Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

rosemallowAvatar border
TS
rosemallow
[NEW] LEMBUR KA TUJUH
Spoiler for New Story:


[NEW] LEMBUR KA TUJUH

LEMBUR KA TUJUH : DESA KETUJUH

Suara adzan berkumandang dengan indahnya, hewan-hewan malam mulai bermunculan. Angin senja menyentuh lembut dedaunan, dengan perasaan haru mereka berpelukan dengan malam. Para petani pulang dengan istri-istri dan anak mereka.

Aku bergegas mengenakan sarung dan kemudian berlari mengejar bapakku diikuti adikku yang berlari dengan kaki kecilnya. Kami akan solat berjamaah maghrib seperti biasanya di musolah di daerah tempat tinggalku. Bapakku hanya menoleh ke arah kami dan kemudian lanjut berjalan, beberapa tetangga kami mulai bermunculan berjalan bersama ke arah musolah.

Hingga setelah kami sampai di musolah, mengambil wudhu dan kemudian solat bersama.

“Dek, anter daffa ka mamah nyah!” (dek, anterin daffa ke mamah ya!) seru bapak sembari berjalan pulang ke rumah.

Aku hanya mengangguk dengan daffa berada disampingku.

Setelah menyimpan sarung dan mengganti baju, aku bergegas menggendong adikku. Aku sekarang berumur 13 tahun dan adikku terpaut 8 tahun denganku, umurnya 5 tahun.

Aku harus mengantarkan adikku ke ibuku yang sedang membantu uwakku yang ke 3 yang akan melangsungkan pernikahan sepupuku. Aku mempunyai 5 uwak, karena bapakku adalah anak terakhir. Ayah Lita adalah uwak ke empatku. Sudah menjadi budaya didaerah kami ini jika ada yang mengadakan Hajatan, semua tetangga & saudara wajib membantu.

Senja menuju malam setelah maghrib membuat langit perlahan menghitam, aku menggendong adikku menuju rumah uwakku yang jaraknya tidak terlalu jauh, sebenarnya rumahnya dibelakang rumah kontrakan DEDI dulu.

Setelah sampai dirumahnya, riuh orang tertawa, mengobrol sampai suara alat dapur memenuhi area rumah uwakku itu. Dalam remang cahaya lampu neon, aku menelisik mencari wajah ibuku. Hingga ku terhenti melihat kerudung berwarna coklat muda yang kukenal adalah ibuku. Akupun langsung menghampirinya kemudian memberikan adikku.

“langsung uih nyah!” (langsung pulang ya!) seru ibuku

Setelah mencium tangan beberapa tetangga dan saudaraku yang sedang membantu ibuku, aku bergegas pergi dari tempat itu.

Arah pulangku melewati musolah, karena esok adalah hari minggu ku lihat didepan musolah ramai sekali anak-anak sebayaku sedang berkumpul. Aku sebenarnya bukan yang suka bermain dengan mereka apalagi malam hari, aku hanya mengenal mereka sebatas teman kampung biasa. Tapi ada satu orang yang satu kelas denganku, namanya Gusti. Ia melihatku dan berlari kearahku yang sedang berjalan pulang.

“euy, kamana? Ulin hayu!” ( hey kemana? Main yuk!) ajak gusti.

Aku menggelengkan kepalaku. “ih, bade pulang dititah ku mamah!” (ih, disuruh pulang sama ibu!) kataku menolak ajakan gusti

“pan, enjing pere mereun! Da mamah ge nuju babantu di uwak sanes?” (kan besok libur! Lagian ibumu sedang membantu uwak bukan?) paksa gusti.

“sieun dicarekan bapak!” (takut dimarahin bapak!) kataku.

“ih, kurang hiji deui itu budak rek maen jajamaan!” (ih, kurang satu lagi itu anak-anak mau main JAJAMAAN) kata gusti kesal

Quote:


Dengan perasaan yang takut dimarahi orangtuaku, aku terpaksa mengikuti gusti dan berkumpul dengan temanku yang lain. Setelah melakukan pemlihan pemimpin, kita dibagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok berisi 5 orang.

Kelompokku terdiri dari Aku, Gusti, Eko, Andri & Dendi. Kelompokku menjadi kelompok yang bersembunyi, sementara kelompok satu lagi, kelompok yogi bertugas mencari & menangkap kami.

