wafafarha
TS
wafafarha
Du, Diriku Cinta pada Suamimu, Mbak! (9)
#Aku_Mencintai_Suamimu_Mbak!
(9)

Dering kedua cukup mengganggu. Farahna masih berdiri dengan emosi. Mendengar ponsel Dewi ia menyilangkan tangan memandang ke arah lain, bibir bawahnya sudah tergigit, dengan mendongakkan kepala, berharap sebagian air mata bisa tertahan dan tidak membanjiri pipi mulusnya.

Dewi membuka ponselnya, begitu diangkat dering telepon berhenti dan mati. Seseorang diujung telepon hanya ingin memastikan penerima telepon mau membaca dan membalas chat darinya.

[Jangan macam-macam Dew. Kamu harus ingat kondisi Rani]
[Kalau sampai istriku kenapa-kenapa aku gak akan maapin kamu]
[Ayo kita bertemu di tempat biasa]

Wanita hamil itu menarik napas. Melihat reaksi gadis yang bersamanya, Farahna menoleh sembari menyeka air matanya.

"Ada apa?"

"Mas Johan ngajak ketemu, Mbak."

Terdiam beberapa saat berpikir cara terbaik untuk menyelesaikan masalah, Farahna tidak bisa mengabaikan hal besar semacam ini. Semua berkaitan dengan Rani, barangkali inilah waktu yang tepat membuang rasa bersalah pada Rani setelah ia dulu membuatnya menderita, dengan menjaga baik-baik kesehatan wanita itu hingga kelahiran anak pertamanya tiba. Bagaimana jadinya jika Rani tahu tentang ini semua? Ia paham betul bagaimana kondisi wanita yang hamil enam bulan itu.

Farahna memegang pundak Dewi. Agak menunduk menatap mata gadis itu hingga dua manik mereka beradu.
"Dew, kamu ke sini karena percaya sama aku 'kan?"

Dewi mengangguk.

"Kalau begitu. Dengarkan aku baik-baik."

"Iya, Mbak."

"Sementara kamu harus menghindari Johan. Kita tahu dia dengan tega mengkhianati Rani, bisa saja dia nekad dan khilaf menyakitimu."

"Maksud Mbak? Bukankah aku dan Mas Johan sama. Apa Mbak mau bilang aku juga bisa menyakiti Mbak Rani?"

"Dew, Dew ...!" Farahna melepaskan tangannya. "Kamu gak boleh baper begini. Ini soal Johan bukan kamu. Dengan kedatanganmu ke mari, aku tau kamu menyesal dan merasa bersalah. Tapi Johan ... dia terang-terangan minta kamu gugurkan kandungan."

"Tapi, Mbak ... siapa tau Mas Johan bisa berubah pikiran? Dia gak sejahat itu."

Farahna mendesah. "Ya, sudahlah. Jika kamu gak mau dengar aku, harusnya kamu gak minta bantuan aku."

Dewi bergeming. Bimbang. Satu sisi ia ingin bertemu dengan Johan. Mengiba lagi agar pria itu mau mendengar permintaannya untuk tanggung jawab. Setidaknya sampai anak di kandungannya lahir, saat itu Rani juga sudah melahirkan, baru mereka bicara baik-baik pada Rani.

"Dew."

"Hemh?" Gadis itu tersentak. "Iya, Mbak."

"Assalamualaikum."
Seseorang datang dari ruang depan, pegawai wanita hampir seumuran dengan Farahna. Keduanya menoleh karenanya.

"Waalaikumsalam. Oh, sudah jamnya ya Mbak Fiqoh?"

"Iya, Bu," jawab wanita itu pada atasannya.

"Itu apa?" Farahna melihat kotak di tangan pegawainya.

"Ini, titipan Mas yang ganteng itu Bu. Hehe. Dia cinta mati sama Ibu Farah kayanya."

Farahna menghela napas. "Michael lagi?Emangnya, Mbak gak bilang kalau aku udah nolak dia?"

"Udah, Bu. Tapi gak mempan. Sampe saya bilang ibu udah dijodohkan sama temennya Pak Farhan. Ini Bu. Saya taroh mana?" Fiqoh menyodorkan benda di tangannya.

