Harusnya aku lebih mendengar hatiku dan sayangnya manusia tidak bisa melihat masa depan. Intuisi sering sekali diabaikan dengan alasan-alasan yang jauh lebih rasional. Itu wajar. Tidak mungkin kita menyandarkan sebuah keputusan hanya berdasarkan perasaan tidak enak, bukan? Karena perasaan itu bisa jadi muncul karena hal lain. Tidak mesti sebuah peringatan.

 Akan tetapi bagaimana jika perasaan tidak enak itu menggelayut lama. Mengikutimu seperti bayangan? Apakah masih akan tetap abai? Ditepis, dibuang, tapi kembali datang.

“Sudahlah Sur, itu cuma perasaanmu saja. Kita sudah mempersiapakan lama perjalanan ini. Dan sekarang kita sudah di sini. Bandara Internasional Lombok. Masa mau balik lagi ke Jakarta hanya gara-gara perasaan tak enak,” kata Randi.

Aku menunduk. Aku akui apa yang dikatakannya benar. Kami tidak mungkin kembali lagi. Tidak ada alasan genting dan rasional untuk membuat Tiwi dan Utari mengiyakan kembali ke Jakarta. Lagi pula aku hanya berani bercerita pada Randi.

Randi menepuk pundakku. “Ayo! Travel pesanan kita sudah nelpon kalau mereka sudah di luar.”

Tiwi, Utari, Ryan, Randi, dan Aku—Surya. Kami berlima memutuskan bahwa liburan kali ini akan kami habiskan di Lombok. Hal pertama yang akan kami lakukan adalah mendaki Rinjani. Buruknya, ide itu sebenarnya datangnya pun dari aku, sebulan yang lalu. Aku merasa bahwa liburanku selama ini terlalu biasa, flat, tidak menarik.

“Yang, nanti sleeping bad-nya satu berdua, ya?” goda Ryan pada Tiwi. Mereka baru berpacaran, lebih tepatnya memutuskan berpacaran setelah berteman sejak SMP. Kami semua satu gank sejak SMP hingga kuliah. Kampus kami bahkan sama. Hanya jurusannya saja beda-beda.

“Kalau kamu udah berani ketemu papa!” jawab Tiwi agak ketus.

“Tiap malam minggu, aku kan ketemu papamu,” elak Ryan.

“Oon!” kata Randi sambil tangannya menyambar kepala Ryan.”Lamar, maksudnya. Tunangan.”

“Gampang, besok kembali dari sini. Aku lamar langsung.” Ryan mengusap kepalanya.

“Omong doang!” Tiwi masih menjawab ketus. Sedang Utari tertawa cekikikan di bagian depan.

Pikiranku masih kacau. Aku seolah tak bisa ikut membaur bersama kawan-kawanku ini. Mimpi dan perasaan tak enak itu tak bisa hilang.

Kami tiba di Sembalun. Guidekami mengantarkan kami ke penginapan yang sudah disediakan. Katanya, ada baiknya untuk bermalam dulu. Karena tubuh butuh penyesuaian dengan cuaca baru. Di sini memang berbeda dengan Jakarta yang panas.

Tidak ada yang berniat beristirahat. Setelah semua perlengkapan diamankan di penginapan, kami segera mengeksplore seluruh bagian dari tempat wisata yang ada di Sembalun. Pemandangan yang instagramabledan tentunya desa adat bale beleq.

Pandanganku terpaku pada seorang lelaki tua yang berdiri dikejauhan. Dia berpakain putih dengan ikat kepala tradisional. Guidekami menceritakan jika ikat kepala khas Lombok hampir mirip dengan Bali, namanya sapuk. Lelaki itu berkemeja putih polos dengan kain songket melilit pinggangnya. Bawahannya seperti sarung batik dengan ujung yang lancip.

Aku melihatnya dengan seksama, tapi sejurus kemudian dia menghilang. Ketika seseorang berjalan di depanku dan menghalangi pandanganku pada lelaki itu. Dia tidak lagi berada di tempatnya  semula, lenyap, ketika aku melihat ke tempat itu lagi. Begitupun ketika aku mengedarkan pandanganku ke seluruh tempat. Aku tak menemukan sosoknya lagi.

 “Napa lagi Sur?” tanya Randi.

“Engga ada.” Aku menggeleng.

Mungkin karena aku capek dan guidekami pun menyarankan untuk tidur lebih awal, aku tertidur lelap malam itu. Kami menyewa dua kamar. Satu untuk para perempuan dan satu lagi untuk para lelaki.

***

Udara pagi begitu dingin. Aku malas turun dari ranjang. Berbeda dengan Ryan dan Randi yang telah dengan semangat mempersiapkan peralatan.

“Bangun, Sur!” teriak Randi di kupingku.

Aku berjingkat, kaget. Kutatap wajahnya dengan kesal. Aku sudah bangun dari tadi tapi malas beranjak saja. Ia tak perlu berteriak di telingaku. Ryan hanya terkekeh.

Aku membuka pintu penginapan, punggungku telah berisi tas carier. Dengan sedikit menunduk aku keluar. Namun, lagi-lagi di kejauhan aku melihat lelaki tua yang sepertinya sama dengan lelaki kemarin. Pakaian mereka sama, garis wajah mereka sama. Aku yakin itu orang yang sama. Tangannya bergerak-gerak. Seperti menyuruh pergi.

“Hayo keluar!” kata Ryan sambil mendorong lembut tubuhku.

