- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
(Hanya Untuk Yang Niat Membaca) Apakah Saatnya Berolah Raga Hanya Untuk Sehat?
TS
dekmanjari
(Hanya Untuk Yang Niat Membaca) Apakah Saatnya Berolah Raga Hanya Untuk Sehat?
Quote:
Apakah Saatnya Berolah Raga Hanya Untuk Sehat?
Sebenarnya untuk mempertanyakan bagaimana nasib olah raga Indonesia ke depannya, agak ambigu. Karena malah menimbulkan pertanyaannya baru, melihatnya dari sudut pandang yang mana? Apakah sudut pandang industri atau prestasi?
Bila kita melihat olah raga sebagai prestasi, mungkin bisa dikatakan, kita jalan di tempat. Kalau sedikit “melek” saja, prestasi olah raga kita saat ini sering dikaitkan dengan prestasi masa lampau: sepak bola dulu dengan sekarang, bulu tangkis dulu dengan sekarang atau tenis dulu dengan sekarang. Artinya, kita bukannya lebih baik tapi malah mundur, sampai-sampai harus mengambil standar perbandingan dengan periode yang sangat jauh. Ini sangat miris.
Bila hal ini kemudian kita cermati, rasa miris itu bisa kembali lebih besar terasa. Karena era kejayaan olah raga kita berada pada saat fasilitas, dana dan promosi yang jauh lebih terbatas dari pada saat sekarang ini. Artinya, alasan fisik (dana dan fasilitas) harus dicoret dari faktor kemunduran olah raga kita.
Sumber pic : cnnindonesia.com
Akan tetapi, jika melihat olah raga sebagai sebuah industri maka tentu berbeda. Olah raga kini telah benar-benar menjadi sebuah industri baru yang terlihat sangat menggiurkan oleh beberapa pihak. PSSI saja, sampai berani berhadap-hadapan dengan Kemenpora—sebagai pengejawantahan pemerintah pada sektor olah raga. Karena apa? Karena sepak bola telah menjadi industri tersendiri secara global.
Singkat kata, FIFA telah hampir mampu menghilangkan ketergantungan pendanaan federasi di tiap negara. Begitupun dengan PSSI yang merasa tetap bisa eksis tanpa sokongan pemerintah, bahkan memiliki bergaining bahwa jika pemerintah ikut-ikutan, akan merugi karena terkena black list oleh FIFA. Inilah bentuk hegemoni industri pada olah raga. Ketika ia telah bisa menghasilkan uang yang sangat besar, ini bahkan berani melawan wewenang sebuah negara.
Prestasi di cabang ini sebenarnya sudah mulai terlihat, khususnya untuk sektor usia dini. Turnamen Danone yang kerap dilaksanakan di Eropa sering menunjukkan prestasi: peringkat keempat pada tahun 2006, peringkat keenam pada tahun 2009, tahun 2013 masuk delapan besar dan mendapat predikat tim paling suportif, dan pada tahun 2014 menjadi peringkat ke tujuh dimana salah satu pemain yaitu Reynaldi Saela menjadi kiper terbaik. Tapi kalau melihat statistik ini, kok kian merosot ya? Makin turun tiap tahun. Prestasi terakhir pada ajang Danone Nasional Cup pada tahun 2017, finish di urutan ke delapan.
sumber pic : Republika.com
Bila kita bergeser pada usia yang lebih dewasa, pada tahun 2013 tim U-19 berhasil meraih gelar juara Piala AFF. Lalu pada tahun 2017, pejuang yang lebih muda, U-16 berhasil menyabet Tien Phong Plastic Cup. Yang terakhir pada tahun 2018, U-16 lagi-lagi bisa menjuarai Piala Jenesys setelah mengalahkan Vietnam 1-0.
Anehnya, tradisi juara ini hanya berlaku pada usia muda. Hingga kadang membuat pusing, kenapa bisa begitu? Kenapa timnas senior kita seolah tidak punya gigi? Bukankah, para pemain senior juga mantan pemain yunior?
Ada idiom di masyarakat bahwa ketika pemain yunior sudah menjadi pemain senior, mereka malah rusak. Apa benar begitu? Entah. Atau jika ada pemian muda yang berkarir di luar negeri malah diingatkan untuk jangan mau bermain di dalam negeri. Lagi-lagi dengan pertimbangan seperti tadi, nanti malah jadi jelek.
