rosemallowAvatar border
TS
rosemallow
JAMPE POPOTONGAN [KISAH NYATA]


Spoiler for Baca ini!:


PREV STORY << PELET PERAWAN [TAMAT]

PREV STORY << AMARAH DESA JIN [TAMAT]

JAMPE POPOTONGAN (JAMPI MANTAN SUAMI)

Seorang pemuda terduduk disebuah saung dengan beralas bambu yang dibuat sedemikian rupa hingga menjadi sebuah alas panggung dengan atap dari daun kelapa, ditengah sawah yang luas.

Pemuda itu memang terlihat sudah lumayan dewasa, belum menikah sama sekali. Umurnya diperkirakan sekitar 27-28 tahunan, dengan jenggot tebal tak memanjang, kulit coklat gelap dengan badan kurus berotot kering itu dikenal dengan nama Dedi. Tak banyak yang ia lakukan hanya merenungi nasibnya sekarang ini.

Mungkin tidak hanya ditanah sunda, tapi jika ada pemuda yang dengan umur yang sudah matang belum menikah itu menjadikannya sebuah masalah. Dedi sering minder karena dia tidak percaya diri dengan dirinya, dia sering berpikir jika fisik dan kemiskinannya adalah masalah utamanya sekarang.

Waktu itu tahun 2004, ketika aku masih SD berumur sekitar 8 tahun.

Suatu sore,
Bapakku datang kerumah dengan seseorang yang ku tahu sebelumnya, dan dia itu adalah dedi. Dedi hanya tersenyum kepadaku yang sedang makan dengan ibuku.
Bapakku duduk di kursi ruang tamu begitupun dedi yang duduk persis disebelahnya

"Diuk rada dituan atuh ded!" (Duduk agak kesana dong ded) ucap bapakku sembari tertawa kecil
Dedi hanya membalas senyum kemudian menggeser sedikit menjauh dari bapakku.
Umurku yang sekecil itu hanya menatap biasa melihatnya,
"Atuh mah, jieunkeun kopi atuh" (mah, buatin kopi dong!) Seru bapakku menyuruh ibuku yang baru saja selesai makan bersamaku.


Ibuku pergi ke dapur dan membuatkan kopi untuk bapak dan Dedi.

Singkatnya, dedi mulai bekerja dengan bapakku. Pikirku karena kasihan melihat keluarganya yang tidak terlalu berkecukupan dalam memenuhi kehidupannya sehari-hari.
Dedi tinggal bersama ibunya yang janda, adik laki-lakinya yang berbeda 6 tahun dengannya dan 3 keponakannya yang diketahui ibunya sedang bekerja di Arab saudi. Tapi jarang sekali memberikan uang kepada mereka. Maka dari itu seringkali mereka melakukan pekerjaan apapun tanpa mengeluh.

Meskipun dedi sering merasa minder, tapi dia juga sempat menyukai banyak wanita dikampung kami. Berkali-kali penolakan berujung dengan kesedihan yang dialami dedi. Meskipun begitu wanita kampungpun mempunyai selera yang sangat tinggi.
Karena bekerja dengan bapak, aku sering bertemu dengannya dirumah. Dedi adalah pemuda yang ramah, dia mempunyai etika yang sangat baik. Dia sangat murah senyum.

Hingga suatu ketika, wajahnya tidak seperti biasanya, dia hanya terdiam dengan ekspresi yang sedih. Hal itu memancing ibuku untuk bertanya keadaannya,
"Kunaon ded? Teu biasana?" (Kenapa ded? Gak biasanya) Tanya ibuku. Aku yang berada disitu pula sedang menonton Tv, menoleh sengaja dengan keingin tahuan yang besar
"Teu aya nanaon teh!" (Gak ada apa-apa teh!) Jelasnya kemudian tersenyum.

Ibuku hanya mengangguk tak memaksa dedi untuk bercerita.
Setelah menerima uang dari bapakku, dedipun pulang.

Sepulangnya dedi, uwakku datang kerumah dengan membawa makanan. Sudah tradisi dikampung ini untuk bertukar makanan.