“Eh-i-ya.” Aku menengok sebentar. Ketika aku menghadap ke arah sebelumnya lagi, kembali kejadian yang sama terulang. Lelaki itu menghilang. Ia memilki gerakan yang cepat, pikirku saat itu.

***

Selama pendakian aku tidak banyak bicara. Hanya menjawab ketika ditanya saja.

Guide kami—Pak Eko—berjalan di depan rombongan. Setahuku, kami menyewa dua orang porter, porter yang pertama berjalan lebih dahulu dari rombongan dan seorang lagi berada di belakang kami. Anehnya, porter yang di belakang kami kadang sering tertinggal jauh. Mungkin dia porter baru.

Atas usul Pak Eko kami tidak berhenti di pos satu. Dia menyuruh kami untuk beristirahat nanti di pos selanjutnya.

Kami makan siang di pos dua. Aku melihat keadaan sekitar. Para pendaki dari mancanegara mendominasi. Tenda mereka digelar dengan baik. Para porter melayani juga dengan sangat baik. Aku tadi sempat mengintip, salah satu rombongan makan siang dengan steak, gila bukan?

“Gimana? Masih mikir macam-macam? Engga bakal ada apa-apa. Ramai gini juga kan?” kata Randi. Dia berkata dengan pelan, mungkin takut yang lain mendengar.

Tiwi dan Ryan asyik berdua-duaan. Sedang Utari duduk denganku dan Randi. Namun, hanya sebentar. Tiba-tiba Randi beranjak, katanya mau melihat-lihat sekitar, kemudian disusul Utari. Aku agak curiga, mungkin benih-benih perasaan seperti Ryan dan Tiwi mulai menghinggapi mereka berdua. Aku sebenarnya ada rasa juga dengan Utari, tapi malu.

Setelah dirasa cukup kami meneruskan perjalanan. Pak Eko mewanti-wanti, jangan banyak bercanda atau menghabisakan tenaga dengan kegiatan yang tak perlu. Apa yang akan kami hadapi selanjutnya cukup menantang. Kami sebelum melakukan perjalanan ini sudah mempersiapkan diri selama satu bulan. Kami berlatih fisik. Jadi, Ryand dan Randi wajar terlihat agak meremehkan.

“Santai, Pak,” katanya.

Benar saja, perjalanan dari pos tiga menuju Plawangan cukup berat. Kami harus melewati bukit penyesalan. Tanjakan yang seolah tidak ada habisnya. Randi dan Ryan serta Tiwi tak pernah berhenti memaki-maki. Memang sudah kebiasaan. Bahkan sampai Pak Eko menasehati ketiga kawanku tersebut.

Porter yang berada di belakang berjalan dengan santai. Dia masih terlihat olehku, berbeda dengan porter depan yang melesat dengan cepat.

Hampir empat jam kami habiskan untuk bisa sampai di pos selanjutnya. Sungguh perjuangan yang berat.

“Engga lagi-lagi gue ke sini! Sialan, capek banget.” Tiwi menjulurkan kakinya sambil memijitnya.

“Mau abang pijitin?” tawar Ryan.

“Ambil kesempatan, ya?”

“Boleh, dong.” Ryan nyengir kuda.

Kami akan bermalam di sini. Karena rencananya dini hari nanti kami akan bergerak menuju puncak. Tenda disiapkan kemudian didirikan. Anehnya, aku tak melihat porter kedua. Yang ada hanya porter pertama yang berjalan di depan.

***

Aku dibangunkan dengan paksa. Seseorang menggoyang-goyang tubuhku dengan keras.

“Bangun mas!”

Aku membuka mataku dan kulihat Pak Eko yang melakukannya.

“Ada apa, Pak?” tanyaku heran.

“Kita harus turun.”

“Turun?”

“Iya.”

“Bukankah seharusnya kita naik.”

“Kalau mau selamat, kita harus turun sekarang juga.”

Aku segera membangunkan semua orang. Semuanya orang bingung. Namun, tak ada yang berani bertanya lebih jauh ketika Pak Eko mengatakan hal yang sama.”Kalau mau selamat, kita harus turun sekarang.”

Aku berjalan di belakang Pak Eko. Porter berada paling depan. Pak Eko berulang kali mengingatkan untuk berjalan dengan hati-hati. Pelan-pelan. Jangan banyak bicara , tapi konsentrasi, juga jangan melamun. Semua mengiyakan.

“Kemana porter yang satu lagi, Pak?” tanyaku.

“Satu lagi? Kita cuma bawa satu,” jawab Pak Eko.

Aku terdiam. Pak Eko berhenti tiba-tiba. Aku menubruk badannya, begitu juga dengan yang lain seperti tabrakan beruntun. Untung saja dengan pelan.

“Warman! Kamu jalan di belakang!” Tiba-tiba Pak Eko memberi perintah pada porter yang berjalan di depan kami. “Fokus ke depan, jangan ada yang nengok ke belakang,” lanjut Pak Eko.

Aku bergeming, saat akan melangkahkan kaki kembali, sengaja aku menyenter ke belakang. Jauh di belakang, terkena cahaya bulan yang saat itu menuju sempurna, kulihat lelaki tua dengan kemeja putih dan bersapuk. Garis wajahnya seolah tersenyum, lalu makin samar dan menghilang.

Aku segera berdoa dalam hati. Semoga semua perasaan buruk yang kurasakan tidak berarti apa-apa. Meskipun, suara burung malam, kembali menghentikan langkah Pak Eko. Doakan kami selamat!

Tamat.