“Paling nggak, cerita kita nggak pait-pait amat lah ya..” Marcella bicara sambil perlahan menjauh, wajahnya masih menatap gua. Tatapan yang sama, yang membuat gua jatuh cinta padanya. Ia lalu berpaling dan berjalan menjauh, sosoknya lalu perlahan hilang ditelan sebuah tikungan dilorong menuju ke area luar gedung bagian belakang.
“Iya cell…” Gua baru menjawab pelan, setelah Marcella pergi, jawaban yang bahkan tak terdengar olehnya.
Lambat tapi pasti, hubungan beda ‘kantor’ kayak gua dan Marcella alami memang bakal berakhir seperti ini. Ya, kalaupun ada yang sukses, persentase-nya nggak gede-gede banget. Bahkan sampai sekarang, hubungan ‘berbeda-agama’ masih jadi momok yang menakutkan untuk para ‘pejuang-cinta’ di Indonesia.
Tapi, ada yang sedikit spesial di kasus gua dengan Marcella. Yang kami hadapi nggak melulu perkara beda ‘kantor’. Bokap gua yang punya pemikiran kolot khas Ras Arya; Narsisme. Masih menganggap pribumi lebih baik daripada ras keturunan. Persis seperti Ras Arya pimpinan Hitler jaman beheula. Sang Führer (pada saat itu) masih menganggap ras-nya sendiri merupakan ras yang terbaik, ras lain dianggap nggak sepadan dan harus disingkirkan. Yang jadi korban akhirnya; ras Yahudi yang pada saat itu memadati Jerman dan daerah jajahannya; Akhirnya ‘dibantai’ habis.
Sepertinya pola pikir Ras Arya-nya Führer nggak berbeda jauh dengan Bokap gua, yang masih menganggap ras-nya (dalam hal ini ‘pribumi’) seharusnya lebih superior dari ras lain.
Ah sudahlah!
—-
Drrt.. Drrt..
Sebuah notifikasi pesan masuk ke ponsel, begitu gua tengah bersiap menaiki motor untuk pulang. Masih ada setitik harapan, kalau ini merupakan pesan dari Marcella yang ‘mungkin’ berubah pikiran. Gua mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana dan memandang ke arah layar ponsel. Kali ini gua nggak membutuhkan waktu lama untuk bisa tau siapa pengirimnya, karena hanya terdiri dari 4 huruf, dua konsonan dan dua vokal, yang mana sangat mudah buat ‘orang seperti gua’ untuk membacanya; Fani.
For Your Information; penderita disleksia seperti gua, biasanya kesulitan untuk membaca padanan kata yang terdiri dari 5 huruf atau lebih, apalagi kalau komposisi huruf konsonan-nya lebih banyak daripada huruf vokalnya.
Suatu kali, pernah gua menjadi bahan gurauan anak-anak sekelas karena gua nggak mampu membaca kata; ‘Interdependen’, yang gua baca menjadi ‘Independen’. Iya, otak gua memaksa untuk menggunakan kata yang sudah biasa gua dengar dan secara otomatis menggantinya dengan kata asing yang punya kompisisi huruf yang mirip.
Selain itu, gua juga pernah mengalami kesulitan ketika membaca kata ‘alibi’ yang terus-terusan gua sebut dengan ‘abili’. Dimata gua, huruf B dan L terlihat seperti bertukar tempat.
“Ok, gw save ya...” sebuah pesan singkat masuk dari Fani yang isinya benar-benar singkat. Balasan dari pesan gua sebelumnya yang menginformasikan nomor ponsel gua.
“Yaaah..” gua menggumam dalam hati. Sedikit kecewa, karena bukan dari Marcella dan kalaupun dari Fani, kenapa isinya cuma gitu.
—-
“Rif, bangun solat subuh…” Suara ibu membangunkan gua, disusul nyala lampu yang menyilaukan mata.
Gua bangun dan duduk ditepian kasur, meraih ponsel dari atas meja yang bersisian dengan ranjang tempat gua tidur. Terlihat lebih dari 100 notifikasi pesan dilayar ponsel; beberapa pesan terlihat dari Fani, sisanya; dari grup kantor yang heboh karena isu pindahan kemarin. Gua mengabaikan pesan-pesan di grup kantor yang bertumpuk tak karuan, lalu mulai membuka pesan dari Fani, mencoba membaca dari pesan terlama ke pesan terbaru yang sepertinya baru masuk beberapa menit yang lalu.