Aku mendengar uwakku menceritakan hal tentang dedi dan keluarganya
"Nya eta, karunya si dedi" (kasian si dedi) kata uwakku memulai pembicaraan
"Oh heeuh, kunaon emang teh?" (Oh iya, kenapa emangnya teh?)
Aku terus menguping pembicaraan ibu dengan uwakku. Cerita yang lumayan panjang kudengar. Ternyata


"Ibunya dedi, yakni Bi Uun diganggu oleh beberapa warga, mereka membuang dagangan bi uun yakni ikan, bi uun memang sering berkeliling kampung untuk menjual ikan-ikan tapi entah mengapa seringsekali bi uun mendapat perlakuan buruk dari warga sekitar, mulai dari dibicarakan aibnya sampai diperlakukan tidak senonoh"

Para warga sering menganggap keluarga dedi itu sebagai hinaan, mereka seringkali menertawakan kondisi keluarga dedi. Rumah yang hampir seperti gubuk, berdindingkan bilik dan lantainya hanya tanah, membuat keluarganya menjadi bulan-bulanan iseng para warga.
Rumah mereka berada diujung persawahan dibatas hutan, jauh dari pemukiman warga lain. Aku sering melihat rumahnya ketika ku biasa mencari belalang disawah yang sudah dipanen. Tampak reot pikirku. Rumah itu nampak sudah tak layak lagi untuk dihuni.

Hingga suatu ketika, sebuah kejadian yang menjadi buah bibir dikampungku terjadi tidak jauh dari rumah dedi diperbatasan hutan dan persawahan dikampung ini.

Begini ceritanya...

2 orang anak laki-laki beumur kisaran 15 tahun berjalan melewati rumah dedi dengan satu buah golok yang dipegang salah satu anak itu, sebut saja Dian dan adang. Dian dan adang berniat mencari jambu mete atau kita sering menyebutnya Mede. Yang memang banyak tumbuh dihutan belakang rumah dedi.

Kala itu waktu sudah tengah hari, adzan dzuhur pun baru saja berhenti berkumandang. Dian dan adang tak pernah merasa ada hal yang aneh, ini memang hutan yang biasa mereka masuki ketika mencari buah atau kayu bakar.

Setelah melewati rumah dedi, mereka berdua hanya memandang rumah reot itu kemudian masuk kedalam hutan.

Dengan seksama mereka menghampiri setiap pohon jambu mete dan melihat-lihat keatas mencari buah yang sudah matang dengan warna jingga sampai merah segar. Banyak sekali buah yang mereka temukan, hanya saja daging buah tidak mereka ambil, mereka hanya mengambil biji-biji metenya untuk mereka bakar dan makan.

2 jam mereka berkeliling didalam hutan dengan pohon-pohon besar menjulang, lelah menangkap mereka. Direbahkannya badan mereka berdua diatas dahan pohon mangga yang tidak terlalu tinggi tapi berbatang besar

Berniat untuk beristirahat sejenak sebelum mereka pulang.

"Dang, sia pernah nempo jurig?" (Dang, kamu pernah lihat hantu?) Tanya dian iseng

Adang hanya menggeleng dengan potongan buah mangga mentah berada digigitannya.

"Hayang nempo embung?" (Mau lihat gak?) Kata dian meneruskan

"Embung teuing!" (Nggak mau lah) jawab adang cuek

"Ah borangan, yeuh ku aing bere nyaho mun sia hayang nempo jurig!" (Ah penakut, nih aku kasih tahu kalo kamu pengen lihat hantu!) Jelas dian bangun dari baringnya

"Ih pan cik aing geh embung!" (Ih kan kata gua juga gak mau!) Ketus adang

"Heeuh ges repeh, yeuh kieu carana!" (Udah diem aja, gini nih caranya) ujar dian memegang bahu adang.

Adang hanya terlihat sedikit panik sembari mengupas mangga mentah ditangannya.

"Sia botakan hulu sia, terus kerok halis sia, laju sataranjang terus ngaca! Tah sia bakal nempo jurig dikacana! Hahaha" (kamu botakin kepala kamu, terus cukur alis kamu, kemudian telanjang dan berkaca! Nah kamu bakal melihat hantu dikacanya! Hahaha) jelas dian diakhiri tawa yang sangat kencang.