Kampungku masih berisi banyak pohon besar dan bersebelahan dengan hutan dan persawahan serta pesisir disebelah selatan. Maka dari itu kami mempunyai banyak tempat sembunyi yang sempurna, agar kelompok yogi tidak menemukan kami.

Waktu sudah menunjukkan kira-kira pkl 8 malam, kelompokku masih mencari tempat sembunyi yang tidak bisa ditemukan oleh kelompok yogi. Hingga kami menemukan sebuah tempat jauh didekat sawah yang luas, tempat itu adalah sebuah padang ilalang yang tinggi.

[NEW] LEMBUR KA TUJUH

Didalam kegelapan malam, kami berusaha membuat tempat itu nyaman untuk kami sembunyi, padang ilalang dengan daun yang tajam perlahan menyayat kulit kami disetiap kami bergerak. Aku selalu berada didekat gusti, aku takut jika saja menemukan ular atau hewan berbisa lain yang menghuni padang ilalang ini.

Ilalang-ilalang yang tadinya berdiri tegak, sekarang sudah tertidur diatas tanah karena kami injak. Kami berempat berdiam diri disalah satu area padang ilalang itu, sementara eko menjadi pengintai kami. Agar kami tahu bahwa kelompok yogi berada disekitar area itu.

Beberapa menit kami berkumpul ditempat itu dengan berjongkok, sementara nyamuk sibuk menggigiti badan kami bergantian. Kaki dan tanganku lecet teriris daun-daun ilalang membuatku menggeram perih. Semua orang menoleh kearahku, memberikan isyarat kepadaku agar tetap diam.

Tak lama, eko berlari kearah kami dengan sangat cepat,

“hayu pindah, aya si yogi!” (ayao pindah, ada si yogi) ajak eko menunjuk kearah persawahan.

Kamipun langsung bergegas berjalan perlahan, dengan badan yang membungkuk, aku menoleh kulihati yogi dan kelompoknya sedang mencari-cari keberadaan kami tak jauh dari tempat kami sembunyi. Kegelapan menolong kami, akhirnya kami bisa keluar dari padang ilalang itu tanpa diketahui oleh kelompok yogi.

Kami terus berjalan diatas pematang sawah, sinar rembulan seolah menatap kemana kami pergi. Kami berjalan beriringan, aku berada di urutan kedua, eko didepanku sementara gusti dan yang lainnya berada persis dibelakangku.

Ketika kami berjalan, angin dingin mengelus tengkuk kami, aku bergidik kedinginan. Entah kenapa mataku ingin sekali menoleh kesebelah kanan yang mana disana ada beberapa pohon randu besar.

Aku terkaget ketika melihat bayangan hitam berdiri dibalik pohon randu itu, aku menatap jeli menelisik siapa yang ada dibalik pohon itu. Akupun berhenti,
Karena gelap, semua orang yang dibelakangku saling menabrak dan kemudian terjatuh diatas pematang sawah itu. Mereka melenguh kesal

“aya naon sih?” (ada apa sih?) ucap gusti.

Mendengar itu, eko yang didepanku berhenti juga.

“tingal tuh, itu si yogi lain nyah?” (liat deh, itu siyogi bukan yah?) ucapku sembari menujuk kearah pohon randu.

Semua orang langsung merunduk bersembunyi diatas sawah yang sudah kering dibalik pematang sawah denganku yang ditarik gusti agar ikut bersembunyi juga.

Mereka memperhatikan sosok dibalik pohon randu itu, mata mereka menelisik dengan serius. Hingga kusadari sosok itu sudah tidak ada lagi. Hinggaku tersentak kaget ketika Kepalaku kena jitak gusti.
“ah, eweuh nanaon!” (ah ga ada siapa-sapa) seru gusti

Aku hanya melenguh kesakitan sembari membalas memukul gusti dan kamipun melanjutkan perjalanan kami menuju kebun jagung didekat rumah uwakku yang akan melaksanakan acara hajatan. Kulihati rumah uwakku itu lebih terang daripada rumah yang lain.

