk kami. Bang Firzy masukin motornya sampe ke ruang tamu dan kami berdua masuk ke ruangan kerja Bang Firzy.
Bang Firzy ngambil anduk, selimut, dan bantal yang dia simpen di laci meja kerjanya. “Kalo gue lagi lembur dan mager buat balik ke kosan atau rumah, gue nginep di kantor. Ini juga di sini ada kaos sama beberapa baju kerja. Lumayan buat kita. Baju kita kan basah banget ini.
Bang Firzy ngebuka baju dia dan ngeganti bajunya dengan kaos plus celana pendek yang ada. Tapi baju buat gue udah ga ada. Akhirnya gue make kemeja yang dia simpen itu tanpa celana pendek. Soalnya adanya celana panjang dia dan itu bakalan keinjek-injek sama gue. Untungnya daleman kami berdua ga ada yang kebasahan.
Bang Firzy menggelar selimut dan bantal di lantai. Karena semuanya cuman satu, kami harus berbagi keduanya. Gue tidur di lengannya dan meluk dia erat. Sumpah dingin banget. Dilalahnya kami pun serba salah mau make AC saat itu. Make AC kedinginan, ga make AC ruangannya engap banget ditempatin berdua. Akhirnya ya kami make AC tapi tidur sambil pelukan.
Bang Firzy meluk gue erat. Tapi cuman bertahan sebentar, karena mendadak tangannya ngebuka kaitan bra gue dari belakang. “Oh, you must be kidding. Seriously? Jam 4 pagi begini, Zy?” tanya gue sambil ngedorong badan dia. “Mata lu aja beler bangs*t. Terus lu ngajakin begituan jam segini?”
“Bentaaar aja. Celup dua celup aja. Biar seger. Ini sumpah dingin banget! Biar angeeet!” kata Bang Firzy sambil usap-usap selangkangan gue yang saat itu terekspos jelas di hadapannya.
“Masalahnya gue ngantuk.”
“Rockynya belum ngantuk masalahnya.” Bang Firzy ngarahin tangan gue ke ‘batang’ dia.
“DIA MAH EMANG GA PERNAH NGANTUK KAYAKNYA!”
“Psst! Jangan kenceng-kenceng! Buruuu, buka.” Bang Firzy angkat sedikit kemeja yang gue pake dan narik perlahan celana dalam yang gue pake sambil memasukkan tangannya perlahan dengan mengusap-usap perut bagian bawah gue.
Sambil tidur berhadapan, gue mencium dan menjilat leher Bang Firzy. Tapi cukup sadar gue saat itu buat ga ninggalin jejak sama sekali. Nanti gue harus ke rumah kakek coooy! Hahaha. Tangan kiri gue pun bergerilya ke perut dia dan menggapai ‘batang’ dia.
Awalnya gue masih mendengar suara erangan dan desahan dan nafas dia. Sampe tiba-tiba, tangan dia berenti di dalam celana dalam gue sebelum mencapai ‘lubang’ gue. Begitupun rocky yang ‘turun’ seiring dengan berjalannya waktu.
Gue berentiin ciuman gue dan nengok ke arah muka dia. “SI ANJ*NG NGAJAKIN TAPI MALAH MOLOR DULUAN??? BANGS*T AMAT!” Gue ngeluarin tangan dia dari celana dalam gue. “TAPI TANGAN MAH HAYUK WEH ADA DI SEMPAK ORANG!”
Gue rapihin kemeja gue dan tidur di samping dia. “Yak, tidak ada pertarungan satu celup dua celup! DAN MATA GUE SEKARANG SEGER BANGET GARA-GARA SI BANGKEK!”
Diubah oleh dissymmon08 17-12-2019 18:55
DayatMadridista dan 30 lainnya memberi reputasi
31
Tutup