Adang terlihat diam dan bingung" atuh etamah aing dian!" ( Itumah gua atuh dian) jelas adang sembari memukul dada dian hingga terjatuh dari dahan.

"Gedebuk" suara badan dian yang membentur tanah dengan dedaunan kering diatasnya. Dian hanya terus tertawa sambil mengeluh kakinya yang sedikit sakit.

"Modar sia!" (Rasain lu) kata Adang kemudian tertawa.


Tapi pada saat itu juga, adang tak mendengar suara dian yang tadi masih tertawa, dilihatnya ke bawah. Dian terlihat mengamati sesuatu dari kejauhan, itu membuat adang kemudian turun dari atas pohon.

"Yan, aya naon?" (Yan ada apa?) Tanya adang dibelakang dian sembari mengambil kantong keresek berisi biji jambu mete yang ia taruh diakar pohon mangga besar itu.
"Ssst, repeh... Itu naon nu hideung ngarumbay!" ,,(Ssst, diam... Itu apa yang hitam tergerai)


Bersambung
PART 2

PART 3

PART 4

PART 5

PART 6

PART 7

PART 8

PART ENDING
Diubah oleh rosemallow 27-10-2019 14:03
pulaukapok
tantinial26
minakjinggo007
minakjinggo007 dan 32 lainnya memberi reputasi
33
24.6K
175
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
rosemallowAvatar border
TS
rosemallow
#25
JAMPE POPOTONGAN [PART 3]
Kisah mistis yang dialami adang dan dian hanya menjadi candaan belaka dikalangan para warga, mereka hanya mencemooh dan menganggap jika kuntilanak yang dilihat adalah bi uun. Karena memang bi uun mempunyai rambut yang panjang sampai ke pinggul.

Dian dan adang hanya menatap kesal, jika ada yang menertawakan mereka tentang hal itu. Terlebih banyak warga menganggap keluarga dedi memelihara dedemit.

itu pula terdengar ke telinga dedi, dedi sempat bersedih sekaligus bergidik ngeri jika disekitar rumahnya ada makhluk yang sangat mengerikan. Tetapi itu semua ditepisnya, karena dia tahu dia tidak pernah melihat keberadaan makhluk tak kasat mata itu.

Berhari-hari kisah itupun perlahan menghilang, tapi tetap saja menjadi kenangan yang sangat buruk bagi adang dan dian. Mereka enggan lagi untuk pergi ke hutan sementara waktu.

Suatu malam,

Rumah dedi kedatangan tamu, jarang sekali menurut dedi ada orang yang mau bertamu ke rumahnya.

"Assalamualaikum" ucap seseorang didepan pintu rumah dedi
"Waalaikumsalam" jawab dedi dari dalam rumah
Perlahan dedi membuka pintu rumahnya yang tak lagi kokoh itu.

Dedi memandang bingung wajah seorang laki-laki didepannya itu, matanya menelisik seperti mengingat-ingat sesuatu.

"Maenya teu apal aing ded?" (Masa ga hafal sama aku ded?) Ucap pria itu sembari tertawa kecil

"Astagfirullah, deden. Geus balik maneh?" (Astagfirullah, deden. Sudah pulang kamu?) Jawab dedi sembari memeluk kawan lamanya itu.
Deden adalah teman dekat dedi sedari dulu mereka kecil, setelah beranjak dewasa deden memutuskan untuk pergi bekerja ke luar kota. Sekarang tiba-tiba ia kembali lagi ke kampung ini.

Dedi terlihat sangat sumringah sekali, dipersilahkannya deden untuk duduk diatas tikar yang sudah digelar oleh bi uun.

Terlihat 3 keponakan dedi menghampiri deden dan mencium tangannya, deden memberikan selembar uang 5000 untuk masing-masing anak itu.

Deden terduduk santai dengan rokok yang sudah ia nyalakan, kemudian dedi memulai pembicaraan mereka

"Geus hebat euy ayenamah!" (Sudah hebat sekarang mah ya!) Ucap dedi menepuk pundak deden.