[NEW] LEMBUR KA TUJUH

Kami bersembunyi dikebun bekas sawah yang padinya sudah dipanen dan ditanami jagung oleh uwakku ini, dibawah pohon-pohon jagung yang tinggi dan daunnya yang panjang menjulang kebawah kami berjongkok, berharap tak dtemukan oleh kelompok yogi.

Sudah cukup lama, kami bersembunyi disitu. Sembari bercanda berbisik kami tertawa tanpa suara. Hingga kami kaget ketika, ada salah seorang ibu-ibu yang bantu-bantu di rumah uwakku berkata setengah berteriak

“Sia nyiranaon barudak, maling jagong nyah?” (kalian sedang apa anak-anak, mencuri jagung ya?)

Kami terkejut, langsung panik.

Kemudian terdengar suara Yogi yang meneriaki anggota kelompoknya memberitahu kami ada di kebun jagung ini.

Kami bergegas berlari tunggang langgang menjauhi kebun itu, karena Yogi sudah tahu keberadaan kami karena ibu-ibu tadi.

Dengan tangan yang ditarik gusti, aku berlari dengan sangat cepat. Padahal aku tidak bisa berlari secepat itu. Batang pohon jagung beberapa ada yang tumbang karena lari kami yang membabi buta. Gawat, aku sudah pasrah akan dimarahi bapak.

Setelah berpikir dalam pelarian kami dari kelompok yogi, eko memutuskan untuk memilih kebun pisang yang ada disebrang rumah Lita. Kami pun tergesa-gesa masuk kedalam kebun pisang yang rindang itu, setelah menemukan tempat yang cocok, dengan pohon-pohon pisang yang cukup besar dari rata-rata tubuh kami, kami bersembunyi terpisah berdua-berdua.

[NEW] LEMBUR KA TUJUH

Aku bersama gusti dipohon pisang yang depan, sementara andri dan dendi berada dipohon pisang dibelakang aku, seperti biasa eko akan mengintai melihati sekeliling. Ditengah kebun pisang yang luas ini pada malam hari, adalah hal yang tak pernah aku pikirkan sebelumnya. Kami berdiri diam dibalik pohon pisang itu, aku tak berani mengucapkan sepatah katapun, aku takut yogi akan menemukan kami lagi.

Udara malam lebih dingin ditempat itu, tengkukku merinding dengan badan yang gemetar beberapa kali. Ada apa pikirku? Aku terus bergidik, bulu diatas kulitku tak hentinya berdiri, gusti yang melihatku aneh memegang badanku yang masih bergetar, ia mengisyaratkan untuk bersikap tenang jangan merasa takut.

Seolah ia sudah mengerti, gusti mengajakku untuk berjongkok, barangkali kakiku kelelahan makanya aku bergetar. Kamipun berjongkok, kemudian aku melenguh mencium bau yang sangat menyengat, aku pikir mungkin itu hanya bangkai ayam, aku tak mengatakannya kepada gusti aku hanya memilih diam.

Kupandangi area depan, kulihat eko masih saja mengintai. Aku melihat sekeliling semua tampak gelap hanya cahaya bulan yang terlihat masuk disetiap celah daun pisang yang terbelah. Perlahan aku melihat ke belakang, ke arah andri dan dendi bersembunyi.

Dalam hatiku,
Satu… Dua… Tiga
Aku menundukkan kepalaku “Bukannya harusnya dua ya? Andri dan dendi”
Kepalaku perlahan menoleh kembali kearah belakang, ku hitung kembali dalam hati jumlah sosok yang ada dibalik pohon pisang itu.

TIGA, ya tetap Tiga.

Hingga ku telisik,

Wajah hitam dengan mata besar melotot kearahku, ia tak memiliki hidung, itu hanya rongga tulang tengkoraknya saja dengan mulut menganga tanpa gigi. Satu hal yang aku masih ingat, ia memakai kain putih lusuh dengan kepala yang atasnya tersimpul, berdiri tinggi besar dibelakang dendi dan andri.


Aku hanya merespon normal seperti kebanyakan orang yakni Berteriak“BOBONGKOOOOONG!” dan kemudian lari keluar dari kebun pisang itu. Andri dan dendi menatap heran satu sama lain, hingga mereka merasa ada orang ketiga diantara mereka, dan mereka melihat apa yang aku lihat. Aku tak bisa menghentikan lariku itu aku berlari tak karuan dengan wajah penuh tangisan dan mulut tak hentinya memanggil ibuku. Eko dan gusti ikut berlari setelah andri dan dendi juga tak kalah hebat berlari meninggalkan tempat itu.