Sudah tiga bulan sejak Farahna menolak pria itu, seolah tidak dianggap. Lelaki yang merasa hatinya tertawan oleh Farahna terus saja mendekati. Bahkan mengirimkan hadiah-hadiah mahal yang membuat wanita itu kehabisan akal menolak. Setelah terang-terangan menolak pemberian, kini dalam seminggu bisa sampai dua kali ia menitip hadiah pada pegawai Farahna.

"Ya jelas dia gak percaya lah Mbak. Dia kan dekat sama Mas Farhan. Ya sudah buat Mbak aja itu." Farahna berbalik pada Dewi.

Pegawai itu diam, menatap hadiah mahal yang dipegangnya. "Lagi?" gumamnya. Lalu pergi ke ruang praktek, menyiapkan alat untuk pasien pertama.

"Kalau gitu aku pulang, Mbak." Dewi bangkit dari duduknya.

"Iya. Kamu masih simpen nomorku 'kan?"
Farahna ingin memastikan tetap terhubung pada Dewi. "Ingat ya, jangan beritahu Rani sebelum kondisinya benar-benar siap."

"Iya, Mbak."

"Satu lagi, jangan gegabah bertemu Johan. Akan lebih baik kamu menghindari dia, kalau perlu pindah kostan."

Dewi mengangguk ragu.

___________

Infus sudah dilepas dari tangan Rani, ia duduk di sisi ranjang, dan telah siap untuk pergi.
"Apa Mas gak kerja?" tanyanya pada lelaki yang sibuk mengemas barang.

"Nggak, Mas tadi sudah izin. Nanti lepas jam istirahat baru masuk lagi." Johan menoleh sesaat pada sang istri tak lupa menarik sedikit bibirnya membentuk senyuman tipis.
"Oya, tapi Mas. Malam ini harus lembur. Gak papa 'kan, Sayang."

"Iya, Mas." Wanita yang tengah menatap membalas senyumnya.

Rani hanya syok dan butuh istirahat, untung saja kejadian kemarin tidak membuatnya ngeflek atau sejenisnya. Ia hanya perlu istirahat untuk menenangkan diri.

Sebelum ke rumah, motor yang Johan kendarai mampir ke sebuah apotik.
"Bentar, Sayang. Aku mau beli susu bumil biar dede dan bundanya sehat."

"Kan yang kemarin masih ada." Rani tidak mau suaminya berlebihan memikirkannya.

"Sekalian, mumpung lewat sini. Kan jauh dari rumah. Lagian supaya gak sempat kehabisan," jawab Johan sembari berlalu.

Rani terus saja tersanjung, dihujani kasih sayang berlimpah dari suami.

Tak berapa lama menunggu di samping motor, Johan muncul. Sebelum dekat ke tempat Rani berdiri, buru-buru ia masukkan palstik kecil berisi obat yang menjadi tujuan utamanya singgah ke apotik. Lalu mengangkat plastik dengan kotak susu di hadapan wanita ayu yang selalu memandang hangat padanya.
Menit kemudian, mereka melanjutkan perjalanan menuju rumah.

____________

"Assalamualaikum," ucap Johan sembari mengetuk pintu.

Sampai di rumah, Ibu Anggi yang merupakan ibu Johan sekaligus mertua Rani sudah menyambut. Lengan baju daster panjang wanita itu tergulung, dengan ujung basah karena mengerjakan pekerjaan dapur.
"Waalaikumsalam."

"Ya ampun. Ibu di sini?" Rani segera meraih tangan wanita yang di depan pintu itu.

"Gimana keadaannya? Kamu nggak apa-apa 'kan? Sudah ibu bilang hati-hati." Kekhawatiran terpancar di wajah sang mertua.

"Iya, Bu. Rani nggak apa-apa kok. Ibu jangan khawatir. Oya, apa ibu sendiri di rumah?" Rani celingukan ke dalam rumah. Diikuti mertua yang menoleh heran.

"Iya, memangnya kenapa?"

"Gak ... kan Dewi aku suruh ke sini semalam."