“Lo blm pulang, rif?” - 21.33
“Eh, lo kemaren dateng ke nikahan si Erik?” - 21.34
“Gue nggak diundang, dong :P” - 21.34
“Dia masih marah kali ya sama gw..

” - 21.36
“Eh Btw lo kenal kan sama Erik?” - 22.16
“Lagian jga klo ngundang, gw jga ga bkalan dateng, males..” - 23.39
“Ariiiffff… Lo tidur ya?” - 23.59
“Rif, sorry, gw ganggu lo ya?” - Today 04.12
Gua lalu mulai mengetik dan membalas pesannya dalam satu kali kirim;
“Gua nggak kenal sm Erik, so dia nggak mungkin ngundang gua dan gua nggak mungkin dateng. Iya, gua balik gawe kemaren langsung molor. Dan, nggak, lo nggak ganggu gua kok..” - Sent
Begitu selesai menunaikan solat Subuh, sebuah pesan kembali masuk ke ponsel gua; dari Fani. “Asiiik… ntar kita lanjut lagi ya, gw mo tidoor dolo…”
“Lah, ni anak nocturnal kali yah, udah pagi malah tidur” Gua menggumam dalam hati, merespon balasan dari Fani barusan.
—-
“Rif, lu udah beresin barang-barang?” Ilham bicara tanpa menyapa, saat bertemu dengan gua di basement parikiran sepeda motor.
“Beresin barang?” Gua balik bertanya, karena kurang mengerti dengan pertanyaannya.
“Iya.. kan minggu depan kita pindahan…” Ilham menjelaskan.
“Hah, minggu depan? Pindah ke BSD? Cepet banget?...” Gua kembali mempertanyakan informasi darinya.
“Lah, emang lu ga baca email?” Ilham kembali bertanya, yang lalu gua jawab dengan gelengan kepala.
“Di Grup kan juga rame pada dibahas sama anak-anak…” Ilham menambahkan, kali ini menyinggung obrolan di grup pesan singkat yang tadi subuh memang sengaja gua abaikan.
“Duh, gua gimana iniih…” Gua bicara ke Ilham, sambil berjalan menyusuri lorong tangga menuju ke lobi utama gedung.
“Gimana apanya?”
“Lah, rumah gua jauh cooy…” Gua menjelaskan alasan kegelisahan gua mengenai pindahnya kantor ke BSD tangerang.
“Jauh darimana? Kebon Jeruk-BSD naek motor paling cuma 1,5 - 2 jam-an..” Dengan ringan-nya Ilham berstatement.
“Buset, pantat gua tipis, kalo pulang pergi 4 jam..”
“Nyari kost-kostan aja..” Ilham lalu memberikan usul “Anak-anak editor juga pada mau nge-kost..” Ia menambahkan.
“Duh… kuliah nge-kost, masa kerja nge-kost lagi..” Gua menggerutu.
“Pilih nge-kost apa pantat tipis…?” Ilham bicara, seakan memberikan pilihan sulit layaknya pembawa acara kuis ‘who wants to be a millionaire’.
“Ya nge-kost sih…” Gua menjawab
“Oke, jawabannya saya kunci ya…”
—-
Begitu tiba diruangan kerja, gua buru-buru membuka laptop dan mengecek email. Mata gua langsung tertuju kesebuah subject email yang berada diposisi teratas. Sebuah subject berjudul singkat dengan sebuah emoji tersenyum diakhir kalimatnya; “Are You Ready To Move?

”
Gua meng-klik judul email terssebut dan dengan perlahan dan seksama membaca isinya. Dan, nyatanya apa yang di informasikan Ilham benar; Kantor pindah minggu depan! What the…
“Bang… besok survey yuk..” Daus tiba-tiba muncul disamping gua sambil bicara, tangan kanannya menggenggam ponsel yang layarnya menampilkan loading screen game mobile, sementara tangan kirinya diletakkan dipunggung kursi yang gua dudukin.
“Survey apaan?”
“Survey kantor baru, gua mo ngetes jarak nih dari pesing ke sana..”