"Haha teu kitu ded sia mah, Alhamdulillah weh" (haha nggak gitu ded kamu mah, Alhamdulillah aja) jawab deden setengah tertawa, dia tak menanya balik tentang keadaan dedi. Keadaan rumahnya pun sudah cukup memberitahunya bagaimana keadaan dedi sekarang.

"Oh nya ded, aing rek ngomong serius yeuh!" (Oh iya ded, aku mau ngomong serius nih!) Ucap deden berbisik

"Ngomong weh den, kunaon?" (Ngomong aja den, kenapa?) Jawab dedi santai
Deden mengangguk pelan,

"Sia hayang nikah teu?" (Kamu mau nikah gak?) Tanya deden
Dedi hanya tertawa kemudian mengangguk.

"Kieu, aing aya kenalan awewe geulis pisan tapina janda geus boga anak hiji, teu lila sih papisahan jeng popotonganna. Sia hayang mbung?" (Gini, aku ada kenalan cewek cantik banget, tapi sudah janda dan punya anak satu, gak lama sih perceraian dengan mantan suaminya. Kamu mau gak?) Tanya deden serius

"Hah? nubener? Tapi maneh nyaho kaayaan kaluarga aing kumaha!' (hah? Beneran? Tapi kamu kan tahu keadaan keluargaku gimana!) Ucap dedi minder

"Gak usah dipikirin, nikah sederhana weh ulah mewah-mewah, kajeun dibiayaan ku awewena!" (Gak perlu dipikirkan, nikah sederhana aja gaperlu mewah-mewah, gak apa-apa dibiayai sama ceweknya!) Jelas deden

Dedi hanya terdiam terbengong-bengong.

"Geus, isukan ku aing bawa awewena heug!" (Yaudah, besok aku bawa ceweknya ya!) Kata Deden sembari menghisap rokok terakhirnya, kemudian berdiri dan langsung berpamitan kepada dedi dan keluarganya.

Waktu sudah menunjukkan pkl. 11.00 malam,

Dedi masih diam sembari terbaring di alas tikar tadi, ia bingung sambil menatap rumahnya yang tak ada langit-langitnya itu. Senang sekaligus bingung yang dedi rasakan. Ia tak mengerti takdir apa yang akan menghinggapinya.

Hingga esokpun tiba,

Seorang wanita turun dari sepeda motor bersama seorang anak gadis berumur 7 tahun, didepan rumahnya dedi sudah terlihat rapi dengan kemeja abu yang hampir memutih bersama bi uun, deden dan ketiga keponakannya. Tak terlihat barang mewah satupun yang melekat dibadan mereka.

Terlihat seorang wanita berparas ayu dengan mata sendu dan rambut sepunggung yang menggerai lurus, wajah oval dengan dagu yang lancip memberikan kesan yang mengagumkan untuk dedi. Wanita itu terlalu sempurna untuk dedi, ia sangat cantik namun terlihat pucat. Sementara dedi hanya laki-laki biasa yang miskin.

Wajah dedi memerah, sepertinya ia sudah mulai menyukai wanita ini. Dedi melihat seorang gadis kecil memegang erat rok wanita itu, gadis ini tak kalah cantik dari ibunya.

Perlahan wanita itu berjalan kearah keluarga dedi dan deden yang sudah berjejer rapi, Berbeda dengan dedi dan lainnya, bi uun terlihat tak terlalu senang dengan kedatangan wanita ini. Entah apa yang dipikirkannya, bi uun nampak berwajah muram. Sepert ia memikirkan hal yang negatif tentang hal ini.

Setelah mencium tangan bi uun, kemudian dedi mempersilahkan wanita itu masuk kedalam rumahnya. Tak ada ekspresi kaget atau jijik ketika wanita itu masuk ke dalam gubuk reot itu. Ia terlihat sebaliknya, wajahnya tampak antusias melihat bagian dalam rumah dedi.
"Nah ded, ieu nu kamari ku aing caritakeun!" (Nah ded, ini yang kemarin yang aku ceritakan!) Ujar deden sembari memegang bahu kurus dedi.