Bila dahulu, yang menjadi permasalahan adalah karena tidak adanya pembinaan melalui kompetisi usia dini, maka saat ini PSSI telah memulainya. Saat ini PSSI telah mensyaratkan bahwa sebuah klub profesional wajib setidaknya memiliki empat tim: U-16, U-18, U-20 dan tim senior. PSSI juga telah menyelenggarakan kompetisi usia dini. Liga U-18 mulai bergulir bulan Juni 2019 kemarin.
Sumber : Indosport.com
Proses ini tentu harus didukung, dan yang lebih penting adalah bersabar. Karena tidak bisa memunculkan hasil yang instan. Tapi paling tidak, kendala pada proses pembinaan usia muda telah mendapatkan solusinya. Dan ini harus dipertahankan.
Manajemen club juga disasar menjadi salah satu faktor bobroknya kualitas pemain, yang menyebabkan prestasi masih jauh dari genggaman. Mulai dari tumpang-tindih peran seorang CEO club, sampai ketidakmampuan klub membayar gaji pemain.
Permasalahan ini harus segera mendapatkan solusi. Terutama bagi klub-klub daerah yang agak jauh dari ibu kota. Karena memang agak susah untuk mendapatkan sponsor. Kita sudah kenyang dengan berita pemain yang tidak merima gaji berbulan-bulan hingga pemain yang sampai meninggal karena hal tersebut.
PSSI setidaknya bisa masuk ke daerah-daerah dengan kultur sepak bola yang rendah untuk meningkatkan minat pada sepak bola, terutama penonton. Karena tentu yang menjadi masalah klub adalah kurangnya penonton yang menyaksikan pertandingan. Hak siar kompetisi juga perlu untuk meniru liga di eropa. Dimana keuntungannya bisa dibagi ke klub. Audit keungan klub juga harus dilakukan untuk melihat transparasi pengelolaan keuangan.
Manajemen PSSI juga perlu untuk disoroti. Sudah bukan rahasia umum jika jabatan Ketua Umum PSSI menjadi salah satu jabatan yang diperebutkan. Orang-orang yang berebut di sana banyak yang terafiliasi politik. Akhirnya, PSSI lebih banyak unsur politiknya daripada olah raga. PSSI memerlukan seorang pemimpin yang benar-benar murni mengurusi sepak bola.
Sumber pic : Seputarpapua.com
Untuk masalah fans sendiri pada dasarnya tidak terkait secara langsung pada prestasi sepak bola kita. Namun, lebih pada kenyamanan menyaksikan pertandingan.
Akan tetapi pada aspek ini malah sebenarnya memiliki plot twist.Ada kesan bahwa fanatisme para penonton yang berlebihan memang sengaja dibiarkan. Karena fanatisme tersebut, meski buruk pada dasarnya, itulah yang menghidupkan iklim sepak bola.
Sumber pic : viva.co.id
Jujur saja, liga-liga eropa lebih menarik untuk ditonton. Kadang lebih murah juga, karena bisa kita lihat hanya lewat televisi. Sehingga jawaban yang tersisa untuk menjawab kenapa stadium tetap penuh, adalah fanatisme.
Masalah kita sebenarnya hanyalah prestasi, itu saja. Sedangkan industri sepak bola, sudah sangat mengakar. Fanatisme para fans sepak bola kita kadang sudah melampui batas. Fanatisme itu sendiri adalah produk tersendiri dalam dunia tersebut.
Artinya, ketidakberprestasian Timnas Indonesia sebenarnya tidak mempengaruhi banyak. Baik pada para pengurus PSSI, klub atau mereka yang bekecimpung di bidang ini. Para penonton tetap banyak, stadiun tetap full, liga di televisi tetap memperoleh sponsornya. Uang tetap mengalir. Bisa tetap mengenyangkan, sehingga berprestasi bisa jadi pilihan kesekian. Jadi, berolah raga tanpa prestasi, bukannya hanya buat sehat saja?
Mungkin, kita memang harus realistis.
Sumber:
Kalian juga bisa membaca thread saya yang lain di sini :
Benarkah Soekarno Ingin Memindahkan Ibu Kota?
Ngapain Esemka? Gesits Aja!
Diubah oleh dekmanjari 17-09-2019 06:31
Gresta dan 3 lainnya memberi reputasi
4
428
Kutip
7
Balasan
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
AdelineNordica
#3
0
Kutip
Balas
Tutup