Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

gmc.yukonAvatar border
TS
gmc.yukon
Ribetnya Urus Perizinan di RI, di Negara Tetangga Lebih Mudah
Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia menduduki peringkat ke 73 dari 190 negara dalam hal kemudahan berusaha atau Ease of Doing Business (EODB) yang dirilis Bank Dunia (World Bank), Rabu (31/10/2018).

Dalam laporan Doing Business 2019, posisi Indonesia tercatat turun satu peringkat dibandingkan tahun sebelumnya meskipun indeks yang diraih pemerintah naik 1,42 menjadi 67,96.

Penilaian EODB dilakukan Bank Dunia di dua kota, yaitu Jakarta dan Surabaya, dengan bobot masing-masing 78% dan 22%. Dari 10 indikator yang dinilai oleh Bank Dunia dalam periode Juni 2017 hingga Mei 2018, Indonesia mencatatkan penurunan di empat bidang.

Keempat bidang tersebut adalah dealing with construction permit (dari 108 menjadi 112), protecting minority investors (dari 43 menjadi 51), trading across borders (dari 112 ke 116), dan enforcing contracts (dari 145 ke 146), menurut data laporan tersebut.

Posisi Indonesia ini berada di belakang lima negara Asia Tenggara. Singapura berhasil mempertahankan posisinya di peringkat kedua selama dua tahun berturut-turut.

Malaysia tercatat ada di peringkat 15, disusul Thailand di posisi 27. Kemudian Brunei Darussalam berada di peringkat 55 sementara Vietnam di posisi 69. Negara-negara Asia Tenggara yang peringkatnya ada di bawah Indonesia adalah Filipina (124), Kamboja (138), Laos (154), dan Myanmar (171).

Lantas apa yang menyebabkan RI begitu tertinggal dari negara-negara tetangga? Tim Riset CNBC Indonesia akan membedah beberapa alasannya, utamanya yang terkait dengan perizinan.

Pertama, untuk urusan dealing with construction permit. Apabila dilihat dari rinciannya, memang sejatinya perizinan untuk konstruksi di Jakarta relatif lebih rumit dibandingkan dengan negara-negara tetangga, baik dari sisi banyaknya prosedur, waktu, dan juga biaya.

Investor yang mengurus izin konstruksi di Jakarta perlu melewati 17 prosedur, dengan waktu pengurusan izin mencapai 191 hari. Proses itu jauh lebih melelahkan dibandingkan mengurus izin di Kuala Lumpur yang hanya memerlukan 11 prosedur (54 hari) dan Vietnam dengan 10 prosedur (166 hari).

Di Bangkok, sebenarnya prosedur yang ada masih lebih banyak dibandingkan Jakarta, yakni sebanyak 19. Namun, birokrasi di Bangkok jauh lebih efektif dan efisien, yaitu hanya memerlukan waktu 118 hari.

Tidak efisiennya dan efektifnya birokrasi di Jakarta terlihat dari investor yang setidaknya harus mengunjungi setidaknya 8 pihak atau lembaga, meski sudah dibentuk Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPTSP).

Dari mulai notaris, kantor BPTSP, konsultan lingkungan eksternal, Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD), Departemen Pemadam Kebakaran, PAM Jaya, Unit Pelayanan Pajak Daerah (UPPD), hingga Kementerian Perdagangan.

Amat berbelit jika dibandingkan dengan Kuala Lumpur yang hanya mensyaratkan investor keliling ke 5 pihak/lembaga. Bangkok bahkan lebih hebat lagi, di mana investor hanya perlu terlibat dengan 3 pihak/lembaga. Wajar jika waktu pengurusan perizinan di Bangkok lebih cepat dari Jakarta, meski jumlah prosedurnya lebih banyak.

Lalu, bagaimana dengan biaya pembuatan izin? Jakarta adalah kota yang paling jual mahal, jika dibandingkan dengan negara tetangga. Biaya yang harus dikeluarkan investor mencapai 4,6% dari nilai gudang/bangunan. Nilai itu berkali-kali lipat lebih besar dibandingkan dengan biaya di Kuala Lumpur yang hanya 1,4%.

Thailand dan Vietnam bahkan kompak mengenakan biaya yang nilainya setara dengan 0,7% dari nilai gudang. Akhirnya, wajar peringkat EODB Indonesia khusus untuk indikator dealing with construction permit berada di posisi ke 112, jauh di bawah Malaysia (3), Thailand (67), dan Vietnam (21).

RI nampaknya perlu mencontoh Malaysia yang melakukan reformasi besar-besaran dalam proses penerbitan izin bangunan. Reformasi ini sengaja diarusutamakan pemerintah Malaysia ke dalam perencanaan pemerintah pusat maupun daerah. Alhasil, waktu pengurusan izin konstruksi pun dapat dipercepat menjadi 54 hari, menjadi salah satu yang tercepat di Asia.

Kedua, khusus untuk indikator registering property, sebenarnya Indonesia menunjukkan usaha perbaikan. Peringkat EODB RI untuk komponen ini naik dari 106 ke 100.

