greynimationAvatar border
TS
greynimation
KEMANA PUN ANGIN BERHEMBUS


Ke mana pun angin berhembus menuntun
langkahku
Memahat takdir hidupku di sini

Masih tertinggal wangi yang sempat engkau
titipkan
Mengharumi kisah hidupku kini


Meski kuterbang jauh, melintasi sang waktu
Ke mana pun angin berhembus, ku pasti akan
kembali


Kulukiskan indah wajahmu di hamparan awan
Biar tak jemu kupandangi selalu
Kubiarkan semua cintamu membius jiwaku
Yang memaksaku merindukan dirimu

Meski langit memikatku dengan sejuta senyum
Aku takkan tergoyahkan, aku pasti akan kembali


Meski kuterbang jauh melintasi sang waktu
Ke mana pun angin berhembus, ku pasti akan
kembali

Meski langit memikatku dengan sejuta senyum
Ke mana pun angin berhembus, ku pasti akan
kembali



-------------------------¤¤¤-------------------------



Seberapa lama cinta mampu membuatmu menunggu setelah semua ini usai?

Diubah oleh greynimation 20-11-2019 15:31
khodzimzz
jackms20
elbe94
elbe94 dan 4 lainnya memberi reputasi
5
127.9K
1.2K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
greynimationAvatar border
TS
greynimation
#1184
Keluarga
Musik instrumen mengalun pelan dari sudut-sudut ruangan restoran. Lukisan-lukisan dengan tema alam taergantung rapi didinding sebelah kiri dekat dengan jejeran lampu antik yang entah bagaimana membangkitkan nuansa nostalgia. Pajangan berupa satu set wayang dan gamelan yang tak bisa kusebutkan satu persatu nama tokohnya itu tersusun rapi disalah satu sudut ruangan berwarna coklat yang kental sekali dengan nuansa jawa-nya ini. Tapi yang paling menarik perhatianku adalah foto hitam putih yang dicetak cukup besar didekat meja resepsionis. Salah satunya adalah potret sekelompok anak kecil yang sedang bermain engklek, raut riang tergambar jelas diwajah mereka membuat siapapun tertular bahagianya.

Tak banyak meja yang terisi kali ini padahal menutrut Wulan, restoran ini adalah salah satu restoran keluarga yang paling populer dikota kecil kami. Letaknya yang sedikit mengarah kepinggiran dan bersisian dengan hutan jati disebelah kanan dan hamparan sawah yang lumayan luas dibagian belakang adalah tempat terbaik bagi siapapun yang ingin melarikan dari penatnya aktivitas tanpa harus jauh-jauh keluar kota.

Sejak aku datang lima belas menit yang lalu meja kami memang sudah ramai, bahkan sekarang hanya urusan pilih-pilih makanan dimenu pun mereka bisa sedemikian semangat. Aku tak terbiasa makan bersama keluarga, apalagi seramai ini. Dirumah kami tidak ada aturan yang mengharuskan siapapun untuk menunggu yang lain untuk menikmati apapun yang ada dibalik tudung saji, siapa lapar duluan ya silahkan makan duluan. Walaupun entah bagaimana aku dan emak bisa makan beesama, kami tak akan mengeluarkan kata-kata barang sedikitpun. “Habiskan dulu nasimu Ndra, pantang berbicara kalau sedang makan”, begitu yang selalu dikatakan emak ketika aku mulai mengajaknya ngobrol atau bahkan hanya mengomentari tayangan di televisi. Acara makan kami selalu sunyi.

Ada delapan orang termasuk seorang balita yang membuat suasana sejak tadi riuh rendah. Aku yang sejak awal memposisikan diri sebagai pengamat luar hanya bisa tersenyum melihat bagaimana pria yang biasanya selalu tampil cooldan bersuara bariton itu nampak kewalahan menghadapi cucu satu-satunya yang ingin menarik-narik kumis yang lumayan lebat dibawah hidungnya, aku tak tahu apa yang menarik dari benda yang seperti sikat kamar mandi itu. Dan yang lebih aku tak tahu lagi, ternyata pria penuh wibawa itu bisa bertingkah konyol seperti sekarang ini.

“Lan, kamu aja yang milih.”
Aku menyerahkan buku menu yang sejak tadi kubolak-balik .

“Yakin?”