"Dewi? Adek kamu yang manja itu? Ibu sejak pagi di sini gak lihat dia datang. Mungkin sudah pergi duluan. Tapi ya ... joroknya belum ilang itu anak. Banyak makanan basi di atas meja gak dibersihkan. Tau mbaknya hamil mbokyo bantu-bantu apalagi sampe sakit begini." Ibu Anggi kembali menunjukkan sikap kesal pada Dewi seperti sebelumnya, sejak awal wanita itu sudah sering menegur agar Dewi tidak merepotkan sang kakak.

"Iya, Bu. Maaf. Mungkin Dewi sedang sibuk."

"Iya, lagi kuliah kali apalagi dosennya killer." Johan menimpali.

Seketika Rani menoleh. "Mas tau dari mana dosennya killer?"

"Em, em. Mas nebak saja. Kan biasanya mahasiswa dosennya pada killer. Kaya kita dulu. Hehe." Johan salah tingkah, membuat Rani menyipitkan mata ke arahnya.

"Sudah, sudah. Ayo masuk! Rani harus istirahat." Ibu Anggi merangkul menantunya masuk ke rumah.

Johan mendesah. Memegangi mulutnya yang sempat keceplosan.

____________

Farhan memasuki rumah orang tuanya dengan Dzakir di gandengan. Sampai di pintu besar depan, anak kecil itu berlari melepas tangan sang ayah.
"Nenek ....!" teriak bocah berusia lima tahun menyusuri ruangan tengah dapur lalu naik ke lantai dua karena belum menemukan orang yang dicari. Farhan geleng-geleng. Tersenyum. Bahagia melihat anaknya tumbuh sehat dan ceria meski tanpa ibu yang mendampingi.

"Eh, Tuan." Seorang asisten rumah tangga menghampiri pria dengan setelan jas dan kemeja berwarna dongker.
"Ada yang bisa saya bantu?"

"Sudah saya bilang panggil nama saja, Mbok." Farhan merasa tidak nyaman dipanggil wanita yang lima belas tahun lebih tua darinya, dan baru beberapa bulan kerja di rumah orang tuanya.
"Yang lain juga gak ada yang panggil tuan."

"Oya. Tuan. Eh, Pak. Eh ...."

Farhan tersenyum. "Ya, sudah panggil Mas saja kalo Mbok gak keberatan. Panggilan 'tuan' bikin saya risih dan seperti ada jarak."

"Oh, ya. Mas. Hehe. Ada yang bisa saya bantu?"

"Em. Mbok lihat Farahna?"

Wanita di depannya nampak berpikir. "Gak lihat Mas. Kayaknya Non Farahna belum pulang."

"Belum pulang?" Farhan sedikit terkejut. "Kok bisa? Tadi saya ke kliniknya dan kata pegawai dia pulang lebih awal. Ke mana dia? Gak biasanya begini."

Wanita lain dengan seragam sama datang menghampiri Farhan.
"Mas, ini." Seorang ART itu menyerahkan barang.

"Apa ini Mbak Mun?" Farhan mengerutkan dahi menerima barang yang disodorkan.

"Gak tau. Saya nemu di kemeja Mas. Nyangkut di kancingnya." Wanita yang disapa Mbak Mun menjawab.

Lelaki itu menelengkan kepala berusaha mengingat sesuatu, tapi benda itu tidak masuk pada ingatan.

Mbak Mun cekikikan menahan tawa.

"Ada apa, Mbak? Ada yang lucu?"
Farhan melihat heran pada asisten itu.

"Em. Nggak Mas. Gak papa. Biasa kok jaman sekarang duda keren punya pacar."

"Pacar? Mbak Mun mengada-ada. Bisa jadi gelang ini punya Farahna." Farhan mengelak, ragu dengan jawabannya. Pikirnya adiknya itu mana pernah pakai begituan?

