She finds it hard to trust someone,
She's heard the words cause they've all been sung.
She's the girl in the corner,
She's the girl nobody loved.
But I can't, I can't, can't stop thinking about you everyday,
And you can't, you can't,
you can't listen to what people say.
They don't know you baby,
Don't know that you're amazing,
But I'm here to stay.
When you lose your way and the fight is gone,
Your heart starts to break
And you need someone around now.
Just close your eyes while I put my arms above you,
And make you unbreakable.
She stands in the rain, just to hide it all.
If you ever turn around,
I won't let you fall down now.
I swear I'll find your smile,
And put my arms above you,
And make you unbreakable.
I'll make you unbreakable.
Cause she's the girl that I never had,
She's the heart that I wanted bad.
The song I heard on the radio
That made me stop and think of her.
And I can't, I can't, I can't concentrate anymore.
And I need, I need,
Need to show her what her heart is for,
It's been mistreated badly,
Now her world has started falling apart,
Falling apart.
When you lose your way and the fight is gone,
Your heart starts to break
And you need someone around now.
Just close your eyes while I put my arms above you,
And make you unbreakable.
She stands in the rain, just to hide it all.
If you ever turn around,
I won't let you fall down now.
I swear I'll find your smile,
And put my arms above you,
And make you unbreakable.
You need to know that somebody's there all the time,
I'd wait in line, and I hope it yours.
I can't walk away 'til your heart knows,
That it's beautiful.
Oh, I hope it knows, It's beautiful.
When you lose your way and the fight is gone,
Your heart starts to break
And you need someone around now.
Just close your eyes while I put my arms above you
And make you unbreakable.
She stands in the rain, just to hide it all.
If you ever turn around,
I won't let you fall down now.
I swear I'll find your smile,
And put my arms above you,
And make you unbreakable.
Cause I love, I love, I love, I love you darling.
Yes I love, I love, I love, I love you darling.
And I'll put my arms around you,
And make you unbreakable.
Hanya pendar lampu baca yang temaram menemani duduk bersimpuh gua malam ini. Setelah tunai dua rakaat Tahajud di sepertiga malam yang terakhir, gua mulai berdoa, memohon kepada Allah untuk dimudahkan segala usaha, khususnya urusan perkara Marcella.
Kepada yang Maha Memiliki.
Pagi itu, setelah rapi jali untuk siap-siap berangkat kerja, gua menghampiri ibu yang tengah membuat sarapan di dapur. Gua meraih piring kosong dari rak dan menyerahkannya ke Ibu yang masih mengaduk-aduk nasi goreng diwajan. Ibu lalu mengambil satu sendok spatula nasi goreng keatas piring yang tadi gua serahkan; “Tumben, semangat banget? biasanya males-malesan kalo disuru sarapan”
“Iya nih..” Gua menjawab, ya walaupun ‘iya nih’ bukanlah sebuah jawab yang tepat.
“Nah, kalo sarapannya semangat kan, ibu juga seneng bikinin sarapannya..” Ibu bicara lembut sambil menyerahkan piring berisi nasi goreng.
“Bu..”
“Ya..”
“Marcella mau ikut Arif…” gua bicara ke ibu, sembari mengaduk-aduk nasi goreng demi mencoba menghilangkan uap panasnya.
“Maksudnya?” Ibu bertanya, masih kurang mengerti dengan perkataan gua barusan.
“Marcella mau masuk islam..” Gua mengulang perkataan sebelumnya, kali ini tanpa sebuah perumpamaan.
Mendengar hal tersebut, ibu menghentikan kegiatan memasaknya, memutar kenop kompor ke posisi ‘mati’, kemudian perlahan beralih menghadap ke gua yang tengah duduk dimeja makan.
“Serius, Rif?” Ia kembali bertanya, wajahnya terlihat sedikit terkejut.
“Iya..” Gua menjawab singkat sambil mengangguk, sementara tangan gua masih mengaduk nasi goreng.
Ibu lalu berjalan cepat ke arah meja makan, menarik salah satu kursi disebelah gua dan duduk disana. Ia lalu meraih tangan kiri gua; “Alhamdulillah… Rif..” Selesai bicara, ibu lalu berdiri.
“Mau kemana, bu?”