“Emang lu ntar mau naek motor, kalo udah pindah kesana?”
“Iya, dari pesing ke bsd mah tinggal lurus doang bang lewat kalideres..” Daus kembali bicara, kali ini kedua tangannya sudah menggenggam ponsel dengan posisi landscape dan ia mulai berjongkok dan bersandar pada dinding disebelah gua.
“Gua kayaknya mo nge-kost aja dah, us..”
Pagi itu lalu gua habiskan untuk browsing-browsing mencari kost-kostan super murah didaerah sekitara BSD tangerang.
—-
“Rif,rif..” Sebuah pesan (sangat) singkat masuk dari Fani
“Oi..” Gua membalas tak kalah singkat.
Sepuluh menit berselang kemudian Fani kembali mengirim pesan yang isinya sama; “Ariif..”
“Oi.. Oi..” Gua kembali membalas singkat.
“Makan siang” Fani kembali membalas pesan.
Gua mengernyitkan dahi saat membaca pesannya barusan, bingung, ini sebuah pernyataan atau pertanyaan. Kebingungan gua lalu terjawab dengan pesan susulan darinya yang isinya hanya: “?” Gua tersenyum, kemudian mulai membalasnya: “Baru mau nih, lo baru bangun ya?”
“Iya, hehe..”
“Lo nggak kerja?” Gua kembali bertanya, iya gua tau kalau ini pertanyaan basa-basi yang nggak penting. Tapi, gua nggak punya library ‘basa-basi’ lain yang bisa gua gunakan. Berhubungan dengan Marcella bertahun-tahun benar-benar ‘mematikan’ sense of communication’ gua ke lawan jenis.
“Nganggur gw… ini lagi mo siap-siap interview..” Fany membalas cepat.
“Ooh.. interview dimana?”
“Di gedung tempat ketemu lo kemaren..”
“Wuidih.. udah keterima dong, dua kali interview mah…”
“Apaan, ini gua udah interview tiga kali..”
“Buseh… banyak amat”
“Tau tuh, aneh banget kantornya emang..”
“Interview jam berapa?” Gua bertanya tentang jadwal interviewnya.
“Ini mau jalan, dianter bokap..”
“Oh well, kalo gitu ntar abis interview, gua traktir mau?”
“Mau..”
Kemudian percakapan gua dan Fani melalui pesan singkat terhenti ketika sebuah panggilan telpon masuk. Nama Ilham muncul dilayar ponsel gua.
“Apaan?” Gua menjawab panggilannya.
“Kebawah, makan..” Ilham bicara diujung sana, suaranya nggak terdengar jelas karena riuh rendah suara dibelakangnya.
“Dimana?”
“Mie ayam..”
“Oke..” Gua menjawab singkat, kemudian memutuskan panggilan dan kembali ke aplikasi pesan singkat.
“Ok, nanti kabarin ya kalo udah kelar interview..” Gua membalas pesan Fani sambil berjalan menuju koridor lift untuk menyusul Ilham.
—-
Entah kenapa, seperti ada yang salah dengan perasaan ini. Beberapa hari yang lalu gua mati-matian ingin mempertahankan hubungan dengan Marcella, beberapa hari yang lalu juga hati ini rasanya campur aduk saat Marcella memutuskan untuk menyudahi hubungan kami. Dan seakan baru kemarin, rasanya Marcella adalah satu-satunya wanita yang gua inginkan di dunia ini. Namun, entah kenapa hadirnya Fani seperti mampu meredam perasaan ini tentang Marcella.
Pun, Fani belum tentu mampu gua gapai.
“Ya namanya laki-laki wajar kali, rif…” Ilham bicara ke gua, sambil mengepulkan asap rokok dari mulutnya, begitu mendengar cerita dari gua.
Kami berdua tengah berdiri, bersandar pada pagar besi di balkon, dikantor. Langit terlihat sedikit ramah, hingga akhirnya membuat Ilham lalu mengajak gua ‘ngopi’ di balkon.
“Apalagi, ceweknya kayak… siapa namanya kemaren…?” Ilham bertanya ke gua.
“Fani…” Gua menjawab singkat.
“Iya, apalagi ceweknya kayak Fani.. gua aja rela rif, nuker cewek gua kalo tukerannya kayak Fani…” Ilham bicara asal-asalan.