BERSAMBUNG

Terusannya di sini ya Gan ...

https://www.kaskus.co.id/show_post/5...bdb2435b41ebc2


Nah, kalau ini bagian sebelumnya ....

https://www.kaskus.co.id/show_post/5...c9915f865b2135
Diubah oleh wafafarha 30-10-2019 00:45
pulaukapok
pulaukapok memberi reputasi
1
1.4K
5
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
wafafarha
TS
wafafarha
#1
Du, Diriku Cinta pada Suamimu, Mbak! (9)
#Aku_Mencintai_Suamimu_Mbak!
(9)

Dering kedua cukup mengganggu. Farahna masih berdiri dengan emosi. Mendengar ponsel Dewi ia menyilangkan tangan memandang ke arah lain, bibir bawahnya sudah tergigit, dengan mendongakkan kepala, berharap sebagian air mata bisa tertahan dan tidak membanjiri pipi mulusnya.

Dewi membuka ponselnya, begitu diangkat dering telepon berhenti dan mati. Seseorang diujung telepon hanya ingin memastikan penerima telepon mau membaca dan membalas chat darinya.

[Jangan macam-macam Dew. Kamu harus ingat kondisi Rani]
[Kalau sampai istriku kenapa-kenapa aku gak akan maapin kamu]
[Ayo kita bertemu di tempat biasa]

Wanita hamil itu menarik napas. Melihat reaksi gadis yang bersamanya, Farahna menoleh sembari menyeka air matanya.

"Ada apa?"

"Mas Johan ngajak ketemu, Mbak."

Terdiam beberapa saat berpikir cara terbaik untuk menyelesaikan masalah, Farahna tidak bisa mengabaikan hal besar semacam ini. Semua berkaitan dengan Rani, barangkali inilah waktu yang tepat membuang rasa bersalah pada Rani setelah ia dulu membuatnya menderita, dengan menjaga baik-baik kesehatan wanita itu hingga kelahiran anak pertamanya tiba. Bagaimana jadinya jika Rani tahu tentang ini semua? Ia paham betul bagaimana kondisi wanita yang hamil enam bulan itu.

Farahna memegang pundak Dewi. Agak menunduk menatap mata gadis itu hingga dua manik mereka beradu.
"Dew, kamu ke sini karena percaya sama aku 'kan?"

Dewi mengangguk.

"Kalau begitu. Dengarkan aku baik-baik."

"Iya, Mbak."

"Sementara kamu harus menghindari Johan. Kita tahu dia dengan tega mengkhianati Rani, bisa saja dia nekad dan khilaf menyakitimu."

"Maksud Mbak? Bukankah aku dan Mas Johan sama. Apa Mbak mau bilang aku juga bisa menyakiti Mbak Rani?"

"Dew, Dew ...!" Farahna melepaskan tangannya. "Kamu gak boleh baper begini. Ini soal Johan bukan kamu. Dengan kedatanganmu ke mari, aku tau kamu menyesal dan merasa bersalah. Tapi Johan ... dia terang-terangan minta kamu gugurkan kandungan."

"Tapi, Mbak ... siapa tau Mas Johan bisa berubah pikiran? Dia gak sejahat itu."

Farahna mendesah. "Ya, sudahlah. Jika kamu gak mau dengar aku, harusnya kamu gak minta bantuan aku."

Dewi bergeming. Bimbang. Satu sisi ia ingin bertemu dengan Johan. Mengiba lagi agar pria itu mau mendengar permintaannya untuk tanggung jawab. Setidaknya sampai anak di kandungannya lahir, saat itu Rani juga sudah melahirkan, baru mereka bicara baik-baik pada Rani.

"Dew."

"Hemh?" Gadis itu tersentak. "Iya, Mbak."

"Assalamualaikum."
Seseorang datang dari ruang depan, pegawai wanita hampir seumuran dengan Farahna. Keduanya menoleh karenanya.

"Waalaikumsalam. Oh, sudah jamnya ya Mbak Fiqoh?"

"Iya, Bu," jawab wanita itu pada atasannya.

"Itu apa?" Farahna melihat kotak di tangan pegawainya.

"Ini, titipan Mas yang ganteng itu Bu. Hehe. Dia cinta mati sama Ibu Farah kayanya."

Farahna menghela napas. "Michael lagi?Emangnya, Mbak gak bilang kalau aku udah nolak dia?"

"Udah, Bu. Tapi gak mempan. Sampe saya bilang ibu udah dijodohkan sama temennya Pak Farhan. Ini Bu. Saya taroh mana?" Fiqoh menyodorkan benda di tangannya.