“Ngasih tau bapak..” Ibu menjawab singkat sambil berlalu
Beberapa menit berikutnya, baru saja gua menyelesaikan suapan terakhir nasi goreng buatan ibu. Bapak menghampiri, ia meraih gelas yang diletakkan terbalik ditengah meja makan. “Bener, rif?” Bapak bertanya, sambil menuang air putih dari teko, matanya nggak memperhatikan gelas dan teko ditangannya, ia memandang ke arah gua, tajam.
“Apanya yang bener?” Gua balik bertanya ke Bapak, berpura-pura nggak mengerti maksud dari pertanyaannya barusan.
“Itu, tadi kata Ibu, temen kamu mau masuk islam..” Bapak kembali bertanya, kali ini dengan menggunakan kalimat yang lebih lengkap.
“Insha Allah..” Gua menjawab diplomatis.
“Ya bagus dah kalo mau masuk islam mah…” Bapak lalu merespon, sementara gua masih menunggu apakah masih ada kelanjutan dari kalimat yang baru saja bapak lontarkan.
…
Tak ada.
“Trus gimana pak?” Gua mengajukan pertanyaan, sebuah pertanyaan klise yang gua tau pasti pertanyaan tersebut membutuhkan penjelasan lain.
“Apanya yang gimana?” Bapak balik bertanya.
“Ya, nanti kalo Marcella udah ikut kita, berarti kan udah ridho dong?” Gua kembali bertanya ke Bapak, sengaja menggunakan kata ‘ikut’ daripada ‘pindah agama’ yang malah terkesan terlalu ‘frontal’.
“Ya, itu kan nanti.. ya liat aja nanti…” Bapak menjawab santai.
“Paak, udah bagus dong, kalo Marcella udah mau ikut kita..” Ibu angkat bicara, setelah baru saja muncul dari ruang tamu. Ia duduk disebelah dan kembali menggenggam tangan gua.
“Yaudah rif, besok ajak kesini deh si cella..” Ibu menambahkan.
“Eeet.. enak aja!! Ntar kalo udah islam baru boleh kemari… lagian juga biar kata udah islam,
tuh anak tetep aja Cina!” Bapak bicara, suaranya tegas namun nada-nya tetap rendah, sementara matanya memandang kearah lain, bukan ke arah gua atau Ibu.
Mendengar ucapan bapak barusan membuat dada gua terasa sesak dan berat. Gua merasakan kedua telapak kaki dan tangan mulai basah. Ucapan Bapak memang sesuai dengan apa yang gua prediksi sebelumnya, namun tentu saja bertentangan dengan apa yang gua harapkan.
Gua lalu berdiri, menghadap ke Bapak; “Pak, kalo Arif akhirnya nikah sama orang Arab, bapak setuju?”
“Ya setuju..” Bapak menjawab cepat.
“Walaupun cewek arab tersebut nasrani?” Gua kembali mengajukan pertanyaan kepadanya.
“Bapak, mau agama lain menghormati islam, tapi orang-orang kayak bapak ini yang malah merusak citra islam yang sesungguhnya. Apa bedanya sih pak, Cina, Arab, Niger, Melayu, Eropa? cuma kulitnya doang.. dalam islam kita semua sodara..” Gua menambahkan.
Mendengar ucapan gua tersebut membuat Bapak tersulut emosinya. Bukan, bukan karena isi kalimat yang gua utarakan, melainkan karena gua, yang ‘masih bau kencur’ berani-beraninya menggurui beliau perkara agama. Ia lalu bangkit berdiri dan tangannya mulai mengepal. Melihat hal ini, ibu buru-buru menghampiri bapak dan memeluknya
“Kamu ini, kalo dibilangin malah ngajarin orang tua…” Bapak buka suara, sementara Ibu masih memeluk bapak.
“Pokoknya bapak nggak mau ada cina yang masuk kerumah ini, apalagi sampe jadi keluarga.. Titik!”
Gua meraih jaket dan tas dari kursi dan berjalan keluar dari rumah. Samar, terdengar teriakan bapak dari dapur: “Kalo kamu sampe nikah sama dia, jangan pulang, pergi dari sini!”
Suara mesin motor gua, membuat suara teriakan bapak semakin tak terdengar, kemudian perlahan hilang terganti dengan bisingnya suara kendaraan dijalan raya.
---
“Gua males moto hari ini, us…” Gua berkata ke Daus sambil menjatuhkan tas dimeja kerja.
“Lah, mangapa bang? ini hari foto cuma dikit..” Daus menatap gua, memalingkan wajahnya dari ponsel yang tengah ia mainkan, terdengar samar suara dari ponselnya; ‘An ally has slain Lord’.