Menurut laporan World Bank, Indonesia telah membuat pendaftaran properti lebih mudah dengan menurunkan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan sengketa tanah di pengadilan tingkat pertama dan meningkatkan transparansi di lembaga pendaftaran tanah/lahan.

Namun, peringkat 100 itu masih jauh di bawah negara-negara tetangga. Malaysia ada di peringkat 29, Thailand di 66, dan Vietnam duduk di posisi 60. Mengapa demikian?

Lagi-lagi masalahnya ada di lama proses pendaftaran. Meski jumlah prosedurnya tidak jauh berbeda, namun lama proses pendaftaran di Jakarta bisa mencapai 25 hari. Jumlah itu relatif lama dibandingkan Kuala Lumpur dan Bangkok, masing-masing selama 11,5 dan 9 hari.

Memang di Ho Chi Minh proses pendaftarannya bisa mencapai 53,5 hari, namun biayanya hanya berkisar 0,6% dari nilai properti. Jelas lebih hemat dibandingkan di Jakarta yang mencapai 8,4% dari nilai properti. Bahkan, dibandingkan dengan Kuala Lumpur (3,5% dari nilai properti) dan Bangkok (7,2% dari nilai properti), biaya pendaftaran properti di Jakarta masih amat mahal. Istilahnya, sudah harus memakan waktu lama, mahal pula. Secara bisnis, memang sangat tidak ekonomis.

Lagi-lagi RI harus mencontoh Negeri Jiran. Malaysia sudah membuat proses transfer properti menjadi lebih mudah dengan mengimplementasikan platform single window online di Kuala Lumpir. Hal ini lantas sukses memangkas rantai prosedur yang terlalu panjang, sehingga waktu proses pendafraran properti pun menjadi lebih cepat.

Gedung terbangun, sudah didaftarkan, eh ternyata investor masih dibuat merana oleh ribetnya proses ekspor impor. Ketiga, indikator trading across border. Salah satu ukuran yang digunakan World Bank dalam mengukur indikator ini adalah border compliance.

Sederhananya, border compliance mengukur waktu dan biaya untuk memperoleh, menyiapkan, dan memasukkan dokumen selama penanganan pelabuhan/perbatasan, penyelesaian bea, dan prosedur inspeksi.

Setali tiga uang dengan dua indikator yang sudah dibahas sebelumnya, lagi-lagi birokrasi di Indonesia masih terlalu berbelit. Waktu yang diperlukan untuk proses border compliance adalah 48 jam (ekspor) dan 80 jam (impor).

Kembali, negara tetangga lebih efektif dan efisien. Malaysia hanya membutuhkan waktu 28 jam (ekspor) dan 36 jam (impor). Sementara Thailand cukup dengan waktu 44 jam (ekspor) dan 50 jam (impor).

Tidak hanya dari segi waktu, Indonesia pun masih menjadi yang paling “matre” untuk urusan biaya. Biaya proses border compliance di tanah air mencapai US$ 250 (ekspor) dan US$ 384 (impor). Sedangkan di Malaysia dan Thailand, biayanya hanya ada di kisaran US$200-an saja (baik untuk ekspor maupun impor).

Reformasi kebijakan yang dilakukan Malaysia dan Thailand untuk indikator trading across border, nampaknya perlu dijadikan panutan oleh RI. Malaysia membuat proses ekspor-impor lebih nyaman dengan meluncurkan sistem elektronik untuk border compliance. Negeri Jiran juga memperkuat infrastruktur dan sistem operasi pelabuhan utama Port Klang.

Sementara itu, Thailand mempercepat proses trading across border dengan memperkenalkan sistem E-Matching untuk pengontrolan kargo. Hampir mirip seperti Malaysia. Alhasil, waktu untuk proses border compliance pun dapat dipangkas.

Kesimpulannya, masih banyak inovasi yang bisa dilakukan Indonesia untuk memperbaiki iklim kemudahan berbisnis di tanah air. Tidak hanya dari sisi regulasi atau institusional, namun juga dari pengembangan teknologi informasi. Sebenarnya, Indonesia sudah meluncurkan Online Single Submission (OSS) pada awal Juli 2018 lalu. Namun, gara-gara telat dibandingkan negara tetangga, akibatnya belum terekam pada laporan EODB.

Seperti dijelaskan sebelumnya, laporan EODB World Bank hanya mengukur indikator-indikator dalam periode satu tahun, yakni Juni 2017 - Mei 2018. Semoga saja dengan sistem OSS yang baru, Indonesia bisa memperkecil ketinggalannya dari negara tetangga.

https://www.cnbcindonesia.com/news/2...-lebih-mudah/3

Mengapa ribet
0
635
9
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
ansyah.ansyahAvatar border
ansyah.ansyah
#4
Mungkin biar aman gan,,,adanya gini... disyukuri aja....mungkin jika ada agan yang bisa merubahnya menjadi lebih simple dan aman silahkan gan,,,,Analoginya kan kalo kita ngamanin sesuatu kan pasti ribet gan,,tapi aman,,,
0
Tutup