Sudah tiga bulan sejak Farahna menolak pria itu, seolah tidak dianggap. Lelaki yang merasa hatinya tertawan oleh Farahna terus saja mendekati. Bahkan mengirimkan hadiah-hadiah mahal yang membuat wanita itu kehabisan akal menolak. Setelah terang-terangan menolak pemberian, kini dalam seminggu bisa sampai dua kali ia menitip hadiah pada pegawai Farahna.

"Ya jelas dia gak percaya lah Mbak. Dia kan dekat sama Mas Farhan. Ya sudah buat Mbak aja itu." Farahna berbalik pada Dewi.

Pegawai itu diam, menatap hadiah mahal yang dipegangnya. "Lagi?" gumamnya. Lalu pergi ke ruang praktek, menyiapkan alat untuk pasien pertama.

"Kalau gitu aku pulang, Mbak." Dewi bangkit dari duduknya.

"Iya. Kamu masih simpen nomorku 'kan?"
Farahna ingin memastikan tetap terhubung pada Dewi. "Ingat ya, jangan beritahu Rani sebelum kondisinya benar-benar siap."

"Iya, Mbak."

"Satu lagi, jangan gegabah bertemu Johan. Akan lebih baik kamu menghindari dia, kalau perlu pindah kostan."

Dewi mengangguk ragu.

___________

Infus sudah dilepas dari tangan Rani, ia duduk di sisi ranjang, dan telah siap untuk pergi.
"Apa Mas gak kerja?" tanyanya pada lelaki yang sibuk mengemas barang.

"Nggak, Mas tadi sudah izin. Nanti lepas jam istirahat baru masuk lagi." Johan menoleh sesaat pada sang istri tak lupa menarik sedikit bibirnya membentuk senyuman tipis.
"Oya, tapi Mas. Malam ini harus lembur. Gak papa 'kan, Sayang."

"Iya, Mas." Wanita yang tengah menatap membalas senyumnya.

Rani hanya syok dan butuh istirahat, untung saja kejadian kemarin tidak membuatnya ngeflek atau sejenisnya. Ia hanya perlu istirahat untuk menenangkan diri.

Sebelum ke rumah, motor yang Johan kendarai mampir ke sebuah apotik.
"Bentar, Sayang. Aku mau beli susu bumil biar dede dan bundanya sehat."

"Kan yang kemarin masih ada." Rani tidak mau suaminya berlebihan memikirkannya.

"Sekalian, mumpung lewat sini. Kan jauh dari rumah. Lagian supaya gak sempat kehabisan," jawab Johan sembari berlalu.

Rani terus saja tersanjung, dihujani kasih sayang berlimpah dari suami.

Tak berapa lama menunggu di samping motor, Johan muncul. Sebelum dekat ke tempat Rani berdiri, buru-buru ia masukkan palstik kecil berisi obat yang menjadi tujuan utamanya singgah ke apotik. Lalu mengangkat plastik dengan kotak susu di hadapan wanita ayu yang selalu memandang hangat padanya.
Menit kemudian, mereka melanjutkan perjalanan menuju rumah.

____________

"Assalamualaikum," ucap Johan sembari mengetuk pintu.

Sampai di rumah, Ibu Anggi yang merupakan ibu Johan sekaligus mertua Rani sudah menyambut. Lengan baju daster panjang wanita itu tergulung, dengan ujung basah karena mengerjakan pekerjaan dapur.
"Waalaikumsalam."

"Ya ampun. Ibu di sini?" Rani segera meraih tangan wanita yang di depan pintu itu.

"Gimana keadaannya? Kamu nggak apa-apa 'kan? Sudah ibu bilang hati-hati." Kekhawatiran terpancar di wajah sang mertua.

"Iya, Bu. Rani nggak apa-apa kok. Ibu jangan khawatir. Oya, apa ibu sendiri di rumah?" Rani celingukan ke dalam rumah. Diikuti mertua yang menoleh heran.

"Iya, memangnya kenapa?"

"Gak ... kan Dewi aku suruh ke sini semalam."