Gua nggak menjawab statement-nya, sebagai gantinya gua menarik ujung kumisnya yang jarang-jarang.
Ponsel gua berdering, Gua melepaskan tarikan tangan gua dari kumis Ilham yang berminyak dan melihat ke layar ponsel, nama Fani muncul disana.
“Buset, panjang umur beut ni bocah… tau kali ya lagi diomongin..” Ilham angkat bicara begitu melihat nama Fani dilayar ponsel gua.
“Halo..” gua menyapa.
“Rif, gua udah kelar nih, lo dimana?” Suara Fani terdengar dari ujung sana.
“Nah lu dimana? Gua di lobi, depan Nebe Cafe”
“Yaudah tunggu, nih gua turun…”
Menit berikutnya, gua sudah berada dilokasi yang tadi disebutkan oleh Fani. Terlihat, sosoknya tengah berdiri, bersandar pada pilar besar yang terletak disudut teras lobi. Gua menghampirinya : “Woi..”
Fani lalu melepaskan sepasang earphone yang menyumpal kedua telinganya: “Lama..”
“Dih, belum ada 5 menit” gua merespon ucapannya sambil memperlihatkan jam tangan yang gua kenakan kepadanya.
“Udah kelar interviewnya?” Gua lalu bertanya kepadanya, mencoba membuka obrolan.
“Udah dong..”
“Gimana? Diterima?..”
“Besok dikabarin..”
Ditengah obrolan kami, tiba-tiba terdengar suara ‘kruk-kruk-kruk’ aneh. Fani lalu tersenyum ke gua sambil memegang perutnya.
“Buset.. laper lu?”
“Iya, abis, gue kira interviewnya sebentar, ga taunya lama…”
“Yaudah yuk gua traktir, mau makan apa?”
“Disini ada tukang Mie ayam rif?”
“Ada..”
“Yuk..”
“Buset, tadi siang abis makan mie ayam…” gua menggumam dalam hati.
Sambil berjalan menuju ke tukang mie ayam langganan gua dan anak-anak kantor. Kami berdua meneruskan obrolan. Mostly, pembahasannya tentang jaman kuliah dulu, entah perihal teman-teman satu kost-an, tentang dosen-dosen killer, hingga yang terupdate tentang mantan kekasihnya; Erik. Sosok yang dibicarakanya mlalu pesan singkat kemarin. Ok, beberapa satu informasi berhasil gua ketahui dari obrolan ini. Fani Jomblo!
“Lah, lo nggak mesen?” Fani bertanya ke gua setelah memesan satu porsi mie ayam.
“Nggak, masih kenyang gua..”
“Ah nggak enak dong, masa yang traktir nggak makan..”
“Gua kan pesen jus…” Gua mengelak, padahal sih emang cukup lapar, tapi sepertinya makan mie ayam sehari dua kali merupakan sesuatu yang jangan dijadikan kebiasaan.
“Eh, gimana tadi interviewnya…” Gua kembali mengulang pertanyaan yang sama saat pertma bertemu di lobi tadi. Iya, maklum kehabisan topik. Bagusnya, Fani nggak menganggapnya sebagai sebuah pertanyaan ulangan. Ia lalu mulai bercerita tentang pengalamannya interview ditempat tadi. Disebuah kantor digedung yang sama dengan gua, sebuah kantor yang hanya berjarak 6 lantai dari gua.
“Iya, pas interview pertama, gue ketemu sama HR nya, ya cuma ngobrol-ngobrol trus test deh.. test nya aja seharian, rif..”
“...”
“Trus, besoknya ditelpon, gue udah seneng tuh, suruh dateng lagi, kirain udah diterima, eh malah interview lagi, kali ini interview sama ‘usernya’..”
“...”
“Eh, masih disuruh dateng lagi hari ini…”
“Ngapain lagi?” gua bertanya, penasaran.
“Interview lagi, tapi sama ownernya… Cantik deh rif, trus kayaknya orangnya pinter banget gitu…”
“Tau darimana orang pinter, kalo cuma liat doang..” Gua berargumen.
“Ish.. bener.. dari gaya ngomongnya, rif, keliatan deh pokoknya..”
“...” Gua mengangguk-anggukan kepala mendengarnya.
“Udah gitu, matanya biru…”