Dedi hanya tersenyum dan dibalas senyum manis wanita itu.

Kemudian dedi menyodorkan tangannya berniat menyalami wanita itu untuk berkenalan.

"Imas a, Nami abdi Imas" (Imas a, nama aku Imas) kata wanita itu dengan suara yang sangat lembut
"Deeedi, abdi Dedi" (deeedi, aku Dedi) jawab Dedi dengan terbata-bata

Bi uun terlihat menguping pembicaraan mereka, ia mengintip dibalik kusen pintu tanpa pintu pemisah ruangan tengah dengan dapur.



Bi uun masih terlihat tidak terlalu senang dengan wanita itu.

Setelah berbasa-basi, Dedi bangun dari duduknya kemudian pergi ke dapur dimana ibunya sedang mempersiapkan air untuk mereka.

"Mak, ku Dedi Bae anu mawa!" (Mak, sama Dedi aja yang bawa) kata Dedi ramah
Bi uun hanya terdiam dengan wajah yang sangat murung.

"Mak ulah kitu atuh? Pan ieu keun kabahagiaan Dedi Mak" (Mak jangan kaya gitu? Kan ini untuk kebahagiaan Dedi mak) ucap Dedi meneruskan.

"Emak Ngan teu ngeunah hate Weh Ded!" (Emak cuma ga enak hati aja Ded!) Jawab emak lirih sembari mengusap air mata yang keluar dari matanya.

"Terserah emak atuh, ulah sok suudzon!" (Terserah emak aja, jangan suka suudzon) ketus dedi sembari membawa nampan dengan 3 gelas air putih, kemudian kembali ke ruang tengah.

Gadis kecil anaknya imas, hanya terdiam memandang dedi yang berjalan. Dedi bertemu mata dengan anak kecil itu.

Dedipun menyuguhkan air itu kepada deden dan imas.

"Neng, namina saha?" (Neng, namanya siapa?) Tanya dedi kepada anak kecil itu
Gadis kecil itu hanya menyembunyikan wajahnya dibelakang punggung imas, imas kemudian menarik gadis itu agar tidak bersembunyi dibelakangnya.

"Namina diana" (namanya diana) kata imas sedikit tersenyum
Kemudian deden memulai pembicaraan yang lebih serius tentang pernikahan mereka, mereka akan melakukan pernikahan yang sudah disepakati dari awal yakni pernikahan yang sederhana saja. Tidak mengundang banyak orang. Lagi pula dikampung ini, imas tidak mengenal siapapun, dahulu imas bekerja di kota B, sementara kota asalnya adalah sebuah desa yang sebenarnya dipisahkan oleh hutan lebat dengan kampung kami.

Dedi tidak terlalu banyak bicara, dia hanya mengangguk saja. Sepertinya dia sudah terpesona dengan Imas yang dia nilai sangat cantik. Iapun sangat kagum dengan badan imas yang tinggi dan ideal, dengan lekukan tubuh yang mana laki-laki manapun pasti akan menginginkannya. Seperti ketiban durian runtuh, pembicaraan ini ditanggapi bahagia oleh dedi dan cepat-cepat menentukan tanggal pernikahan saat itu juga.

Bi uun hanya menatap pasrah, ia tidak bisa menolak ini semua meskipun perasaannya sungguh buruk terhadap semua ini. Bi uun seolah tak percaya ada wanita secantik itu mau dengan dedi yang miskin ini, pekerjaanpun dedi sering sekali berganti-ganti, sekolah saja SD tidak lulus. Apa yang diharapkan wanita itu terhadap dedi?

Setelah merasa sudah cukup membicarakan hal ini, imas dan anaknya serta deden berpamitan untuk pulang. Ternyata imas sudah mengontrak sebuah rumah kecil tak jauh dari rumah deden dekat dengan pemukiman warga lain.

Saat imas akan menaiki motor deden, bi uun berteriak dari dalam rumahnya!

Bersambung...

PART 4
Diubah oleh rosemallow 17-10-2019 08:52
pulaukapok
tantinial26
banditos69
banditos69 dan 12 lainnya memberi reputasi
13