"Dewi? Adek kamu yang manja itu? Ibu sejak pagi di sini gak lihat dia datang. Mungkin sudah pergi duluan. Tapi ya ... joroknya belum ilang itu anak. Banyak makanan basi di atas meja gak dibersihkan. Tau mbaknya hamil mbokyo bantu-bantu apalagi sampe sakit begini." Ibu Anggi kembali menunjukkan sikap kesal pada Dewi seperti sebelumnya, sejak awal wanita itu sudah sering menegur agar Dewi tidak merepotkan sang kakak.

"Iya, Bu. Maaf. Mungkin Dewi sedang sibuk."

"Iya, lagi kuliah kali apalagi dosennya killer." Johan menimpali.

Seketika Rani menoleh. "Mas tau dari mana dosennya killer?"

"Em, em. Mas nebak saja. Kan biasanya mahasiswa dosennya pada killer. Kaya kita dulu. Hehe." Johan salah tingkah, membuat Rani menyipitkan mata ke arahnya.

"Sudah, sudah. Ayo masuk! Rani harus istirahat." Ibu Anggi merangkul menantunya masuk ke rumah.

Johan mendesah. Memegangi mulutnya yang sempat keceplosan.

____________

Farhan memasuki rumah orang tuanya dengan Dzakir di gandengan. Sampai di pintu besar depan, anak kecil itu berlari melepas tangan sang ayah.
"Nenek ....!" teriak bocah berusia lima tahun menyusuri ruangan tengah dapur lalu naik ke lantai dua karena belum menemukan orang yang dicari. Farhan geleng-geleng. Tersenyum. Bahagia melihat anaknya tumbuh sehat dan ceria meski tanpa ibu yang mendampingi.

"Eh, Tuan." Seorang asisten rumah tangga menghampiri pria dengan setelan jas dan kemeja berwarna dongker.
"Ada yang bisa saya bantu?"

"Sudah saya bilang panggil nama saja, Mbok." Farhan merasa tidak nyaman dipanggil wanita yang lima belas tahun lebih tua darinya, dan baru beberapa bulan kerja di rumah orang tuanya.
"Yang lain juga gak ada yang panggil tuan."

"Oya. Tuan. Eh, Pak. Eh ...."

Farhan tersenyum. "Ya, sudah panggil Mas saja kalo Mbok gak keberatan. Panggilan 'tuan' bikin saya risih dan seperti ada jarak."

"Oh, ya. Mas. Hehe. Ada yang bisa saya bantu?"

"Em. Mbok lihat Farahna?"

Wanita di depannya nampak berpikir. "Gak lihat Mas. Kayaknya Non Farahna belum pulang."

"Belum pulang?" Farhan sedikit terkejut. "Kok bisa? Tadi saya ke kliniknya dan kata pegawai dia pulang lebih awal. Ke mana dia? Gak biasanya begini."

Wanita lain dengan seragam sama datang menghampiri Farhan.
"Mas, ini." Seorang ART itu menyerahkan barang.

"Apa ini Mbak Mun?" Farhan mengerutkan dahi menerima barang yang disodorkan.

"Gak tau. Saya nemu di kemeja Mas. Nyangkut di kancingnya." Wanita yang disapa Mbak Mun menjawab.

Lelaki itu menelengkan kepala berusaha mengingat sesuatu, tapi benda itu tidak masuk pada ingatan.

Mbak Mun cekikikan menahan tawa.

"Ada apa, Mbak? Ada yang lucu?"
Farhan melihat heran pada asisten itu.

"Em. Nggak Mas. Gak papa. Biasa kok jaman sekarang duda keren punya pacar."

"Pacar? Mbak Mun mengada-ada. Bisa jadi gelang ini punya Farahna." Farhan mengelak, ragu dengan jawabannya. Pikirnya adiknya itu mana pernah pakai begituan?

BERSAMBUNG

Terusannya di sini ya Gan ...

https://www.kaskus.co.id/show_post/5...bdb2435b41ebc2


Nah, kalau ini bagian sebelumnya ....

https://www.kaskus.co.id/show_post/5...c9915f865b2135
Diubah oleh wafafarha 30-10-2019 00:45
0