Hingga aku menabrak sosok lain…
Bersambung...

>> PART 2
Diubah oleh rosemallow 28-10-2019 10:51
tantinial26
banditos69
minakjinggo007
minakjinggo007 dan 27 lainnya memberi reputasi
28
14K
136
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
rosemallowAvatar border
TS
rosemallow
#34
LEMBUR KA TUJUH (PART 2)
Aku menabrak bapakku yang sudah berdiri didepan musolah menungguiku, dengan sigap bapakku menarik badanku dan membawa paksa aku untuk pulang ke rumah. Aku tidak sempat mengatakan apapun kepada gusti dan lainnya. Mereka hanya menatap ngeri melihatku pasrah.

Dirumah, aku dimarahi habis-habisan. Bapak beberapa kali membahas tentang aku yang tidak menurut kepada ibuku. Terlebih, ternyata ibu-ibu yang memergoki kami bersembunyi di kebun jagung milik uwakku mengadukanku kepada ibuku. Ahh sial, ibu itu ternyata melihatku.

Beberapa hari disekolah aku mengasingkan diri dari teman-temanku, apalagi gusti. Pertama karena aku malu kepadanya dan bapakku melarangku untuk bermain dengan mereka. Hal ini yang membuatku sering bermain hanya dengan Okta dan lita, Sepupu terdekatku. Dan malas bermain dengan mereka. Kadang aku mencuri pandang ketika mereka bermain disekitar kampung. Rasanya aku ingin membicarakan alasan aku berlari malam itu.

Suatu sore, aku pulang dari rumah lita. Didalam mendungnya langit, aku tersentak ketika gusti menarikku dan membawaku lari ke arah sungai.

Disana kulihat sudah ada eko, dendi & andri yang sedang duduk dibatuan sungai yang besar. Mereka mengangkat tangan menyapaku, aku hanya tersenyum kemudian ikut duduk disebelah mereka. Pertama, kami semua hening tanpa suara apapun.

Hingga ketika gusti mulai berbicara
“maneh keur peuting itu teh nempo bobongkong nyah bener?” {kamu. Waktu malam itu lihat bobongkong ya? Beneran?) kata gusti penasaran

Aku hanya mengangguk sembari menatap ke sungai.

Andri dan dendi berbarengan mengatakan hal yang sama “ tuh pan bener, ceuk aing ge. Da aing ge nempoan!” (tuh kan benar kata aku juga. Soalnya aku juga liat!)
Aku sedikit kaget mendengar pernyataan mereka berdua.

Hingga kemudian eko mulai berbicara & menceritakan satu kejadian yang terjadi kepada sepupunya yang bernama Erwan.

Kejadian ini terjadi 2 hari setelah kejadian yang aku alami.

Ketika itu hari sudah larut malam, saatnya semua warga untuk tidur, hanya beberapa pemuda yang melakukan aktifitas ronda yang masih terjaga.
Erwan terlihat gusar di kamarnya, dirumah itu ia hanya berdua dengan ibunya saja. Rumah Erwan adalah sebuah rumah panggung dengan lantai amben (bambu) dan dinding yang dianyam dari bambu juga. Sementara di bagian bawah rumahnya disangga oleh beberapa batu yang sudah dipipihkan disetiap sudut dan bagian tengah rumah, hingga membuatnya menjadi rumah panggung. Karena bagian bawah rumahnya kosong, Erwan membuatnya menjadi kandang untuk ayam-ayamnya.

[NEW] LEMBUR KA TUJUH

Malam itu, Erwan terlihat sangat pucat. Entah ia sedang sakit atau merasakan hal yang ganjil. Ranjang yang dikelilingi kelambu membuatnya sedikit kepanasan.

Dalam kegusarannya, ia menatap bagian atas rumahnya tanpa langit-langit, cahaya bulan menerobos masuk melalui genteng yang berlubang. Angin dingin masuk perlahan melaui celah bilik yang besar. Erwan kehausan.