Gua menjatuhkan diri dikursi, kemudian menghela nafas, nggak menggubris pertanyaan dari Daus. Melihat gelagat yang nggak ‘asik’ dari gua, Daus lalu kembali larut dalam permainan ponselnya. Gua berdiri dan berjalan menuju pintu keluar ruangan.
“Mo kemana bang? yauda bang ntar gua aja yang moto yah..” Daus kembali bersuara dan lagi-lagi, gua abaikan.
Beberapa menit berikutnya gua sudah berada di lobby kantor Marcella; “Mbak, minta tolong, mo ketemu Marcella dong” Gua bicara ke wanita yang duduk dibalik meja resepsionis.
“Dari mana mas?” Wanita tersebut bertanya ke gua.
“Bilang aja, Arif..” Gua menyebutkan nama gua.
Wanita tersebut kemudian mempersilahkan gua menunggu, sementara ia mulai mengangkat gagang telpon dan menekan beberapa kombinasi angka ekstensi. Gua menjatuhkan diri di sofa ruang tunggu lobi kantor Marcella. Ruangannya nggak begitu besar, kira-kira seukuran 4 atau 5 meter persegi. Dibagian depan terdapat pintu masuk berbentuk kaca yang bersebrangan dengan meja resepsionis. Dibalik meja tersebut terdapat sebuah logo perusahaan tempat Marcella bekerja, sebuah logo dengan dua huruf S besar yang berbentuk simetris, terbuat dari bahan alumunium yang berkilau dengan lampu besar dibelakangnya, menambah kesan luxurius dan elegan. Sementara, dikedua sisi resepsionis terdapat dua buah sofa kecil berbahan kulit berwarna hitam. Dengan beberapa pohon kecil menghiasai sudut-sudut ruangan. Sejajar dengan meja resepsionis terdapar sebuah pintu yang (seperinya) mengarah ke ruang kerja.
“Tunggu sebentar ya mas..” Wanita tersebut bicara ke gua dari bali meja resepsionis, yang gua jawab dengan anggukan kepala.
Beberapa saat kemudian, Marcella muncul dari balik pintu yang sejajar dengan meja resepsionis. Ia berdiri sejenak, memandang ke arah gua, sedikit bingung. Kemudian ia berjalan mendekat, sambil bicara pelan, sangat pelan; “Ngapain kesini, dua hari lagi kan?”
Gua menepuk sofa disebelah gua, mengisyaratkan agar Marcella duduk. Ia menolaknya, kemudian telapak tangannya digunakan untuk menutup kedua telinganya. Marcella lalu membungkuk kearah gua; “Gua nggak mau denger apa-apa yang bakal ganggu kerjaan gua hari ini… Entah itu berita seneng atau berita sedih..”
Belum sempat gua merespon perkataannya, Marcella lalu menambahkan, kedua tangannya masih digunakan untuk menutup telinganya; “Ntar sore aja…, gua balik jam 5, gua tunggu di ‘Nebe’”.
Gua menghela nafas, kemudian berdiri dan berjalan keluar dari kantor Marcella. Sementara gua menunggu lift, terlihat melalui pintu kaca kantor Marcella, ia masih berdiri memandang gua sambil tersenyum, kemudian ia menggerakan bibirnya, tanpa suara; “i love you”
---
Jam menunjukkan pukul 5 lewat 15. Gua duduk sendiri dikursi kayu yang sepertinya dibentuk dari potongan pohon besar di ‘Nebe’. Sebuah kafe kecil yang terletak di pintu selatan Lobby gedung tempat gua dan Marcella berkantor. Gelas berisi Capucino milik gua tersisa setengah, sementara mata gua masih terus memandang kearah deretan lift yang sibuk. Berharap menangkap sosok Marcella, keluar, menyeruak dari kerumunan karyawan yang keluar dari pintu Lift.
Gua meraih ponsel dan berusaha menghubunginya. Beberapa kali nada sambung terdengar, namun tak kunjung ada jawaban. Gua menekan icon telpon berwarna merah, kemudian mencoba menghubunginya kembali.
“Halo..” Suara Marcella terdengar diujung sana.
“Lo dimana, gua udah di Nebe..”
“Di Nebe…” Ia menjawab santai.
Mendengar jawabannya, gua langsung celingak-celinguk mencari dirinya. Dari kerumunan orang yang keluar dari gerbang otomatis, terlihat Marcella berjalan cepat ke kafe. Ponselnya masih menempel ditelinganya, ia tersenyum kearah gua.