“Iya.”

“Yang ini enak loh bang, dulu pertama-tama kali kesini aku selalu pesan ini. Mau?” Sambil mendekatkan buku menu kearahku. Aku hanya mengangguk.

Sungguh aku bukannya tak tahu apa yang kumau dari sekian banyak deretan menu itu, walaupun tanpa gambar apapun aku bisa membayangkan bagaimana menggodanya tampilan makanan yang sekarang hanya berupa urutan kata-kata itu bila dihidangkan dihadapanku, bahkan aku sudah bisa mencium aromanya hanya dengan membacanya saja! Sungguh menggoda sekali. Tapi semua fantasiku langsung luruh ketika aku melihat deretan angka disebelahnya, semua imajinasiku langsung hambar melihat bagaimana harga sebuah hidangan sama dengan seminggu mengepel lantai kantin setiap pagi. Seandainya saja harganya tak lebih mahal dari mie aceh paket spesial, pasti akan lebih menyenangkan.

“Cieee, mesra banget?.”
Mbak Novi nyeletuk dari seberang meja.

“Apaan sih?.”
Wulan manyun dan aku memasang senyum template yang sejak tadi sudah kusetting default.

“Jadi rindu suami kalau begini.”
“Seandainya aja Andre gak lagi tugas.”
Mbak Ika ikutan menggoda kami berdua. Semua orang tertawa kecuali aku yang tak lagi cukup dengan senyum template dan berganti dengan cengiran kuda.

“Sudah lama kenal Wulan, Fi?”
Mas Hanif yang sudah empat tahun terakhir menjadi abang ipar untuk Wulan, pria mandailing dengan perawakan kurus dan garis wajah seperti orang arab walaupun sama sekali tidak punya darah timur tengah mengalir dinadinya.

“Belum bang, baru kenal pas SMA.”

“Kalo pacarannya mulai kapan? PDKT-nya susah gak?.”
Puk, sehelai serbet mendarat mulus diwajah Mas Hanif.

“Mulai rese deh, mas-mas arab KW. Dibilangin gak ada pacaran juga.” Wulan memasang wajah manyun sambil menimang-nimang sendok garpu. “Awas kalo rese lagi, aku lempar pake ini.” Kali ini dia mengangkat sendok garpunya lebih tinggi. Sadis.

“Hahaha, malah tuan putri nya yang marah. Aku ngobrolnya sama Alfi kok, ya gak Fi?.”
Lagi-lagi aku hanya bisa nyengir kuda.

“Udah-udah jangan digangguin terus , kasian Alfi nya loh.”
Kali ini giliran Bundanya yang berbicara.
“Wulannya juga udah gede, mau pacaran juga gak masalah. Ya kan Yah?.”

Semua orang seperti terkomando untuk mengalihkan pandangan kepada sang kepala suku yang sejak tadi asik bermain dengan balita dipangkuannya.

“Pacaran? Jangan dulu lah, nanti aja itu kalo udah besar sikit si Wulan ini.”

“Ish, aku udah besar ayah. Udah S M A.”
Wulan sedikit tak terima disebut masih kecil.

“Apa pulak udah besar, tidur sendirian kalo mati lampu aja masih takut. Gitu katanya udah besar?.”
Semua tertawa, termasuk aku yang sejak percakapan ini dimulai hanya cengengesan.

“Ish, ayah ini loh merusak pasaran anak gadisnya. “
Datang bantuan dari sang ibunda.
"Udah-udah jangan cemberut gitu dong, jelek dilihat sama Alfinya.”

“Bener tuh, mana ada laki-laki yang mau sama cewek manja tukang pundung.”
Mbak Ika kembali tetap tak memberi ampun.

“Ika udah dong, nanti kalo Wulan nangis disini repot kita semua.”

“Ihhhh bundaaaa… malah ikutan.”


Dua jam berikutnya adalah merupakan waktu-waktu yang paling awkward sekaligus menyenangkan buatku. Ternyata berkumpul dengan banyak orang tidak semenakutkan itu dan berbincang dengan orang yang tidak kita kenal bisa semenyenangkan ini.


Suasana hangatnya keluarga membuat aku merasa diterima.





Surie8
khodzimzz
elbe94
elbe94 dan 4 lainnya memberi reputasi
5
Tutup