Ia pun turun dari ranjangnya dengan suara decit lantai rumahnya yang terbuat dari bambu itu, memang begitu lantainya. Ia akan bersuara jika diinjak.

Karena takut membangunkan ibunya, Erwan berjalan perlahan berusaha untuk tidak membuat suara sekecilpun, tapi tetap saja lantai ambennya seolah tak mau berkompromi dengannya.

Setelah sampai didapur, ia mencari gelas ditempat yang biasa ia temukan.
Dibawah remang lampu berwarna jingga itu, Erwan kesusahan mencari gelasnya.
Hingga ia sadar jika gelasnya berada di tempat mencuci piring yang dekat dengan kamar mandi. Ia pun bergegas mengambil gelas itu dan langsung berjongkok dan mencucinya.

Disebelahnya adalah kamar mandi yang hanya berpintukan kain yang menerawang. Erwan tidak merasa aneh sebelumnya, ia hanya berpikir jangan sampai membuat suara apapun, agar ibunya tidak terbangun.

Ketika ia tengah mencuci gelasnya, angin meniup pintu kain yang disebelahnya, terangkat kemudian kembali ke posisi semula. Erwan hanya bergidik kedinginan, hingga ia mendengar suara seseorang

“Sssshhh… ssshhhh….”

Suara yang terdengar seperti orang yang bernafas dari dalam kamar mandi. Erwan sejenak berpikir setelah membilas gelasnya yang penuh dengan sabun. Ia berpikir jika itu hanya salah dengar saja, jikapun iya mungkin saja hanya suara daun pisang yang bergesek. Erwan berprasangka baik.
Hingga suara itu terdengar lagi, semakin keras ia mendengar suara itu. Erwan yang kebingunganpun mencoba mencari tahu.

Dengan perasaan takut campur bingung, ia perlahan mengangkat kain yang menjadi pintu kamar mandinya itu. Tangan kanannya perlahan mengangkat dengan posisi badan yang condong seperti orang yang akan melongok.

Pikirannya mulai berkecamuk, apa yang akan dia lihat jika ia membuka kain ini. Dengan sekuat tenaga erwan mengangkat kain itu sembari menutup matanya. Ketika sudah terbuka, erwan perlahan membuka matanya sedikit demi sedikit.

GELAP!

Kamar mandi itu gelap, erwan tidak menemukan siapapun di dalam sana, hanya lantai dan temboknya yang berlumut dan sebuah ember kecil. Erwan terlihat kesal, diapun kembali menutup kamar mandi itu, menjatuhkan kainnya hingga kembali ke posisi semula. Ia hanya terbengong memikirkan suara itu.

Hingga lamunannya terhenti, ketika suara ayam-ayam miliknya ribut dan membuat suasana menjadi berisik. Erwan langsung mengambil sebuah golok, ia berpikir itu adalah seekor musang yang berusaha mencuri ayam-ayamnya.

Erwanpun membuka pintu belakang rumahnya, kemudian langsung keluar berjalan menuju kandang ayam yang berada dibawah rumahnya. Tanpa bantuan apapun, hanya cahaya yang keluar dari atas lantai rumahnya yang sedikit membantu.

Ia menatap sekeliling dengan sangat teliti. Tidak ada musang atau hewan apapun, pikir erwan lega. Jika saja ada musang sudah dia penggal pastinya. Perasaannya mulai tenang, ia masih berdiri di samping rumahnya,
“eh wan keur naon?” (eh wan lagi apa?) ucap seorang pemuda yang sedang melakukan patroli ronda.

“euy jang, teu keur nanaon, tadi sugan aya careuh!” (eh jang, ga ada apa-apa. tadi aku kira ada musang!) jawab erwan setengah berteriak.

Setelah mendengar jawaban erwan, pemuda itu kemudian pergi diikuti 3 temannya lagi dibelakang. Setelah merasa cukup aman, erwan kembali masuk kedalam rumahnya lewat pintu belakang.

Ketika ia mengunci pintu belakang, terdengar suara benda terjatuh. Erwan kembali bingung dan mencoba mencari sumber suara itu. Perlahan ia berjalan, ia menengok melihat ke kamar ibunya. Semua ruangan yang berada dirumah erwan hanya ditutupi oleh kain saja, bukan pintu kayu atau triplek, jadi ia bisa dengan mudah melihat isi ruangannya.