“Duuh lift antrinya kebangetan…” Ia bicara, menjatuhkan tasnya dimeja kemudian berjalan cepat ke arah meja pemesanan. Beberapa saat kemudian, ia sudah kembali dengan segelas kopi hitam ditangannya.
“Gue tuh, udah keluar kantor jam 5 kurang 15, nunggu lift nya setengah jam..”
“Ditelpon nggak diangkat..”
“Susah ngambil hapenya rif, didalem lift tadi, Nah lo tumben banget jam segini udah kelar.. biasanya gue yang nungguin, lagi ga ada kerjaan ya?”
“Iya..”
Kemudian percakapan kami terhenti.
Marcella memandang tajam ke gua, seakan tengah membaca dan menebak apa yang ada dipikiran gua hanya melalui mata dan raut wajah. Dan sepertinya, Marcella berhasil. Berhasil mengetahui arah obrolan kami hanya melalui mata dan raut wajah gua, ia tahu kalau Bokap gua nggak berhasil diyakinkan. Beberapa saat kemudian ia menggelengkan kepalanya; “Tuuh kan… endingnya bakal kayak gini..”
Ia meraih tasnya dan mengeluarkan kemasan tisu dari dalamnya. Mengambil beberapa helai kemudian menyeka sudut-sudut matanya yang mulai berlinang.
Sementara gua hanya terdiam. Tak mampu dan tak bisa berkata apa-apa.
Marcella lalu berdiri, meraih tas-nya dan pergi meninggalkan gua, masih dengan isaknya yang lirih. Gua lalu berjalan cepat menyusulnya, menggapai lengannya.
Langkah kami berdua kemudian terhenti, Marcella kembali duduk disalah satu kursi, masih diarea halaman kafe. Matanya memandang kearah langit-langit, seakan berusaha keras agar air matanya tak jatuh.
“Bokap lo bilang gimana?” Ia bertanya.
Gua diam sejenak, kemudian mulai bercerita kejadian yang menimpa gua dirumah, tadi pagi.
“Pulang rif…” Ia bicara lirih.
“...”
“Putusin gue..” Marcella meminta.
Kata-katanya barusan mengingatkan beberapa tahun yang lalu. Kala kita masih SMA, disalah satu sudut sekolah, ia pun meminta; “Tambak gue, rif..”. Kali ini, ia kembali meminta, namun sepertinya sulit bagi gua untuk mengabulkannya.
“Putusin gue, dan pulang ke keluarga lo. Gue nggak mau, lo kehilangan keluarga demi gue…”
Gua pun kembali terdiam.
Butiran air menetes, menggoyangkan dedaunan dihalaman kafe. Rintik hujan pun turun, langit pun seakan ikut bersedih bersama Marcella.
“Hujan…” Marcella kembali bicara, tangannya ia julurkan, menggapai butiran air hujan.
“Kayaknya, emang takdir nggak berpihak ke kita…, lo lupain gue ya rif..” Marcella bicara kemudian berjalan cepat menuju taksi yang kebetulan melintas. Sementara, gua seperti nggak memiliki kekuatan apa-apa. Hanya mampu terdiam, melihatnya masuk kedalam taksi dan perlahan menghilang.
Hujan- Utopia
Rinai hujan basahi aku
Temani sepi yang mengendap
Kala aku mengingatmu
Dan semua saat manis itu
Segalanya seperti mimpi
Kujalani hidup sendiri
Andai waktu berganti
Aku tetap takkan berubah
Aku selalu bahagia
Saat hujan turun
Karena aku dapat mengenangmu
Untukku sendiri
O-o-ow ...
Selalu ada cerita
Tersimpan di hatiku
Tentang kau dan hujan
Tentang cinta kita
Yang mengalir seperti air
Aku selalu bahagia
Saat hujan turun
Karena aku dapat mengenangmu
Untukku sendiri
O-o-ow ...
Aku bsa tersenyum sepanjang hari
Karena hujan pernah menahanmu di sini
Untukku
Aku selalu bahagia
Saat hujan turun
Karena aku dapat mengenangmu
Untukku sendiri
O-o-o-o-ow ...
Aku bsa tersenyum sepanjang hari
Karena hujan pernah menahanmu di sini
Untukku
Quote:
Kalian juga bisa membaca tulisan gua yang lain disini