Setelah ia melihat kamar ibunya yang gelap, erwan hanya menemukan ibunya yang sedang tertidur lelap dan tanpa ada tanda-tanda lain jika ada barang yang terjatuh.

Kemudian erwan berjalan kearah kamarnya, sama saja yang ia lihat tidak ada tanda-tanda benda yang terjatuh. Ia melihat sekeliling rumahnya dari ruang tengah, rumahnya hanya memiliki 6 ruang, 2 kamar, ruang tamu, dapur, kamar mandi dan gudang (tempat menyimpan bahan makanan). Setelah semua ruangan ia lihat, tinggal tersisa gudang yang belum ia selidiki.

Ia kembali berjalan pelan dan membuka kain yang menutupi ruangan itu.
Hingga…
Ia terkaget melihat kendi besar berisi beras miliknya tumpah ruah dilantai, erwan sangat kesal. Dalam kegelapan itu ia langsung berlari kemudian berjongkok berusaha memasukan beras yang tumpah kembali kedalam kendi.

“bau naon ieu?” (bau apa ini?) ucapnya sembari menutup hidungnya, bau seperti bangkai itu membuatnya berpikir jika ada sigung yang berada di gudangnya ini. Setelah selesai memasukkan semua beras yang tercecer, erwan langsung mencoba mencari kesetiap sudut ruangan itu dan disetiap belakang kendi kendi besar yang berisi bahan makanan itu.

Bau itu semakin tajam merogoh rongga hidung erwan yang membuatnya hampir ingin muntah. Hingga ia menghentikan tatapannya disatu titik disebelah gorden jendela ruangan itu. Ia melihat bayangan hitam berdiri disebelah gorden itu, erwan hanya menatap bingung. Tidak mungkin sigung sebesar dan setinggi itu?

Erwan perlahan mendekat untuk memastikan apa itu.

“Ssssshhhhhhh……”
suara itu kembali terdengar, bedanya suara ini terdengar sangat jelas. Telapak kaki erwan menginjak butiran beras yang ternyata masih tersisa diatas lantai, wajahnya pun menunduk untuk melihat beras-beras yang ada dikakinya untuk ia bersihkan.

Sesaat ketika wajahnya kembali terangkat!

“Ssssshhhhhh….” Wajah hitam yang pernah aku lihat berada tepat didepan erwan dengan bau yang sangat busuk merobek lubang hidung erwan dengan sangat tajam, matanya putih terbelalak seperti hampir akan keluar dengan lubang hidung yang sudah menjadi rongga, persis seperti apa yang aku lihat dengan kain kafan yang membungkus tubuhnya dan simpul berada diatas kepalanya.


“BOBONGKKKOOOONG!”Teriakan itu membuat erwan ambruk sejadi-jadinya, badannya lemas tak berdaya, ia meronta meminta tolong. Hingga ibunya menghampirinya dan Makhluk itu LENYAAPPP!

Ibunya panik kemudian mengangkat badan erwan dan membawanya pergi keluar ruangan itu. Malam itu erwan habiskan dengan berada dipelukan ibunya. Hingga pada keesokan harinya, ruangan gudang itu tercium sangat berbau busuk, hingga terpaksa ibunya mengeluarkan semua bahan makanannya agar tidak ikut beraroma tidak sedap. Satu hal lagi yang membuat hal ini lebih mengerikan, ibunya erwan menemukan jika gordennya terlihat seperti bekas dikunyah dan baunya seperti berada ditengah-tengah tumpukkan bangkai. Sangat BAU SEKALI!

Sampai sekarang hari dimana gusti dan lainnya menanyaiku, bau itu masih tetap tercium digudang rumah erwan dan dia masih syok dengan kejadian yang menimpanya.

Kami menyimak dengan serius apa yang diceritakan oleh Eko, hingga beriak air sungai mengagetkan kami semua…
"Aaaakkkk...."

Bersambung...

PART 3
Diubah oleh rosemallow 01-11-2019 13:58
gerandong66
tantinial26
banditos69
banditos69 dan 16 lainnya memberi reputasi
17
Tutup